Seperti biasa, setiap pagi Frisca selalu saja kesulitan menyingkirkan lengan kekar suaminya yang melilit perutnya dengan sangat erat. Laki-laki itu menyembunyikan wajah tampannya di ceruk leher Frisca dengan lekat. "Masih pagi, Sayang. Tidur saja dan jangan ke mana-mana sampai aku bangun," bisik Daniel kian erat memeluknya. "Bisa nggak jangan kencang-kencang meluknya. Ini adik di dalam pasti tertekan!" pekik Frisca melirik suaminya. Seketika pelukan Daniel pun merenggang, laki-laki itu melepaskan rengkuhannya dan mengusap wajahnya sesekali ia menguap lebar. Sedangkan Frisca duduk di sampingnya seraya merapikan rambut panjangnya. "Hari ini saatnya ke dokter, jangan lupa. Setiap bulan harus terus dipantau supaya tahu kondisi kesehatanmu, Sayang," ujar Daniel mengusap pinggang Frisca dan beralih menyembunyikan wajahnya di perut rata sang istri. "Tapi aku kan tidak sakit, Niel. Tidak perlu," ujar Frisca menggelengkan kepalanya. "Patuh denganku. Aku ini suamimu, jangan bandel!" ser
"Waahh... Ternyata kantor Kak Daniel benar-benar besar. Mirip seperti punya Papa, tapi ini lebih bagus!" Frisca berdecak kagum melihat perusahaan milik Daniel. Padahal dulunya sering sekali Frisca datang ke tempat ini saat mengantarkan berkas milik Dante yang tertinggal, tapi siapa sangka kalau tempat ini adalah milik Daniel. Sementara Frisca kini berjalan tertinggal di belakang Daniel. Laki-laki itu tengah berbincang dengan salah satu orang-orangnya di dalam sana, Frisca masih berdiri di ambang pintu. Menatap banyak perubahan tentang kantor megah milik Daniel. "Emm... Maaf Pak Daniel, kalau boleh tahu dia kan Adiknya Pak Dante, bukan?" tanya salah satu karyawan Daniel menunjuk ke arah Frisca. Seketika Daniel membalikkan badannya menatap Frisca yang kini terlihat menatap seisi kantor itu. Daniel mengangguk pelan. "dia istriku." "Hah?!" pekik beberapa orang di sana yang sangat terkejut dengan pengakuan Daniel barusan. "I... Istri?!" pekik semua orang melebarkan kedua matanya. "
"Kalau kau sedang bersama Kakak, jangan galau-galau! Nanti yang ada Camelia menghajarku kalau dia tahu aku membuat galau!" Dante mengomeli Frisca seraya menata makanan di hadapan adiknya yang tengah sangat-sangat badmood. Gadis itu menatap makanan di hadapannya dengan tatapan tak selera. "Frisca sedih," ucap gadis itu murung. "Sedih terus. Kapan senengnya? Dengar Sayang, Kakak sekarang sudah menikah. Apapun yang kau rasakan pasti Kakak rasakan juga, hanya saja pernikahan Kakak tidak sebahagia pernikahanmu dengan Daniel. Kau tahu itu!" Frisca mengerutkan keningnya dan ia mulai mengambil sumpit di atas mangkuk ramen yang Dante belikan untuknya. Ia menatap Kakaknya dengan wajah lekat, Frisca sama sekali tidak paham dengan yang Dante maksud saat ini, tidak bahagia dengan pernikahannya dan merasa sangat sedih. "Maksud Kakak apa?" Polosnya Frisca bertanya. Dante tersenyum tipis. "Coba kau pikir, Kakak menikah dengan Camelia tanpa sepengetahuan siapapun. Kakak hanya memenuhi tanggung
