"Lepaskan!" seru Asih saat Barra berusaha untuk membuat Asih tidak melakukan hal di luar akalnya.Karena itu dapat melukai dirinya sendiri, tapi begitu sulit hingga akhirnya Barra pun menghubungi Niko.Mungkin saja dokter itu bisa menyuntikkan obat penenang agar Asih bisa menjadi lebih baik.Tidak menunggu lama Niko pun sampai dan melihat keadaan Asih yang sangat memprihatinkan.Kini bahkan wanita itu sedang tertutup selimut, sebab pakaiannya sudah terlepas.Sedangkan Barra masih berusaha untuk memegang dengan sekuat tenaga."Obat perangsang yang masuk ke dalam tubuhnya yang membuat dia seperti ini, sepertinya dosisnya melebihi batas. Aku rasa bukan hanya melalui minuman, tapi juga suntikan," jelas Niko setelah melihat keadaan Asih."Lalu?""Kau dan dia belum melakukannya hubungan pengantin, bukan?" tanya Niko secara langsung sambil tersenyum.Tapi senyuman Niko membuat Barra menahan kemarahan, bahkan ingin memberikan bogem mentah pada dokter itu."Aku tidak bercanda, kau tidak kasiha
Barra tak bisa fokus dalam bekerja, dia terus membayangkan wajah Asih saat berpapasan dengan dirinya beberapa saat yang lalu.Pikirannya kini benar-benar kacau setelah malam tadi.Dia yakin Asih pasti sangat membenci dirinya saat ini.Barra pun memikirkan nasib pernikahan mereka yang sepertinya akan segera berakhir.Mengingat perjanjian yang pernah dia katakan pada Asih sebelumnya.--Setelah mendapatkan hak sebagai suami, Asih boleh meminta cerai --Lalu bagaimana dengan saat ini?Akankah Asih meminta bercerai, sedangkan Bundanya sangat menyukai Asih sebagai menantunya.Akankah keadaan Tias akan tetap baik-baik saja setelah perceraian nantinya benar-benar terjadi.Bagaimana pula dengan Barra, karena setelah tadi malam rasanya dia tak bisa untuk melepaskan Asih lagi.Barra sendiri bingung dengan keadaan ini, mengapa bisa seperti ini?Tapi dia melihat keadaan Asih pun tampaknya baik-baik saja.Meskipun pulang ke rumah di hari yang sudah cukup siang."Bagaimana kabar mu, setelah tadi mal
"Mbak Asih, lihat, Dila," seru Dila dengan penuh semangat.Asih pun langsung saja melihatnya, ternyata Dila sedang menunjukkan sebuah gaya padanya."Itu gaya apa?" tanya Kiara yang penasaran."Gaya, bebas," jawab Dila."Gaya bebas? Memangnya ada?" tanya Kiara lagi.Sedangkan Asih hanya diam saja dan menjadi penonton saja.Padahal biasanya Asih yang paling antusias dalam hal seperti ini."Semuanya ada di sini?" tanya Nia yang datang bersama dengan baby Dirga."Hay, anak tampan," sapa Kiara dengan begitu antusias."Hay, juga. Miss," jawab Nis seakan menirukan suara anak kecil, seolah baby Dirga yang menjawabnya.Kemudian dia pun beralih melihat Asih yang juga sedang terdiam duduk di tepi kolam.Nia pun menggerakkan kepalanya, dia seakan bertanya pada Kiara tentang Asih yang sepertinya sedang larut dalam pikirannya.Tetapi, Kiara menjawab dengan mengangkat kedua bahunya seakan dia juga tak tahu.Akhirnya Nia pun berjalan ke arah Asih, ingin bertanya secara langsung.Tapi Nia masih saja k
"Mas, Nia mau cerita sesuatu," Nia langsung berbicara pada Dion.Dion yang sedang duduk di sofa kamarnya pun melihat Nia yang berjalan ke arahnya.Tubuh Nia tampak basah kuyup dengan dress yang masih melekat di tubuhnya."Kamu kenapa basah?" tanya Dion yang justru bertanya tentang keadaan Nia saat ini."Aku abis nolongin, Asih. Ini ceritanya rumit banget, Asih bisa berenang. Tapi, tadi dia tenggelam di kolam. Kemudian, aku pun menolongnya dengan panik. Mas tau?" tanya Nia yang kini begitu dekat dengan suaminya."Kamu ganti baju dulu, takutnya masuk angin," kata Dion.Dion yang justru lebih khawatir pada Nia, dari pada pembahasan soal Asih."Nia, lagi cerita, Mas!" Nia tampak kesal pada Dion yang tak mendengar ceritanya."Iya, tapi bajunya di ganti dulu. Kalau kamu masuk angin, anak kita juga bisa sakit," jelas Dion.Nia pun segera menuju kamar mandi, kemudian keluar dengan menggunakan handuk putih yang melilit di tubuhnya."Terus, tadi itu mendadak, Barra datang. Mas, tahu dia ngelaku
