"Maafkan Mama ya Frisca, Mama baru bisa menjengukmu sekarang, kapan hari itu Mama sangat sibuk dan Miko juga sekolah." Silvia tersenyum manis pada Frisca dan wanita itu mengusap punggung tangan menantunya yang kini terbaring sakit. Senyuman manis Frisca berikan pada wanita itu, ia hanya mengangguk kecil. "Iya Ma, jangan khawatir. Frisca baik-baik saja kok." "Tapi Mama tetap saja kepikiran dan tidak bisa tenang, apalagi suamiku menghubungi Mama juga sangat mendadak." Silvia menoleh ke arah Daniel yang duduk di sofa bersama dengan Miko. Daniel hanya menoleh saja, laki-laki itu segera menurunkan Miko dari pangkuannya. Adik kecilnya berlari mendekati ranjang Frisca dan naik di sana. Anak itu hanya mau berinteraksi lebih dengan Frisca, meskipun terkesan kalau Frisca juga cukup asing untuknya. "Kak Frisca sakit apa? Panas ya?" tanya Miko meletakkan telapak tangannya di atas kening Frisca. Gadis itu seketika terkikik geli dan menggelengkan kepalanya saja. "Kakak tidak papa, Miko.
Nyatanya sampai seharian gadis bernama Violet itu masih berada di depan pintu kamar rawat inap Frisca. Daniel juga tidak mempedulikannya sama sekali, Frisca tidak tahu kenapa Daniel sampai sebenci ini, padahal dia adalah laki-laki yang baik. "Kak Daniel," panggil Frisca pada sang suami yang duduk mengupaskan apel untuknya. "Iya, Sayang?" Daniel mengangkat wajahnya. "Kenapa tidak kita bukakan saja pintunya buat Violet, kasihan dia," ujar Frisca menatapnya sedih. Daniel meletakkan piring berisi potongan apel, ia menghela napasnya panjang dan beralih menatap lekat-lekat pada Frisca. "Kalau aku bukakan pintu untuknya, tapi aku akan keluar. Aku kembali ke sini lagi malam. Mau?!" seru Daniel malah mengancam. Frisca mencebikkan bibirnya kesal. "Lagian kenapa Kak Daniel sebenci itu sama Violet. Sepertinya dia gadis yang baik." "Heem, tapi masa lalunya cukup buruk. Aku pernah dianggap sampah, dia pernah memintaku bersujud di kakinya." "Hah?!" Frisca memeluk kaget dan wajahnya syok tak
"Ternyata lucu juga mendengarkan orang polos bertemu dengan orang polos. Sama-sama manja, sama-sama lucu." Daniel terkekeh menatap istrinya yang kini berdiri di samping ranjang rumah sakit dan duduk di sana usai berhasil membujuk Violet untuk pulang."Kak Daniel sih, mana bisa mengusir Violet!" seru Frisca menatapnya sebal. "Bukan tidak bisa, Sayang. Tapi malas." Frisca meminum obatnya, ia duduk di atas ranjang dengan kedua kakinya yang kini menggantung. Gadis itu menatap Daniel dengan tatapan yang aneh. Apa yang tadi Violet katakan padanya tentang Papanya Daniel. Mungkin itu semua urusan Daniel dan keluarganya, tidak ada hubungannya dengan Frisca. "Kenapa diam saja, hem?" Daniel menatapnya lekat dan mendekat. Frisca seketika menggeleng cepat. "Tidak, tidak papa." "Kamu sendiri yang menawarkan diri menjadi temannya Violet. Siap-siap setiap hari bakal diganggu. Dia bakal setiap hari muncul di hadapan kamu," ujar Daniel mengusak pucuk kepala Frisca. "Tidak masalah. Tapi, dia jah
