Frisca berjalan cepat keluar dari dalam kantor milik Daniel. Tangisannya tidak bisa is hentikan begitu saja, karena pemandangan tadi sangat membuatnya kecewa. Entah tahu atau tidak, sadar atau tidak Frisca merasa kalau kini suaminya tengah mengejarnya. "Taksi... Mana taksi!" seru Frisca berhenti di depan halte. Ia tetap menangis sedih, dan mengeluarkan ponselnya. "Kak Daniel... Ke mana Kak Daniel, kenapa tidak bisa aku hubungi?!" peki Frisca kesal. Gadis itu mencari nomor siapapun di ponselnya sampai kini ia mencoba menghubungi Papanya, entah nanti akan dimarahi semacam apapun, Frisca tidak peduli. "Papa..." Gadis itu menangis lebih dulu saat panggilnya terjawab. "Loh, Frisca kenapa? Kenapa nangis, nak? Di mana Daniel?! Apa yang terjadi Frisca?!" pekik Johan, terdengar sangat cemas. "Pa, minta seseorang buat jemput Frisca," pinta gadis itu. "Nggak bisa Sayang, Papa sedang ada rapat dan..." "KENAPA SIH, SEMUA ORANG NGGAK ADA YANG NGERTI PWRASAAN FRISCA!" teriak gadis itu. Ta
"Jangan nangis, dek. Kakak tahu ini berat, tapi kamu nggak sendirian sekarang, Sayang." Dante memeluk sang adik dengan erat. Terpaksa kini ia membawa Frisca ke vila miliknya yang cukup jauh dari kota. Di sana Frisca bisa menenangkan pikirannya. Pemandangan vila yang sejak dulu sangat Frisca sukai, ia merasa tidak mau pulang kalau sudah di sana."Istirahat ya, Kakak masakin sesuatu," bujuk Dante mengusap pucuk kepala sang adik. Frisca mengangguk lemah. "Iya Kak. Tapi Kak Dante jangan pulang," pinta gadis itu melas. Dante mengembuskan napas pelan. "Kakak nggak akan pulang sebelum kamu tenang. Lagian Camelia juga sedang pulang ke rumahnya." Frisca tidak menanggapinya, melainkan ia memilih berbaring di sofa dan membiarkan Dante pergi manjauh darinya. Di vila itu memiliki banyak sekali pelayan yang nantinya akan membantu Frisca da juga Dante. Ini juga bukan pertama kalinya bagi Frisca datang ke tempat ini. 'Apa dia sekarang mencariku? Apa dia juga memikirkan aku dan memikirkan apa
Satu bulan berlalu. Frisca tidak menyangka kalau ia pergi dari Daniel selama satu bulan penuh. Sesuai dengan yang ia inginkan, kalau dirinya memang ingin menjauh sejenak dari suami tercintanya. Tidak bohong kalau Frisca tidak merindukan Daniel. Hampir setiap hari ia menanyakan kabar sang suami kepada kakaknya, Dante. "Hem, sudah satu bulan kita tidak bertemu. Apa Kak Daniel tidak merindukanku?" Frisca tersenyum tipis menatap foto pernikahan mereka. "Frisca kangen, tapi Frisca masih belum siap sakit hati lagi seperti kapan hari. Lukanya masih terasa sampai saat ini, sakitnya pun kadang terasa sama." Kembali gadis itu meletakkan figora foto di atas nakas. Frisca memperhatikan hujan di luar kamarnya. Sudah beberapa hari ini memang diguyur hujan yang cukup lebat, Frisca juga meminta pada Dante untuk selalu menjaganya. "Frisca... Kau di mana?" Suara Dante di luar kamar membuat Frisca menoleh ke belakang seketika ia bangkit dan berjalan keluar. Di sana ia melihat Dante yang membawa
