"Maksudnya, agar lebih dekat. Lebih, mengenal satu sama lainya," Dion sampai menggaruk kepalanya, karena bingung ingin menjelaskan seperti apa.Tetapi cukup aneh juga, lantas bagaimana lagi. Semuanya benar-benar begitu indah.Juga tak ingin lagi ada pembatas yang merentang seperti selama ini.Sedangkan Nia masih saja diam, antara merasa bingung, dan juga berusaha untuk mencerna apa yang dikatakan oleh Dion barusan.Tampaknya Nia benar-benar tak mengerti akan penjelasan Dion barusan."Kita, mau langsung pulang?" Dion pun memilih untuk mengalihkan pembicaraan, dari pada merasa malu atas kebodohannya sendiri.Nia mengangguk saja, hingga akhirnya mereka pun sampai di rumah.Siapa sangka ternyata Dila sudah menunggu di ambang pintu, tepatnya seperti seorang polisi yang akan menangkap seorang penjahat."Mami, dari mana?" Tanpa basa-basi Dila langsung saja bertanya, padahal Nia baru saja turun dari mobil.Begitu pun juga dengan Dion."Papi, juga!" Kini Dila beralih menatap wajah Dion dengan
"Nia, apa benar-benar tidak ada pekerjaan untuk Mas?" Mas?Rasanya dedekser.Antara geli dan juga debaran jantung yang cukup kencang begitu terasa.Kata sederhana, namun cukup bermakna sampai-sampai di sekitar serasa penuh bunga.Seakan masa-masa remaja terulang kembali dengan begitu indahnya."Nggak, ini nggak lama juga.""Tapi, Mas lagi pengen ngerjain sesuatu begitu."Nia pun menghentikan sejenak pekerjaan, kemudian melihat Dion dengan penuh intimidasi.Tetapi wajah Dion memang sangat meyakinkan, jika benar lelaki itu ingin membantunya."Ya sudah, Mas cuci piring saja," Nia pun menunjuk piring kotor yang cukup banyak.Membuat Dion pun shock seketika itu, bahkan sampai matanya pun membulat, berikut dengan mulutnya juga."Mas?" Nia menyadari bahwa Dion sedang tidak baik-baik saja, sehingga berusaha untuk menyadarkan dari lamunanya.Entah apakah yang sedang dipikirkan oleh Dion, sama sekali Nia tidak mengetahuinya."Hah, iya," Dion mengusap wajahnya beberapa kali, sebab dirinya tidak
"Mas, rumah Ibu sempit banget. Gimana mau ngadain acara?" Tanya Nia kebingungan."Kita buat di halaman rumah saja, lagi pula biarkan asisten Mas yang mempersiapkan semuanya. Kau tidak perlu repot-repot, cukup terima beres saja," kata Dion.Nia hanya diam saja dan mengangguk, setelah itu Dion kembali mendekatinya dan berbisik."Cukup mempersiapkan diri untuk suami mu saja."Wajah Nia seketika merona mendengar apa yang dikatakan oleh Dion."Mami, Dila udah laper!" Seru Dila."Ya ampun, Mami lupa," Nia pun kembali melanjutkan pekerjaannya di dapur.Kemudian menyajikannya dengan cepat, sebab Dila sudah tak sabar untuk menikmati makan siangnya."Hore, makan-makan!" Dila pun berseru, karena melihat masakan Nia yang begitu lezat."Ayo, di makan."Setelah itu barulah Nia mengisi piring Dion dengan nasi, sayur dan lauk."Cie, Papi. Jadi, anak kecil lagi," celoteh Dila.Membuat yang lainnya seketika melirik bocah itu."Dila!" Dion pun melayangkan tatapan tajam, sebab tak ingin di goda oleh putr
Benar saja, Dion benar-benar menunggu dengan sabar.Bahkan awalnya Nia berpikir jika Dion sudah tidur terlebih dahulu mengingat saat ini sudah tengah malam.Lantas bagaimana dengan saat ini, apa yang harus Nia lakukan?Menghindari?Tidak, Nia tidak berniat untuk menghindari tetapi dirinya juga tidak siap untuk melakukannya.Apa yang sebenarnya yang ada dalam benak wanita tersebut.Mungkin rasa takut yang tak dapat diucapkan oleh bibirnya sendiri.Namun, bagaimana cara untuk mengatakan semua itu pada Dion?Nia tak tahu cara mengatakannya, bahkan Nia juga takut Dion tersinggung atas apa yang nanti diucapkannya."Mas, aku--" Nia meneguk saliva, kemudian menunjuk daun pintu.Dion mengangkat sebelah alisnya matanya, menantikan apa yang akan dikatakan oleh Nia.Tetapi, tampaknya Dion mengerti dengan ketegangan yang dirasakan oleh Nia."Ke sini!"Dion menggerakkan tangan, meminta Nia untuk berjalan ke arahnya.Nia pun seketika mendekat, meskipun langkah kakinya begitu pelan dan terlihat begi