Pagi ini Bibi sudah gaduh mengetuk pintu kamar Frisca memekik memanggilnya berulang kali. Namun Nyonya dan Tuannya tidak cepat menjawab. Sedangkan Daniel di dalam, ia memeluk istri kecilnya yang sangat lelap di dalam dekapan hangatnya. "Tuan... Tuan Daniel, ada tamu di luar yang mencari Tuan! Tuan Daniel!" pekik Bibi meninggikan suaranya. Daniel berdecak kesal menyadari tidurnya diganggu, ia segera melepaskan pelukannya pada sang istri dan segera berjalan keluar dari dalam kamarnya. Bibi di sana menatap Daniel sambil terkekeh, ekspresi Tuannya seperti ingin berteriak. "Ada apa sih Bi... Masih pagi juga," seru Daniel menggaruk tengkuknya lehernya yang tak gatal. "Nyonya kecil sedang tidur, bisa-bisa dia ngamuk kalau Bibi keras-keras terikanya." "Ehe, maaf Tuan Daniel. Itu, anu... Di depan ada cewek yang nyari Nyonya, katanya temannya Nyonya," ujar Bibi tersenyum manis. Seketika Daniel keluar dan menutup pintu kamarnya. Laki-laki itu berjalan menuruni Anak tangga dan ia menatap
Frisca tersenyum manis melingkari salah satu tanggal spesial di kalender yang ia pegang. Hari ini, tepat tanggal dua puluh satu adalah hari yang sejak kemarin-kemarin ditunggu oleh Frisca. Hari di mana Frisca akan sibuk seharian menyiapkan sesuatu yang istimewa. "Akhirnya, hari ini datang juga!" Senyuman manis mengembang di bibir Frisca. Gadis itu berdiri tegak menata cermin di depannya. Ia sudah siap dengan dress rumah, dan rambut panjangnya yang terikat. "Bagus! Kak Daniel sudah berangkat, Bibi sudah belanja semuanya dan... Oh, lebih baik aku cek dulu." Frisca melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Di sana ia melihat Bibi yang tengah sibuk memasak. Sengaja Frisca berjalan tanpa suara, sudah ada niatan nakal dalam benaknya ingin membuat Bibi berteriak dan kaget. "Satu... Dua... Dan tig-" "Hayoo, mau kagetin Bibi, kan?!" pekik wanita itu tanpa membalikkan badannya. Helaan napas bosan lolos dari bibir Frisca. Ia berdiri di samping pembantunya dan terkikik geli. "Kok Bibi
Frisca berjalan cepat keluar dari dalam kantor milik Daniel. Tangisannya tidak bisa is hentikan begitu saja, karena pemandangan tadi sangat membuatnya kecewa. Entah tahu atau tidak, sadar atau tidak Frisca merasa kalau kini suaminya tengah mengejarnya. "Taksi... Mana taksi!" seru Frisca berhenti di depan halte. Ia tetap menangis sedih, dan mengeluarkan ponselnya. "Kak Daniel... Ke mana Kak Daniel, kenapa tidak bisa aku hubungi?!" peki Frisca kesal. Gadis itu mencari nomor siapapun di ponselnya sampai kini ia mencoba menghubungi Papanya, entah nanti akan dimarahi semacam apapun, Frisca tidak peduli. "Papa..." Gadis itu menangis lebih dulu saat panggilnya terjawab. "Loh, Frisca kenapa? Kenapa nangis, nak? Di mana Daniel?! Apa yang terjadi Frisca?!" pekik Johan, terdengar sangat cemas. "Pa, minta seseorang buat jemput Frisca," pinta gadis itu. "Nggak bisa Sayang, Papa sedang ada rapat dan..." "KENAPA SIH, SEMUA ORANG NGGAK ADA YANG NGERTI PWRASAAN FRISCA!" teriak gadis itu. Ta
"Jangan nangis, dek. Kakak tahu ini berat, tapi kamu nggak sendirian sekarang, Sayang." Dante memeluk sang adik dengan erat. Terpaksa kini ia membawa Frisca ke vila miliknya yang cukup jauh dari kota. Di sana Frisca bisa menenangkan pikirannya. Pemandangan vila yang sejak dulu sangat Frisca sukai, ia merasa tidak mau pulang kalau sudah di sana."Istirahat ya, Kakak masakin sesuatu," bujuk Dante mengusap pucuk kepala sang adik. Frisca mengangguk lemah. "Iya Kak. Tapi Kak Dante jangan pulang," pinta gadis itu melas. Dante mengembuskan napas pelan. "Kakak nggak akan pulang sebelum kamu tenang. Lagian Camelia juga sedang pulang ke rumahnya." Frisca tidak menanggapinya, melainkan ia memilih berbaring di sofa dan membiarkan Dante pergi manjauh darinya. Di vila itu memiliki banyak sekali pelayan yang nantinya akan membantu Frisca da juga Dante. Ini juga bukan pertama kalinya bagi Frisca datang ke tempat ini. 'Apa dia sekarang mencariku? Apa dia juga memikirkan aku dan memikirkan apa
