Mega pulang ke rumah ibunya dengan hampa. Entah mengapa perasaannya kini sangat kosong. Sesudah pulang bekerja dari Puskesmas, Mega memilih untuk tidak membuka praktek. Ia ingin mendinginkan kepala dan juga hatinya yang sedang panas. Entah mengapa firasatnya sangat buruk tentang Daffa. "Ga, ngapain kamu duduk lesehan di sini?" Tegur Bu Laksmi yang baru keluar dari dalam rumah ketika melihat seseorang duduk di terasnya. Mega tak menjawab. Tatapannya menerawang jauh ke depan. Ia begitu mempunyai pikiran buruk kini tentang suaminya. Meskipun Daffa berprilaku manis, tapi Mega tetap saja risau. Apalagi saat melakukan video call terakhir dengan Daffa, ia melihat tanda merah yang sangat banyak di leher suaminya. Itulah yang membuat Mega sangat gundah gulana dibuatnya. "Kamu kenapa?" Bu Laksmi terduduk di samping Mega tatkala sang putri bungsunya itu tak kunjung jua menjawab pertanyaannya. "Aku punya firasat Mas Daffa selingkuh, Bu," Mega meluapkan kecurigaannya pada sang ibu. Antara anak
"Intan jangan kurang ajar kamu ya! Kamu ingin menjadi Sofia kedua yang kami asingkan, hah?" Bu Laksmi berteriak yang membuat para tetangganya berbisik-bisik tentang apa yang terjadi. "Asingkan? Silahkan saja! Haha engga ngefek juga kalau aku diasingkan sama kalian. Yang ada aku happy karena suamiku engga perlu bayar cicilan kalian lagi," Intan menyedekapkan tangannya di dada. Tak gentar sedikitipun berhadapan dengan Bu Laksmi dan Mega yang sudah sangat ingin menjambak rambutnya. Saat keadaan semakin memanas, mobil Eril dan Lily memasuki pekarangan. Keduanya tampak penasaran mengapa Intan terlihat seperti akan adu jotos dengan Bu Laksmi dan Mega. Sedangkan ketiga orang yang berseteru itu seolah tidak menyadari kedatangan Eril dan Lily karena atmosfer ketiganya sangat panas. "Denger ya kalian! Suami aku itu bukan si bodoh Eril yang bisa kalian setir ke sana ke sini. Suamiku bukan seorang boneka yang bakal buang aku atas suruhan kalian. Dan kamu Mega!" Intan melirik sekali lagi ke
Keesokan harinya Lily sumringah saat melihat aneka lauk pauk sudah terhidang di meja makan. Tebakannya benar, wemuanya akan terasa lebih mudah jika satu rumah dengan Bu Laksmi. Dengan tergopoh Bu Laksmi membawa piring untuk anak dan menantunya. "Ly, kamu bantuin ibu dong bawa alat makan! Jangan duduk aja kaya tuan putri!" Ketus Rizal saat melihat adik iparnya malah asyik memainkan gawainya, sesekali wanita itu tertawa sendiri. "Ly!" Eril membentak. Ia tak membela istrinya di hadapan Rizal. Karena memang adanya, Lily sangat malas sebagai seorang istri dan calon ibu. "Bantuin ibu sana!" Titah Eril, akhir-akhir ini ia sangat muak dengan peringai asli Lily. "Aku tuh lagi hamil. Gak boleh ngelakuin yang berat-berat," Lily mencebik. Ia menyimpan ponselnya dan mulai mengambil piring yang sudah diletakan oleh Bu Laksmi. "Sendoknya belum ada, Bu. tolong ambilin ya!" Perintah Lily tanpa rasa canggung. "Ambil sendiri, Ly. Ibu capek banget nih. Sendoknya deket westafel. Baru aja
Pagi harinya Sofia pergi berbelanja ke super market. Ia diberikan tugas oleh Sri untuk berbelanja kebutuhan dapur dan belanja bulanan. Sofia tak diberikan uang cash, ia sudah dibekali black card yang menjadi kartu pribadinya oleh Hartanto. Pria itu benar-benar memanjakan Sofia dan keluarga kecilnya. Sofia teringat akan kenangannya selama menjalani biduk rumah tangga bersama Eril. Ia kerap berbelanja menu seadanya. Tak jarang dirinya hanya membeli dua butir telur untuk Eril makan. Sementara untuk dirinya, Sofia rela makan hanya dengan nasi dan garam saja. Tak henti dirinya mengucap syukur karena kini bisa berbelanja sesuka hati. Namun Sofia tetaplah Sofia. ia tidak suka menghamburkan uang untuk membeli barang atau makanan yang tidak perlu. Sofia memasuki lorong area fresh. Ia membeli buah dan daging. Sofia melihat mangga, buah kesukaannya. Ia pun memasukan beberapa mangga yang mempunyai bau yang sangat harum itu ke plastik buah yang sudah ia ambil. Sofia begitu fokus memilih buah m
