"Tuan."Nia sudah memarkirkan sepeda motornya, tetapi masih saja Dion melingkari tangan di pinggangnya tanpa berniat untuk turun.Membuat Nia ikut kesulitan untuk turun dari sepeda motornya.Sejenak Nia bingung dan bertanya-tanya, mungkinkah Dion tak mengetahui jika kini mereka sudah sampai di tempat tujuan."Ah, aku tidak fokus. Maaf, aku tadi takut terjatuh saja."Alasan konyol, katakan saja nyaman.Kapan pria aneh itu akan berbicara dengan benar bahwa dirinya kini tak ingin pernikahan mereka hanya sebuah mainan saja.Hingga Nia dapat menempatkan posisinya dengan benar saat ini.Istri?Iya!Nia memang istrinya, tetapi ada perjanjian yang menjadi penghalang. Sedangkan tak ada kata yang meyakinkan untuk hubungan keduanya."Ini uangnya," Dion pun memberikan beberapa lembaran uang pada Nia, tetapi Nia tidak langsung menerima.Karena Nia hanya diam menatap uang tersebut, tanpa ada keinginan sama sekali untuk mengambilnya."Ambil!"Nia bukannya mengambil malah beralih menatap Dion dengan
"Tuan!"Dion pun menghentikan langkah kakinya, menunggu Nia yang cukup jauh darinya.Dirinya tahu jika langkah kecil wanita itu tak akan bisa menyusulnya. "Tuan, aku....." Napas Nia terengah-engah setelah berlari sekencang mungkin untuk mengejar Dion, "Tuan, jalannya pelan-pelan saja, lagi pula aku belum membeli sayur pesanan Ibu.""Kalau kau masih memanggilku Tuan, maka kau akan mendapatkan hukuman!""Hukuman?""Iya!"Nia pun terdiam sejenak, "Terus manggil apa? Om?" Tanya Nia dengan hati-hati.Ya ampun Nia.Wajah Dion memerah karena kali ini Nia malah ingin memanggilnya Om.Meskipun mereka memang terpaut usia jauh, bukan berarti bisa memanggil apa saja."Nia salah ya Om? Eh, Tuan," Nia menutup mulutnya cepat-cepat, karena tak tahu harus mengatakan apa.Antara takut dan juga segan pada Dion yang menurutnya hanyalah majikannya saja.Dengan segala kesabaran Dion pun mencoba untuk tetap tenang."Panggil Mas!""Apa?" "Apa harus aku umumkan di pasar ini? Agar, orang-orang mendengar?"Ni
"Mami!" Dila pun berseru, sesaat kemudian berlari sekencang mungkin untuk memeluk Nia.Dila yang melihat apa yang dialami oleh Nia barusan, membuatnya takut jika Nia tersakiti.Bahkan tak tahu sama sekali jika Omanya yang sedang memainkan sebuah rencana.Namun, sesaat itu juga Dion dan Nia tersadar ada Dila di antara mereka."Aduh, anak itu," Bunga pun baru menyadari bahwa cucunya terlepas dari pelukannya, "ya, sudahlah," Bunga juga ikut menyusul Dila.Ini adalah akibat dari apa yang di lihatnya, sehingga dirinya sampai lupa memegangi cucu kesayangannya."Mami!""Dila, di sini?" Nia pun cepat-cepat memeluk Dila, walaupun dirinya masih mencoba untuk menenangkan diri.Tapi yang lebih membingungkan adalah Dila, mengapa bisa putri sambungnya tersebut ada di pasar."Mami nggak kenapa-kenapa kan?""Iya, sayang," Nia pun melihat sekelilingnya, dirinya merasa malu atas apa yang terjadi barusan.Bayangkan saja di tengah keramaian ini malah menjadi tontonan, sungguh sangat memalukan."Mami, ko
