Setelah Frisca mengenal lebih dekat sosok suaminya, laki-laki yang dulu selalu ia kesali kemunculannya, tapi semenjak menjadi suaminya, Frisca selalu bersyukur atas apapun tentang Daniel. Bahkan saat ini, Frisca menatap Daniel yang nampak terlelap dengan sangat tenang. Frisca tersenyum tipis menatap dalam-dalam wajah Daniel. ingatannya mengantarkan Frisca pada masa-masa lalu."Tahu kalau menjadi istrimu akan bahagia dan sebangga ini, dulu aku tidak akan pernah menolakmu," cetus Frisca penuh rasa bangga. Jemarinya setia mengusap-usap rambut tebal milik Daniel. Siapa tahu sosok ini yang membuat Frisca merasakan kebahagiaan tiada dua, keadilan dan cinta yang benar-benar nyata. Frisca menyunggingkan senyumnya. "Kak Daniel, kau kadang juga menyebalkan. Aku pernah menolakmu dua kali, kau malah mengatakan cintamu lagi padaku di depan Dante. Memuakkan sekali kalau aku mengingatnya." Tanpa disadarinya kalau ia tidak mengoceh dengan sendirinya. Semua cerocosan Frisca mampu Daniel dengar, la
"Kau ke mana saja Niel, kenapa jarang muncul beberapa hari ini?!" Pertanyaan itu keluar dari bibir Sarah saat ia melihat Daniel pertama kali datang ke kampus untuk satu minggu ini. "Ada urusan penting, dan cukup privasi hingga membuat semua orang tidak tahu," jawab laki-laki itu dengan menyebalkan.Sarah mendengkus pelan dan wanita itu menatap Daniel dengan tatapan tidak suka. Berarti lagi semenjak Daniel menikah dengan Frisca, teman laki-lakinya itu menjadi sangat dingin dan sering mengabaikannya. Sekedar membahas pesannya pun kadang menunggu berhari-hari, bahkan kadang juga tidak sama sekali. "Ke mana gadismu itu? Beberapa hari ini aku tidak pernah melihatnya?" tanya Sarah. "Siapa yang kau maksud?" tanya Daniel balik. "Siapa lagi kalau bukan Frisca, sebenarnya terjadi hal-hal yang tidak baik padanya ya? Sampai dia tidak datang ke kampus." Daniel hanya diam, laki-laki itu meraih mantel hitam miliknya dan berjalan menuju ke arah pintu sebelum langkahnya dicegat oleh Sarah.Wani
Usai makan malam, Daniel langsung mengurung dirinya di dalam ruangan kerja. Sedangkan ia meminta pada istrinya untuk istirahat di dalam kamar dan tidak boleh ke mana. Jenuh sekali Frisca dengan permintaan Daniel saat ini. Sikap posesif yang tidak pernah berubah dan berkurang, banyak aturan-aturan baru yang ia berikan pada sang istri. "Kalau dia enak di dalam ruangan kerja, ada yang dia kerjakan dan bisa fokus. Kalau aku di dalam kamar seperti ini harusnya apa?" Frisca melempar boneka Unicorn miripnya ke lantai. "Kenapa sifat posesifnya tidak pernah bisa hilang, tentu saja aku menginginkan dia yang perhatian tapi bukan berarti seperti ini," keluh Frisca menggelengkan kepalanya pelan. Frisca berjalan mendekati pintu, ia perlahan-lahan mengeluarkan tangannya dan memutar knop pintu. Kedua matanya terpejam berharap pintu itu terbuka tanpa suara. Usahanya berhasil, pintu terbuka dan tidak menimbulkan suara sedikitpun. Gadis itu melangkah keluar dari dalam kamar dan menuruni anak tangga
