Intan dan Dicky mulai membuat strategi untuk mengetahui bagaimana baby sitter yang mereka pekerjakan mengasuh anak mereka. Intan dan Dicky menaruh CCTV pada tempat yang tidak bisa Siska lihat. Tepatnya di dalam kamar sang anak. Selesai memasang kamera tersembunyi, Intan dan Dicky bekerja seperti biasa ke kantor. Sebelum berangkat, Intan memandang wajah kedua anaknya bergantian. Entah mengapa ada perasaan berat meninggalkan keduanya hari ini. Dicky pun sama. Ia seperti enggan pergi ke kantor hari ini. Akan tetapi, bagaimana pun mereka harus pergi bekerja untuk memenuhi segala kebutuhan hidup mereka. "Arsya dan Arsyi baik-baik ya sama Sus Siska?" Intan berjongkok di hadapan kedua anaknya. Arsya dan Arsyi hanya mengangguk lemah. Rizal benar, kedua anaknya kini memang terlihat berbeda. Mereka cenderung menjadi pendiam dan selalu berwajah murung. "Kenapa engga jawab, Nak?" Dicky ikut berjongkok di depan kedua anaknya. "Arsya dan Arsyi pasti anteng main sama Sus Siska ya?" Siska
Hari Minggu, adalah hari yang dipilih oleh dua keluarga untuk membicarakan rencana mereka. Dua keluarga itu adalah keluarga Dokter Ali dan Dokter Bagus. Sesuai janjinya, Dokter Ali mendatangi rumah teman sejawatnya itu setelah pernikahan Reynard telah dilaksanakan. Dokter Ali memboyong semua keluarganya, kecuali Reynard. Suami dari Sofia itu berhalangan hadir karena sibuknya jadwal praktek yang tak bisa ia tinggalkan. Jadilah Dokter Ali membawa Istrinya. Ghina, dan putranya Rangga. Sedangkan putri bungsunya, Melisa. Gadis cantik itu tak hadir karena tak setuju dengan keputusan sang ayah. Melisa tak pernah percaya bahwa Rangga berlaku demikian. Ia yakin, Paula dan Dokter Bagus dalang di balik ini semua. Kedatangan keluarga Dokter Ali disambut dengan hangat oleh keluarga Dokter Bagus. Bahkan kedua kakak laki-laki Paula yang di luar negeri datang hanya untuk menyaksikan rencana pernikahan adik bungsunya itu. Kedua keluarga itu telah duduk saling berhadapan di ruang tamu yang bernuan
Setelah puas berpamitan pada teman-teman sejawatnya, Rizal mendatangi kontrakan sang adik. Tujuannya adalah ingin berpamitan pada Eril. Rizal sudah menimbang-nimbang, hanya Eril yang akan ia datangi. Rizal belum siap jika harus bertemu dengan Mega, terlebih dengan Daffa. Luka itu masih saja terpatri di hatinya walau Rizal sudah berusaha untuk ikhlas atas semua yang terjadi. Untuk Bu Laksmi sendiri, Rizal sudah mentransfer uang senilai 50 juta pada sang ibu. Bagaimana pun Rizal tak akan tenang meninggalkan sang ibu yang kini bak sebatang kara diacuhkan oleh anak-anaknya. Rizal tak sampai hati bila rumah masa kecil mereka di sita bank jika sang ibu tak bisa melunasi sisa pembayaran yang tinggal dua bulan lagi saja. Setidaknya hati Rizal akan tenang karena sang ibu mempunyai pegangan. Akan tetapi, Rizal juga tak ingin dimanfaatkan oleh sang ibu seperti sebelum-sebelumnya. Rizal hanya akan memberi uang jika itu untuk urusan genting saja. Mobil Rizal kini terparkir di halaman kontrakan E
Sudah beberapa bulan ini Delia tak ada kegiatan yang bisa membuat otaknya segar. Wanita itu masih asyik merenungi kesalahannya. apalagi ia diberikan sanksi dengan pelarangan terbang selama beberapa bulan. Setiap hari ia selalu sibuk menikmati rasa penyesalannya kepada sang mantan suami. Tiada teman membuat hatinya dilanda kesepian dan juga stres. Sering kali kesedihan Delia ia ungkapkan dengan membuat sebuah konten. Namun naas, bukannya kasihan, warganet justru membully Delia habis-habisan. Hal itu membuat mental Delia semakin terpuruk. Delia kini sedang merebahkan tubuhnya di sebuah ranjang yang bernuansa gold. Air matanya tak lagi keluar, ia sudah cukup lelah menangis, meratapi penyesalannya yang tak berujung. Bahkan tangisannya tak mampu menyentuh hati Rizal untuk kembali padanya. Sebuah pencetan bell mengalihkan perhatiannya. Dengan malas Delia bangkit dari posisi tidurannya. Ia mengira itu adalah tukang laundry yang biasa mengantarkan pakaiannya atau ojek online karena ia sed