Setelah merasa lebih baik, Nia pun mulai tersadar bahwa dirinya berada di pelukan Dion.Perlahan menjauh dan mengusap air matanya."Kamu masih kesal pada ku?" Tanya Dion lagi.Dirinya benar-benar tidak bisa jika saja Nia masih menaruh kekecewaan padanya.Semua benar-benar harus diselesaikan dengan secepat mungkin, tak masalah jika pun harus terus menerus mengucapkan kata maaf."Tuan, sayurannya?""Tidak apa, kita beli lagi," Dion pun bangkit dari duduknya, kemudian memegang tangan Nia untuk ikut bangkit pula.Tetapi Nia menggeleng, menolak untuk ikut bersama Dion."Nggak mau ke pasar lagi, aku malu," kata Nia dengan suara pelan."Kita ke swalayan saja, di sana juga banyak sayuran," jelas Dion.Lagi pula di pasar malah membuat Dion kesal, karena terus berdebat masalah harga yang padahal hanya berselisih Rp.1000 rupiah.Nia pun masih diam di tempatnya, menimbang perkataan Dion."Kamu masih marah?"Nia menggeleng, "Aku cuman kesel aja," jawab Nia."Aku benar-benar minta maaf, aku janji t
"Maksudnya, agar lebih dekat. Lebih, mengenal satu sama lainya," Dion sampai menggaruk kepalanya, karena bingung ingin menjelaskan seperti apa.Tetapi cukup aneh juga, lantas bagaimana lagi. Semuanya benar-benar begitu indah.Juga tak ingin lagi ada pembatas yang merentang seperti selama ini.Sedangkan Nia masih saja diam, antara merasa bingung, dan juga berusaha untuk mencerna apa yang dikatakan oleh Dion barusan.Tampaknya Nia benar-benar tak mengerti akan penjelasan Dion barusan."Kita, mau langsung pulang?" Dion pun memilih untuk mengalihkan pembicaraan, dari pada merasa malu atas kebodohannya sendiri.Nia mengangguk saja, hingga akhirnya mereka pun sampai di rumah.Siapa sangka ternyata Dila sudah menunggu di ambang pintu, tepatnya seperti seorang polisi yang akan menangkap seorang penjahat."Mami, dari mana?" Tanpa basa-basi Dila langsung saja bertanya, padahal Nia baru saja turun dari mobil.Begitu pun juga dengan Dion."Papi, juga!" Kini Dila beralih menatap wajah Dion dengan
"Nia, apa benar-benar tidak ada pekerjaan untuk Mas?" Mas?Rasanya dedekser.Antara geli dan juga debaran jantung yang cukup kencang begitu terasa.Kata sederhana, namun cukup bermakna sampai-sampai di sekitar serasa penuh bunga.Seakan masa-masa remaja terulang kembali dengan begitu indahnya."Nggak, ini nggak lama juga.""Tapi, Mas lagi pengen ngerjain sesuatu begitu."Nia pun menghentikan sejenak pekerjaan, kemudian melihat Dion dengan penuh intimidasi.Tetapi wajah Dion memang sangat meyakinkan, jika benar lelaki itu ingin membantunya."Ya sudah, Mas cuci piring saja," Nia pun menunjuk piring kotor yang cukup banyak.Membuat Dion pun shock seketika itu, bahkan sampai matanya pun membulat, berikut dengan mulutnya juga."Mas?" Nia menyadari bahwa Dion sedang tidak baik-baik saja, sehingga berusaha untuk menyadarkan dari lamunanya.Entah apakah yang sedang dipikirkan oleh Dion, sama sekali Nia tidak mengetahuinya."Hah, iya," Dion mengusap wajahnya beberapa kali, sebab dirinya tidak
