"Kenapa?" tanya Barra saat melihat wajah Asih yang begitu ketakutan, dia benar-benar ketakutan untuk saat ini.Dimana Asih yang keras kepala, kasar dan sangat suka memakai seorang Barra?Tampaknya kini hanya ada Asih yang lemah dan merasa terancam dengan keadaan yang dia buat sendiri.Apakah nantinya yang akan terjadi pada dirinya? Asih tak ingin setelah kehilangan kesucian, malah harus mengandung anak Barra.Jika sudah demikian maka tak akan pernah bisa lepas dari pria itu.Pernikahan yang dia rahasiakan akan di ketahui banyak orang.Dia akan hidup dalam sebuah tekanan, keterpaksaan dan juga kesedihan.Karena, bagaimana pun Barra tak akan mungkin bisa membuat dirinya sebagai bagian dari hidupnya.Begitu pun juga dengan Asih yang tak mungkin bisa menempatkan Barra dengan posisi yang baik di hatinya.Rumah tangga macam apa yang akan mereka jalani nantinya?Tidak-tidak!Bahkan dalam hatinya berdoa semoga saja ada yang bisa menolong dirinya saat ini entah siapapun itu."Barra, aku--" As
"Apa lagi maunya wanita ini," Sandi merasa kesal setelah membaca pesan-pesan yang dikirimkan oleh Asih.Semenjak kejadian tadi dia merasa sangat terhina dengan apa yang dilakukan oleh seorang wanita padanya, bahkan ternyata wanita itu adalah istri dari seorang pria yang sangat dia benci.Hanya tidak menyangka bahwa dirinya yang begitu lihai dalam menipu, malah kali ini bisa tertipu.Sialan memang."Kamu masih memikirkan wanita itu?" tanya Fera yang kini duduk berhadapan dengan putranya."Iya, Bu. Bagaimana tidak kesal. Wanita sialan ini ternyata membohongi, Sandi habis-habisan. Menjengkelkan," umpat Sandi.Dia begitu kesal jika mengingat wajah Asih, sungguh sesuatu yang tak pernah dia pikirkan sebelumnya jika hari ini dia di tipu oleh seorang wanita seperti Asih.Sedangkan Fera hanya tersenyum mendengar keluhan anaknya itu.Tentu saja Sandi kesal, bahkan siapapun akan merasakan hal yang sama."Tapi, Sandi kamu harus mendapatkan istri. Karena, itu adalah syarat yang di berikan oleh, Ay
"Halo," Sandi pun menjawab panggilan telepon untuk kali ini.Mungkin itu adalah panggilan yang ke 100 kalinya, Asih mencoba untuk menghubungi Sandi dan berharap bisa berbicara langsung dengan pria tersebut.Cinta sedang begitu besarnya, rasanya badai dan gelombang tak kan ada yang mampu untuk memisahkan antara keduanya.Salah satu cara adalah perjuangan, itulah yang kini sedang dilakukan oleh seorang Asih.Wanita yang berharap bisa kembali pada Sandi dan tak ingin terpisahkan lagi.Begitu pun dengan saat ini, perasaannya sangat lega ketika Sandi menjawab panggilan tersebut."Sandi, aku nggak bohong. Aku udah jelasin semuanya sama kamu, aku mohon mengerti dengan keadaan ini. Aku juga bakalan cerai sama, Barra," kata Asih dengan begitu cepat.Berharap Sandi mendengarkan apa yang dia katakan sebelum akhirnya kembali memutuskan panggilan tersebut.Meskipun sebenarnya dirinya juga tidak tahu apakah bisa bercerai dari Barra.Tapi Sandi hanya diam saja di sebrang sana, tak ada suara yang ter
"Asih!"Asih pun tidak mendengar saat namanya di panggil.Membuat Nia pun memilih untuk berjalan ke arah Asih dan menepuk pundak wanita tersebut."Asih!" lagi-lagi Nia pun memanggil wanita itu.Akhirnya dia pun tersadar dari lamunannya, membuatnya tersentak seketika itu juga."Nia, kamu bikin aku kaget aja," kata Asih sambil mengusap dadanya."Kaget? Aku udah manggil-manggil kamu, dari tadi. Kamu kenapa? Lagi mikirin apa?" tanya Nia yang malah penasaran pada Asih."Nggak papa, cuman kurang enak badan aja," jawab Asih.Kepalanya memang sedikit pusing, mungkin karena apa yang dia alami hari ini cukup membuatnya shock."Begitu, padahal kita mau kumpul-kumpul di taman belakang, soalnya Dila ulang tahun besok," jelas Asih."Waw, ternyata si cantik itu sudah besar," ujar Asih dengan sangat antusias."Ya. Dan, dia mau kita ngumpul sambil barbeque di belakang. Mas Dion, juga setuju. Soalnya selama ini kata, Mas Dion. Dila, selama ini merayakan ulang tahunnya di rumah sakit," tambah Nia lagi.
