"Perkenalkan, ini calon suami kamu, Reina."
Reina membelalak."Ha? Kenal aja enggak! Calon suami? Tapi saya punya pacar lho, Pak Pram.""Ya tinggal diputusin," cetus si Om Ganteng. "Gitu aja apa susahnya sih?"Reina mendelik tak suka. Siapa sih manusia dengan tingkat percaya diri yang tinggi itu? Kenapa ikut-ikutan segala? Kan Reina makin kesal!Jika yang terjadi sekarang ini merupakan sebuah mimpi, tolonglah! Siapa saja—tolong bangunkan Reina!Mulai dari kematian orang tuanya, hingga pada detik Pak Pram—pengacara papanya—datang ke rumah dan membawa om-om ganteng yang diperkenalkan sebagai calon suaminya.Dunia memang sedang kacau-kacaunya. Tetapi jika permintaan terakhir papanya ialah menikahi om-om ganteng yang kelewat ketus itu, bisa dipastikan Reina yang akan terguncang dan dunianya yang oleng sana-sini.Pak Pram menjentikkan jari tepat di depan Reina untuk menyadarkan gadis itu. Sebab mulutnya menganga begitu lebar, harus ditutup supaya tidak membuat ilfeel si Om Ganteng dan tidak menelan lalat."Eherm," Reina berdeham. Masih terkejut, tapi berusaha untuk tetap tampil cantik. Tidak bisa dimungkiri, laki-laki yang duduk di samping Pak Pram itu membuatnya gugup. Entah karena mau mengajak bertempur atau adu tatapan tajam, yang jelas Reina bakalan kalah."Sebentar ya, Pak Pram. Ini saya lagi bermimpi kan? Mimpi itu bisa beragam jenisnya, jadi kemungkinan besar saya masih tidur di kamar saya." Reina bangkit. "Kalau begitu? Saya balik ke kamar dulu ya, Pak? Saya balik tidur lagi biar bisa bangun ke dunia nyata."Reina sungguh kembali ke kamarnya. Pak Pram dan Om Ganteng menunggu dengan sabar di ruang tamu. Mereka membiarkan Reina bertingkah semaunya.Sepuluh menit kemudian, Reina berlari sekuat tenaga ke ruang tamu untuk memastikan keberadaan Pak Pram dan Om Ganteng."Lho? Bukan mimpi?"Pak Pram tersenyum kalem, "Sayangnya tidak, Nona. Begitu juga dengan permintaan terakhir Tuan Besar mengenai masa depan Nona."Reina memandang ngeri Om Ganteng yang memberikan tatapan menghunus itu. Dia harus menikah dengan laki-laki itu? Padahal dia sendiri mempunyai pacar. Papanya saja tau, tapi tetap melayangkan permintaan terakhir seperti itu."Nona Reina?""I-iya, Pak?""Saya hanya menjalankan permintaan terakhir Tuan Besar dengan sepenuh hati. Maaf kalau lancang, tapi saya harap, Nona bisa memikirkannya dengan baik. Ini permintaan Tuan Besar yang sangat berharga dan pastinya sebisa mungkin harus dilakukan."Reina menduduki salah satu sofa tunggal dengan gumaman yang tak dapat didengar oleh dua laki-laki itu. Sesungguhnya dia masih berduka. Belum genap satu minggu kedua orang tuanya berpulang ke hadapan Tuhan, sekarang malah mendapatkan kenyataan semacam ini.Menikah bukan perkara sepele. Diam-diam, Reina mempunyai keinginan untuk berdiri di atas pelaminan bersama pacarnya—Andre. Tahun depan, dia mengharapkan rencana itu berjalan mulus. Namun orang tuanya telah tiada.Maka haruskah dia mewujudkan permintaan terakhir papanya itu?Seharusnya memang iya, tetapi hatinya masih dirundung pilu. Begitu pula dengan kebingungan yang merajalela."Kasih saya waktu, Pak Pram." Reina memberanikan diri untuk menatap Pak Pram dan Om Ganteng itu secara bergantian. "Terima kasih sudah memberitahu saya soal perjodohan ini, tapi saya masih harus memikirkan bagaimana caranya menyelesaikan hubungan saya dengan pacar saya.""Baik, Nona Reina."Pak Pram berdiri, ikuti Om