"Dia masih tidak mau terbuka denganku," lirih Frisca duduk sendirian di ruang makan. Sesekali ia melirik suaminya yang sedang sibuk di ruangan kerjanya. Frisca sangat sedih menatap Daniel yang begitu tertutup. Rasa menyesal kembali menyeruak dalam hatinya. Frisca menutup kedua matanya dan menyembuhkan wajahnya di atas lipatan tangannya. "Kenapa tadi aku harus ikut ke kantor? Andai aku ke tempat Mama atau pulang sekalianpun, mungkin aku tidak akan merasakan perasaan ini. Menyebalkan!" umpat Frisca kesal dengan sendirinya. Helaan napas terdengar dari bibir Frisca, ia beranjak dari duduknya dan berjalan menuju ke kamarnya di lantai dua. Gadis itu melirik suaminya yang tidak menatapnya sedikitpun. 'Ayolah Frisca, cobalah untuk lebih dewasa dan lebih peka lagi.' Frisca meninggalkan tempat itu dan berjalan naik ke lantai dua. Sepeninggalnya, Daniel ternyata menatapnya dan laki-laki itu menunjukkan rasa bersalahnya. Dia dalam kamarnya, Frisca mencoba menghubungi Dante. Di setiap rasa
Frisca menggembung pipinya dan berdiri bosan di depan pintu apartemen milik Dante. Sudah dua jam lamanya ia diam di sana dan menunggu sang Kakak yang belum kunjung pulang. Sebelumnya Frisca sudah membuat janji dengan Dante, bahkan ia sembunyi-sembunyi dari Daniel. "Mana Kakak, lama sekali? Padahal hanya di bandara saja," ucap Frisca berulang kali ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Frisca kembali lagi duduk dan menyandarkan kepalanya. Ia mengambil satu bungkus permen dan memakannya untuk membuang rasa bosan. "Menunggu siapa?" tanya seorang laki-laki berjalan mendekati Frisca. Seketika Frisca berdiri menatap aneh pada orang asing tersebut. "Eum... Menunggu pemilik apartemen ini, Kakakku," jawab Frisca dengan sedikit was-was. Laki-laki itu mendekatinya dan kian dekat, ia juga menoleh ke kanan dan ke kiri melihat situasi yang sepi. "Ka-kau sendiri siapa?" Frisca gugup menatap laki-laki itu. "Ayo mampir ke apartemenku, setelah itu kita kenalan," aj
"Maafkan Mama ya Frisca, Mama baru bisa menjengukmu sekarang, kapan hari itu Mama sangat sibuk dan Miko juga sekolah." Silvia tersenyum manis pada Frisca dan wanita itu mengusap punggung tangan menantunya yang kini terbaring sakit. Senyuman manis Frisca berikan pada wanita itu, ia hanya mengangguk kecil. "Iya Ma, jangan khawatir. Frisca baik-baik saja kok." "Tapi Mama tetap saja kepikiran dan tidak bisa tenang, apalagi suamiku menghubungi Mama juga sangat mendadak." Silvia menoleh ke arah Daniel yang duduk di sofa bersama dengan Miko. Daniel hanya menoleh saja, laki-laki itu segera menurunkan Miko dari pangkuannya. Adik kecilnya berlari mendekati ranjang Frisca dan naik di sana. Anak itu hanya mau berinteraksi lebih dengan Frisca, meskipun terkesan kalau Frisca juga cukup asing untuknya. "Kak Frisca sakit apa? Panas ya?" tanya Miko meletakkan telapak tangannya di atas kening Frisca. Gadis itu seketika terkikik geli dan menggelengkan kepalanya saja. "Kakak tidak papa, Miko.