"Dia siapa?" tanya Kiara pada Asih."Dia, Kakaknya, Tuan Dion," jawab Asih dengan suara pelan."Lebih tua, kayaknya," kata Kiara lagi."Huuuss!" Asih pun menyenggol lengan Kiara, karena tak ingin ada yang mendengar apa yang dikatakan Kiara barusan."Hehe," Kiara pun tersenyum kemudian kembali melihat Barra, "ini kunci apa?" tanya Kiara."Letakkan, tangan mu di sini, kemudian jari-jarinya di sini," Barra pun membatu Kiara untuk memulai bermain gitar.Sedangkan Asih masih saja diam duduk di antara Kiara dan Niko."Apa perasaan mu baik-baik saja?" tanya Niko."Perasaan?" Asih sangat tidak mengerti dengan setiap pertanyaan ataupun kata yang keluar dari mulut Niko.Menurutnya itu semua penuh dengan misteri yang sulit untuk di pecahkan."Ya, mungkin saja, kan?" tanya Niko lagi."Wah, sepertinya semuanya benar-benar berkumpul di sini?" kata Nia yang kembali lagi setelah Dila terlelap dalam tidur."Hay, apa kabar?" tanya Niko berbasa-basi."Baik, sepertinya ini sudah pas. Niko dan Asih, Barra
"Sial, mimpi apa barusan?" Barra pun terjaga dari tidurnya, dan matanya melihat jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul 08:00 wib.Barra pun mengusap wajahnya, ini sudah sangat terlambat untuk bangun pagi.Kemudian Barra pun kembali mengingat mimpi gilanya barusan.Mimpi yang cukup membuatnya menjadi panas dingin.Dimana dia dan Asih bercinta dengan panasnya, bahkan masih bisa mengingat dengan jelas.Seakan mereka mereka masih berada di dalam kamar hotel, Barra yang terus melumat bibir Asih pun tak ingin berhenti dengan begitu saja."Sstttt!" Asih mendesah dan itu membuat Barra semakin menjadi-jadi saja.Dengan semakin liarnya tangan pria itu pun mulai menjelajahi seluruh tubuh Asih.Hingga akhirnya tangan pria itu tampak begitu lihai saat meremas gundukan yang masih tertutup bra.Barra pun cepat-cepat bangkit dari tempat tidur, kemudian masuk ke dalam kamar mandi.Dirinya segera memandikan tubuhnya, rasanya begitu mengerikan dan tak menyangka bisa bermimpi seperti itu."Apa karena,
"Mbak Asih, mikirin apa, sih? Dari tadi ngeliatin boneka ini terus?" tanya Nilam.Sejak sampai di toko Asih hanya diam saja sambil melihat boneka panda yang tak terlalu besar di tangannya.Boneka tersebut dibelikan oleh Barra beberapa saat lalu, dan itu membuatnya menjadi bertanya-tanya."Nilam, aku nggak tahu mau ceritain ini ke siapa. Kepala aku hampir pecah hanya memikirkan masalah ini. Dan, aku butuh kamu untuk mendengarkan apa yang aku rasakan, sekaligus mungkin ada ide dari kamu yang bisa buat aku sedikit lebih baik," kata Asih.Karena, keadaannya saat ini Nilam sudah tahu jika dirinya dan Barra sudah menikah, hingga pikirannya tepat jika bercerita pada Nilam.Untuk membuat pikirannya menjadi lebih baik dan merasa sedikit lebih lega."Memangnya, Mbak Asih mau cerita apa?" Nilam pun menarik kursi, kemudian duduk saling berhadapan dengan Asih."Kamu tutup dulu pintunya.""Baiklah."Nilam pun segera menutup pintu ruangan tersebut, kemudian dia kembali duduk di kursinya.Setelah itu
