Lily berangkat mengenakan dress formal milik Mega. Wanita itu terlihat glamour dengan penampilannya saat ini. Eril memicingkan matanya. Matanya cukup lelah melihat sang istri terus berputar di depan cermin lemari yang ada di kamar mereka. "Mau berapa kali lagi kamu muter muter di sana? Engga pusing, hah?" Ucap Eril dengan nada yang begitu ketus seraya melipat tangannya di dada. "Sayang, aku cantik kan?" Tanya Lily pada sang suami yang sudah siap dari satu jam yang lalu. Akan tetapi, mereka belum kunjung pergi karena Lily belum juga berhenti mengagumi penampilannya hari ini. "Hmmm," Eril memutar bola matanya malas. Untuk saat ini pria itu sangat merindukan Sofia. Walaupun Sofia selalu berdaster lusuh dan berpenampilan sederhana, akan tetapi semua kebutuhan Eril selalu disiapkan dengan baik. Saat Eril membuka mata di pagi hari, semua kebutuhannya sudah siap. Baju kerja sudah disetrika, air hangat sudah ada di kamar mandi, rumah sudah bersih, sarapan pun sudah tersedia dengan le
Eril mengeluarkan semua dress Lily dari dalam lemari. Lily yang sedang marah pun bertambah emosi melihat kelakuan suaminya. Eril terus mengeluarkan dress milik istrinya dengan harapan Lily segera mengganti dress yang tengah ia pakai. "Kamu ini kenapa sih, Er?" Lily berteriak. "Ganti bajunya dan balikin ke Mega!" Eril berucap sembari terus mengeluarkan dres-dress Lily. "Cukup, Er!" Lily kemudian menghentikan suaminya yang sedang diliputi amarah yang berkobar. "Kami ini kenapa malah berantakin baju-baju aku?" Lily berjongkok dan memunguti satu persatu baju-bajunya yang tercecer di lantai. "Ya, kamu ganti dress milik Mega dengan milik kamu!" Teriak Eril yang sudah sangat emosi. Perutnya yang lapar membuat kemarahan nya naik berkali-kali lipat. "Aku engga mau ya ganti baju ini, Er! Aku udah oke gini masa disuruh ganti baju!" Lily memasukan baju-bajunya ke dalam lemari. "Kalau gitu engga usah berangkat ke kondangan!" Eril hendak membuka kemeja batiknya, tapi Lily segera mena
Hartanto, Sri, dan Rahman berangkat menaiki mobil mewah yang telah terparkir. Hari ini mereka akan menghadiri peresmian pembukaan gedung baru milik Hartanto yang telah resmi Rahman pimpin. Hari ini pun Hartanto akan melakukan konferensi pers mengumumkan Rahman sebagai penerus dan direktur utama yang baru. Rahman terlihat sangat grogi. Dengan sigap Sri memegang tangannya untuk menguatkan sang suami. Rahman hari ini memakai setelan jas yang sangat rapi, pun dengan Sri memakai kebaya yang anggun dan terlihat memukau. Wanita itu terlihat berasa dari keluarga terpandang. "Bapak degdegan, Bu," lirih Rahman, tangan Rahman pun berkeringat karena rasa gugup yang melanda. "Nanti juga akan terbiasa kok, Pa. Ini cuma awal saja," dukung Sri tersenyum. Hartanto yang melihat kemesraan anak dan menantunya itu hanya tersenyum. Ia sudah salah mengira tentang Sri. Dulu Hartanto berpikir jika Sri adalah wanita yang materialistis, yang mengincar harta Rahman saja. Namun Hartanto salah, Sri pun te
Sofia dan Reynard kini tengah menikmati sebuah menu dessert dan cokelat panas di sebuah restoran berbintang lima. Mereka begitu puas dengan rasa dessert yang begitu memanjakan lidah mereka. Reynard memang suka dessert, namun hanya sesekali ia bisa menikmatinya, Reynard begitu menjaga tubuhnya dari asupan gula. Namun malam ini, ia mengajak Sofia menikmati dessert bersama. Sudah lama Reynars tak mencicipi dessert dan cokelat panas kesukaannya. Getaran ponsel Sofia membuat Sofia dan Reynard menatap benda pipih itu. Kebetulan ponsel milik janda cantik itu di simpan di atas meja. Sofia mengambil ponselnya, ia langsung mengernyitkan dahi saat melihat siapa yang melakukan panggilan padanya. Sofia mereject panggilan itu. Terlihat sekali wanita cantik itu begitu tak nyaman saat melihat layar ponselnya. Namun lagi-lagi ponselnya bergetar membuat Sofia mendecakan lidahnya karena merasa jengkel. "Siapa, Sofia?" Reynard tak bisa membendung rasa penasarannya saat ponsel Sofia bergetar berulan
Jam menunjukan pukul sembilan pagi, tapi Mega masih tertidur di kasur empuknya. Bu Laksmi yang menyadari Mega tidak bersiap berangkat kerja pun merasa heran. Biasanya Mega tidak akan membolos. Ia adalah pekerja puskesmas yang tergolong rajin walau sikapnya sangat tidak bersahabat di sana."Ga, kamu engga kerja?" Bu Laksmi masuk ke dalam kamar Mega dan mengguncang tubuh sang putri dengan pelan."Engga, Bu. Aku engga enak badan," Mega menjawab dengan lemah."Kamu kenapa, Ga?" Bu Laksmi menyentuh kening Mega. Akan tetapi, suhu tubuhnya normal."Engga tau, Bu. Perasan badan aku cape dan lemas banget," Mega berucap dengan lemah.Kemudian wanita itu segera bangun saat merasakan perutnya seakan diaduk-aduk dari dalam. Mega berlari ke arah kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Bu Laksmi mengekori dengan cemas. Mega memuntahkan semua makanan yang tadi malam ia makan ke dalam wastafel. "Kamu berobat ke dokter ya? Ibu khawatir," Bu Laksmi mengusap-usap punggung putrinya dengan perasaan cemas.
