Seperti janjinya kalau Daniel akan membawa Frisca ke klinik untuk mengecek dan selalu memantau kondisinya dan juga janinnya. Merek berdua kini berada di sebuah klinik khusus ibu hamil dan anak kecil milik salah satu teman Mamanya Frisca. Daniel mencarikan dokter terbaik dan benar-benar ia percaya untuk memantau kondisi Frisca. "Jadi bagaimana kondisi istri saya dan janinnya, Tan?" tanya Daniel pada dokter perempuan yang kini mendekatinya. "Tidak ada masalah, Niel. Semuanya sehat, mungkin kalau mual-mual, pusing, dan lemas di awal kehamilan itu sudah hal yang wajar, untuk yang lainnya pada Frisca tidak ada masalah," jelas dokter itu dengan begitu melegakan hati Daniel. "Syukurlah, aku bisa sedikit bernapas," ujar Frisca tiba-tiba. "Bernapas? Memangnya kenapa, Frisca?" tanya Dokter Sasha seraya tersenyum manis. Frisca cemberut. "Tante tidak tahu sih... Suamiku itu sangat Posesif, seram sekali pokoknya," jawab Frisca. Sementara Daniel yang mendengarnya pun hanya tersenyum. "Aku Po
Pagi ini Frisca bersiap pergi ke kampus. Suaminya masih tidur pun Frisca biarkan saja, tidak biasanya juga Daniel bangun lambat dari pada dirinya, atau mungkin Frisca saja yang kini menjadi sangat rajin. Gadis itu baru saja bersiap, ia menatap Daniel yang terlihat begitu lelah. Frisca pun mendekatinya dan mengusap kening Daniel dengan lembut. 'Dia pasti lelah, sudah mengurusku, mengurus kantor, belum lagi di kampus, dan banyak lagi. Kak Daniel sangat hebat, aku sebagai pendampingnya kenapa tidak bisa mengimbangi sifatnya yang sangat tangguh seperti ini,' batin Frisca sedikit kecewa pada dirinya sendiri. "Kak Daniel," panggil Frisca pelan, ia mengusap pipi Daniel dan mengecupnya. "Kak, bangun sebentar saja. Kak Daniel ke kampus atau tidak?" "Tidak Sayang, aku lelah sekali. Kau juga jangan ke kampus, ayo tidur saja," ajak Daniel malah menarik lengan Frisca ke dalam pelukannya. Kedua mata Frisca sontak melebar dengan tingkah Daniel yang kini malah berubah menjadi sangat manja padany
54. Frisca tidak berani keluar dari dalam kamar, ia tetap mengurung dirinya bahkan saat ia tahu Mama mertuanya di sana. Gadis itu kesal, pasalnya Silvia yang awalnya berkata langsung pulang ternyata wanita itu tiba-tiba memilih untuk. Mungkin dulu Friska sangat takut kepada Silvia, tapi tidak lagi dengan saat ini ia bahkan berani membantah dan melawannya. "Kak Daniel, kenapa Mama malah menginap di sini? Kalau dia menyakitiku bagaimana?" tanya Frisca seraya memeluk Daniel dari belakang, laki-laki itu diam berdiri menatap cermin di dalam kamar mandi. "Tidak akan Sayang, Mama tidak akan melakukan itu. Karena aku ada di rumah dan aku selalu menjagamu, maka kau akan aman bersamaku," jawab Daniel kini mencukur bulu di dagunya dengan sangat rapi. Frisca mana pernah percaya semudah itu dengan apa yang Daniel ucapkan. Ia dia memperhatikan wajah Daniel dari cermin, gadis itu tiba-tiba keluar dari dalam kamar mandi dan membanting pintunya dengan keras. Kali ini ia memang ingin membuktikan