"Sementara aku titipkan Frisca padamu dulu, aku tidak tahu dia kenapa." Daniel menundukkan kepalanya. Geram alasan yang Daniel katakan, Dante langsung menarik krah kemeja yang adik iparnya itu pakai dengan kuat dan matanya menghujam marah. Dante bukan dirinya lagi saat sedang marah dalam keadaan seperti ini. "Adikku tidak akan marah kalau kau tidak melakukan hal aneh-aneh, sialan!" umpat Date pada Daniel. "Tapi aku tidak melakukan apapun! Semalam dia marah tidak jelas padaku, tiba-tiba dia mengunci pintu dan menangis! Dia...." "Harusnya sebagai laki-laki kau harus pintar mencari di mana salahmu, bukannya malah menyalahkan adikku." Dante menyentak kasar krah kemeja yang Daniel pakai dan napasnya naik turun. Sebagai seorang Kakak ia akan marah kalau adiknya menangis meminta padanya untuk menjemputnya. Setibanya Dante di rumah Daniel, ia mendengar Daniel membentak Frisca. Dante tersenyum menyeringai dan ia mengusap wajahnya frustrasi. "Asal kau tahu Niel, aku lebih mengenal Fris
"Daniel, kenapa terburu-buru? Frisca mana?" Pertanyaan itu terlontar dari bibir Tarisa, wanita itu malah menanyakan di mana Frisca saat ini berada, padahal Daniel datang untuk menjemputnya."Loh, memangnya Frisca tidak di sini, Ma?" tanya Daniel melebarkan kedua matanya. "Tidak, makanya Mama bertanya, kenapa kamu ke sini sendirian?" tanya wanita itu menatap di samping Daniel dan masih mencari-cari. "Kemarin siang Dante yang menjemput Frisca, Ma. Aku pikir dia mengantarkan Frisca ke sini," jelas Daniel semakin pusing. Tarisa menggelengkan kepalanya dan wanita itu terlihat sangat cemas. Hingga dari belakang kiri nampak Johan yang muncul dan laki-laki itu mendekati Daniel bersama istrinya. Wajah panik dua orang di depannya membuat Johan bertanya-tanya, terlebih lagi kalau Daniel, menantunya itu sudah cemas pasti ada hubungannya dengan Frisca. "Ada apa ini? Kenapa kalian terlihat sangat cemas?" tanya Johan menatap mereka berdua bergantian. "Frisca Pa! Dia dibawa entah ke mana sama
Frisca diam bersama dengan Camelia di dalam kamar sang Kakak. Gadis itu kesal hanya dengan melihat wajah suaminya yang tiba-tiba saja muncul menjemputnya pulang. Camelia berjuang mati-matian membujuk rayu Frisca untuk tidak lagi sedih dan berpikiran yang aneh-aneh setelah tahu adik iparnya kini tengah hamil muda. "Frisca, jangan sedih-sedih terus. Jangan mikirin hal yang aneh-aneh ya," bujuk Camelia mengusap punggung Frisca dengan lembut. "Frisca nggak suka kalau Kal Dante kasar sama Kakak. Mau sampai kapan sih Kak, kita ini para perempuan disakiti terus?" Frisca memeluk Camelia dengan erat. Usapan Camelia pun terhenti, mungkin ia juga sadar dan menyadari dengan apa yang Frisc katakan saat ini. "Tapi Kakak sudah terbiasa dan hafal dengan sikap dan sifat Kakakmu, jangan khawatir," bisik Camelia membujuk Frisca lagi dan lagi. Frisca enggan mendengarkan Camelia, ia masih sedih dan menggeleng-gelengkan kepalanya terus. Hingha tiba-tiba saja pintu kamar Dante terbuka. Di sana nampa
Frisca tidak mau dilarang-larang lagi tentang apapun yang dia inginkan, sedangkan Daniel selalu merasa cemas tiap kali Frisca melakukan banyak hal. Bahkan kali ini ia harus berpura-pura bekerja dan fokus pada laptopnya meskip Daniel yang duduk di sofa hanya diam memperhatikan istrinya yang sedang memasak di dapur. "Setelah memasak itu, jangan melakukan apapun!" seru Daniel bersuara. Frisca menoleh, ia menatap suaminya dan menggeleng. "Memangnya kenapa? Kuenya belum selesai. Bibi janji mau mengajarin Frisca, tapi..." "Kalau aku bilang sudah ya sudah, Sayang. Jangan membantah!" tegas Daniel lagi. Frisca mencebikkan bibirnya, semakin hari suaminya memang sangat menyebalkan dan semaunya sendiri. Gadis itu menyudahinya seketika, ia sendiri sadar kalau Daniel juga tidak sepenuhnya bekerja. Laki-laki itu hanya sibuk mengawasinya saja. "Kak Daniel... Kak Daniel sejak tadi ngerjain apa?!" sinis Frisca menyipitkan kedua matanya memperhatikan suaminya. "Ya kerja seperti biasa. Kenapa? J