Mega mengabari seluruh keluarga mengenai kehamilannya. Rizal tertegun mendengar pengumuman kehamilan dari sang adik. Hatinya kemudian bersedih. Jujur saja Rizal sudah ingin memiliki anak dan menjadi orang tua. Akan tetapi, Bu Laksmi selalu mengatur agar Delia fokus pada pekerjaannya. Walaupun maskapai tempat Delia bekerja memperbolehkan pramugari yang bekerja sekian tahun untuk hamil, akan tetapi Bu Laksmi takut jika setelah melahirkan Delia akan resign. Tentu saja itu tidak bagus karena Bu Laksmi ingin Delia terus menghasilkan pundi-pundi rupiah dan membantu Rizal mencari nafkah."Doain ya Bu semoga Rizal juga segera punya anak," ucap Rizal walau hatinya kini merasa tercubit ketika mengatakan hal demikian. Pasalnya sudah dua bulan sang istri tidak ingin disentuh oleh dirinya. Jika Rizal ingin menuntut haknya, Delia selalu saja beralasan. Entah mengapa, Rizal pun tak tahu alasannya. Rizal mengingat perkataan sahabatnya yang juga berprofesi sebagai dokter gigi. Sahabatnya mengatakan j
Hartanto sedang makan malam bersama anak, menantu, dan cucunya. Masa tuanya lengkaplah sudah karena ia telah berkumpul dengan putra semata wayangnya. Walau tanpa sang istri, Hartanto bersyukur ia tak kesepian lagi karena ada Rahman dan keluarganya yang menemaninya. "Gimana makan malam kemarin, Sofia? Apa menyenangkan?" Hartanto mengawali pembicaraan. "Keluarga Rey mau bersilaturahmi katanya, Kek," Sofia berkata dengan malu-malu. "Alhamdulillah. Akhirnya, Bu!" Rahman tersenyum senang, akhirnya keinginannya mempunyai menantu seperti Reynard akan segera terlaksana. "Iya, Pak, Alhamdulillah Rey serius dengan niatnya," Sri tersenyum senang, ia ingin segera melihat Sofia ada yang menjaga dan membahagiakannya. Tentunya sebagai seorang ibu, ia menginginkan yang terbaik untuk anaknya. "Terus kamu udah siap, Sofia?" Lagi-lagi Hartanto bertanya. Memang Hartanto adalah seseorang yang mempertimbangkan segala sesuatu dari hal terkecil. Ia tak mau cucunya merasa terpaksa . "Hm, Sofia sih
Sore harinya Reynard mendatangi toko makeup milik Sofia. ia tersenyum saat wanita yang dicintainya sedang berdiri melayani beberapa pembeli. Sofia selalu tersenyum menyapa ramah para customer. Hati Reynard menghangat melihat senyuman itu. Semakin hari ia semakin tergila-gila saja pada janda muda itu. Hari ini Sofia memakai rok Plisket dengan blazer yang senada dengan rok. Penampilan yang sangat sederhana namun memberikan kesan yang anggun padanya. "Sofia?" Panggil Reynard kalem. Setelah memparkirkan mobilnya, dokter tampan itu segera menghampiri sang kekasih. "Rey?" Sofia tersenyum senang saat melihat Reynard. Sofia menyambut Reynard. Sofia menyuruh pria yang ia cintai untuk duduk dan menyajikan air mineral dingin. Reynard pun langsung membuka air kemasan itu dan meneguknya. "Gimana grand opening hari ini? Maaf aku terlambat. Tadi banyak sekali jadwal operasi," Reynard mengawali obrolan, terlihat sekali wajah Rey sangat lelah. "Alhamdulillah grand openingnya lancar, terima