"Mas, rumah Ibu sempit banget. Gimana mau ngadain acara?" Tanya Nia kebingungan."Kita buat di halaman rumah saja, lagi pula biarkan asisten Mas yang mempersiapkan semuanya. Kau tidak perlu repot-repot, cukup terima beres saja," kata Dion.Nia hanya diam saja dan mengangguk, setelah itu Dion kembali mendekatinya dan berbisik."Cukup mempersiapkan diri untuk suami mu saja."Wajah Nia seketika merona mendengar apa yang dikatakan oleh Dion."Mami, Dila udah laper!" Seru Dila."Ya ampun, Mami lupa," Nia pun kembali melanjutkan pekerjaannya di dapur.Kemudian menyajikannya dengan cepat, sebab Dila sudah tak sabar untuk menikmati makan siangnya."Hore, makan-makan!" Dila pun berseru, karena melihat masakan Nia yang begitu lezat."Ayo, di makan."Setelah itu barulah Nia mengisi piring Dion dengan nasi, sayur dan lauk."Cie, Papi. Jadi, anak kecil lagi," celoteh Dila.Membuat yang lainnya seketika melirik bocah itu."Dila!" Dion pun melayangkan tatapan tajam, sebab tak ingin di goda oleh putr
Benar saja, Dion benar-benar menunggu dengan sabar.Bahkan awalnya Nia berpikir jika Dion sudah tidur terlebih dahulu mengingat saat ini sudah tengah malam.Lantas bagaimana dengan saat ini, apa yang harus Nia lakukan?Menghindari?Tidak, Nia tidak berniat untuk menghindari tetapi dirinya juga tidak siap untuk melakukannya.Apa yang sebenarnya yang ada dalam benak wanita tersebut.Mungkin rasa takut yang tak dapat diucapkan oleh bibirnya sendiri.Namun, bagaimana cara untuk mengatakan semua itu pada Dion?Nia tak tahu cara mengatakannya, bahkan Nia juga takut Dion tersinggung atas apa yang nanti diucapkannya."Mas, aku--" Nia meneguk saliva, kemudian menunjuk daun pintu.Dion mengangkat sebelah alisnya matanya, menantikan apa yang akan dikatakan oleh Nia.Tetapi, tampaknya Dion mengerti dengan ketegangan yang dirasakan oleh Nia."Ke sini!"Dion menggerakkan tangan, meminta Nia untuk berjalan ke arahnya.Nia pun seketika mendekat, meskipun langkah kakinya begitu pelan dan terlihat begi
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Setiap kisah dan waktu yang sudah terlewati tak akan bisa diulang kembali.Namun, semua kisah itu seakan lekat dalam ingatan tanpa bisa untuk terlupakan oleh ingatan.Aku Nia putri, menjalin kisah dengan takdir yang kujalani.Harapan ku hanya satu, bisa mendapatkan suatu harapan untuk bisa membuat ibu ku terus bersama ku setelah aku kehilangan ayah ku.Namun, siapa sangka bonus dari semua perjuangkan ku justru hal yang tak terduga.Justru kebahagiaan itu menghampiri ku.Dion seorang pria duda dengan satu anak dan usianya jauh lebih tua dari ku.Kami menjalin hubungan yang rumit karena sebuah alasan yang kuat namun penuh dengan air mata.Tujuan saling menguntungkan malah berakhir dengan saling mendapatkan kenyamanan.Tapi aku katakan aku bahagia.Awal kisah yang ku alami malah membawaku padanya.Meskipun banyak yang tidak aku inginkan dalam kisah ini.Tapi tetap saja aku tidak bisa bisa menolak takdir ku yang rumit itu.Terlepas dari itu semua aku adalah wanita penuh dengan kesalahan y
Di tempat lainnya ada juga yang sedang berbahagia.Raya kembali melahirkan seorang anak laki-laki Dan kini anak itu diberi nama 'Raza' perpaduan antara nama Raya dan Reza.Itu adalah saran nama dari Dion.Reza dan Raya pun setuju saja."Itu nama dari, Opa Dion," kata Reza sambil tersenyum pada bayinya."Benar, dan ini adalah, Oma," Raya pun menunjuk Nia.Nia pun tersenyum karena merasa lucu, tapi bagaimana pun juga itu memang benar dan tidak masalah juga menjadi Oma diusia yang masih muda ini."Aduh, cucu Oma," Nia pun menggendong bayi lucu itu.Dia melihat wajah anak itu yang sangat mirip dengan Reza.Bahkan sedikit mirip dengan Zaki."Nia, berikan pada, Opanya," Dion pun menunjuk ke arah Chandra.Chandra pun tersenyum karena kini sudah memiliki seorang cucu."Bagaimana kalau berikan pada, Oma Kiara," celetuk Nia.Kiara yang dari tadi hanya diam pun seketika terkejut mendengar ucapan Nia."Ibu Nia, saya masih ting-ting. Saya masih mahasiswa, saya masih kecil, saya dipanggil, Kak Kia