"Halo Dante, apa kau hari ini sibuk? Kalau tidak aku titip Frisca padamu ya, tolong jemput dia dan ajak ke rumah Mama. Aku ada meeting mendadak hari ini." Daniel mengapit benda pipih berwarna hitam di pipi kiri dan telinganya. Laki-laki itu mondar-mandir menata sarapan untuk Frisca, padahal ia sudah siap dengan pakaian kerjanya. "Oke, sepuluh menit lagi aku sampai ke sana!" seru Dante di balik panggilan yang tengah berlangsung. Baiklah, thank you," ucap Daniel. Panggilan itu langsung terputus dan Daniel meletakkan ponselnya di atas meja makan. Laki-laki itu menoleh ke belakang dan ia melihat istrinya yang baru saja turun dari lantai dua, Frisca yang belum mandi dan masih memakai piyama merah mudanya. "Pagi," sapa gadis itu mendekati Daniel dan memeluknya dari belakang. "Mau ke mana kok sudah rapi aja?" "Hari ini aku ada meeting, aku akan berangkat pukul setengah tujuh. Sebentar lagi cantik akan menjemputmu, tapi kau harus sarapan dulu, Sayangku." Daniel mengecup singkat bibir Fr
Dari pagi Daniel pergi hingga kini sudah malam pun laki-laki itu belum pulang. Seperti biasa kalau Frisca menunggu suaminya di depan rumah sambil memeluk boneka Unicorn miliknya. Bahkan gadis itu sampai menangis sesenggukan karena ia mual saat makan, tidak bisa tidur, dan Frisca juga sangat benci saat melihat wajah Dante. "Sayang ayo masuk, ini sudah malam, nak," bujuk Tarisa pada putrinya. "Tidak mau! Frisca mau nunggu Kak Daniel!" seru gadis itu menyeka air matanya. Tarisa baru saja melangkah keluar, tanpa sengaja kakinya menginjak beling dan ternyata pecahan ponsel. Putrinya itu membanting ponselnya lagi dan lagi. Satu hal yang membuat Frisca teramat kesal pada Daniel, suaminya berpamitan kalau pergi meeting bersama dengan Papanya, namun ternyata tidak. Johan di rumah, hal ini yang membuat Frisca merasa dibohongi. "Frisca...." Suara Johan membuat tangisan gadis itu terhenti. Namun Frisca menundukkan kepalanya dan menggeleng. Laki-laki itu mendekatinya dan menutup punggung F
'Kak Daniel jahat banget sih, kenapa terus pura-pura kuat. Aku tahu kalau kamu pasti capek.' Frisca memaki dirinya sendiri yang kesal, Bisa-bisanya ia sangat manja dan seolah menyiksa suaminya meminta ini dan itu dan akan menangis kalau tidak dituruti, sedangkan Daniel selalu bersikap baik-baik saja dan selalu menurutinya. Gadis itu kini meringkuk di atas ranjang menatap wajah suaminya yang rengah tertidur dengan lelap. Sekedar menyentuh wajah Daniel seperti biasa membuat Frisca sedikit takut."Kak Daniel, maaf...." Frisca memejamkan kedua matanya dan tertunduk sebelum ia merasakan pinggangnya direngkuh hangat dan pekukan hangat. "Sayang," bisik Daniel mengecup pelipis Frisca. "Kenapa pagi-pagi sudah menangis terus, hem?" tanya Daniel terbangun. "Kak Daniel capek kan?" tanya Frisca mengusap rahang Daniel dan telapak tangannya berhenti di pelipis laki-laki itu. "Frisca tidak pernah dengar Kak Daniel ngeluh, kenapa? Kalau capek bilang aja, tidak papa kok." Daniel tersenyum tipis, s
Frisca diam berdiri di balik pintu ruangan kerja suaminya. Di dalam sana nampak Daniel yang tengah bertelepon dengan seseorang dan marah-marah. Frisca tahu, sepertinya yang Daniel hubungi saat ini adalah Papanya. Nampak suaminya itu sangat kesal hingga Frisca menjadi takut sendiri melihat Daniel marah-marah. "Terserah kalian! Lagi pula aku juga sudah bersumpah tidak akan ikut campur urusan kalian!" teriak Daniel pada panggilan itu. Daniel kini mengepalkan tangannya dan memukulkan pada meja kada di depannya hingga pecah. Frisca yang masih mengintip pun terkaget. Gadis itu masih tidak pergi atau menunjukkan dirinya dari sang suami. "Jelas-jelas, sebaik apapun dia kalau berselingkuh jangan pernah diberi ruang Ma! Mau sampai kapan?! Mau sampai kapan dia menunjukkan wajah malaikatnya, kalau dia selingkuh dan sekarang dia membawa anaknya tinggal bersama Mama! Anak itu anak selingkuhan Papa, Ma! Wanita itu masih hidup! Kenapa Mama bisa memaafkan Papa sebegitu mudahnya hah?!" Teriakan D