"Ibu hamil nggak boleh banyak tingkah!"Seruan itu meluncur dari bibir Dante. Laki-laki itu pagi ini sudah menjaga Frisca di apartemennya, di sana juga ada Daniel yang heboh pagi-pagi datang ke tempat Dante. Sedangkan Frisca yang kesal setengah mati dengan suaminya, ia pun hanya pasrah dan diam-diam saja menyangkut ini semua yang Daniel inginkan. "Harusnya kalau kalian ini ingin bertemu, bisa nggak sih tinggal ketemu saja jangan ajak-ajak Frisca, Kak Daniel nih!" pekik Frisca menatap kesal pada suaminya. "Sudahlah sayang, diam saja duduk di sana. Pekerjaanku biar cepet selesai," ujar Daniel masih menunjukkan senyuman hangat pada Frisca, istrinya yang paling rewel namun tetap ia sayangi. "Iya, iya!" Frisca cemberut mendengar apa yang Daniel katakan. Gadis itu turun dari atas sofa, tatapan Daniel tidak lepas dari semua gerak dan gerik Frisca. Bahkan saat gadis itu melangkahkan kakinya menuju ke dapur pun Daniel tetap menatapnya hingga mengabaikan Dante yang mengoceh menjelaskan ba
Keesokan harinya.Justin ternyata datang ke rumah Celia lagi, bahkan sangat pagi-pagi sekali laki-laki itu menjemput Celia. Dia mengajak gadis cantiknya pergi ke suatu tempat, memaksanya dengan sabar karena tahu suasana hati Celia yang sangat buruk pagi ini. "Kau mau mengajakku pergi ke mana, Justin?" tanya Celia dengan wajah malas, dia menatap ke arah luar jendela mobil hitam milik laki-laki itu. "Ke suatu tempat." Justin tersenyum tipis. "Kenapa manyun saja, hem? Ada masalah?" tanya Justin mengusap pucuk kepala Celia. Gadis itu mengangguk. "Kenapa kau masih bisa sesantai ini setelah semalam Papaku mengatakan hal buruk tentang kita, kenapa?" Kening Justin mengerut, laki-laki itu tidak menjawab dan ia sendiri juga tidak tahu apa yang sebenarnya Celia maksud saat ini. Sampai beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah tempat. Kedua mata Celia melebar dan angin pagi yang semilir menyapanya dengan sangat lembut. Tidak terlalu menikmati perjalanan, tapi tiba-tiba mereka sudah
"Bagaimana? Sudah bertemu dengan Justin?!" Miko tersenyum menatap adiknya yang memasang tampang kesal. Di samping Celia ada Justin yang tersenyum kepadanya. "Kalian ini niat sekali membuatku kesal, aku sampai seharian nangis," seru Celia, ia menendang kaki Miko yang duduk di sampingnya. Daniel dan Frisca tersenyum tipis. Mereka tidak bepergian jauh, mereka hanya sedang berkunjung ke vila baru yang dibeli Miko beberapa Minggu yang lalu. Sengaja juga mengerjai Celia. Daniel menghela napasnya pelan, laki-laki itu menatap pemuda tampan yang duduk di samping Celia. "Kau tidak kembali lagi ke London, Justin?" tanya Daniel menatap pemuda itu. "Tidak Om, saya mungkin akan ke sana nanti, bersama Celia." Justin menjawabnya seraya menatap Celia. Gadis cantik itu jelas saja langsung berseri-seri dan mengangguk antusias. "Halah, giliran begitu aja antusias banget!" Miko menarik pipi Celia dengan kuat hingga sang empu memekik melebarkan kedua matanya. Sontak, Justin langsung menepis tangan
