"Mamanya Kak Daniel marah-marah pada aku semalam Kak, dia nyalahin aku, tapi tidak apa-apa." Dante tersenyum manis menatap sang adik, ia harus memahami bagaimana tindakan dan juga apa yang akan dilakukan oleh Frisca ke depannya. Selama satu bulan penuh Frisca tinggal bersama dirinya, Dante tidak pernah luput satu hari pun berhenti untuk menasehati adiknya. "Terus? Mau menyerah begitu saja mendengar ocehan Mama mertuamu yang tidak penting?" tanya Dante. Gadis itu terkekeh menjalankan kepalanya pelan. "Tentu saja tidak, kalau Frisca menyerah, sama saja Frisca membodohi diri sendiri." "Hemm... Tumben banget adik kakak ini pinter," seru Dante mengusak gemas pucuk kepala Frisca. Gadis itu mengerucutkan bibirnya dan menepis tangan Dante dengan pelan. Sejak pagi tadi Dante menemaninya, karena Daniel hari ini bertugas seharian penuh akan pergi ke luar kota. Sebagai orang yang dipercayai nomor satu oleh Daniel, dan juga Dante yang sangat sayang pada adiknya, tidak mungkin ia mengabaika
Kedatangan Frisca ke rumahnya hari ini bisa dikatakan untuk kali pertama setelah ia pergi. Dante dengan membawa Frisca pulang ke rumah karena Mama merindukannya, dan Dante kugamemianta Mamanya untuk tidak marah-marah pada Frisca. "Ayo masuk, Mama sudah nunggu kamu di dalem," ajak Daniel menarik lengan Frisca. Gadis itu terlihat ragu, nyaris ia tidak mempercayai Kakaknya, namun akhirnya Dante kembali menarik lengannya dan diajaknya masuk Frisca ke dalam rumah. "Kak, nanti kalau mama marah padaku bagaimana? Apalagi kalau Daniel marah padaku bagaimana?" tanya Frisca dengan ekspresi takut."Sudah... Tidak akan ada yang berani marah padamu kalau Kakak di rumah, Frisca." Kembali Dante mengajak adiknya masuk ke dalam rumah dan tentu saja di sana langsung disambut oleh sang Mama yang terkejut melihat kedatangan Frisca. Wanita itu sudah satu bulan lebih tidak melihat putrinya dan ini ia segera meninggalkan ruang makan saat melihat putri bungsunya di bawa pulang oleh putra sulungnya. "Ya
Demi kenyamanan sang istri, Daniel benar-benar membelikan sebuah apartemen mewah untuk Frisca. Laki-laki itu tidak mau ada satu orang pun yang menganggu istrinya. Terlebih lagi Mamanya yang sangat sensitif sejak Frisca meninggalkan Daniel. Mereka kini berdua berada di depan apartemen baru yang Daniel baru saja belikan untuk Frisca. "Kita bisa tinggal di sini, dan bisa juga tinggal di rumah," ujar Daniel seraya membuka pintu apartemen dengan lebar. Senyuman Frisca langsung mengembang, ia melangkah masuk dan menatap tempat yang didominasi cat berwarna putih salju dan beberapa barang-barang yang baru. "Suka?" tanya Daniel memeluknya. "Suka banget. Frisca yakin kalau Frisca akan beta tinggal di tempat ini," ujar gadis itu berjalan ke arah dinding kaca dan membuka gorden dan berwarna hitam di sana. Daniel hanya menatapnya saja, ia tersenyum senang melihat istrinya yang begitu lega. "Pemandangan kota juga bagus dari sini, Kak Daniel," ujar Frisca menunjuk ke arah luar. "Heem, kalau
Malam hari di apartemen ternyata sangat nyaman. Frisca merasa sangat betah di apartemen dari pada di rumahnya. Bahkan suaminya juga setia menemaninya di sana. Daniel baru saja pergi keluar membelikan makan untuknya. Laki-laki itu juga tidak menyentuh laptopnya sama sekali. "Buka Daniel, besok pagi kita jalan-jalan di sekitar sana ya," ajak Frisca pada suaminya seraya menunjuk trotoar jalanan di tepian taman. "Iya sayang, tapi jangan terlalu lama. Aku takut terjadi sesuatu padamu," jawab Daniel. "Heem," jawab Frisca. Gadis itu duduk meluruskan kedua kakinya dan bersandar pada punggung sofa. Frisca dia memperhatikan kedua kakinya dengan bibir yang tiba-tiba cemberut. Daniel memiringkan kepalanya menatap sang istri dan juga memperhatikan mimik wajahnya yang berubah. "Kenapa?" tanya laki-laki itu. "Kakiku nyeri sekali, sedikit bengkak," ujar Frisca menunjuk kaki kirinya. "Coba aku lihat." Daniel langsung duduk di sampingnya dan ia meraih kedua kaki Frisca untuk ia tempatkan di at