Ganteng yang masih memberinya tatapan peperangan. Reina tidak paham. Sebenarnya laki-laki mau apa sih? Dia kemari cuma mau mengibarkan bendera perang atau bagaimana?"Tiga hari, cukup?""Ha? Apanya, Pak?""Keputusan Nona Reina, saya beri waktu tiga hari, cukup kan?""Lah? Cepet banget, Pak? Biasanya juga orang-orang selalu ngasih waktu satu atau dua minggu, apalagi ini soal perasaan lho, Pak! Masa perasaan saya cuma bernilai tiga hari aja?"Pak Pram hanya mengulum senyum. Sudah biasa melihat tingkah ajaib Reina yang tidak bisa berlaku feminim atau elegan. Maka dari itu, almarhum papanya—Hindrawan, menyisihkan waktu untuk menulis permintaan terakhir tersebut yang berhasil dititipkan ke tangannya."Tiga hari lagi saya datang ke sini, Nona Reina. Sekalian dengan lamarannya yang akan diadakan malam itu juga.""Loh? Kok langsung ngegas, Pak?!""Maaf, Nona Reina. Saya hanya melakukan sesuatu yang telah dipersiapkan oleh Tuan Besar. Beliau telah mempersiapkan segalanya. Lamaran diadakan secepat mungkin begitu Nona setuju untuk berpisah dengan pacar Nona, diikuti pernikahan yang akan diselenggarakan dua pekan setelahnya.""Ha?"Reina kembali membuka mulutnya lebar-lebar. Sudah pemberitahuannya mendadak, pernikahannya pun mendadak. Diam-diam, sudut mata gadis itu mendapati Om Ganteng yang menatapnya seperti hendak menguliti hidup-hidup.•••••"Nikah?""Kok Andre nggak kabar-kabar sih?"Reina memberengut kesal. Dipandanginya kedua sahabatnya secara bergantian. "Bukan sama Andre."Siang itu Reina bertemu dengan dua sahabatnya untuk membahas permintaan mendiang papanya yang sangat mendadak. Pasalnya, baru beberapa hari yang lalu gadis itu membahas rencana dan keinginannya untuk menikah dengan Andre. Tiba-tiba saja, semuanya berubah seratus delapan puluh derajat."Lah? Terus sama siapa?" tanya gadis berambut sebahu yang bernama Tara.Satu lagi sahabatnya yang bernama Rendi, menyimak dengan kening berkerut. Reina mendengus lelah. Berbagai jenis masakan yang tersaji di hadapannya tidak ada yang mampu menggugah selera makannya. Kenyataan mengenai masa depannya yang harus menikah dengan seorang om-om itu sungguh menguras pikiran."Nikah sama om-om."Hening.Tara menghentikan kunyahannya, sedangkan Rendi berkedip selama beberapa kali. Reina memandang keduanya, menantikan reaksi lanjutan macam apa yang akan dia dapatkan.Tetapi ekspetasinya hancur ketika dua manusia itu malah mengangguk dan meneruskan kegiatan masing-masing."Ganteng nggak?""Duda atau memang perjaka tua nih?""Ya ganteng sih, eh—kok kamu malah bingung soal ganteng atau enggaknya sih? Nggak bingung sama masa depanku?" Gerutu Reina. Gadis itu sedikit kesal, bukannya mereka memberi masukan terkait apa yang harus dia lakukan, justru mereka menanyakan ketampanan calon suaminya yang dipaksakan itu.Memang pernikahannya itu merupakan permintaan terakhir sang papa. Tetapi kalau dia belum siap, bagaimana?Dia juga tidak bisa menjamin apakah Om Ganteng itu baik atau tidak. Begitu pula dengan statusnya."Kalau status, aku memang nggak tau—bisa jadi duda, bisa jadi masih single dan perjaka. " Ucap Reina mengangkat bahunya sembari menyesap minuman yang ada di tangannya.Belum sempat minuman itu masuk ke tenggorokannya, Reina seolah membeku ketika merasakan sentuhan dari tangan seorang lelaki di bahunya."Saya duda."