Bu Laksmi menghitung uang yang ada di ATM nya. Bu Laksmi menghela nafas gusar. Kini keuangannya sudah di ujung tanduk. Uang dari Rizal sudah ia bayarkan tunggakan ke bank sampai lunas. Bu Laksmi juga membeli apapun yang ia inginkan. Kini hanya tersisa delapan juta saja untuk hidupnya ke depan. Bu Laksmi merasa pusing, uang delapan juta pasti tidak cukup untuk tabungan di hari tuanya. Netra yang sudah berusia senja itu berkaca-kaca karena tak ada seorang pun anaknya yang mengunjunginya dirinya kecuali Rizal tempo hari yang berpamitan pergi. Bahkan Mega yang ia bela mati-matian pun tak ada mengunjungi dirinya atau menelepon hanya untuk sekedar menanyakan kabar. Bu Laksmi merasa kesepian, ia sebatang kara sekarang. Dirinya teringat dengan Dicky. Biasanya anak sulungnya itu adalah anak yang paling perhatian padanya. Namun, Dicky pun sudah berubah dan menjauhinya. Bu Laksmi mencoba merenungi semua kesalahannya. Ia mulai mengingat perlakuannya pada semua putranya. "Tidak, mereka sa
Mega baru saja pulang dari puskesmas. Seharian ini moodnya sangat buruk. Prilaku Dafa benar-benar membuat dirinya seolah tak berharga. Apalagi hormon kehamilan semakin membuatnya sensitif. Mega berharap ketika pulang Dafa mau meminta maaf karena sudah menamparnya. Tubuh Mega begitu lelah. Bayang-bayang kasur empuk sudah ada di pelupuk matanya. Mega tak sabar untuk melepas lelah setelah seharian bekerja. Akan tetapi, angan-angan istirahat pun buyar kala ia membuka pintu dan melihat mertuanya ada di sana. "Mami, Papi?" Wajah Mega yang pucat memaksakan senyumnya kala melihat kedua mertua yang selalu saja membuatnya tak nyaman ada di dalam rumahnya. Ami dan Setiawan hanya melirik sekilas. Kemudian mereka melanjutkan pembicaraan dengan Dafa seolah tak melihat kedatangan Mega. Hubungan ketiganya terlihat sangat hangat. Ami dan Setiawan juga tampak tak pernah membahas perselingkuhan yang dilakukan oleh putra mereka. Apa memang hal seperti itu biasa Dafa lakukan? Mega tak ingin semakin pu
Sofia masih setia menunggu Reynard pulang, wanita cantik itu melirik jam dinding. Sudah pukul sembilan malam, tapi Reynard belum juga sampai ke rumah. Sofia mengambil ponselnya yang tergeletak di atas nakas, ia mengirimkan chat ke nomor suaminya. Namun, Reynard tak juga membaca dan membalas pesan itu. Tak putus asa, Sofia pun menelepon nomor sang suami. Tapi nihil, panggilan itu terus saja berdering dan tak diangkat oleh si empu nomor. "Kemana kamu, Rey?" Resah Sofia, hatinya begitu mencemaskan Reynard. Sofia tak berpindah sedikit pun dari tempat duduknya, ia tetap menunggu Reynard di ruang keluarga. Tak ada yang menemaninya, karena kedua pembantunya sudah pamit untuk istirahat ke dalam kamar mereka masing-masing. Setelah menikah dengan Sofia, Reynard mengubah jam prakteknya di rumah sakit. Jika saat lajang jam prakteknya berakhir pukul sembilan malam. Namun, tidak dengan sekarang. Reynard mengganti jadwalnya siang sampai sore. Jadi, Maghrib Reynard sudah ada di rumah menemani
Rizal termenung di dalam mobilnya. Pikirannya begitu kalut tentang kedua keponakannya. Dicky memang baru menghubungi dirinya terkait apa yang terjadi pada Arsya dan Arsyi. Rizal bergegas segera ke rumah sakit yang kakaknya sebutkan. Tangannya mengepal erat mengingat apa yang terjadi pada kedua keponakannya. "Sudah aku duga," Rizal bergumam sembari mengingat dirinya yang beberapa kali memergoki kejanggalan pada sikap kedua keponakannya. Sesampainya di rumah sakit, Rizal berlari ke arah instalasi gawat darurat. Ia melihat kakaknya sedang duduk termenung dengan wajah yang sembab dan penampilan yang berantakan. "Mana Arsya dan Arsyi?" Tanya Rizal tak berbasa-basi. "Mereka sedang ditolong oleh tim medis," jawab Dicky dengan suara parau. "Kak Intan?" Rizal menanyakan keberadaan sang kakak ipar karena tak terlihat Intan ada di sana. "Sedang ditolong dokter. Tadi dia pingsan," timpal Dicky. "Sebenarnya apa yang dilakukan oleh baby sitter itu, Kak?" Tanya Rizal. Ia memang belum meliha