Satu bulan berlalu. Frisca tidak menyangka kalau ia pergi dari Daniel selama satu bulan penuh. Sesuai dengan yang ia inginkan, kalau dirinya memang ingin menjauh sejenak dari suami tercintanya. Tidak bohong kalau Frisca tidak merindukan Daniel. Hampir setiap hari ia menanyakan kabar sang suami kepada kakaknya, Dante. "Hem, sudah satu bulan kita tidak bertemu. Apa Kak Daniel tidak merindukanku?" Frisca tersenyum tipis menatap foto pernikahan mereka. "Frisca kangen, tapi Frisca masih belum siap sakit hati lagi seperti kapan hari. Lukanya masih terasa sampai saat ini, sakitnya pun kadang terasa sama." Kembali gadis itu meletakkan figora foto di atas nakas. Frisca memperhatikan hujan di luar kamarnya. Sudah beberapa hari ini memang diguyur hujan yang cukup lebat, Frisca juga meminta pada Dante untuk selalu menjaganya. "Frisca... Kau di mana?" Suara Dante di luar kamar membuat Frisca menoleh ke belakang seketika ia bangkit dan berjalan keluar. Di sana ia melihat Dante yang membawa
Keesokan harinya.Justin ternyata datang ke rumah Celia lagi, bahkan sangat pagi-pagi sekali laki-laki itu menjemput Celia. Dia mengajak gadis cantiknya pergi ke suatu tempat, memaksanya dengan sabar karena tahu suasana hati Celia yang sangat buruk pagi ini. "Kau mau mengajakku pergi ke mana, Justin?" tanya Celia dengan wajah malas, dia menatap ke arah luar jendela mobil hitam milik laki-laki itu. "Ke suatu tempat." Justin tersenyum tipis. "Kenapa manyun saja, hem? Ada masalah?" tanya Justin mengusap pucuk kepala Celia. Gadis itu mengangguk. "Kenapa kau masih bisa sesantai ini setelah semalam Papaku mengatakan hal buruk tentang kita, kenapa?" Kening Justin mengerut, laki-laki itu tidak menjawab dan ia sendiri juga tidak tahu apa yang sebenarnya Celia maksud saat ini. Sampai beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah tempat. Kedua mata Celia melebar dan angin pagi yang semilir menyapanya dengan sangat lembut. Tidak terlalu menikmati perjalanan, tapi tiba-tiba mereka sudah
"Bagaimana? Sudah bertemu dengan Justin?!" Miko tersenyum menatap adiknya yang memasang tampang kesal. Di samping Celia ada Justin yang tersenyum kepadanya. "Kalian ini niat sekali membuatku kesal, aku sampai seharian nangis," seru Celia, ia menendang kaki Miko yang duduk di sampingnya. Daniel dan Frisca tersenyum tipis. Mereka tidak bepergian jauh, mereka hanya sedang berkunjung ke vila baru yang dibeli Miko beberapa Minggu yang lalu. Sengaja juga mengerjai Celia. Daniel menghela napasnya pelan, laki-laki itu menatap pemuda tampan yang duduk di samping Celia. "Kau tidak kembali lagi ke London, Justin?" tanya Daniel menatap pemuda itu. "Tidak Om, saya mungkin akan ke sana nanti, bersama Celia." Justin menjawabnya seraya menatap Celia. Gadis cantik itu jelas saja langsung berseri-seri dan mengangguk antusias. "Halah, giliran begitu aja antusias banget!" Miko menarik pipi Celia dengan kuat hingga sang empu memekik melebarkan kedua matanya. Sontak, Justin langsung menepis tangan