•••••"Saya duda."Byurrr~"Astaga, Reina!" Pekik Tara yang langsung mengambil tisu untuk mengusap wajahnya. "Kok main nyembur aja?!"Rendi malah memejamkan mata. Menghela napas, lalu memandang jalanan dengan tangan kanan yang meraih sapu tangan. Reina membuka mulut lebar-lebar. Dari sekian tempat yang ada di dunia ini, mengapa dia harus bertemu dengan Om Ganteng di restoran yang dijejaki bersama dua sahabatnya itu?Gadis itu menggeleng, menepuk pipinya sendiri. "Aduh!" Meringis, Reina langsung menatap tajam Om Ganteng. Teringat dengan perkataan laki-laki itu yang berhasil mengejutkannya tadi.Dia duda??? batinnya memekik heboh."Kalian teman-temannya Reina? Silakan pesan lagi, tidak perlu membayar. Ini restoran saya." Ucap Om Duda yang berhasil mengejutkan tiga manusia di hadapannya itu. "Makasih, Om. Om namanya siapa?"Alex.""Alexander Graham Bell?" tanya Tara, menampikkan tawa kecilnya.Tara langsung mendapat tepukan dari Reina dan Rendi secara bersamaan. Perempuan itu berseru, lalu m
"Cih! Baru ketemu, udah akrab banget, sampai sahabatnya sendiri dilupain!"Reina sengaja tidak menjawab panggilan masuk dari kedua sahabatnya. Dia masih kesal lantaran berada di kubu Om Duda alias Alex. Padahal baru bertemu, tapi kok sudah setuju-setuju saja?Kenapa pula mereka tidak bisa menerima hubungannya dengan Andre?Dari dulu yang ada hanya penolakan. Saat Reina menceritakan kegiatannya dengan Andre pun, mereka hanya mendengarkan seadanya. Tidak terlalu menaruh perhatian. Seolah membiarkan Reina berada dalam jaring tak kasat mata bernama Andre. Tidak terasa pun, Pak Pram sudah datang lagi. Menangih jawaban yang sangat tak ingin diutarakan. Namun sesungguhnya, jawabannya tidak cukup berarti. Segalanya sudah diatur. Tepat malam ini, lamaran akan dilangsungkan. Pak Pram sekadar bertanya hanya untuk memuaskan rasa kecewa akibat tidak pernah ditanyai apa pun soal perjodohan ini. "Pak Pram kayaknya setuju ya? Kalau saya menikah sama Om Duda itu."Alis kanan Pak Pram terangkat ting
"Apa maksudmu, Reina?" Alex menautkan alisnya, tak menyangka gadis di hadapannya itu bisa berbicara hal yang sebelumnya dikatakan padanya.Alex dan Reina kini berada di luar restoran. Dia sengaja ingin berbicara empat mata dengan calon suaminya itu—yang barangkali bisa berakhir sebelum terlambat."Maksud aku, aku tau Om pasti masih cinta sama mantan istrinya Om. Aku juga tau kalau Om terpaksa kan, menikah sama aku? Makanya, bagaimana kalau kita besok langsung pisah aja?" tanya Reina, maniknya menatap ekspresi Alex yang entah mengapa berubah menjadi dingin seketika. Bahkan, rahang laki-laki itu mengeras, seolah menahan sesuatu keluar dari mulutnya."Terpaksa? Kamu dapat kesimpulan dari mana?" Alex berdecih. "Saya nggak mau berpisah, Reina. Meskipun begitu, kamu nggak perlu khawatir. Setelah kita menikah, saya nggak akan mengganggu kehidupanmu.""Hah?" tanya Reina, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya."Dengar, Reina. Saya minta maaf jika umur dan juga penampilan saya tida