"Mbak Asih, ada, Mas Barra!" seru Nilam."Ya, ampun, Nilam. Bisa tidak berbicara dengan suara pelan?"Asih sedang sangat pusing, mencari keberadaan ponselnya di tambah masalah yang ada.Dan Nilam juga seperti mengajaknya untuk berperang dengan mengeluarkan suara nyarinya.Sungguh membuat Asih semakin stres saja."Hehe, maaf. Tapi, di luar ada, Mas Barra.""Untuk apa dia kesini?""Mengembalikan ponsel milik mu," Barra pun muncul di belakang Nilam.Nilam pun segera pergi karena ternyata Barra sudah masuk ke ruangan tersebut."Ponsel?" Asih pun terdiam sambil menatap ponselnya yang berada di tangan Barra."Terjatuh di mobil.""Terima kasih, aku juga sedang mencarinya. Aku kira dimana, terima kasih sudah mengantarkan," Asih pun berjalan ke arah Barra dan mengambil alih ponsel miliknya dari tangan Barra.Asih merasa sedikit lebih baik, karena sudah menemukan sesuatu yang sangat dia sayangi tersebut.Tapi, Asih bingung apakah Barra melihat isi ponselnya?Ah, sepertinya tidak, karena ponselny
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Setiap kisah dan waktu yang sudah terlewati tak akan bisa diulang kembali.Namun, semua kisah itu seakan lekat dalam ingatan tanpa bisa untuk terlupakan oleh ingatan.Aku Nia putri, menjalin kisah dengan takdir yang kujalani.Harapan ku hanya satu, bisa mendapatkan suatu harapan untuk bisa membuat ibu ku terus bersama ku setelah aku kehilangan ayah ku.Namun, siapa sangka bonus dari semua perjuangkan ku justru hal yang tak terduga.Justru kebahagiaan itu menghampiri ku.Dion seorang pria duda dengan satu anak dan usianya jauh lebih tua dari ku.Kami menjalin hubungan yang rumit karena sebuah alasan yang kuat namun penuh dengan air mata.Tujuan saling menguntungkan malah berakhir dengan saling mendapatkan kenyamanan.Tapi aku katakan aku bahagia.Awal kisah yang ku alami malah membawaku padanya.Meskipun banyak yang tidak aku inginkan dalam kisah ini.Tapi tetap saja aku tidak bisa bisa menolak takdir ku yang rumit itu.Terlepas dari itu semua aku adalah wanita penuh dengan kesalahan y
Di tempat lainnya ada juga yang sedang berbahagia.Raya kembali melahirkan seorang anak laki-laki Dan kini anak itu diberi nama 'Raza' perpaduan antara nama Raya dan Reza.Itu adalah saran nama dari Dion.Reza dan Raya pun setuju saja."Itu nama dari, Opa Dion," kata Reza sambil tersenyum pada bayinya."Benar, dan ini adalah, Oma," Raya pun menunjuk Nia.Nia pun tersenyum karena merasa lucu, tapi bagaimana pun juga itu memang benar dan tidak masalah juga menjadi Oma diusia yang masih muda ini."Aduh, cucu Oma," Nia pun menggendong bayi lucu itu.Dia melihat wajah anak itu yang sangat mirip dengan Reza.Bahkan sedikit mirip dengan Zaki."Nia, berikan pada, Opanya," Dion pun menunjuk ke arah Chandra.Chandra pun tersenyum karena kini sudah memiliki seorang cucu."Bagaimana kalau berikan pada, Oma Kiara," celetuk Nia.Kiara yang dari tadi hanya diam pun seketika terkejut mendengar ucapan Nia."Ibu Nia, saya masih ting-ting. Saya masih mahasiswa, saya masih kecil, saya dipanggil, Kak Kia