Sedangkan di kamar lainya, kini dua orang itu masih saja dengan posisi yang begitu dekat.Hingga akhirnya Asih pun tersadar dan dia pun melepas tangan Barra yang melingkar di pinggangnya."Maaf," kata Barra setelah menyadari apa yang barusan dia lakukan.Asih menarik napas sejenak, dia tampak tidak ingin membahas sama sekali.Bahkan anehnya lagi Asih merasa begitu nyaman saat berdekatan dengan Barra.Mungkin kedekatan mereka selama beberapa waktu kebelakang ini cukup membuat Asih terbiasa."Tolong keluar dari kamar ku, aku ingin berganti pakaian," pinta Asih.Barra pun mengangguk lemah, tetapi sebenarnya tidak ingin menuruti keinginan Asih untuk keluar dari kamar.Akan tetapi apa yang bisa dia lakukan, melihat wajah Asih yang tampak begitu murung membuatnya tidak memiliki keberanian untuk membantah sama sekali.Barra berpikir Asih sudah mengingat dengan pasti apa yang terjadi pada mereka malam tadi, sehingga kini Asih sangat kecewa pada dirinya.Sungguh Barra sangat merasa bersalah.S
Hari sudah semakin sore, kini waktunya Kiara untuk pulang ke rumah dan beristirahat.Hari ini begitu banyak kegiatan, sehingga merasa begitu kelelahan sekali."Barra," Kiara pun menghampiri Barra yang sedang berbicara dengan seorang satpam.Satpam itu yang sedang memberikan pakan beberapa ekor burung yang tampak sangat indah sekali.Namun, kini Barra pun menoleh pada Kiara yang memanggilnya.Dan kini Kiara sudah berdiri di hadapan Barra, dia memakai tas persis seperti anak-anak."Aku minta tolong dong," kata Kiara.Kedua tangannya memegang tali tasnya, sambil menatap wajah Barra dengan penuh harap, "tolong anterin aku pulang, soalnya udah sore banget. Ibu, aku juga sedang sakit. Jadi, aku harus pulang ke rumah. Dan, untuk kali ini tidak bisa menginap di sini," lanjut Kiara lagi."Kebetulan, saya juga mau ke kantor. Rumah mu di mana? Biar saya antar," kata Chandra yang menimpali pembicaraan antara Kiara dan juga Barra.Sehingga kini keduanya pun menoleh pada pria tersebut.Membuat Kiar
"Kenapa bisa aku begini?" Asih benar-benar putus asa, tidak tahu lagi harus bagaimana dengan keadaannya saat ini.Semuanya mendadak hancur berantakan, sedangkan keberadaan Sandi pun entah dimana.Baiklah jika memang harus merelakan, dan mungkin memang jalan hidupmu tidak bersama dengan Barra.Kenapa harus terluka, bukankah sebentar lagi tujuannya akan segera terwujud.Ya, itu benar.Asih pun mengambil ponselnya, kemudian menghubungi Sandi.Namun, seribu kali sayang. Sebab, pria itu belum juga bisa di hubungi.Padahal Asih sangat membutuhkan tanggung jawab dari pria itu.Pria yang dia anggap sebagai seorang yang telah merenggut kesuciannya dengan begitu saja.***Pagi harinya Asih pun bergegas menuju meja makan, seperti biasanya mereka akan sarapan bersama.Dia harus tampak baik-baik saja di hadapan semua orang, meskipun di tengah hati yang begitu gundah gulana memikirkan nasib dirinya.Karena keadaannya yang sebenarnya sangat menyakitkannya."Asih, kamu ke toko hari ini?" tanya Nia y
Asih pun membuka matanya perlahan, tersadar sudah berada di rumah sakit.Sejenak ingatannya kembali berputar saat kecelakaan terjadi.Perlahan dia pun mendudukkan tubuhnya yang terasa masih lemah itu, dia juga melihat seorang wanita paruh baya berdiri di hadapannya.Kedua tangan wanita itu melipat di dadanya, seakan dia akan meluapkan kemarahan.Tapi apa kesalahan Asih? Atau mungkin itu hanya sekedar pikiran Asih saja, sedangkan dia juga bingung mengapa ada Fera di ruangan ini bersama dengan dirinya.Tapi, tunggu dulu. Bukankah bagus jika ada Fera di sini?Artinya dia bisa menanyakan keberadaan Sandi yang sampai detik ini belum juga bisa di hubungi."Akhirnya kamu sadar juga! Ngapain kamu menabrakan diri ke mobil saya? Sengaja? Mau cari simpati? Cari simpati, atau cari duit?" tanya Fera dengan geram.Sejak dia tahu penyebab dari anaknya koma adalah Asih, Fera terus saja berusaha untuk mencari Asih.Kemudian siapa sangka ternyata mereka bertemu dengan tidak di sengaja, bahkan Fera san