"Tempat ini sangat dingin, aku tidak percaya Frisca betah tinggal di sini." Daniel memperhatikan sekita rumah dan yang jauh lebih ia perhatikan adalah tentang alam sekitar. Tempat itu jauh dari rumah ke rumah di bawah sana. Berada di pegunungan yang tinggi. Setahunya kalau Frisca sangat-sangat rentan dengan udara dingin tapi ini ia malah berada di sebuah pegunungan dan tidak dipercayai kalau dia tinggal sampai satu bulan."Bagus kan, tepatnya," ujar gadis itu tersenyum menatap Daniel. Kali ini Daniel hanya mengangguk. Beralih ia menatap wajah cantik Frisca yang nampak berbinar-binar. "Apa kau selama ini tidak merindukanku?" tanya Daniel mengusap pucuk kepala istrinya. Gadis itu tertunduk, bibirnya melengkung senyum. "Tentu saja rindu. Bagaimana mungkin aku tidak rindu," jawabnya tersenyum kecil. "Dan aku orang yang jauh lebih hancur saat kau tinggal pergi, Sayang." "Huh?" Frisca sontak menoleh. Apa yang ia lihat kini, wajah Daniel yang begitu sedih dan kecewa. Kesedihan selam
Satu bulan Frisca tidak melihat kondisi rumahnya. Dan begitu ia pulang saat ini, semuanya terasa berubah. Mulai dari beberapa kursi yang dipindahkan, sampai beberapa barang-barang kesukaan Frisca ada di mana-mana, termasuk di sofa ruang keluarga. Gadis itu meraih boneka Unicorn miliknya di sofa dan memeluknya dengan erat. Ia tahu kalau Daniel tidak akan pernah menerim tamu siapapun di rumahnya kecuali Dante dan orang-orang kepercayaannya di kantornya. "Kenapa barang-barangku ada di mana-mana?" tanya Frisca menoleh ke belakang menatap suaminya yang sibuk membawa barang-barang Frisca masuk ke dalam rumah. "Aku tidak punya sesuatu yang membuatku merasakan kehadiranmu di sampingku, selain barang-barang yang sering kau peluk. Kau tidak akan bisa digantikan oleh apapun," jawab Daniel tersenyum tipis. Frisca meremas boneka Unicorn yang ia peluk dan menatao Daniel dengan tatapan yang hangat. Begitunya Daniel menyayangi Frisca. Rasa egois yang selalu membuat Frisca merasa serba salah meng
"Sayang, kau tidak ingin menemui Mama dan Papa? Mereka mencemaskanmu, Frisca," ujar Daniel menatap sang istri. Frisca nampak terdiam menundukkan kepalanya dan menggeleng. "Nggak. Nanti Mama sama Papa pasti marah," jawabnya cemberut. Laki-laki itu tersenyum tipis. "Mana ada, kalau mereka marah tentu saja aku akan membelamu, Sayang." Gadis itu tersenyum tipis dan ia tetap menggeleng-gelengkan kepalanya menolak. "Nggak usah, lebih baik Frisca tidur saja sekarang." Frisca mengambil bantal bulu miliknya dan ia dengan asyik berbaring di atas ranjang seraya menatap langit-langit kamar. Ekor matanya bergerak melirik sang suami yang duduk di sofa, hal itu membuatnya bertanya-tanya apakah laki-laki ini tidak sibuk?"Kak Daniel hari ini libur, ya?" tanya Frisca. Daniel mengerutkan keningnya dan mengangguk ragu. "Heem, kenapa?" "Tumben, biasanya sangat sibuk.""Aku kerja terus, istriku marah-marah dan ngambek, jadinya aku milih libur saja," jawab Daniel melirik sang istri. Frisca tersen
"Akhirnya ingat rumah juga istrimu, Niel!" Seruan itu terdengar dari bibir Silvia saat tanpa sengaja ia datang ke rumah Daniel. Wanita itu memperhatikan menantunya yang tengah duduk di samping sang putra. "Mama, apa-apaan sih Ma? Jangan ngomong begitu ke Istriku," ujar Daniel pada sang Mama."Kenapa? Memang gitu adanya kan, kalau istrimu ini tidak terlalu peduli padamu, menyedihkan sekali, Niel," sahut wanita yang tengah duduk di sofa memangku Miko. Frisca yang duduk bersama Daniel di sofa, gadis itu diam menundukkan kepalanya saja.Ia sangat tertusuk dengan kata-kata yang keluar dari bibir Mama mertuanya ini, sekalipun Frisca sadar kalau ia memang salah. "Jangan sedih, Mama hanya bercanda," bisik lirih Daniel tanpa suara ia mengusap punggung Frisca. "Aku pergi pasti juga ada alasannya. Tidak mungkin aku tidak apapun tiba-tiba pergi, aku kan bukan anak kecil." Frisca tersenyum tipis. "Ya, tapi kau melupakan tugasmu sebagai seorang istri, kau tahu! Apa yang ada di dalam pikiranm