Nyatanya sampai seharian gadis bernama Violet itu masih berada di depan pintu kamar rawat inap Frisca. Daniel juga tidak mempedulikannya sama sekali, Frisca tidak tahu kenapa Daniel sampai sebenci ini, padahal dia adalah laki-laki yang baik. "Kak Daniel," panggil Frisca pada sang suami yang duduk mengupaskan apel untuknya. "Iya, Sayang?" Daniel mengangkat wajahnya. "Kenapa tidak kita bukakan saja pintunya buat Violet, kasihan dia," ujar Frisca menatapnya sedih. Daniel meletakkan piring berisi potongan apel, ia menghela napasnya panjang dan beralih menatap lekat-lekat pada Frisca. "Kalau aku bukakan pintu untuknya, tapi aku akan keluar. Aku kembali ke sini lagi malam. Mau?!" seru Daniel malah mengancam. Frisca mencebikkan bibirnya kesal. "Lagian kenapa Kak Daniel sebenci itu sama Violet. Sepertinya dia gadis yang baik." "Heem, tapi masa lalunya cukup buruk. Aku pernah dianggap sampah, dia pernah memintaku bersujud di kakinya." "Hah?!" Frisca memeluk kaget dan wajahnya syok tak
"Ternyata lucu juga mendengarkan orang polos bertemu dengan orang polos. Sama-sama manja, sama-sama lucu." Daniel terkekeh menatap istrinya yang kini berdiri di samping ranjang rumah sakit dan duduk di sana usai berhasil membujuk Violet untuk pulang."Kak Daniel sih, mana bisa mengusir Violet!" seru Frisca menatapnya sebal. "Bukan tidak bisa, Sayang. Tapi malas." Frisca meminum obatnya, ia duduk di atas ranjang dengan kedua kakinya yang kini menggantung. Gadis itu menatap Daniel dengan tatapan yang aneh. Apa yang tadi Violet katakan padanya tentang Papanya Daniel. Mungkin itu semua urusan Daniel dan keluarganya, tidak ada hubungannya dengan Frisca. "Kenapa diam saja, hem?" Daniel menatapnya lekat dan mendekat. Frisca seketika menggeleng cepat. "Tidak, tidak papa." "Kamu sendiri yang menawarkan diri menjadi temannya Violet. Siap-siap setiap hari bakal diganggu. Dia bakal setiap hari muncul di hadapan kamu," ujar Daniel mengusak pucuk kepala Frisca. "Tidak masalah. Tapi, dia jah
Keesokan harinya.Justin ternyata datang ke rumah Celia lagi, bahkan sangat pagi-pagi sekali laki-laki itu menjemput Celia. Dia mengajak gadis cantiknya pergi ke suatu tempat, memaksanya dengan sabar karena tahu suasana hati Celia yang sangat buruk pagi ini. "Kau mau mengajakku pergi ke mana, Justin?" tanya Celia dengan wajah malas, dia menatap ke arah luar jendela mobil hitam milik laki-laki itu. "Ke suatu tempat." Justin tersenyum tipis. "Kenapa manyun saja, hem? Ada masalah?" tanya Justin mengusap pucuk kepala Celia. Gadis itu mengangguk. "Kenapa kau masih bisa sesantai ini setelah semalam Papaku mengatakan hal buruk tentang kita, kenapa?" Kening Justin mengerut, laki-laki itu tidak menjawab dan ia sendiri juga tidak tahu apa yang sebenarnya Celia maksud saat ini. Sampai beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah tempat. Kedua mata Celia melebar dan angin pagi yang semilir menyapanya dengan sangat lembut. Tidak terlalu menikmati perjalanan, tapi tiba-tiba mereka sudah
"Bagaimana? Sudah bertemu dengan Justin?!" Miko tersenyum menatap adiknya yang memasang tampang kesal. Di samping Celia ada Justin yang tersenyum kepadanya. "Kalian ini niat sekali membuatku kesal, aku sampai seharian nangis," seru Celia, ia menendang kaki Miko yang duduk di sampingnya. Daniel dan Frisca tersenyum tipis. Mereka tidak bepergian jauh, mereka hanya sedang berkunjung ke vila baru yang dibeli Miko beberapa Minggu yang lalu. Sengaja juga mengerjai Celia. Daniel menghela napasnya pelan, laki-laki itu menatap pemuda tampan yang duduk di samping Celia. "Kau tidak kembali lagi ke London, Justin?" tanya Daniel menatap pemuda itu. "Tidak Om, saya mungkin akan ke sana nanti, bersama Celia." Justin menjawabnya seraya menatap Celia. Gadis cantik itu jelas saja langsung berseri-seri dan mengangguk antusias. "Halah, giliran begitu aja antusias banget!" Miko menarik pipi Celia dengan kuat hingga sang empu memekik melebarkan kedua matanya. Sontak, Justin langsung menepis tangan
