"Jangan mengajakku bercanda! Kau sangat tidak cocok untuk hal semacam itu!"
Navier mencoba menyangkal pernyataan Edgar. Bagaimana pria itu dengan santai mengatakan jika punya penawarnya, sedangkan selama ini dia tidak pernah menyinggung apa pun soal racun itu? Kalau mungkin Edar memberitahu hal lain, mungkin Navier masih bisa percaya.
Akan tetapi, tidak dengan penawar itu.
"Kau tahu dengan pasti aku sedang bercanda atau tidak. Bukankah kita bersama tidak dalam satu atau dua tahun saja? Yah ... meski harus kuakui jika kita berpisah juga untuk waktu yang lama. Tapi, hey! Aku masih Edgar yang sama dengan yang dulu saat masib bersamamu."
"Tidak, kau bukan Edgar-ku. Edgar-ku sangat tampan! Wajahnya masih muda dengan rambut tanpa uban dan kulit kencang. Memang, siapa kau? Kau hanya pria tua dengan keriput dan uban di sana sini! Kurasa siapa pun pasti mengira jika kau ayahku!"
"Kau benar." Edgar berucap lirih.
Dia sangat menyadari perubahan m
"Kau mendapat ketenanganmu?" tanya Luois pada Edgar dan Navier yang telah kembali. Sudah lama sejak Edgar dan Navier meninggalkannya bersama Sean, Luois merasa bosan. Sean sangat kaku untuk diajak bicara, ditambah dengan mereka yang tidak pernah akrab. Semua itu membuat Luois merasa tidak nyaman. Sean hanya berbicara beberapa patah kata, setelah itu memilih untuk pulang. Mereka tidak terlibat perbincangan yang panjang dan serius. Hanya saling bertukar kabar dan menanyakan kesibukan masing-masing. "Aku cukup menikmati waktuku," jawab Edgar. Luois menatap wajah Navier yang menunduk dan terlihat lembab. Tidak ada kata yang terucap seperti sebelumnya. Dari hal itu, Luois bisa menyimpulkan jika mereka terlibat adu mulut. "Keadaanku sudah lebih baik, jadi aku sudah meminta dokter untuk kepulanganku." "Kapan?" "Katanya setelah hasil pemeriksaan dan tes lab keluar, aku bisa mendapat kabarnya. Kalau baik, aku sudah boleh pulang
Setelah perbincangan panjang mereka, Luois dan Edgar tidak saling bertegur sapa. Mereka seperti dua orang asing yang kebetulan berada di tempat dan ruang yang sama. Kalau saja Navier tidak berusaha mengajak berbincang keduanya, mungkin tidak ada percakapan yang bisa didengar olehnya. Kehadiran Navier di antara mereka, seolah menjadi penghubung. Edgar hanya akan mengajak Navier berbincang, begitu juga dengan Luois. Keduanya akan diam jika Navier sudah mulai mengusik dan berusaha menyambungkan keduanya. Dari semua itu, bahkan anak kecil pun bisa menebak jika mereka tengah adu perang dingin. "A-anu, Tuan Luois-" "Dad. Sudah berapa kali aku katakan untuk memanggil Dad!" "A-ah, ya, Dad. Bagaimana dengan bersiapnya?" tanya Navier. Beberapa waktu lalu, Luois menegaskan dengan jelas di depan Edgar bahwa Navier harus memanggilnya Dad. Navier memang memanggilnya Dad di waktu tertentu saja, tetapi terkadang masih lupa dan me
"Aku marah pada Dad karena tidak bisa memberi pembalasan pada Henry." Ucapan singkat dari Edgar, membuat Navier diam. Dia tidak lupa bahwa Edgar tahu bagaimana kondisi Henry yang terluka. "Bukankah kau sudah tahu jika Lissa yang melakukannya? Kau tahu, aku mulai berpikir kalau wanita itu pasti sedang memiliki kelainan psikis. Henry juga suah mengatakan padaku apa yang terjadi saat itu tanpa ada yang tertutupi. Kau tahu? Setelah keadian ini aku berpikir jika lebih baik kau menikahinya saja." "Kenapa kau berpikir begitu? Kau sudah tidak mencintaiku lagi sebagai seorang suami?" "Kata siapa kau suamiku? Aku ingat kalau dulu sudah menandatangani surat perceraian. Itu artinya baik aku maupun kau sudah tidak memiliki ikatan apa pun, kan?" "Aku sama sekali tidak pernah menyerahkannya pada pencatatan sipil! Kau harus tahu itu. Jadi secara teknis kita tidak pernah berpisah!" "Tapi kurasa lebih baik jika kita melakukan hal itu. Ayah dan ibumu tid