Beberapa bulan kemudian...Niko dan Ranti menyambut bahagia saat kelahiran putra mereka yang diberi nama 'Fatih Niko Adiguna'Sesuai dengan keinginan Niko, mereka hanya memiliki satu orang anak saja.Niko tidak ingin serakah, dia sudah merasa cukup dengan kehadiran seorang anak laki-laki untuk menjadi pewarisnya.Terlebih lagi tidak ingin melihat Ranti harus berada dalam sebuah keadaan yang menegangkan.Dia tak mau mengambil resiko.Meskipun keadaan rahim Ranti masih memungkinkan untuk mengandung lagi.Dia sangat mencintai istrinya dalam keadaan apapun.Menurutnya memiliki anak adalah sebuah hadiah.Tapi memiliki Ranti adalah anugerah.Jadi, dia sudah sangat bahagia dengan satu putra saja.Selebihnya dia menganggap anak Barra juga anaknya.Apa lagi Barra memiliki 3 orang anak, membuat Niko merasa anaknya sudah memiliki Kakak walaupun hanya sepupu saja."Wajahnya lebih mirip, Mama," kata Ranti.Dia pun melihat wajah Mama mertuanya dan lagi-lagi melihat wajah putranya.Putra kecil yang
"Dokter Niko, lihat ini," Adam menunjuk layar monitor.Saat itu Niko pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Dokter Adam.Tapi Niko yang sedang tidak baik-baik saja tidak mengerti."Ada apa?" tanya Niko.Bodoh?Ya, Niko akan sangat bodoh jika sudah menyangkut tentang Ranti.Begitu juga dengan saat ini.Bahkan dia sendiri tidak dapat berpikir jernih, padahal Dokter Adam sudah menunjukkan dengan jelas.Namun, Niko masih bertanya.Dia butuh jawaban, sekaligus penjelasan yang pasti.Jangan memintanya untuk menyimpulkan sendiri, dia tidak bisa.Otaknya sedang sulit untuk bisa berpikir jernih."Tidak ada masalah dengan rahim istri anda, janinnya juga sudah berada di dalam rahim," terang Dokter Adam.Niko pun terkejut mendengarnya dia pun segera mendekat dan melihat dengan jelas."Ini keajaiban, Dokter Niko. Lihat ini," Dokter Adam pun kembali memperlihatkan bagian lainya, rasanya pemeriksaan sebelumnya dan saat ini jauh lebih baik."Apakah ini mungkin?" tanya Niko yang belum percaya."Iya, i
"Aku pun akan mati, jika kamu mati," tambah Niko lagi.Ranti terdiam mendengar ucapan suaminya itu."Tapi aku akan tetap mempertahankan anak ku," kata Ranti dengan penuh keyakinan.Siapa pun ibu tak akan tega membunuh anaknya, begitu juga dengan Ranti."Vina, panggil, Dokter Winda!" pinta Niko.Untuk kaki ini dia tak bisa lagi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.Dia tidak memiliki keberanian untuk mengetahui keadaan Ranti saat ini.Dia butuh bantuan dokter lain untuk bisa membantunya, sedangkan Dokter Winda adalah dokter senior yang sudah banyak menangani pasien dan Niko sudah tak tahu dengan kehebatannya.Meskipun perasannya begitu was-was akan keadaan Ranti saat ini.Tapi jelas terlihat bahwa Ranti akan dengan kerasnya pendiriannya yang tak akan menggugurkan kandungannya."Selamat siang, anda memanggil saya, Dok?" Dokter Winda pun telah tiba seperti yang di sampaikan oleh Vina untuk segera menemui Niko.Niko pun mulai tersadar dari pikirannya yang kacau, sambil melihat wajah