Satu Minggu berlalu..."Mami dan Papi akan pergi dengan Kakak juga, Celia di rumah saja ya," bujuk Frisca pada putrinya. Gadis cantik yang baru bangun tidur itu langsung mengerjapkan kedua matanya. Tidak biasanya sang Mama akan meninggalkannya begini. Celia pun langsung cemberut saat itu juga. "Kenapa sih Mi? Memangnya Mami sama Papi mau ke mana? Seenggaknya itu jangan ajak Kakak dong, Celia kan tidak mau sendirian!" Gadis itu memprotes, seperti biasa kalau Celia sangat amat takut sendirian. "Manja banget sih jadi bocah, malu sama umur!" sinis Miko menyahuti. Ekor mata Celia melirik sang Kakak, pria tampan itu nampak membawa sebuah koper hitam miliknya dan berpenampilan sangat rapi dan berkelas, seperti biasa. Wajah Celia langsung menunjukkan ekspresi bingung. "Mau ke mana sih? Kok bawa koper besar segala?! Kenapa tidak kemarin-kemarin bilang ke Celia, sih Mi?!" amuk Celia pada Maminya. "Kita mau ke Italia, kenapa?" Miko pun ikut menyahuti. Saat itu juga Celia berdecak kesal,
"Adikmu murung sekali, Miko. Kenapa Celi?" Daniel memperhatikan putrinya yang tampak sedih, gadis itu juga tidak mau bergabung bersama Mama dan Papanya seperti biasa. Celia diam di lantai dua, di depan jendela di samping sebuah pohon natal besar dan perapian. Pertanyaan sang Papa membuat Miko mendengkus pelan. "Galau dia Pi, ditinggal Justin." "Ohhh, Justin kan pulang ke London, tidak papa lah... Orang ke rumah keluarganya," jawab Daniel dengan santai. "Loh, dia asli orang Britania ya?" sahut Frisca seraya membantu Miko membungkus banyak hadiah. Daniel mengangguk. "Dari kabar yang aku dengar sih begitu. Tapi dia adalah anak muda yang sangat mandiri, bahkan dia mengembangkan perusahaannya tanpa mengeluh sedikitpun." Mendengar hal itu membuat Miko mengangguk, sejujurnya ia tidak membenci sosok Justin, juga tidak menganggap sebagai saingannya apalagi tidak menyukainya karena mendekati Celia, tapi bagi Miko ia takut kalau Justin yang sudah tahu tentang dunia luar akan menyakiti C
Celia duduk diam menunduk kepalanya di bangku panjang di dalam bandara. Gadis cantik itu meletakkan tangannya di dada dan menggenggam kalung yang tadi Justin pakaikan padanya. Ponsel Celia berdering dan ternyata panggilan dari Papanya. Namun Celia enggan menjawab, pasti mereka hanya bertanya dia di mana, setelah itu mereka mengatakan mereka akan pergi dan Celia sendirian lagi. "Mereka pasti cuma mau pamit pergi saja," gumam Celia kembali mendongakkan kepalanya menatap sekitar. Beberapa orang berlalu-lalang di depannya dan tidak seramai tadi.Namun pintu kaca di depan sana tiba-tiba terbuka, nampak Ludwick berlari ke arahnya dan menatap wajah Celia dengan lekat. "Cel, duh... Aku kira pulang sendiri," ujar laki-laki itu seraya merapatkan mantel hangatnya. Kening Celia mengerut dan ia menatapnya lesu. "Justin pergi ke London, mendadak pula," ucap Celia. "Udah, nggak usah dipikirin! Ayo pulang, salju turun tebal di luar Cel, ayo!" Ludwick menarik pelan lengan Celia. Mereka berdua