Semua percakapan itu, Luois telah mendengarnya dengan baik. Dia tidak menyangka Edgar akan mengucapkan hal yang seperti itu. Karena selama ini, dia juga sudah tahu apa yang dilakukan oleh Cassandra. Hanya saja, untuk membuat hati sadar itu terlalu sulit. Sebelum pergi Luois memang menyimpan satu alat penyadap jarak jauh untuk mendengarkan apa yang diperbincangkan putranya dengan sang menantu. Tidak menyangka jika dia mendapatkan fakta yang begitu mengiris hati. "Aku perlu meluruskan sesuatu," monolog Luois. Dia mengendarai sendiri mobil pribadinya untuk pergi ke tempat terakhir sebelum berakhir rumah sakit. Dia sudah hapal di mana jalan yang menuju ke sana. Jadi, tidak perlu petunjuk apa pun untuk sampai. Dia hanya perlu menguatkan diri dengan semua yang akan dihadapi. "Aku datang secara baik-baik untuk menemui istriku. Tenang saja, aku tidak akan membuat kekacauan dan membebaskannya." Luois menatap tajam beberapa orang berseragam hitam yang berdiri si luar bangunan itu. Dalam se
Bibir Cassandra bergetar.Selama ini belum pernah dia melihat Luois menangis seperti itu. Bahkan ketika Jonathan tiada, atau kelahiran Edgar sekalipun. Kini, suaminya mengucurkan air mata di depan matanya."Katakan di mana salahku mendidikmu sebagai istri, Cassie? Aku selalu membimbingmu ke jalan yang benar. Menegurmu jika salah, tak peduli sebanyak apa kau melakukan kesalahan. Selain menegur, aku juga membereskan semua kekacauan yang kau lakukan, Cassie. Sayang kau menggunakan itu sebagai tameng."Cassandra menggeleng dan menunduk.Dari segi mana pun Luois memang sempurna sebagai seorang suami. Dia saja yang ingin memanfaatkan hal itu untuk kepentingan pribadinya. Bahkan hingga titik akhir, Luois masih merasa ini salahnya."Aku selalu berharap kau tidak terlalu serakah. Tidak cukup untukmu mengambil pelajaran dari saat itu? Saat di mana harta kita habis dikuras wanita itu. Sebenarnya aku cukup heran padamu. Apa yang diperbuatnya hingga kau rela me
"Jika Cassandra tak memberi jawaban sama sekali, ke mana aku harus pergi?" monolog Luois.Dia pergi dan berjalan tanpa satu tujuan yang pasti. Dengan semua penyesalan yang bersarang di dadanya. Dengan semua kesia-siaan yang didapat karena menemui Cassandra yang tlah tidak waras."Ah, andai semua masih di sini, tentu tidak akan begitu terasa rumit," lanjutnya.Luois menyesali semua yang telah pergi tanpa dia sadari.Di mana Jonathan selaku ayahnya, yang sejak dulu bisa memberikan satu atau dua patah kata nasihat. Atau Felix yang sebelas dua belas dengan ayahnya, dan yang lainnya. Mereka kini semua telah tidak ada meninggalkannya sendiri.Henry mungkin juga bisa memberi solusi, tetapi dia bahkan tidak tahu ke mana anak itu pergi menyembuhkan diri. Hanya nama Felix yang disebut, tetapi Luois benar-benar tidak tahu apakah hal itu benar atau tidak.Sejak awal, ayahnya benar tentang segala hal.Edgar dirasa lebih mampu dari dirinya, hingga