Satu Minggu berlalu..."Mami dan Papi akan pergi dengan Kakak juga, Celia di rumah saja ya," bujuk Frisca pada putrinya. Gadis cantik yang baru bangun tidur itu langsung mengerjapkan kedua matanya. Tidak biasanya sang Mama akan meninggalkannya begini. Celia pun langsung cemberut saat itu juga. "Kenapa sih Mi? Memangnya Mami sama Papi mau ke mana? Seenggaknya itu jangan ajak Kakak dong, Celia kan tidak mau sendirian!" Gadis itu memprotes, seperti biasa kalau Celia sangat amat takut sendirian. "Manja banget sih jadi bocah, malu sama umur!" sinis Miko menyahuti. Ekor mata Celia melirik sang Kakak, pria tampan itu nampak membawa sebuah koper hitam miliknya dan berpenampilan sangat rapi dan berkelas, seperti biasa. Wajah Celia langsung menunjukkan ekspresi bingung. "Mau ke mana sih? Kok bawa koper besar segala?! Kenapa tidak kemarin-kemarin bilang ke Celia, sih Mi?!" amuk Celia pada Maminya. "Kita mau ke Italia, kenapa?" Miko pun ikut menyahuti. Saat itu juga Celia berdecak kesal,
"Adikmu murung sekali, Miko. Kenapa Celi?" Daniel memperhatikan putrinya yang tampak sedih, gadis itu juga tidak mau bergabung bersama Mama dan Papanya seperti biasa. Celia diam di lantai dua, di depan jendela di samping sebuah pohon natal besar dan perapian. Pertanyaan sang Papa membuat Miko mendengkus pelan. "Galau dia Pi, ditinggal Justin." "Ohhh, Justin kan pulang ke London, tidak papa lah... Orang ke rumah keluarganya," jawab Daniel dengan santai. "Loh, dia asli orang Britania ya?" sahut Frisca seraya membantu Miko membungkus banyak hadiah. Daniel mengangguk. "Dari kabar yang aku dengar sih begitu. Tapi dia adalah anak muda yang sangat mandiri, bahkan dia mengembangkan perusahaannya tanpa mengeluh sedikitpun." Mendengar hal itu membuat Miko mengangguk, sejujurnya ia tidak membenci sosok Justin, juga tidak menganggap sebagai saingannya apalagi tidak menyukainya karena mendekati Celia, tapi bagi Miko ia takut kalau Justin yang sudah tahu tentang dunia luar akan menyakiti C
Celia duduk diam menunduk kepalanya di bangku panjang di dalam bandara. Gadis cantik itu meletakkan tangannya di dada dan menggenggam kalung yang tadi Justin pakaikan padanya. Ponsel Celia berdering dan ternyata panggilan dari Papanya. Namun Celia enggan menjawab, pasti mereka hanya bertanya dia di mana, setelah itu mereka mengatakan mereka akan pergi dan Celia sendirian lagi. "Mereka pasti cuma mau pamit pergi saja," gumam Celia kembali mendongakkan kepalanya menatap sekitar. Beberapa orang berlalu-lalang di depannya dan tidak seramai tadi.Namun pintu kaca di depan sana tiba-tiba terbuka, nampak Ludwick berlari ke arahnya dan menatap wajah Celia dengan lekat. "Cel, duh... Aku kira pulang sendiri," ujar laki-laki itu seraya merapatkan mantel hangatnya. Kening Celia mengerut dan ia menatapnya lesu. "Justin pergi ke London, mendadak pula," ucap Celia. "Udah, nggak usah dipikirin! Ayo pulang, salju turun tebal di luar Cel, ayo!" Ludwick menarik pelan lengan Celia. Mereka berdua
Dia minggu berlalu dengan cepat. Celia menjalani harinya seperti biasa dan gadis itu kini sedikit menjaga jarak dengan sang Kakak, lebih tepatnya saat mereka bertengkar beberapa waktu yang lalu. Hari ini di rumah Celia kedatangan tamu penting, Miko akan bertunangan dalam waktu dekat ini. Kakak laki-laki Celia itu mudah sekali mendapatkan seorang pasangan. Calon istrinya pun sangat cantik, tapi secantik apapun dia Celia yang marah pada Miko, ia ikut malas pula pada Kakak iparnya. "Celia, tidak mau kenalan sama Kak Arzela?" tanya Frisca saat melihat putrinya berjalan menuruni anak tangga. Celia diam, di sana Miko menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan."Tapi Mi, Celi buru-buru dan-""Sapa sebentar, apa susahnya sih, Cel!" Miko menatap sinis pada sang adik. Celia merotasikan kedua matanya, ia langsung mendekati calon Kakak iparnya dan gadis itu langsung mengulurkan tangannya dengan sopan. Arzela pun hanya tersenyum manis. "Celia cantik sekali," ucap Arzela. "Iya Kak, kayak