Malamnya Reynard mengabari Sofia untuk menagih janji wanita itu yang akan menemaninya meminum cokelat panas di restoran favorit Reynard. Dokter tampan itu sudah melakukan reservasi di restoran mewah yang tak jauh dari pusat kota. Sofia menyanggupi permintaan Reynard. Wanita cantik itu berdandan. Ia mengenakan dress rok panjang dan menggerai rambut panjangnya. Sofia tersenyum manis saat melihat pantulan dirinya di depan cermin. Sofia tak menyangka bebek yang buruk rupa berubah menjadi angsa yang begitu cantik. Lagi-lagi ia bersyukur karena kuasa Allah lah yang menjadikan semua ini nyata. Setelah selesai berdandan, Sofia menghampiri Hartanto. Hartanto sedang bersiap-siap untuk menghadiri konferensi pers. Malam ini ia akan memperkenalkan Rahman sebagai penerus sahnya. Sofia pun diajak. Namun Sofia menolak karena ia sudah mempunyai janji dengan Reynard. Sofia pun mengerti bahwa itu adalah acara untuk ayahnya, Rahman. Ia tak mau mengganggu momen Rahman dan Hartanto. "Cantik sekali cu
Hari minggu Bu Laksmi berkebun seperti biasanya. Sudah tiga hari Intan tak menunjukan batang hidungnya. Bahkan Dicky menelfon sang ibu dan meminta penjelasan mengenai peristiwa yang terjadi di teras rumah Bu Laksmi tempo hari. Dicky juga mempertanyakan sikap Eril yang akan memukul Intan. Seperti biasa, Bu Laksmi bersilat lidah dan mengatakan jika Intan yang memulai dengan mengungkit hutang. Tentunya Dicky tidak percaya sedikit pun akan perkataan ibunya. Ia sangat tahu watak istrinya. Walau geram masalah pembayaran utang piutang sang mertua, tetapi Intan tak akan memulai lebih dulu dengan menyinggung Bu Laksmi. Wanita itu selama ini selalu hormat terhadap Bu Laksmi walaupun hatinya memberontak. Dicky tidak mudah terhasut dengan perkataan Bu Laksmi. Ia sudah sangat hapal bagaimana peringai wanita yang melahirkannya. Bu Laksmi memang manifulatif dan tentunya pandai bersilat lidah. "Dua anak itu engga akan dititipin ke sini lagi kan, Bu?" Tanya Mega yang melihat ibunya tengah memasuka
Lily berangkat mengenakan dress formal milik Mega. Wanita itu terlihat glamour dengan penampilannya saat ini. Eril memicingkan matanya. Matanya cukup lelah melihat sang istri terus berputar di depan cermin lemari yang ada di kamar mereka. "Mau berapa kali lagi kamu muter muter di sana? Engga pusing, hah?" Ucap Eril dengan nada yang begitu ketus seraya melipat tangannya di dada. "Sayang, aku cantik kan?" Tanya Lily pada sang suami yang sudah siap dari satu jam yang lalu. Akan tetapi, mereka belum kunjung pergi karena Lily belum juga berhenti mengagumi penampilannya hari ini. "Hmmm," Eril memutar bola matanya malas. Untuk saat ini pria itu sangat merindukan Sofia. Walaupun Sofia selalu berdaster lusuh dan berpenampilan sederhana, akan tetapi semua kebutuhan Eril selalu disiapkan dengan baik. Saat Eril membuka mata di pagi hari, semua kebutuhannya sudah siap. Baju kerja sudah disetrika, air hangat sudah ada di kamar mandi, rumah sudah bersih, sarapan pun sudah tersedia dengan le
Eril mengeluarkan semua dress Lily dari dalam lemari. Lily yang sedang marah pun bertambah emosi melihat kelakuan suaminya. Eril terus mengeluarkan dress milik istrinya dengan harapan Lily segera mengganti dress yang tengah ia pakai. "Kamu ini kenapa sih, Er?" Lily berteriak. "Ganti bajunya dan balikin ke Mega!" Eril berucap sembari terus mengeluarkan dres-dress Lily. "Cukup, Er!" Lily kemudian menghentikan suaminya yang sedang diliputi amarah yang berkobar. "Kami ini kenapa malah berantakin baju-baju aku?" Lily berjongkok dan memunguti satu persatu baju-bajunya yang tercecer di lantai. "Ya, kamu ganti dress milik Mega dengan milik kamu!" Teriak Eril yang sudah sangat emosi. Perutnya yang lapar membuat kemarahan nya naik berkali-kali lipat. "Aku engga mau ya ganti baju ini, Er! Aku udah oke gini masa disuruh ganti baju!" Lily memasukan baju-bajunya ke dalam lemari. "Kalau gitu engga usah berangkat ke kondangan!" Eril hendak membuka kemeja batiknya, tapi Lily segera mena