"Lha kalau aturannya kayak gini, kapan pisahnya, Om?" Reina membelalakkan matanya ketika membaca selembar kertas yang diberikan oleh Alex. Bahkan, laki-laki itu sudah menandatanganinya, tersisa space kosong di sampingnya untuk tanda tangan Reina.Siang itu, sang duda tampan alias calon suaminya itu datang ke rumah untuk membicarakan apa saja yang akan mereka lakulan semasa menikah nanti.Reina hanya bisa tertawa kecil saat membaca poin-poin yang ditulis Alex. Jangan bawa orang lain (termasuk pacar) ke rumah, menjaga privasi masing-masing, jangan lupa untuk akting layaknya suami-istri di depan keluarga dan orang banyak, jangan membocorkan rahasia pernikahan palsu kepada siapapun, dan jangan sampai terpikat dengan pesona Alex.Sebenarnya Reina mau tertawa terbahak-bahak begitu melihat ketentuan terakhir. Biarpun Alex itu om-om yang tampak muda, Reina tidak akan kepincut akan pesonanya. Dia sudah memiliki Andre. Selamanya akan seperti itu."Kita tunggu waktu yang tepat," kata Alex, menga
"Siapa ini?!"Reina memejamkan mata sejenak, sementara Alex tetap berdiri tegap memandang Andre tanpa minat. Tidak mau menjawab pula meski Andre menghunuskan tatapan tajam dan raut permusuhan yang membabi buta."Eh, sayang!"Alex berjengit. Cara Reina memanggil Andre begitu lembut dan menggoda—entah bagaimana bisa-bisa dia berpikir demikian. "Ini siapa, Re? Kamu selingkuh? Sama om-om?"Sekuat tenaga, Alex menahan diri untuk tidak menghadiahi kepalan tangannya ke wajah Andre. Baru bertemu beberapa detik saja, Alex setuju dengan pendapat Tara dan Rendi yang mengatakan jika Andre tidak pantas untuk Reina."Reina? Siapa om-om ini? Jangan bilang kalau kamu jual—""Saya calon suaminya."Sebelum Andre meneruskan kalimatnya, Alex memberikan pernyataan yang membuat laki-laki di hadapannya itu kaget bukan main. Begitu juga dengan Reina yang mengutuki Alex dalam hati lantaran langsung berkata tanpa sambutan dulu."Apa? Calon suami?" Andre menatap Reina tajam, sehingga Alex berpikir bahwa tatapa
“Ini kamar kamu.”Alex mendorong satu pintu, memperlihatkan isinya yang cukup luas. Reina manggut-manggut. Hampir sama luasnya dengan kamar pribadi Reina.“Bagus! Kayaknya nyaman nih!” Reina memasuki kamar tersebut, mencoba kasur empuk yang akan ditidurinya dalam berapa waktu.“Ini kamar kamu sendiri. Tapi kalau ada Ibu, mau nggak mau kita harus tidur satu kamar. Tidur di kamar saya.”“Hm, nggak masalah.”“Nggak masalah?” Alex memiringkan kepala, tak habis pikir dengan betapa santainya Reina akan hari ini. “Kita akan tidur di kasur yang sama, kamu nggak khawatir kalau saya melakukan apa-apa ke kamu?"“Lho? Memangnya bakalan ada apaan? Kan Cuma tidur, sendiri-sendiri.”Alex mengangguk pasrah. Memang benar. Mungkin dirinya saja yang berlebihan sebab tak pernah berinteraksi dengan lawan jenis lagi sejak kepergian Delia. "Atau mau coba sekarang ... Mas Alex?" goda Reina, sengaja mendekat dan memainkan kancing teratas kemeja suaminya itu.Bukannya mundur, Alex malah memajukan kepalanya se
"Pagi, Om!"Alex mengernyit. Padahal baru semalam laki-laki itu membuat Reina mati kutu dengan ucapannya, sekarang masih saja memanggilnya seperti itu. Tadinya Alex mau mengingatkan Reina, tapi terhalang dengan pemandangan Reina dalam balutan daster mininya.Reina mengikat rambutnya tinggi-tinggi, menuju dapur untuk mengambil sebotol air. Mengabaikan tatapan Alex yang tertuju padanya.Alex tidak salah lihat. Dia menyadari jika istri manjanya itu tak mengenakan pakaian dalam. "Kamu mau masuk angin? Pagi-pagi pakai daster yang begitu?"Reina menoleh, "Kenapa? Ada yang aneh? Aku memang biasa begini kok, Om.""Reina, saya sudah ingatkan kamu soal panggilan itu.""Iya, tapi sebentar dong." Reina berlari kecil, duduk di samping Alex dengan wajah dimanis-maniskan. "Kan aku belum terbiasa, tapi nanti kalau di depan orang banyak, pasti aku bisa bersikap profesional kok!"Alex mengangguk pelan. Dia memang tak bisa memaksa Reina dengan pernikahan mendadak mereka ini. Laki-laki itu menyesap kopin