"Mamanya Kak Daniel marah-marah pada aku semalam Kak, dia nyalahin aku, tapi tidak apa-apa." Dante tersenyum manis menatap sang adik, ia harus memahami bagaimana tindakan dan juga apa yang akan dilakukan oleh Frisca ke depannya. Selama satu bulan penuh Frisca tinggal bersama dirinya, Dante tidak pernah luput satu hari pun berhenti untuk menasehati adiknya. "Terus? Mau menyerah begitu saja mendengar ocehan Mama mertuamu yang tidak penting?" tanya Dante. Gadis itu terkekeh menjalankan kepalanya pelan. "Tentu saja tidak, kalau Frisca menyerah, sama saja Frisca membodohi diri sendiri." "Hemm... Tumben banget adik kakak ini pinter," seru Dante mengusak gemas pucuk kepala Frisca. Gadis itu mengerucutkan bibirnya dan menepis tangan Dante dengan pelan. Sejak pagi tadi Dante menemaninya, karena Daniel hari ini bertugas seharian penuh akan pergi ke luar kota. Sebagai orang yang dipercayai nomor satu oleh Daniel, dan juga Dante yang sangat sayang pada adiknya, tidak mungkin ia mengabaika
Keesokan harinya.Justin ternyata datang ke rumah Celia lagi, bahkan sangat pagi-pagi sekali laki-laki itu menjemput Celia. Dia mengajak gadis cantiknya pergi ke suatu tempat, memaksanya dengan sabar karena tahu suasana hati Celia yang sangat buruk pagi ini. "Kau mau mengajakku pergi ke mana, Justin?" tanya Celia dengan wajah malas, dia menatap ke arah luar jendela mobil hitam milik laki-laki itu. "Ke suatu tempat." Justin tersenyum tipis. "Kenapa manyun saja, hem? Ada masalah?" tanya Justin mengusap pucuk kepala Celia. Gadis itu mengangguk. "Kenapa kau masih bisa sesantai ini setelah semalam Papaku mengatakan hal buruk tentang kita, kenapa?" Kening Justin mengerut, laki-laki itu tidak menjawab dan ia sendiri juga tidak tahu apa yang sebenarnya Celia maksud saat ini. Sampai beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah tempat. Kedua mata Celia melebar dan angin pagi yang semilir menyapanya dengan sangat lembut. Tidak terlalu menikmati perjalanan, tapi tiba-tiba mereka sudah
"Bagaimana? Sudah bertemu dengan Justin?!" Miko tersenyum menatap adiknya yang memasang tampang kesal. Di samping Celia ada Justin yang tersenyum kepadanya. "Kalian ini niat sekali membuatku kesal, aku sampai seharian nangis," seru Celia, ia menendang kaki Miko yang duduk di sampingnya. Daniel dan Frisca tersenyum tipis. Mereka tidak bepergian jauh, mereka hanya sedang berkunjung ke vila baru yang dibeli Miko beberapa Minggu yang lalu. Sengaja juga mengerjai Celia. Daniel menghela napasnya pelan, laki-laki itu menatap pemuda tampan yang duduk di samping Celia. "Kau tidak kembali lagi ke London, Justin?" tanya Daniel menatap pemuda itu. "Tidak Om, saya mungkin akan ke sana nanti, bersama Celia." Justin menjawabnya seraya menatap Celia. Gadis cantik itu jelas saja langsung berseri-seri dan mengangguk antusias. "Halah, giliran begitu aja antusias banget!" Miko menarik pipi Celia dengan kuat hingga sang empu memekik melebarkan kedua matanya. Sontak, Justin langsung menepis tangan