Daniel diam memperhatikan istrinya yang tengah sibuk menemani adik tirinya. Di sana Daniel melihat sifat Frisca yang keibuan pada Miko, bocah laki-laki yang biasanya sangat sulit berinteraksi dengan orang lain, tapi entah ia sangat lengket pada Frisca. "Sepertinya Miko sangat menyukai Frisca, tidak biasanya dia dekat dengan siapapun," ujar Silvia yang gini berjalan membawa camilan mendekati Daniel. Putranya itu menoleh dan tersenyum menganggukkan kepalanya. "Iya mah, Frisca biasanya juga tidak terlalu dekat dengan anak kecil. Dia saja tinggalnya malah seperti anak kecil." Silvia meresponnya dengan senyuman saja, wanita itu diam di samping Daniel dan tetap memperhatikan menantu dan juga putra dirinya yang kini tengah bermain di taman. Sedangkan Daniel, ia membayangkan kalau suatu hari nanti anaknya sudah lahir di dunia, pasti bagai seperti melihat Frisca dan Miko saat ini."Jangan lari-larian, Miko!" pekik Daniel pada Miko. Tidak mau terjadi hal-hal yang buruk, dan langsung menuru
Keesokan harinya.Justin ternyata datang ke rumah Celia lagi, bahkan sangat pagi-pagi sekali laki-laki itu menjemput Celia. Dia mengajak gadis cantiknya pergi ke suatu tempat, memaksanya dengan sabar karena tahu suasana hati Celia yang sangat buruk pagi ini. "Kau mau mengajakku pergi ke mana, Justin?" tanya Celia dengan wajah malas, dia menatap ke arah luar jendela mobil hitam milik laki-laki itu. "Ke suatu tempat." Justin tersenyum tipis. "Kenapa manyun saja, hem? Ada masalah?" tanya Justin mengusap pucuk kepala Celia. Gadis itu mengangguk. "Kenapa kau masih bisa sesantai ini setelah semalam Papaku mengatakan hal buruk tentang kita, kenapa?" Kening Justin mengerut, laki-laki itu tidak menjawab dan ia sendiri juga tidak tahu apa yang sebenarnya Celia maksud saat ini. Sampai beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah tempat. Kedua mata Celia melebar dan angin pagi yang semilir menyapanya dengan sangat lembut. Tidak terlalu menikmati perjalanan, tapi tiba-tiba mereka sudah
"Bagaimana? Sudah bertemu dengan Justin?!" Miko tersenyum menatap adiknya yang memasang tampang kesal. Di samping Celia ada Justin yang tersenyum kepadanya. "Kalian ini niat sekali membuatku kesal, aku sampai seharian nangis," seru Celia, ia menendang kaki Miko yang duduk di sampingnya. Daniel dan Frisca tersenyum tipis. Mereka tidak bepergian jauh, mereka hanya sedang berkunjung ke vila baru yang dibeli Miko beberapa Minggu yang lalu. Sengaja juga mengerjai Celia. Daniel menghela napasnya pelan, laki-laki itu menatap pemuda tampan yang duduk di samping Celia. "Kau tidak kembali lagi ke London, Justin?" tanya Daniel menatap pemuda itu. "Tidak Om, saya mungkin akan ke sana nanti, bersama Celia." Justin menjawabnya seraya menatap Celia. Gadis cantik itu jelas saja langsung berseri-seri dan mengangguk antusias. "Halah, giliran begitu aja antusias banget!" Miko menarik pipi Celia dengan kuat hingga sang empu memekik melebarkan kedua matanya. Sontak, Justin langsung menepis tangan