Setelah beberapa hari yang lalu Celia bertengkar dengan Kakaknya, Celia menjadi sangat tertutup. Bahkan dia tidak mau bicara dengan Miko sedikitpun. Miko mencemaskan akan diamnya sang adik yang tidak biasa. Dia terus kepikiran tentang Celia setiap kali. "Pagi Mi, Pi," sapa Miko pada Mama dan Papanya saat ia baru saja menuruni anak tangga menuju ruang makan. "Hem, pagi juga Sayang. Adik mana?" tanya Frisca pada si sulung. Miko langsung menoleh ke arah sampingnya di mana meja nampak kosong dan ternyata Celia belum juga ke sana. "Loh, aku pikir Celi sudah duluan," jawab Miko menghela napasnya pelan. "Belum. Sudah beberapa hari ini dia sepertinya tidak mood pada apapun, kenapa ya?" Frisca menatap suami dan anaknya dengan tatapan bingung. "Mungkin ada masalah sendiri, maklum anak gadis," sahut Daniel. "Tapi Sayang, aku merasa tidak biasanya dia seperti ini. Makanya aneh saja kalau Celia tiba-tiba murung." Miko menyadari satu hal yang benar-benar membuat Celia berubah bukan hanya p
"Thanks udah jagain Celia, sorry juga kalau adikku merepotkanmu," ucap Miko pada Justin. Justin hanya tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya saja. "Santai aja, Celia gadis yang patuh denganku," balas Justin. Mendengar kata patuh yang Justin katakan membuat Miko merasa hal aneh dan sedikit khawatir kalau Justin menyukai Celia. Bukannya tidak boleh, tapi Miko sangat takut kalau adiknya akan terjerumus dalam pergaulan laki-laki di depannya ini. "Sudah ayo pulang, Mami dan Papi sudah menunggu kita di rumah," ajak Miko pada Celia. "Tunggu sebentar Kak, aku harus pamit ke Justin dulu," ucap Celia memegangi lengan dengan sang Kakak. Celia menatap Justin dengan tatapan yang sangat hangat sebelum akhirnya gadis itu menunduk dan tersenyum kembali menatapnya. Sedangkan Justin hanya menyunggingkan senyum dan ia cukup paham bagaimana cara seorang Celia menunjukkan sikap polosnya. "Justin, aku pulang dulu ya aku mah terima kasih sudah menjaga aku. Emm... Kalau kau merasa bosan
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, Celia masih berada di apartemen milik Justin dan di sana ada Ludwick juga yang terkejut dengan kehadiran gadis yang pernah ia jumpai di club malam beberapa waktu yang lalu. Namun Ludwick tidak mengatakan apapun, dia tetap diam bersama dengan Justin saja. "Heh, Justin... Dia gadis yang waktu itu, kan?!" pekik Ludwick menyenggol lengan Justin. Dan sahabatnya itu menoleh ke arah Celia yang nampak sedih. "Heem, dia putri Pak Daniel. Rekan kerjaku," jawab Justin. Ludwick langsung menelan saliva. "Gila aja, bisa-bisanya langsung dekat," seru laki-laki itu melirik Justin dan mengembuskan napasnya pelan.Justin terkekeh, ia pun berjalan mendekati Celia yang tengah sedih duduk di sofa di depan kamar Justin. Sesekali gadis itu menatap was-was pada Ludwick yang memperhatikannya. Saat Justin mendekat, Celia langsung menarik lengan laki-laki itu dimintanya untuk mendekat. "Justin... Temanmu itu kenspa melihat aku aneh, aku takut," ujar Celia jujur. Just