Dion pun mulai melumat bibir Nia dengan perlahan, sedangkan Nia hanya diam dengan kedua bola matanya yang melebar.Nafasnya memburu menahan rasa aneh yang terasa."Mas!" Nia pun mendorong dada Dion, hingga akhirnya Dion pun melepas pagutannya.Nia pun terduduk begitu pula dengan Dion yang ikut duduk di samping Nia.Nia menyadari kesalahan yang baru saja dilakukannya, membuat rasa bersalah pun terasa."Maaf, Mas," lirih Nia, dengan wajah penuh penyesalan, sungguh dirinya melakukan itu karena refleks saja.Ingatan pemerkosaan yang menimbulkan rasa trauma membuatnya menjadi seperti ini, mungkinkah Nia terkesan dramatis?Entahlah!Tetapi, kehilangan kesucian dengan cara yang tak layak sungguh meninggalkan bekas luka yang begitu dalam.Sebab impian Nia yang hanya ingin melakukan tersebut dengan suami sahnya pun ikut terampas begitu saja.Dion hanya diam dengan raut wajah kecewanya, hingga kemudian memilih untuk pergi."Mas," Nia pun menahan lengan Dion, hingga akhirnya hanya diam di tempat
"Mas, apaan sih?" Nia pun tak kuasa menahan malu.Hingga akhirnya cepat-cepat turun dari ranjang, kemudian mengambil selimut yang terbuang begitu saja di lantai.Hingga akhirnya kembali ke atas ranjang dan menutup tubuhnya yang polos.Sedangkan Dion hanya diam saja membiarkan apa yang dilakukan oleh Nia.Karena sebentar lagi juga pasti selimut itu akan melayang jauh.Kembali lagi Dion memasuki selimut, menarik Nia ke dalam pelukannya yang begitu menghangatkan.Saat ini Dion hanya ingin melakukan semuanya dengan perlahan, agar Nia tak merasa tertekan.Sebab sudah pasti saat trauma pemerkosaan itu Nia diperlakukan dengan kasar dan sama sekali tidak menikmatinya.Sekaligus ingin membuat Nia merasa dihargai sebagai seorang wanita ataupun istri."Nia, coba pegang ini," Dion mengarahkan tangan Nia pada miliknya.Membuat Nia tersentak, mencoba untuk menolak. Tetapi, sulit. Karena tangan Dion terus saja memaksanya."Mas," lirih Nia dengan wajah memohon, berharap Dion tak memintanya untuk meme
Dion pun memakai kembali pakainya, kemudian tertidur lelap setelah merasakan sebuah kepuasan yang diberikan oleh Nia barusan.Sedangkan Nia bergegas untuk membuka pintu, ternyata Dila sudah menangis di sana.Membuat Nia pun langsung memeluk putri sambungnya, ataupun sebut saja putrinya sendiri.Sebab kini dirinya sudah benar-benar menjadi istri Dion yang sesungguhnya."Dila, kenapa nangis?""Dila, nggak mau bobo sama Nenek. Dila, maunya bobo sama Mami," kata Dila di sela-sela tangisnya.Nia pun bingung harus melakukan apa, melihat ranjangnya yang begitu sempit tentunya tak akan membuat ketiganya bisa tidur di atas ranjang.Tapi melihat Dila, Nia juga tidak tega. Baiklah Nia pun memutuskan untuk mengambil sebuah keputusan."Dila, tidur di ranjang sama Papi. Mami, tidur di bawah.""Nggak mau, Dila mau bobo sama Mami."Nia tak mungkin membiarkan Dila tidur di bawah bersama dengan dirinya, tapi bagaimana juga mengambil jalan terbaiknya.Lebih tidak mungkin lagi keduanya tidur di ruang tam
Dengan segera Nia pun memandikan tubuhnya, sebelum apa yang dikatakan oleh Dion barusan menjadi nyata.Hingga akhirnya Nia pun keluar hanya dengan baluran handuk saja, Dila masih saja menunggunya didepan pintu kamar mandi."Mami, kenapa?" Dila langsung saja bertanya saat melihat Nia yang baru saja keluar dari kamar mandi."Nggak kenapa-kenapa, ayo temani Mami ke kamar dulu," cepat-cepat Nia membawa Dila ke kamar, karena tak ingin membuat Dila semakin banyak bertanya.Sesampainya di dalam kamar Nia pun memakai pakaiannya, sedangkan Dila duduk di sisi ranjang sambil melihat Nia."Kok badan Mami bentol-bentol, Mami di gigit nyamuk ya?" Tanya Dila dengan polosnya."Di gigit nyamuk?" Nia tidak mengerti dengan pertanyaan Dila, hingga akhirnya Nia pun mencoba untuk melihatnya melalui pantulan cermin.Wajah Nia tak hentinya memerah, menyadari begitu banyak tanda aneh pada tubuhnya.Terutama pada tengkuknya, artinya saat bertemu dengan Farah juga benda aneh itu sudah ada."Ya ampun, Nia," Nia