Satu Minggu berlalu..."Mami dan Papi akan pergi dengan Kakak juga, Celia di rumah saja ya," bujuk Frisca pada putrinya. Gadis cantik yang baru bangun tidur itu langsung mengerjapkan kedua matanya. Tidak biasanya sang Mama akan meninggalkannya begini. Celia pun langsung cemberut saat itu juga. "Kenapa sih Mi? Memangnya Mami sama Papi mau ke mana? Seenggaknya itu jangan ajak Kakak dong, Celia kan tidak mau sendirian!" Gadis itu memprotes, seperti biasa kalau Celia sangat amat takut sendirian. "Manja banget sih jadi bocah, malu sama umur!" sinis Miko menyahuti. Ekor mata Celia melirik sang Kakak, pria tampan itu nampak membawa sebuah koper hitam miliknya dan berpenampilan sangat rapi dan berkelas, seperti biasa. Wajah Celia langsung menunjukkan ekspresi bingung. "Mau ke mana sih? Kok bawa koper besar segala?! Kenapa tidak kemarin-kemarin bilang ke Celia, sih Mi?!" amuk Celia pada Maminya. "Kita mau ke Italia, kenapa?" Miko pun ikut menyahuti. Saat itu juga Celia berdecak kesal,
"Adikmu murung sekali, Miko. Kenapa Celi?" Daniel memperhatikan putrinya yang tampak sedih, gadis itu juga tidak mau bergabung bersama Mama dan Papanya seperti biasa. Celia diam di lantai dua, di depan jendela di samping sebuah pohon natal besar dan perapian. Pertanyaan sang Papa membuat Miko mendengkus pelan. "Galau dia Pi, ditinggal Justin." "Ohhh, Justin kan pulang ke London, tidak papa lah... Orang ke rumah keluarganya," jawab Daniel dengan santai. "Loh, dia asli orang Britania ya?" sahut Frisca seraya membantu Miko membungkus banyak hadiah. Daniel mengangguk. "Dari kabar yang aku dengar sih begitu. Tapi dia adalah anak muda yang sangat mandiri, bahkan dia mengembangkan perusahaannya tanpa mengeluh sedikitpun." Mendengar hal itu membuat Miko mengangguk, sejujurnya ia tidak membenci sosok Justin, juga tidak menganggap sebagai saingannya apalagi tidak menyukainya karena mendekati Celia, tapi bagi Miko ia takut kalau Justin yang sudah tahu tentang dunia luar akan menyakiti C
Celia duduk diam menunduk kepalanya di bangku panjang di dalam bandara. Gadis cantik itu meletakkan tangannya di dada dan menggenggam kalung yang tadi Justin pakaikan padanya. Ponsel Celia berdering dan ternyata panggilan dari Papanya. Namun Celia enggan menjawab, pasti mereka hanya bertanya dia di mana, setelah itu mereka mengatakan mereka akan pergi dan Celia sendirian lagi. "Mereka pasti cuma mau pamit pergi saja," gumam Celia kembali mendongakkan kepalanya menatap sekitar. Beberapa orang berlalu-lalang di depannya dan tidak seramai tadi.Namun pintu kaca di depan sana tiba-tiba terbuka, nampak Ludwick berlari ke arahnya dan menatap wajah Celia dengan lekat. "Cel, duh... Aku kira pulang sendiri," ujar laki-laki itu seraya merapatkan mantel hangatnya. Kening Celia mengerut dan ia menatapnya lesu. "Justin pergi ke London, mendadak pula," ucap Celia. "Udah, nggak usah dipikirin! Ayo pulang, salju turun tebal di luar Cel, ayo!" Ludwick menarik pelan lengan Celia. Mereka berdua
Dia minggu berlalu dengan cepat. Celia menjalani harinya seperti biasa dan gadis itu kini sedikit menjaga jarak dengan sang Kakak, lebih tepatnya saat mereka bertengkar beberapa waktu yang lalu. Hari ini di rumah Celia kedatangan tamu penting, Miko akan bertunangan dalam waktu dekat ini. Kakak laki-laki Celia itu mudah sekali mendapatkan seorang pasangan. Calon istrinya pun sangat cantik, tapi secantik apapun dia Celia yang marah pada Miko, ia ikut malas pula pada Kakak iparnya. "Celia, tidak mau kenalan sama Kak Arzela?" tanya Frisca saat melihat putrinya berjalan menuruni anak tangga. Celia diam, di sana Miko menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan."Tapi Mi, Celi buru-buru dan-""Sapa sebentar, apa susahnya sih, Cel!" Miko menatap sinis pada sang adik. Celia merotasikan kedua matanya, ia langsung mendekati calon Kakak iparnya dan gadis itu langsung mengulurkan tangannya dengan sopan. Arzela pun hanya tersenyum manis. "Celia cantik sekali," ucap Arzela. "Iya Kak, kayak