Satu Minggu berlalu..."Mami dan Papi akan pergi dengan Kakak juga, Celia di rumah saja ya," bujuk Frisca pada putrinya. Gadis cantik yang baru bangun tidur itu langsung mengerjapkan kedua matanya. Tidak biasanya sang Mama akan meninggalkannya begini. Celia pun langsung cemberut saat itu juga. "Kenapa sih Mi? Memangnya Mami sama Papi mau ke mana? Seenggaknya itu jangan ajak Kakak dong, Celia kan tidak mau sendirian!" Gadis itu memprotes, seperti biasa kalau Celia sangat amat takut sendirian. "Manja banget sih jadi bocah, malu sama umur!" sinis Miko menyahuti. Ekor mata Celia melirik sang Kakak, pria tampan itu nampak membawa sebuah koper hitam miliknya dan berpenampilan sangat rapi dan berkelas, seperti biasa. Wajah Celia langsung menunjukkan ekspresi bingung. "Mau ke mana sih? Kok bawa koper besar segala?! Kenapa tidak kemarin-kemarin bilang ke Celia, sih Mi?!" amuk Celia pada Maminya. "Kita mau ke Italia, kenapa?" Miko pun ikut menyahuti. Saat itu juga Celia berdecak kesal,
"Adikmu murung sekali, Miko. Kenapa Celi?" Daniel memperhatikan putrinya yang tampak sedih, gadis itu juga tidak mau bergabung bersama Mama dan Papanya seperti biasa. Celia diam di lantai dua, di depan jendela di samping sebuah pohon natal besar dan perapian. Pertanyaan sang Papa membuat Miko mendengkus pelan. "Galau dia Pi, ditinggal Justin." "Ohhh, Justin kan pulang ke London, tidak papa lah... Orang ke rumah keluarganya," jawab Daniel dengan santai. "Loh, dia asli orang Britania ya?" sahut Frisca seraya membantu Miko membungkus banyak hadiah. Daniel mengangguk. "Dari kabar yang aku dengar sih begitu. Tapi dia adalah anak muda yang sangat mandiri, bahkan dia mengembangkan perusahaannya tanpa mengeluh sedikitpun." Mendengar hal itu membuat Miko mengangguk, sejujurnya ia tidak membenci sosok Justin, juga tidak menganggap sebagai saingannya apalagi tidak menyukainya karena mendekati Celia, tapi bagi Miko ia takut kalau Justin yang sudah tahu tentang dunia luar akan menyakiti C
Celia duduk diam menunduk kepalanya di bangku panjang di dalam bandara. Gadis cantik itu meletakkan tangannya di dada dan menggenggam kalung yang tadi Justin pakaikan padanya. Ponsel Celia berdering dan ternyata panggilan dari Papanya. Namun Celia enggan menjawab, pasti mereka hanya bertanya dia di mana, setelah itu mereka mengatakan mereka akan pergi dan Celia sendirian lagi. "Mereka pasti cuma mau pamit pergi saja," gumam Celia kembali mendongakkan kepalanya menatap sekitar. Beberapa orang berlalu-lalang di depannya dan tidak seramai tadi.Namun pintu kaca di depan sana tiba-tiba terbuka, nampak Ludwick berlari ke arahnya dan menatap wajah Celia dengan lekat. "Cel, duh... Aku kira pulang sendiri," ujar laki-laki itu seraya merapatkan mantel hangatnya. Kening Celia mengerut dan ia menatapnya lesu. "Justin pergi ke London, mendadak pula," ucap Celia. "Udah, nggak usah dipikirin! Ayo pulang, salju turun tebal di luar Cel, ayo!" Ludwick menarik pelan lengan Celia. Mereka berdua
Dia minggu berlalu dengan cepat. Celia menjalani harinya seperti biasa dan gadis itu kini sedikit menjaga jarak dengan sang Kakak, lebih tepatnya saat mereka bertengkar beberapa waktu yang lalu. Hari ini di rumah Celia kedatangan tamu penting, Miko akan bertunangan dalam waktu dekat ini. Kakak laki-laki Celia itu mudah sekali mendapatkan seorang pasangan. Calon istrinya pun sangat cantik, tapi secantik apapun dia Celia yang marah pada Miko, ia ikut malas pula pada Kakak iparnya. "Celia, tidak mau kenalan sama Kak Arzela?" tanya Frisca saat melihat putrinya berjalan menuruni anak tangga. Celia diam, di sana Miko menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan."Tapi Mi, Celi buru-buru dan-""Sapa sebentar, apa susahnya sih, Cel!" Miko menatap sinis pada sang adik. Celia merotasikan kedua matanya, ia langsung mendekati calon Kakak iparnya dan gadis itu langsung mengulurkan tangannya dengan sopan. Arzela pun hanya tersenyum manis. "Celia cantik sekali," ucap Arzela. "Iya Kak, kayak