Satu Minggu berlalu..."Mami dan Papi akan pergi dengan Kakak juga, Celia di rumah saja ya," bujuk Frisca pada putrinya. Gadis cantik yang baru bangun tidur itu langsung mengerjapkan kedua matanya. Tidak biasanya sang Mama akan meninggalkannya begini. Celia pun langsung cemberut saat itu juga. "Kenapa sih Mi? Memangnya Mami sama Papi mau ke mana? Seenggaknya itu jangan ajak Kakak dong, Celia kan tidak mau sendirian!" Gadis itu memprotes, seperti biasa kalau Celia sangat amat takut sendirian. "Manja banget sih jadi bocah, malu sama umur!" sinis Miko menyahuti. Ekor mata Celia melirik sang Kakak, pria tampan itu nampak membawa sebuah koper hitam miliknya dan berpenampilan sangat rapi dan berkelas, seperti biasa. Wajah Celia langsung menunjukkan ekspresi bingung. "Mau ke mana sih? Kok bawa koper besar segala?! Kenapa tidak kemarin-kemarin bilang ke Celia, sih Mi?!" amuk Celia pada Maminya. "Kita mau ke Italia, kenapa?" Miko pun ikut menyahuti. Saat itu juga Celia berdecak kesal,
"Adikmu murung sekali, Miko. Kenapa Celi?" Daniel memperhatikan putrinya yang tampak sedih, gadis itu juga tidak mau bergabung bersama Mama dan Papanya seperti biasa. Celia diam di lantai dua, di depan jendela di samping sebuah pohon natal besar dan perapian. Pertanyaan sang Papa membuat Miko mendengkus pelan. "Galau dia Pi, ditinggal Justin." "Ohhh, Justin kan pulang ke London, tidak papa lah... Orang ke rumah keluarganya," jawab Daniel dengan santai. "Loh, dia asli orang Britania ya?" sahut Frisca seraya membantu Miko membungkus banyak hadiah. Daniel mengangguk. "Dari kabar yang aku dengar sih begitu. Tapi dia adalah anak muda yang sangat mandiri, bahkan dia mengembangkan perusahaannya tanpa mengeluh sedikitpun." Mendengar hal itu membuat Miko mengangguk, sejujurnya ia tidak membenci sosok Justin, juga tidak menganggap sebagai saingannya apalagi tidak menyukainya karena mendekati Celia, tapi bagi Miko ia takut kalau Justin yang sudah tahu tentang dunia luar akan menyakiti C
Celia duduk diam menunduk kepalanya di bangku panjang di dalam bandara. Gadis cantik itu meletakkan tangannya di dada dan menggenggam kalung yang tadi Justin pakaikan padanya. Ponsel Celia berdering dan ternyata panggilan dari Papanya. Namun Celia enggan menjawab, pasti mereka hanya bertanya dia di mana, setelah itu mereka mengatakan mereka akan pergi dan Celia sendirian lagi. "Mereka pasti cuma mau pamit pergi saja," gumam Celia kembali mendongakkan kepalanya menatap sekitar. Beberapa orang berlalu-lalang di depannya dan tidak seramai tadi.Namun pintu kaca di depan sana tiba-tiba terbuka, nampak Ludwick berlari ke arahnya dan menatap wajah Celia dengan lekat. "Cel, duh... Aku kira pulang sendiri," ujar laki-laki itu seraya merapatkan mantel hangatnya. Kening Celia mengerut dan ia menatapnya lesu. "Justin pergi ke London, mendadak pula," ucap Celia. "Udah, nggak usah dipikirin! Ayo pulang, salju turun tebal di luar Cel, ayo!" Ludwick menarik pelan lengan Celia. Mereka berdua
Dia minggu berlalu dengan cepat. Celia menjalani harinya seperti biasa dan gadis itu kini sedikit menjaga jarak dengan sang Kakak, lebih tepatnya saat mereka bertengkar beberapa waktu yang lalu. Hari ini di rumah Celia kedatangan tamu penting, Miko akan bertunangan dalam waktu dekat ini. Kakak laki-laki Celia itu mudah sekali mendapatkan seorang pasangan. Calon istrinya pun sangat cantik, tapi secantik apapun dia Celia yang marah pada Miko, ia ikut malas pula pada Kakak iparnya. "Celia, tidak mau kenalan sama Kak Arzela?" tanya Frisca saat melihat putrinya berjalan menuruni anak tangga. Celia diam, di sana Miko menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan."Tapi Mi, Celi buru-buru dan-""Sapa sebentar, apa susahnya sih, Cel!" Miko menatap sinis pada sang adik. Celia merotasikan kedua matanya, ia langsung mendekati calon Kakak iparnya dan gadis itu langsung mengulurkan tangannya dengan sopan. Arzela pun hanya tersenyum manis. "Celia cantik sekali," ucap Arzela. "Iya Kak, kayak