Setelah beberapa hari yang lalu Celia bertengkar dengan Kakaknya, Celia menjadi sangat tertutup. Bahkan dia tidak mau bicara dengan Miko sedikitpun. Miko mencemaskan akan diamnya sang adik yang tidak biasa. Dia terus kepikiran tentang Celia setiap kali. "Pagi Mi, Pi," sapa Miko pada Mama dan Papanya saat ia baru saja menuruni anak tangga menuju ruang makan. "Hem, pagi juga Sayang. Adik mana?" tanya Frisca pada si sulung. Miko langsung menoleh ke arah sampingnya di mana meja nampak kosong dan ternyata Celia belum juga ke sana. "Loh, aku pikir Celi sudah duluan," jawab Miko menghela napasnya pelan. "Belum. Sudah beberapa hari ini dia sepertinya tidak mood pada apapun, kenapa ya?" Frisca menatap suami dan anaknya dengan tatapan bingung. "Mungkin ada masalah sendiri, maklum anak gadis," sahut Daniel. "Tapi Sayang, aku merasa tidak biasanya dia seperti ini. Makanya aneh saja kalau Celia tiba-tiba murung." Miko menyadari satu hal yang benar-benar membuat Celia berubah bukan hanya p
"Thanks udah jagain Celia, sorry juga kalau adikku merepotkanmu," ucap Miko pada Justin. Justin hanya tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya saja. "Santai aja, Celia gadis yang patuh denganku," balas Justin. Mendengar kata patuh yang Justin katakan membuat Miko merasa hal aneh dan sedikit khawatir kalau Justin menyukai Celia. Bukannya tidak boleh, tapi Miko sangat takut kalau adiknya akan terjerumus dalam pergaulan laki-laki di depannya ini. "Sudah ayo pulang, Mami dan Papi sudah menunggu kita di rumah," ajak Miko pada Celia. "Tunggu sebentar Kak, aku harus pamit ke Justin dulu," ucap Celia memegangi lengan dengan sang Kakak. Celia menatap Justin dengan tatapan yang sangat hangat sebelum akhirnya gadis itu menunduk dan tersenyum kembali menatapnya. Sedangkan Justin hanya menyunggingkan senyum dan ia cukup paham bagaimana cara seorang Celia menunjukkan sikap polosnya. "Justin, aku pulang dulu ya aku mah terima kasih sudah menjaga aku. Emm... Kalau kau merasa bosan
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, Celia masih berada di apartemen milik Justin dan di sana ada Ludwick juga yang terkejut dengan kehadiran gadis yang pernah ia jumpai di club malam beberapa waktu yang lalu. Namun Ludwick tidak mengatakan apapun, dia tetap diam bersama dengan Justin saja. "Heh, Justin... Dia gadis yang waktu itu, kan?!" pekik Ludwick menyenggol lengan Justin. Dan sahabatnya itu menoleh ke arah Celia yang nampak sedih. "Heem, dia putri Pak Daniel. Rekan kerjaku," jawab Justin. Ludwick langsung menelan saliva. "Gila aja, bisa-bisanya langsung dekat," seru laki-laki itu melirik Justin dan mengembuskan napasnya pelan.Justin terkekeh, ia pun berjalan mendekati Celia yang tengah sedih duduk di sofa di depan kamar Justin. Sesekali gadis itu menatap was-was pada Ludwick yang memperhatikannya. Saat Justin mendekat, Celia langsung menarik lengan laki-laki itu dimintanya untuk mendekat. "Justin... Temanmu itu kenspa melihat aku aneh, aku takut," ujar Celia jujur. Just