Beberapa bulan kemudian...Niko dan Ranti menyambut bahagia saat kelahiran putra mereka yang diberi nama 'Fatih Niko Adiguna'Sesuai dengan keinginan Niko, mereka hanya memiliki satu orang anak saja.Niko tidak ingin serakah, dia sudah merasa cukup dengan kehadiran seorang anak laki-laki untuk menjadi pewarisnya.Terlebih lagi tidak ingin melihat Ranti harus berada dalam sebuah keadaan yang menegangkan.Dia tak mau mengambil resiko.Meskipun keadaan rahim Ranti masih memungkinkan untuk mengandung lagi.Dia sangat mencintai istrinya dalam keadaan apapun.Menurutnya memiliki anak adalah sebuah hadiah.Tapi memiliki Ranti adalah anugerah.Jadi, dia sudah sangat bahagia dengan satu putra saja.Selebihnya dia menganggap anak Barra juga anaknya.Apa lagi Barra memiliki 3 orang anak, membuat Niko merasa anaknya sudah memiliki Kakak walaupun hanya sepupu saja."Wajahnya lebih mirip, Mama," kata Ranti.Dia pun melihat wajah Mama mertuanya dan lagi-lagi melihat wajah putranya.Putra kecil yang
"Dokter Niko, lihat ini," Adam menunjuk layar monitor.Saat itu Niko pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Dokter Adam.Tapi Niko yang sedang tidak baik-baik saja tidak mengerti."Ada apa?" tanya Niko.Bodoh?Ya, Niko akan sangat bodoh jika sudah menyangkut tentang Ranti.Begitu juga dengan saat ini.Bahkan dia sendiri tidak dapat berpikir jernih, padahal Dokter Adam sudah menunjukkan dengan jelas.Namun, Niko masih bertanya.Dia butuh jawaban, sekaligus penjelasan yang pasti.Jangan memintanya untuk menyimpulkan sendiri, dia tidak bisa.Otaknya sedang sulit untuk bisa berpikir jernih."Tidak ada masalah dengan rahim istri anda, janinnya juga sudah berada di dalam rahim," terang Dokter Adam.Niko pun terkejut mendengarnya dia pun segera mendekat dan melihat dengan jelas."Ini keajaiban, Dokter Niko. Lihat ini," Dokter Adam pun kembali memperlihatkan bagian lainya, rasanya pemeriksaan sebelumnya dan saat ini jauh lebih baik."Apakah ini mungkin?" tanya Niko yang belum percaya."Iya, i
"Aku pun akan mati, jika kamu mati," tambah Niko lagi.Ranti terdiam mendengar ucapan suaminya itu."Tapi aku akan tetap mempertahankan anak ku," kata Ranti dengan penuh keyakinan.Siapa pun ibu tak akan tega membunuh anaknya, begitu juga dengan Ranti."Vina, panggil, Dokter Winda!" pinta Niko.Untuk kaki ini dia tak bisa lagi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.Dia tidak memiliki keberanian untuk mengetahui keadaan Ranti saat ini.Dia butuh bantuan dokter lain untuk bisa membantunya, sedangkan Dokter Winda adalah dokter senior yang sudah banyak menangani pasien dan Niko sudah tak tahu dengan kehebatannya.Meskipun perasannya begitu was-was akan keadaan Ranti saat ini.Tapi jelas terlihat bahwa Ranti akan dengan kerasnya pendiriannya yang tak akan menggugurkan kandungannya."Selamat siang, anda memanggil saya, Dok?" Dokter Winda pun telah tiba seperti yang di sampaikan oleh Vina untuk segera menemui Niko.Niko pun mulai tersadar dari pikirannya yang kacau, sambil melihat wajah