Semua terjadi begitu cepat. Luois yang tiba-tiba mendatangi Edgar dan Navier, dan meminta maaf. Tak lupa salam maaf untuk Henry juga dan mengalihkan semua aset atas nama Edgar. Bahkan tidak ada sehari setelah itu, kabar mengejutkan telah sampai pada mereka . Luois dikabarkan tidak selamat dalam perjalanan menuju rumah sakit, karena kecelakaan yang menimpanya. Mobil yang dia kendarai menghantam truk yang melaju kencang hingga ringsek. Sementara penyebabnya adalah kecelakaan lain. Luois membanting setir hingga menabrak trus di jalur sebelah karena menghindari seseorang yang terjatuh dari sepedanya. Banyaknya saksi serta buki dukung dari CCTV jalan, membuat polisi menutup kasusnya dan menetapkan sebagai kecelakaan murni. Hanya saja, semua masih tidak menyangka jika Luois bisa secepat itu meninggalkan mereka. Terutama Edgar. Pria itu terlalu syok hingga kesehatannya kembali menurun. Padahal sebelumnya dia telah meng
Suasana duka masih terasa.Kepergian Luois yang begitu mendadak, membuat mereka masih menyayangkan kepergiannya. Namun, tidak semua ingin terlalu larut dalam duka tanpa batas itu, karena dunia masih harus berputar dan mereka harus mengikutinya."Semua aset Tuan Luois sudah diatasnamakan Tuan Edgar selaku ahli waris tunggal. Untuk Nyonya Cssandra, beliau memberikan rumah kedua mereka untuk tempat tinggal. Semua pekerja dan kebutuhan sehari-hari Nyonya akan ditanggung oleh Tuan Edgar selaku putranya."Pembacaan warisan oleh pengacara Luois berjalan tenang tanpa ada yang keberatan dengan itu. Tidak banyak yang hadir. Hanya beberapa gelintir orang termasuk Edgar, Navier dan Cassandra. Sebagian sudah tahu akan hal itu, tetapi yang lain hanya bisa menatap iba.Pemberian sebagian kecil untuk Cassandra tentu merupakan hal yang mengejutkan.Akan tetapi, bukan hal yang mengecewakan jika semuanya jatuh ke tangan Edgar. Semua orang tahu bagaimana perangai nyon
Selama ini Yuni tidak pernah merasa menyesal telah menyakiti Navier.Dia merasa selama ini Navier-lah yang membuatnya menderita. Ibunya merebut suami yang dia cintai, dan membagi rasa sayang yang dulu didapatkan secara penuh. Karena itulah ketika Elle meninggal, Yuni masih sanggup untuk menyiksa anak kecil itu.Hati Yuni sudah mati rasa untuk memberi rasa kasih untuk anak tirinya.Hingga Navier yang mulai membantu mencari penghasilan pun, Yuni tetap pada pendiriannya. Dia dengan kejam mampu meminta semua pendapatan Navier untuk diberikan pada putranya.Akan tetapi, perlahan rasa itu mulai terkikis.Yuni merasa bersalah saat melihat Navier tidak sadarkan diri dengan berbagai alat untuk menopang kehidupannya.'Sebenarnya aku bahkan tidak tahu alasan untuk membencimu,' batin Yuni.Dia memandang sendu, tak percaya dengan beberapa waktu yang lalu, di mana dia tidak sadar telah mencelakakan nyawa anak tirinya."Ib
"A-aku tidak menyangka jika kau bisa merencanakan semua ini pada Navier, Yun." Yuni terpekur. Dia sama sekali tidak menyangka jika suaminya akan mendengar perdebatannya dengan Navier, dan sedang saat mengungkit malam kelam itu. Tak hanya itu, Yuni juga menangkap raut kekecewaan yang terlalu kentara. "Aku sudah merawatnya sejak kecil! Kau pikir mudah membesarkan anak dari wanita yang menjadi madu di dalam rumah tangganya? Pikirkan itu, Lex! Ah, ya. Kau yang hanya membawa masalah mana paham hal yang seperti ini!" Di seumur mereka menikah, belum pernah dia mendengar nada kecewa dari Yuni hingga seperti itu. Dia tak tahu jika selama ini, istri pertamanya menyimpan luka dan melampiaskannya pada anaknya. Dulu, Alex mengira jika Yuni bisa menerima Navier selayaknya putri sendiri, karena Elle telah tiada. "Kukira kau menerimanya sebagai anak kandungmu sendiri, Yun. Kalau tahu kau setega itu padanya, kenapa tidak kau katakan saja padaku? Aku