Reina mencoba salah satu daster yang dibelikan oleh Alex. Dia pikir, laki-laki itu akan memilihkan yang polos-polos. Tetapi di luar ekspetasi, yang dibeli tidak jauh berbeda dari koleksinya. Setelah merapikan wajahnya agar tetap cantik meski dalam balutan daster, Reina keluar.Terdengar deru mobil suaminya yang baru saja mengantarkan Nora pulang. Reina memutuskan untuk menyambut kedatangan Alex, sekaligus memberitahu bahwa dirinya baru saja mengenakan salah satu daster pemberian sang suami."Selamat datang lagi, Om!" Reina memutar badannya. "Cocok ya di aku? Bisa aja pilihin yang warna kuning begini. Makasih, Om!"Tadinya Alex mau melayangkan protes lagi terkait panggilan dari Reina. Namun melihat senyum gadis itu, hatinya melunak. Alex mengangguk pelan, mengacak puncak kepala sang istri."Ibu datang kapan? Kenapa tadi kamu nggak kasih tau saya dulu?" tanya Alex, melangkah terlebih dulu selagi melepas dasinya. Dia belum sempat berganti pakaian sejak pulang tadi."Tadi itu, Ibu baru da
Empat tahun setelah kelahiran Nayra, Alex dan Reina mendapatkan kabar bahwa mereka sedang mengandung anak kedua. Alex yang sudah dilanda bahagia, kian senang saat mendapati istri manjanya itu akan memberikan anak lagi.Ah, tapi tidak juga. Sekarang Reina sudah tak semanja dulu. Sejak melahirkan Nayra, rasanya Reina menjadi sosok lain yang mampu menghangatkan hati orang hanya dengan melihatnya saja. Ibu. Ya—Reina telah berubah menjadi seorang ibu yang secara perlahan meningkatkan kepedulian serta tanggungjawabnya untuk merawat dan membesarkan bayi mungil mereka.Pada beberapa kesempatan, Alex terpana. Dia seperti menikahi sosok Reina yang berbeda dari yang sebelumnya. Sebab Reina yang dilihatnya setiap hari jelas berbeda dari Reina yang biasa bergelayut manja padanya. Sempat pada beberapa malam, Alex mendapati istrinya itu menangis usai menidurkan Nayra. Detik itu, Alex mencari apa saja yang dialami seorang ibu ketika baru melahirkan. Ternyata, ada yang dinamakan baby blues. Pada satu
Pagi hari yang damai, Reina sedang merajut di teras rumahnya. Alex telah pergi ke kantor setengah jam yang lalu, maka Reina memanfaatkan waktu tersebut untuk meningkatkan keahlian merajutnya sebelum berkontak dengan Felia dari rumah konveksi.Kehamilannya telah memasuki minggu ke-8. Belakangan Reina jadi susah bergerak, lebih mudah kelelahan. Maka dari itu, Reina memutuskan untuk duduk kalem sembari merajut sesuatu yang bisa mendistraksi pikirannya dari hal-hal buruk.Melupakan ponselnya yang tertinggal di kamar, Reina beranjak untuk meminta Alex memberikan benang rajut yang baru. Kalau tidak diingatkan sekarang, atau paling tidak menyisipkan pesan, suaminya itu akan lupa. Kesibukan yang melanda perusahaan turunan dari sang papa sedang kelewat sibuk. Bahkan sudah dua minggu ini, Alex pulang larut malam."Di mana ya?" Reina mengedar pandang sesampainya di kamar. Terakhir kali, dia menyembunyikan ponsel di salah satu laci nakas samping tempat tidur, sebab tak mau diganggu saat sedang be