"Hamil?" Niko terdiam saat menyaksikan sendiri ada janin di rahim istrinya.Dia pun mengingat kembali saat itu Ranti menggodanya dan hal itu pun terjadi sebelum dia berpikir untuk membuat sel telurnya tidak bekerja.Bahkan saat itu tidak hanya satu kaki, namun berkali-kali.Lantas bagaimana ini?"Kamu ngomong apa tadi?" tanya Ranti yang mendengar ucapan Niko.Niko pun kini melihat Ranti dengan pikirannya yang kacau."Niko, aku hamil?" tanya Ranti memastikan, "berarti testpack yang aku gunakan tadi tidak keliru," tambah Ranti.Ranti terus saja tersenyum bahagia membayangkan sebentar lagi anak menjadi seorang ibu.Dia langsung saja memeluk Niko dengan penuh kebahagiaan.Tak tahu harus bagaimana untuk meluapkannya tapi Ranti benar-benar tidak akan pernah bisa melupakan saat ini."Tuh, kan, nggak perlu adopsi anak. Buktinya sekarang aku hamil, artinya kita akan jadi orang tua," Ranti semakin mempererat pelukannya.Begitu larut dalam kebahagiaan yang tak bisa teralihkan sama sekali.Kemud
Beberapa hari kemudian.....Ranti menatap alat uji kehamilan di tangannya dengan malas.Entah sudah berapa kali dia menggunakannya demi mengetahui apakah ada janin yang tumbuh di rahimnya atau tidak.Mungkin saja ini sudah testpack yang ke 50.Dan hasilnya masih saja garis satu, sungguh membuatnya merasa sedih.Dia pun akhirnya segera menuju ranjang, hari ini dia sangat malas melakukan hal apapun.Sedangkan Niko sedang berada di rumah sakit.Dan seharusnya Ranti selalu mengantar makan siang untuk suaminya itu, sekaligus akan makan bersama-sama.Tapi dia pun malah tertidur pulas dan lupa untuk mengantarkan makanan siang untuk Niko.Hingga ponselnya pun berdering, tidurnya pun terusik dan dengan rasa malas menjawab panggilan itu."Halo," Ranti tak melihat terlebih dahulu nama siapa yang ada di layar ponselnya.Dia langsung saja menjawabnya."Sayang, kamu sudah di mana?" tanya Niko.Ranti pun baru tersadar jika yang menghubungi dirinya adalah Niko.Kemudian dia melihat jam dinding, dia p
Keesokan harinya."Kamu nggak ke kantor?" Ranti melihat Niko tampak santai di atas ranjang sambil memeluk dirinya.Ini tidak biasanya terjadi, karena kebiasaan Niko jika pagi begini pergi bekerja."Aku mau di rumah aja sama kamu," jawab Niko."Kenapa begitu?""Libur untuk satu hari rasanya tidak salah," kata Niko lagi.Ranti pun mengangguk mengerti.Mungkin Niko juga kelelahan dan butuh waktu untuk beristirahat.Mengingat selama ini Niko selalu saja disibukkan dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya."Ranti, bagaikan kalau kita mengadopsi anak."Deg!Jantung Ranti rasanya keluar dari dadanya.Dia begitu shock mendengar pertanyaan Niko barusan.Tunggu dulu.Itu pertanyaan atau pernyataan?Ranti tak pernah berpikir jika Niko akan berkata demikian.Apakah Niko sudah sangat ingin memiliki anak sehingga dia mengatakan demikian."Tapi aku juga bisa hamil, kenapa harus mengadopsi anak?" tanya Ranti yang bingung.Niko pun menutup matanya dia pun segera bangkit dari atas ranjangnya berjalan