"Kau!!! Kau masih punya muka untuk kembali ke sini!?" bentak Yuni.Navier tidak mengindahkan peringatan Edgar agar tidak kembali ke sana. Dia bersikukuh untuk kembali ke rumah tempatnya dibesarkan. Bagaimanapun juga, tempat itu berisi banyak kenangan yang tak bisa dia lupakan."Ibu, jangan lupa aku pernah kau besarkan. Aku pernah kau asuh dan kau beri makan," lirih Navier."Lalu dengan apa kau akan membayarnya? Bukankah saat itu kau sudah memiliki kesempatan, tetapi malah membuangnya? Kau!!! Bukannya membayar jasaku, malah meninggalkan semua kesulitan itu!?"Navier menunduk. Dia tetap berdiri di pintu gerbang halaman dan tidak diizinkan untuk masuk oleh Yuni.Sejak awal, Navier tidak tahu jika Yuni sedang libur bekerja. Namun, dia juga tidak berharap penuh jika Yuni sedang tidak ada.Dia hanya ingin beritikad baik dengan meluruskan kesalahpahaman di antara mereka."Aku memang tidak bisa membalasnya dengan keadaan saat itu, Ibu. Tapi ketahuilah! Aku juga melalui masa yang sulit. Aku ti
"Ada hal yang bisa kau gunakan untuk membela diri, Sayang?" tanya Edgar.Dia menatap tajam sang istri yang kini tengah berdiri dengan senyum seperti anak kecil yang ketahuan telah melakukan kesalahan. Di samping kiri sang istri, ada putra semata wayangnya yang sedang menunduk.Edgar merasa kesal karena mendapati wajah istrinya babak belur, dan puntranya tidak apa-apa. Padahal sebelumnya dia telah berpesan untuk menggantikannya menjaga satu-satunya wanita di keluarga mereka. Edgar tak ragu, karena dia sudah tahu bagaimana kemampuan Henry. Sayang sekali ekspektasinya terlalu tinggi."Jangan salahkan Henry, ya. Dia sudah melakukan hal yang kau pinta sebaik mungkin. Tidak ada hal sebaik Henry. Hanya saja dia datang terlalu terlambat untuk menjemputku," bela Navier."Jadi, ini semua adalah salahmu, begitu?""Tentu saja!""Lalu, apa yang bisa kau lakukan untuk menggantikan hukuman yang akan Henry dapatkan, Sayang?"Badan Navier bergidik nge
"Yun, hentikan!"Bukannya berhenti, Yuni justru semakin gencar mencerca Navier dengan kata-kata yang buruk. Suaminya sama sekali tidak dipedulikan lagi. Dia seolah buta dan tuli untuk semua hal.Yuni buta akan kebaikan yang selama itu Navier lakukan untuk keluarganya. Bagaimana dia yang harus berhenti untuk belajar, dan justru mencari pekerjaan sebanyak mungkin, dan membantu memenuhi semua hal yang diinginkan kedua adik tirinya.Dan tuli, akan segala perkataan suaminya."Bu, kau boleh menyalahkanku atas semua kesalahan yang terjadi di keluarga kita. Tapi kumohon untuk tidak menyudutkanku. Waktu sudah banyak berubah, dan aku juga tidak ingin mengingat masa lalu lagi. Aku akan melupakan semua yang telah kau lakukan padaku, dan mari untuk hidup lebih baik," pinta Navier.Yuni menggeleng. Air matanya mengalir semakin deras. Dia memandang ke arah suaminya yang kini sudah tidak sesempurna dulu. Memandang putra sulungnya yang juga tidak bisa mendapat kehi