"Hamil?" Niko terdiam saat menyaksikan sendiri ada janin di rahim istrinya.Dia pun mengingat kembali saat itu Ranti menggodanya dan hal itu pun terjadi sebelum dia berpikir untuk membuat sel telurnya tidak bekerja.Bahkan saat itu tidak hanya satu kaki, namun berkali-kali.Lantas bagaimana ini?"Kamu ngomong apa tadi?" tanya Ranti yang mendengar ucapan Niko.Niko pun kini melihat Ranti dengan pikirannya yang kacau."Niko, aku hamil?" tanya Ranti memastikan, "berarti testpack yang aku gunakan tadi tidak keliru," tambah Ranti.Ranti terus saja tersenyum bahagia membayangkan sebentar lagi anak menjadi seorang ibu.Dia langsung saja memeluk Niko dengan penuh kebahagiaan.Tak tahu harus bagaimana untuk meluapkannya tapi Ranti benar-benar tidak akan pernah bisa melupakan saat ini."Tuh, kan, nggak perlu adopsi anak. Buktinya sekarang aku hamil, artinya kita akan jadi orang tua," Ranti semakin mempererat pelukannya.Begitu larut dalam kebahagiaan yang tak bisa teralihkan sama sekali.Kemud
Beberapa hari kemudian.....Ranti menatap alat uji kehamilan di tangannya dengan malas.Entah sudah berapa kali dia menggunakannya demi mengetahui apakah ada janin yang tumbuh di rahimnya atau tidak.Mungkin saja ini sudah testpack yang ke 50.Dan hasilnya masih saja garis satu, sungguh membuatnya merasa sedih.Dia pun akhirnya segera menuju ranjang, hari ini dia sangat malas melakukan hal apapun.Sedangkan Niko sedang berada di rumah sakit.Dan seharusnya Ranti selalu mengantar makan siang untuk suaminya itu, sekaligus akan makan bersama-sama.Tapi dia pun malah tertidur pulas dan lupa untuk mengantarkan makanan siang untuk Niko.Hingga ponselnya pun berdering, tidurnya pun terusik dan dengan rasa malas menjawab panggilan itu."Halo," Ranti tak melihat terlebih dahulu nama siapa yang ada di layar ponselnya.Dia langsung saja menjawabnya."Sayang, kamu sudah di mana?" tanya Niko.Ranti pun baru tersadar jika yang menghubungi dirinya adalah Niko.Kemudian dia melihat jam dinding, dia p
Keesokan harinya."Kamu nggak ke kantor?" Ranti melihat Niko tampak santai di atas ranjang sambil memeluk dirinya.Ini tidak biasanya terjadi, karena kebiasaan Niko jika pagi begini pergi bekerja."Aku mau di rumah aja sama kamu," jawab Niko."Kenapa begitu?""Libur untuk satu hari rasanya tidak salah," kata Niko lagi.Ranti pun mengangguk mengerti.Mungkin Niko juga kelelahan dan butuh waktu untuk beristirahat.Mengingat selama ini Niko selalu saja disibukkan dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya."Ranti, bagaikan kalau kita mengadopsi anak."Deg!Jantung Ranti rasanya keluar dari dadanya.Dia begitu shock mendengar pertanyaan Niko barusan.Tunggu dulu.Itu pertanyaan atau pernyataan?Ranti tak pernah berpikir jika Niko akan berkata demikian.Apakah Niko sudah sangat ingin memiliki anak sehingga dia mengatakan demikian."Tapi aku juga bisa hamil, kenapa harus mengadopsi anak?" tanya Ranti yang bingung.Niko pun menutup matanya dia pun segera bangkit dari atas ranjangnya berjalan