Kejutan yang dipersiapkan Alex bukan hanya yang Reina alami seharian ini saja. Melainkan, suaminya itu tengah menyodorkan layar ponselnya yang memperlihatkan pembayaran dua buah tiket penerbangan ke Singapura. Reina menganga sehingga Alex harus menutup mulut istrinya itu secara perlahan. "Mas? Tadinya aku yang mau kasih kejutan, tapi malah Mas yang kasih kejutan dulu ke aku." Reina memindai tiap kata yang tertera pada layar ponsel sang suami. "Kok mendadak sih, Mas?"Alex mengendikkan bahu. Walaupun tidak bisa fokus lantaran penampilan Reina saat ini terlalu menggoda, dia berusaha untuk menjawab. "Benar kata Ibu, Reina. Ada benarnya kalau kita berbulan madu selagi perut kamu belum terlalu besar. Sebenarnya Mas nggak masalah, kalau kamu mau berbulan madu saat menginjak trimester ketiga. Cuma takutnya Mas yang merasa nyaman dengan bulan madu itu, tapi enggak buat kamu."Reina mengelus perutnya yang berada di balik balutan gaun malam tipis—omong-omong, dia baru membelinya sore ini denga
Reina tidak pernah ingat jika suaminya itu memiliki spasi tanpa atap pada ruangan khusus yang dimiliki di lantai dua. Ciuman keduanya yang berada di tangga harus terputus, sebab Tara melihat dari kejauhan dan berseru akan melemparkan piring kalau tidak mencari ruang terlebih dulu untuk melakukannya."Mas?" Reina berhenti melangkah. "Ini semua, Mas yang mempersiapkannya?"Alex mengendikkan bahu. "Enggak tau ya? Memangnya Mas bisa mempersiapkan semua ini di sela kesibukan yang menyerang Mas di kantor?"Reina mencebikkan bibirnya. Seingatnya, ruangan terbuka ini tak pernah ada. Ditilik dari cat kayu yang melapisi sebuah set meja bundar dan sepasang kursi pada tengah bagian, semuanya terlihat baru saja selesai dibangun. Begitu juga dengan sofa panjang berwarna cokelat yang terendus aroma barang baru saat Reina melewatinya."Ah satu lagi," Alex mendekat, lalu meletakkan kedua tangannya pada pinggang Reina. "Apa kamu tau seberapa cemasnya Mas selama beberapa hari ini, Sayang? Mas nggak bisa
"Maaf, Reina."Reina memberanikan diri untuk menatap lawan bicaranya. Terkesan tidak sopan bila dia mengalihkan pandang selagi Gilang mengatakan sesuatu dengan bersungguh-sungguh. Belum selesai, Gilang melanjutkan kalimat yang berasal dari hati paling dalam."Seperti yang kamu lihat, aku juga menjadi bagian dari rencana yang diperbuat oleh Pak Alex dan dua sahabatmu itu."Tadinya Reina mau mengumpat, bahwa dua sahabatnya itu turut menjadi tim perencanaan. Namun dia urung, sebab masih berada dalam atmosfer lain yang Gilang ciptakan. Dan entah mengapa, dia merasakan satu titik kelegaan yang mengisi selubung di antaranya dan Gilang. Reina tak merasa terancam seperti dulu lagi. Situasi sudah berbeda, sehingga Reina tak perlu tertekan."Maaf karena sudah membuat kamu kesal belakangan ini, Reina. Hanya itu satu-satunya cara, supaya aku juga bisa melihat betapa besar kesungguhan yang kamu punya atas cinta suami kamu." Ucap Gilang. "Yah, tapi asal kamu tau, sebagian besar yang aku ucapkan itu
Reina mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Barangkali saja salah mendengar, Reina menajamkan pendengaran, memastikan bahwa suara yang baru didengarnya merupakan khayalan belaka. Satu menit tak tersiar suara apa pun, Reina mengembuskan napas perlahan."Ternyata memang cuma khayalanku aja," wanita itu tersenyum kecut, seraya mengelus perutnya. "Pasti gara-gara semalam kurang tidur.""Apa? Kamu kurang tidur?"Reina terlonjak. Suara itu kembali menyapa telinga, namun kini dia berbalik, menghadap seseorang yang berdiri tepat di belakang sofa. Untuk beberapa saat, Reina tak bisa memercayai penglihatannya. Dunia seakan berhenti berputar, membuat Reina kepayahan untuk berkata-kata, sedangkan kedua matanya mulai memburam dengan sendirinya.Seseorang yang berdiri di belakang sofa lantas bergerak pelan, menghampiri Reina yang mematung dengan penuh kelegaan. Dalam satu tarikan napas, Alex memeluk Reina—sangat erat. Reina bergeming. Belum mampu mencerna segalanya dengan cepat, lantaran dia merasa ba