Setelah beberapa hari yang lalu Celia bertengkar dengan Kakaknya, Celia menjadi sangat tertutup. Bahkan dia tidak mau bicara dengan Miko sedikitpun. Miko mencemaskan akan diamnya sang adik yang tidak biasa. Dia terus kepikiran tentang Celia setiap kali. "Pagi Mi, Pi," sapa Miko pada Mama dan Papanya saat ia baru saja menuruni anak tangga menuju ruang makan. "Hem, pagi juga Sayang. Adik mana?" tanya Frisca pada si sulung. Miko langsung menoleh ke arah sampingnya di mana meja nampak kosong dan ternyata Celia belum juga ke sana. "Loh, aku pikir Celi sudah duluan," jawab Miko menghela napasnya pelan. "Belum. Sudah beberapa hari ini dia sepertinya tidak mood pada apapun, kenapa ya?" Frisca menatap suami dan anaknya dengan tatapan bingung. "Mungkin ada masalah sendiri, maklum anak gadis," sahut Daniel. "Tapi Sayang, aku merasa tidak biasanya dia seperti ini. Makanya aneh saja kalau Celia tiba-tiba murung." Miko menyadari satu hal yang benar-benar membuat Celia berubah bukan hanya p
"Thanks udah jagain Celia, sorry juga kalau adikku merepotkanmu," ucap Miko pada Justin. Justin hanya tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya saja. "Santai aja, Celia gadis yang patuh denganku," balas Justin. Mendengar kata patuh yang Justin katakan membuat Miko merasa hal aneh dan sedikit khawatir kalau Justin menyukai Celia. Bukannya tidak boleh, tapi Miko sangat takut kalau adiknya akan terjerumus dalam pergaulan laki-laki di depannya ini. "Sudah ayo pulang, Mami dan Papi sudah menunggu kita di rumah," ajak Miko pada Celia. "Tunggu sebentar Kak, aku harus pamit ke Justin dulu," ucap Celia memegangi lengan dengan sang Kakak. Celia menatap Justin dengan tatapan yang sangat hangat sebelum akhirnya gadis itu menunduk dan tersenyum kembali menatapnya. Sedangkan Justin hanya menyunggingkan senyum dan ia cukup paham bagaimana cara seorang Celia menunjukkan sikap polosnya. "Justin, aku pulang dulu ya aku mah terima kasih sudah menjaga aku. Emm... Kalau kau merasa bosan
Jam menunjukkan pukul sebelas malam, Celia masih berada di apartemen milik Justin dan di sana ada Ludwick juga yang terkejut dengan kehadiran gadis yang pernah ia jumpai di club malam beberapa waktu yang lalu. Namun Ludwick tidak mengatakan apapun, dia tetap diam bersama dengan Justin saja. "Heh, Justin... Dia gadis yang waktu itu, kan?!" pekik Ludwick menyenggol lengan Justin. Dan sahabatnya itu menoleh ke arah Celia yang nampak sedih. "Heem, dia putri Pak Daniel. Rekan kerjaku," jawab Justin. Ludwick langsung menelan saliva. "Gila aja, bisa-bisanya langsung dekat," seru laki-laki itu melirik Justin dan mengembuskan napasnya pelan.Justin terkekeh, ia pun berjalan mendekati Celia yang tengah sedih duduk di sofa di depan kamar Justin. Sesekali gadis itu menatap was-was pada Ludwick yang memperhatikannya. Saat Justin mendekat, Celia langsung menarik lengan laki-laki itu dimintanya untuk mendekat. "Justin... Temanmu itu kenspa melihat aku aneh, aku takut," ujar Celia jujur. Just