"Dav, hentikan!!!" tegur ayah mereka.Keduanya masih saling beradu dan tidak menggubris teguran ayahnya. Sesekali Navier membalas pukulan adiknya, dan sisanya dia akan menghindar. Gerakan Davian begitu acak, menandakan bagaimana pria itu dididik dengan otodidak, bukan oleh ahilnya."Ternyata kau belajar cukup banyak, ya? Tidak seperti dulu yang hanya bisa berlindung di bawah ketiak ibu," sindir Navier."Diam kau! Kau tidak tahu masalah apa yang sudah kau tinggalkan untuk kami! Kau sama sekali tidakkk punya hati!"Navier mendecih sinis. Tidak punya hati? Bukankah kata-kata itu lebih patut dikatakan untuk Yuni, dan bukan dirinya?Setelah itu, dia memancing Davian untuk berkelahi di luar ruangan, dan masih mengundang pekikan ayahnya. Hanya sang adik yanag terkesn menuntut untuk menyerang, sedangkan Navier lebih tenang dan menghindar. Karena itu, ayah mereka benar-benar khawatir. Ia takut jika Davian melukai kakak perempuannya."Kalau begitu kau
"Apa tidak apa-apa jika ibu tahu aku akan datang?" tanya Navier.Setelah mereka berbincang, Navier memutuskan untuk ikut ayahnya pulang ke kediaman mereka yang dulu. Ayahnya takut jika Yuni datang dan tidak mendapati di mana pun. Karena bahan persediaan di rumah mereka telah habis, jadi Navier hanya bisa menurut.Sebenarnya dia bisa saja meminta Edgar atau Henry untuk mengantar bahan makanan itu. Terutama Edgar yang telah mengetahui di mana lokasinya. Sayang, Navier menolak dengan tegas. Dia tidak ingin suaminya turun tangan langsung, atau semuanya akan kacau."Tidak apa-apa, dia pasti sangat senang kau datang. Bukankah sudah lama kalian tidak bertemu?"'Yah ... itu sih kalau Ibu tidak dendam padaku,' batin Navier.Dia meringis saat mengingat masa lalu. Di mana dia yang kabur dan meninggalkan banyak masalah untuk ibunya.Tidak bisa dikatakan dia yang meninggalkan masalah untuk mereka, sebenarnya. Melainkan Yuni sendiri yang telah mengambil r
"Jadi, kini hanya Ayah yang biasa mengerjakan pekerjaan rumah. Rumah itu telah sepi semenjak kau pergi, dan bertambah sepi setelahnya."Navier menggigit bibir bawahnya. Tidak menyangka jika hidup mereka yang dia tinggalkan, begitu menyedihkan.Ayahnya lumpuh sebelah karena kecelakaan kerja. Karena itu, ayahnya dipensiunkan dini. Ibunya mengambil alih mencari nafkah setelah uang tunjangan ayahnya habis, dan kedua adiknya berhenti sekolah karena malu. Kemudian mereka bekerja sebagai buruh kasar di pasar.Dari yang diceritakan ayahnya, Navier mendapat beberapa informasi. Adik pertamanya, Davian, telah menikah dan seorang wanita yang merupakan putri dari pemilik tempatnya bekerja. Setelah istrinya melahirkan di usia pernikahan mereka yang baru enam bulan, satu bulan kemudian mereka bercerai dan membawa anak itu bersamanya.Ayahnya menduga jika wanita itu menikahi Davier hanya untuk menutupi aib karena hamil terlebih dahulu dengan mantan pacarnya yang tidak ma
"A-Ayah!"Navier hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.Ayah yang sejak dirinya lahir hingga dijemput Edgar menemaninya, dan tidak pernahlagi mereka bertemu setelah dijual Yuni, ada di hadapanynya.Wajah yang sudah tua termakan usia, dan tidak lagi semuda dulu membuat hati Navier menjadi trenyuh. Ayahnya itu tidak pernah melakukan tindak kekerasan seperti yang Yuni lakukan. Dan hingga hari terakhirnya di kota itu, Navier belum sempat untuk perpamitan.Pun dengan pernikahannya dengan Edgar, sang ayah pastilah tidak pernah tahu akan hal itu. Tidak akan ada kabar yang didengar jika Edgar sudah memutuskan untuk menutup rapat semua yang berpotensi untuk menyebar berita.Kepergiannya kala itu memang terjadi karena terpaksa."Kau putriku, Navier?"Navier mengangguk. Matanya sudah hampir dibanjiri air mata jika tidak dia tahan."Aku merindukan Ayah," lirih Navier. Dia menghambur ke pelukan ayahnya yang kini sudah tidak sempur