Serangkaian malam yang tak mudah untuk dilewati lagi. Gambaran mengenai Evelynn yang berusaha menggoda Alex dalam balutan lingerie merah menyala terus menghantui bagaikan kaset rusak. Reina melirik jam dinding. Terbangun pukul tiga dini hari, padahal dia baru memejamkan mata satu jam sebelumnya. Mungkin lingkar matanya sudah seperti panda. Reina tidak mau bercermin kalau begini caranya."Jam delapan ...."Reina bergumam pelan sembari mengingat jadwal penerbangan yang akan Alex dan Evelynn lakukan. Masih tersisa lima jam. Wanita itu terheran-heran, adakah cara agar dua manusia tersebut membatalkan perjalanan udara mereka nanti?Tangannya yang semula hendak meraih ponsel, berubah haluan jadi menutup mulutnya yang menguap lebar-lebar. Tidak ada pilihan. Dia harus tertidur lagi barang sebentar. Demi kebaikan pikiran serta bayinya yang kelelahan di dalam perut, Reina harus mengistirahatkan diri.Reina membaringkan tubuh, tetapi sudut matanya menangkap hasil rajutan yang berada di atas meja
Makan siang kali itu benar-benar menjatuhkan suasana hati Reina hingga ke dasar bumi sekaligus. Tetap saja, meski pada mulanya Alex sudah berbaik hati untuk mengajaknya makan bersama, pada akhirnya yang tampak menikmati sesi tersebut ialah Alex dan Evelynn. Keduanya berbicara seakan tidak ada hari esok. Bahkan yang membuat Reina ingin membanting piring, ketika suaminya menanyakan apa saja yang disukai oleh model cantik itu, begitu juga sebaliknya.Reina yang semula kelaparan, jadi tidak terlalu berminat untuk melahap bebek penyet yang menggugah selera itu. Terutama dengan sejumput pemandangan menyebalkan yang tersaji di hadapannya, Reina hanya mampu melahap sekadarnya demi sang anak yang berada di dalam perutnya.Saat Alex dan Evelynn telah menandaskan makanan masing-masing, keduanya langsung beranjak dan pamit begitu cepat. Reina menganga, tak membayangkan bahwa dia baru saja ditinggal—walaupun yang membayar tetap Alex. Rasanya luar biasa menjengkelkan. Bahkan Alex enggan menanyakan
"Egois?"Gilang memiringkan kepala, sedangkan wanita hamil di depannya itu mengangguk penuh kepastian. Selama beberapa detik, keduanya tak mengeluarkan suara sekecil apa pun. Hanya deru napas masing-masing yang bersahutan seolah melempar amarah melalui udara di sekitar mereka.Reina hendak menyuruh laki-laki itu untuk menyingkir, lantaran tak perlu membicarakan hal lain lagi. Akan tetapi, Gilang malah mendecih disertai seutas senyum yang mengundang kernyitan pada dahi Reina. "Oke!"Lagi-lagi, Reina dibuat tak paham. Bertanya pun sudah terlalu malas, jadi dia membiarkan Gilang bertingkah semau laki-laki itu saja. Terlebih, dia ingin sekali keluar untuk mencari udara segar."Sepertinya semua sudah jelas." Gilang manggut-manggut tanpa diketahui apa penyebabnya. "Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Reina? Rasanya lega sekali setelah tau keadaan kamu baik-baik saja. Dan ... perasaanmu masih baik-baik saja."Reina memicingkan mata. "Perasaanku baik-baik saja? Apa maksudnya?"Gilang menggelen