Setelah beberapa hari yang lalu Celia bertengkar dengan Kakaknya, Celia menjadi sangat tertutup. Bahkan dia tidak mau bicara dengan Miko sedikitpun. Miko mencemaskan akan diamnya sang adik yang tidak biasa. Dia terus kepikiran tentang Celia setiap kali. "Pagi Mi, Pi," sapa Miko pada Mama dan Papanya saat ia baru saja menuruni anak tangga menuju ruang makan. "Hem, pagi juga Sayang. Adik mana?" tanya Frisca pada si sulung. Miko langsung menoleh ke arah sampingnya di mana meja nampak kosong dan ternyata Celia belum juga ke sana. "Loh, aku pikir Celi sudah duluan," jawab Miko menghela napasnya pelan. "Belum. Sudah beberapa hari ini dia sepertinya tidak mood pada apapun, kenapa ya?" Frisca menatap suami dan anaknya dengan tatapan bingung. "Mungkin ada masalah sendiri, maklum anak gadis," sahut Daniel. "Tapi Sayang, aku merasa tidak biasanya dia seperti ini. Makanya aneh saja kalau Celia tiba-tiba murung." Miko menyadari satu hal yang benar-benar membuat Celia berubah bukan hanya p
"Thanks udah jagain Celia, sorry juga kalau adikku merepotkanmu," ucap Miko pada Justin. Justin hanya tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya saja. "Santai aja, Celia gadis yang patuh denganku," balas Justin. Mendengar kata patuh yang Justin katakan membuat Miko merasa hal aneh dan sedikit khawatir kalau Justin menyukai Celia. Bukannya tidak boleh, tapi Miko sangat takut kalau adiknya akan terjerumus dalam pergaulan laki-laki di depannya ini. "Sudah ayo pulang, Mami dan Papi sudah menunggu kita di rumah," ajak Miko pada Celia. "Tunggu sebentar Kak, aku harus pamit ke Justin dulu," ucap Celia memegangi lengan dengan sang Kakak. Celia menatap Justin dengan tatapan yang sangat hangat sebelum akhirnya gadis itu menunduk dan tersenyum kembali menatapnya. Sedangkan Justin hanya menyunggingkan senyum dan ia cukup paham bagaimana cara seorang Celia menunjukkan sikap polosnya. "Justin, aku pulang dulu ya aku mah terima kasih sudah menjaga aku. Emm... Kalau kau merasa bosan
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, Celia masih berada di apartemen milik Justin dan di sana ada Ludwick juga yang terkejut dengan kehadiran gadis yang pernah ia jumpai di club malam beberapa waktu yang lalu. Namun Ludwick tidak mengatakan apapun, dia tetap diam bersama dengan Justin saja. "Heh, Justin... Dia gadis yang waktu itu, kan?!" pekik Ludwick menyenggol lengan Justin. Dan sahabatnya itu menoleh ke arah Celia yang nampak sedih. "Heem, dia putri Pak Daniel. Rekan kerjaku," jawab Justin. Ludwick langsung menelan saliva. "Gila aja, bisa-bisanya langsung dekat," seru laki-laki itu melirik Justin dan mengembuskan napasnya pelan.Justin terkekeh, ia pun berjalan mendekati Celia yang tengah sedih duduk di sofa di depan kamar Justin. Sesekali gadis itu menatap was-was pada Ludwick yang memperhatikannya. Saat Justin mendekat, Celia langsung menarik lengan laki-laki itu dimintanya untuk mendekat. "Justin... Temanmu itu kenspa melihat aku aneh, aku takut," ujar Celia jujur. Just