Dia minggu berlalu dengan cepat. Celia menjalani harinya seperti biasa dan gadis itu kini sedikit menjaga jarak dengan sang Kakak, lebih tepatnya saat mereka bertengkar beberapa waktu yang lalu. Hari ini di rumah Celia kedatangan tamu penting, Miko akan bertunangan dalam waktu dekat ini. Kakak laki-laki Celia itu mudah sekali mendapatkan seorang pasangan. Calon istrinya pun sangat cantik, tapi secantik apapun dia Celia yang marah pada Miko, ia ikut malas pula pada Kakak iparnya. "Celia, tidak mau kenalan sama Kak Arzela?" tanya Frisca saat melihat putrinya berjalan menuruni anak tangga. Celia diam, di sana Miko menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan."Tapi Mi, Celi buru-buru dan-""Sapa sebentar, apa susahnya sih, Cel!" Miko menatap sinis pada sang adik. Celia merotasikan kedua matanya, ia langsung mendekati calon Kakak iparnya dan gadis itu langsung mengulurkan tangannya dengan sopan. Arzela pun hanya tersenyum manis. "Celia cantik sekali," ucap Arzela. "Iya Kak, kayak
Setelah beberapa hari yang lalu Celia bertengkar dengan Kakaknya, Celia menjadi sangat tertutup. Bahkan dia tidak mau bicara dengan Miko sedikitpun. Miko mencemaskan akan diamnya sang adik yang tidak biasa. Dia terus kepikiran tentang Celia setiap kali. "Pagi Mi, Pi," sapa Miko pada Mama dan Papanya saat ia baru saja menuruni anak tangga menuju ruang makan. "Hem, pagi juga Sayang. Adik mana?" tanya Frisca pada si sulung. Miko langsung menoleh ke arah sampingnya di mana meja nampak kosong dan ternyata Celia belum juga ke sana. "Loh, aku pikir Celi sudah duluan," jawab Miko menghela napasnya pelan. "Belum. Sudah beberapa hari ini dia sepertinya tidak mood pada apapun, kenapa ya?" Frisca menatap suami dan anaknya dengan tatapan bingung. "Mungkin ada masalah sendiri, maklum anak gadis," sahut Daniel. "Tapi Sayang, aku merasa tidak biasanya dia seperti ini. Makanya aneh saja kalau Celia tiba-tiba murung." Miko menyadari satu hal yang benar-benar membuat Celia berubah bukan hanya p
"Thanks udah jagain Celia, sorry juga kalau adikku merepotkanmu," ucap Miko pada Justin. Justin hanya tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya saja. "Santai aja, Celia gadis yang patuh denganku," balas Justin. Mendengar kata patuh yang Justin katakan membuat Miko merasa hal aneh dan sedikit khawatir kalau Justin menyukai Celia. Bukannya tidak boleh, tapi Miko sangat takut kalau adiknya akan terjerumus dalam pergaulan laki-laki di depannya ini. "Sudah ayo pulang, Mami dan Papi sudah menunggu kita di rumah," ajak Miko pada Celia. "Tunggu sebentar Kak, aku harus pamit ke Justin dulu," ucap Celia memegangi lengan dengan sang Kakak. Celia menatap Justin dengan tatapan yang sangat hangat sebelum akhirnya gadis itu menunduk dan tersenyum kembali menatapnya. Sedangkan Justin hanya menyunggingkan senyum dan ia cukup paham bagaimana cara seorang Celia menunjukkan sikap polosnya. "Justin, aku pulang dulu ya aku mah terima kasih sudah menjaga aku. Emm... Kalau kau merasa bosan
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, Celia masih berada di apartemen milik Justin dan di sana ada Ludwick juga yang terkejut dengan kehadiran gadis yang pernah ia jumpai di club malam beberapa waktu yang lalu. Namun Ludwick tidak mengatakan apapun, dia tetap diam bersama dengan Justin saja. "Heh, Justin... Dia gadis yang waktu itu, kan?!" pekik Ludwick menyenggol lengan Justin. Dan sahabatnya itu menoleh ke arah Celia yang nampak sedih. "Heem, dia putri Pak Daniel. Rekan kerjaku," jawab Justin. Ludwick langsung menelan saliva. "Gila aja, bisa-bisanya langsung dekat," seru laki-laki itu melirik Justin dan mengembuskan napasnya pelan.Justin terkekeh, ia pun berjalan mendekati Celia yang tengah sedih duduk di sofa di depan kamar Justin. Sesekali gadis itu menatap was-was pada Ludwick yang memperhatikannya. Saat Justin mendekat, Celia langsung menarik lengan laki-laki itu dimintanya untuk mendekat. "Justin... Temanmu itu kenspa melihat aku aneh, aku takut," ujar Celia jujur. Just