Untuk kali pertama Frisca mengetahui keindahan negara Spanyol. Biasanya ia hanya lihat keindahan negara itu dari media sosialnya saja. Tapi hari ini kakinya benar-benar menapak di tanah Spanyol yang sudah lama ia impi-impikan. "Ternyata Spanyol seindah ini, tidak ada bedanya dengan di rumah," kekeh Frisca. Daniel menoleh dan tersenyum. "Tentu saja berbeda, di sini menyuguhkan pemandangan yang sangat indah." "Tapi kalau Kak Daniel ke sini hanya untuk urusan bisnis dan tidak mengajakku jalan-jalan sama saja pemandangan di sini tidak menarik untukku." Daniel terkekeh. Ia masuk ke dalam kamar hotelnya dan membawa tas milik Frisca yang berisi beberapa stelan pakaian. Sedangkan gadis itu berdiri di depan jendela menatap ke arah luar dengan pemandangan yang sangat indah di sana. "Cepatlah mandi, setelah ini kita mencari makan di luar," ajak Daniel. "Huum, kita jalan-jalan ke sekitar sana ya, Kak!" pinta Frisca menunjuk ke arah luar. "Iya Sayang, cepatlah bergegas." "Okay Boss!" Fr
Hari sudah sore, Frisca baru saja kembali dari jalan-jalan bersama Dante. Bersama sang Kakak, Frisca bisa bebas ke mana saja. Kadang Frisca berharap kalau suaminya bisa belajar dari Dante. Selama mereka menjadi sahabat, ternyata tidak ada kemiripan sama sekali seiring berjalannya waktu. "Baru pulang? Jalan-jalan ke mana saja, Sayang?" tanya Daniel menatap wajah cantik istrinya. Frisca hanya sekejap saja melirik Daniel sebelum ia tersenyum tipis. "Pokoknya keliling di sekitar sinian saja. Kak Dante juga tidak mengeluh kok, aku mau ke manapun," jawab Frisca melepaskan kardigannya. "Kak Dante juga tidak banyak menolak, dia tetap menjadi laki-laki terbaik buat aku." Mendengar apa yang barusan dikatakan oleh istrinya, Daniel merasa tidak enak hati, terlebih ia tidak bisa menemani Frisca dengan bebas. "Kalau begitu besok adalah giliranku mengajakmu jalan-jalan." Daniel berucap dengan santai, seraya duduk di sofa memperhatikan istrinya yang membuka kotak kue yang baru saja dia beli. F
"Berkas perusahaan itu tidak benar-benar hilang, melainkan ada di brankas utama dan salinannya terpisah, jadi itu penyebab utamanya." Daniel dan Dante mengembuskan napasnya berat, mereka berdua ingin sekali melemparkan baku hantam pada laki-laki tua di depan mereka saat ini. "Lebih baik kau jangan memperkerjakan orang yang sudah tua dan pikun!" seru Dante menatap lurus pada Levin, rekan kerjanya. "Yahh... tidak begitu juga maksudku, Dante," sahut laki-laki itu seraya terkekeh. "Hemm, begitulah, kadang kau cukup bodoh!" Daniel yang sejak tadi diam, ia hanya memperhatikan dua temannya yang saling bertikai. Di sana ada Frisca juga yang ikut bersama Daniel ke kantor hari ini. Frisca awalnya ingin melihat seperti apa hebohnya di kantor pusat saat yang namanya berkas paling penting hilang, tapi saat di sana malah Frisca melihat kakaknya adu mulut. "Kak Dante!" pekik Frisca menarik lengan sang Kakak. "Jangan ribut ih... Malu-maluin aja!" teriak Frisca. "Diam Frisca! Kalau Levin tidak
Beberapa bulan kemudian...."Kalau aku belum pulang, jangan keluar apartemen, Sayang. Kalau ingin apa-apa, tinggal hubungi Kevin dan minta dia datang membelikan apapun yang kamu mau, paham?!" Daniel menatap lekat wajah cantik istrinya. Frisca hanya tersenyum manis dan mengacungkan jempolnya. "Iya Sayang. Aku sudah hafal dengan semua itu. Tidak boleh keluar apartemen, tidak boleh pergi jauh-jauh, jangan membuka pintu kalau tidak kenapa siapa orang yang datang, tidak boleh terlambat sarapan dan..." Daniel pun langsung tersenyum tiba-tiba. Laki-laki itu paham bagaimana dengan istrinya ini. Ia memeluk sang istri dengan sangat erat dan mengecup pipi Frisca. Kandungan Frisca sudah berusia lima bulan, sudah membesar dan Frisca juga membutuhkan banyak waktu istirahat. "Ini Sayang..." Frisca menyerahkan jas hitam milik suaminya. "Jangan pulang sore-sore ya, aku tidak bisa sendirian di sini." "Iya... Tenang saja, aku akan pulang pukul setengah dua nanti siang. Hari ini aku hanya akan meng