"Asih!"Asih pun tidak mendengar saat namanya di panggil.Membuat Nia pun memilih untuk berjalan ke arah Asih dan menepuk pundak wanita tersebut."Asih!" lagi-lagi Nia pun memanggil wanita itu.Akhirnya dia pun tersadar dari lamunannya, membuatnya tersentak seketika itu juga."Nia, kamu bikin aku kaget aja," kata Asih sambil mengusap dadanya."Kaget? Aku udah manggil-manggil kamu, dari tadi. Kamu kenapa? Lagi mikirin apa?" tanya Nia yang malah penasaran pada Asih."Nggak papa, cuman kurang enak badan aja," jawab Asih.Kepalanya memang sedikit pusing, mungkin karena apa yang dia alami hari ini cukup membuatnya shock."Begitu, padahal kita mau kumpul-kumpul di taman belakang, soalnya Dila ulang tahun besok," jelas Asih."Waw, ternyata si cantik itu sudah besar," ujar Asih dengan sangat antusias."Ya. Dan, dia mau kita ngumpul sambil barbeque di belakang. Mas Dion, juga setuju. Soalnya selama ini kata, Mas Dion. Dila, selama ini merayakan ulang tahunnya di rumah sakit," tambah Nia lagi.
"Dia siapa?" tanya Kiara pada Asih."Dia, Kakaknya, Tuan Dion," jawab Asih dengan suara pelan."Lebih tua, kayaknya," kata Kiara lagi."Huuuss!" Asih pun menyenggol lengan Kiara, karena tak ingin ada yang mendengar apa yang dikatakan Kiara barusan."Hehe," Kiara pun tersenyum kemudian kembali melihat Barra, "ini kunci apa?" tanya Kiara."Letakkan, tangan mu di sini, kemudian jari-jarinya di sini," Barra pun membatu Kiara untuk memulai bermain gitar.Sedangkan Asih masih saja diam duduk di antara Kiara dan Niko."Apa perasaan mu baik-baik saja?" tanya Niko."Perasaan?" Asih sangat tidak mengerti dengan setiap pertanyaan ataupun kata yang keluar dari mulut Niko.Menurutnya itu semua penuh dengan misteri yang sulit untuk di pecahkan."Ya, mungkin saja, kan?" tanya Niko lagi."Wah, sepertinya semuanya benar-benar berkumpul di sini?" kata Nia yang kembali lagi setelah Dila terlelap dalam tidur."Hay, apa kabar?" tanya Niko berbasa-basi."Baik, sepertinya ini sudah pas. Niko dan Asih, Barra
"Sial, mimpi apa barusan?" Barra pun terjaga dari tidurnya, dan matanya melihat jam yang ternyata sudah menunjukkan pukul 08:00 wib.Barra pun mengusap wajahnya, ini sudah sangat terlambat untuk bangun pagi.Kemudian Barra pun kembali mengingat mimpi gilanya barusan.Mimpi yang cukup membuatnya menjadi panas dingin.Dimana dia dan Asih bercinta dengan panasnya, bahkan masih bisa mengingat dengan jelas.Seakan mereka mereka masih berada di dalam kamar hotel, Barra yang terus melumat bibir Asih pun tak ingin berhenti dengan begitu saja."Sstttt!" Asih mendesah dan itu membuat Barra semakin menjadi-jadi saja.Dengan semakin liarnya tangan pria itu pun mulai menjelajahi seluruh tubuh Asih.Hingga akhirnya tangan pria itu tampak begitu lihai saat meremas gundukan yang masih tertutup bra.Barra pun cepat-cepat bangkit dari tempat tidur, kemudian masuk ke dalam kamar mandi.Dirinya segera memandikan tubuhnya, rasanya begitu mengerikan dan tak menyangka bisa bermimpi seperti itu."Apa karena,
"Mbak Asih, mikirin apa, sih? Dari tadi ngeliatin boneka ini terus?" tanya Nilam.Sejak sampai di toko Asih hanya diam saja sambil melihat boneka panda yang tak terlalu besar di tangannya.Boneka tersebut dibelikan oleh Barra beberapa saat lalu, dan itu membuatnya menjadi bertanya-tanya."Nilam, aku nggak tahu mau ceritain ini ke siapa. Kepala aku hampir pecah hanya memikirkan masalah ini. Dan, aku butuh kamu untuk mendengarkan apa yang aku rasakan, sekaligus mungkin ada ide dari kamu yang bisa buat aku sedikit lebih baik," kata Asih.Karena, keadaannya saat ini Nilam sudah tahu jika dirinya dan Barra sudah menikah, hingga pikirannya tepat jika bercerita pada Nilam.Untuk membuat pikirannya menjadi lebih baik dan merasa sedikit lebih lega."Memangnya, Mbak Asih mau cerita apa?" Nilam pun menarik kursi, kemudian duduk saling berhadapan dengan Asih."Kamu tutup dulu pintunya.""Baiklah."Nilam pun segera menutup pintu ruangan tersebut, kemudian dia kembali duduk di kursinya.Setelah itu
"Mbak Asih, ada, Mas Barra!" seru Nilam."Ya, ampun, Nilam. Bisa tidak berbicara dengan suara pelan?"Asih sedang sangat pusing, mencari keberadaan ponselnya di tambah masalah yang ada.Dan Nilam juga seperti mengajaknya untuk berperang dengan mengeluarkan suara nyarinya.Sungguh membuat Asih semakin stres saja."Hehe, maaf. Tapi, di luar ada, Mas Barra.""Untuk apa dia kesini?""Mengembalikan ponsel milik mu," Barra pun muncul di belakang Nilam.Nilam pun segera pergi karena ternyata Barra sudah masuk ke ruangan tersebut."Ponsel?" Asih pun terdiam sambil menatap ponselnya yang berada di tangan Barra."Terjatuh di mobil.""Terima kasih, aku juga sedang mencarinya. Aku kira dimana, terima kasih sudah mengantarkan," Asih pun berjalan ke arah Barra dan mengambil alih ponsel miliknya dari tangan Barra.Asih merasa sedikit lebih baik, karena sudah menemukan sesuatu yang sangat dia sayangi tersebut.Tapi, Asih bingung apakah Barra melihat isi ponselnya?Ah, sepertinya tidak, karena ponselny
Asih benar-benar tidak mengerti dengan keadaan ini, jika terus saja sikap Barra seperti ini bagaimana dia bisa meminta untuk segera bercerai.Rasanya Asih sudah sangat kehabisan tenaga untuk menghadapi semuanya, cara pertama dia sudah menyerah karena melihat kemarahan Barra yang begitu mengerikan.Sekarang dia memakai cara keduanya, dan malah reaksi seorang Barra pun berbeda.Sedangkan di sisi jalan sana sepertinya ada seorang pria yang melihat ini semua.Sebelumnya saat di lampu merah pria itu penasaran kemana Asih dan Barra akan pergi."Kurang ajar wanita itu, dia malah ke sini dengan suaminya itu," Sandi yang mengikuti sampai di rumah orang tua Barra pun merasa kesal.Sebab, merasa dirinya seakan di bodohi habis-habisan oleh seorang wanita seperti Asih.Saat ini mereka ada janji bertemu, tetapi yang terjadi justru sebaliknya.Asih memilih untuk pergi bersama dengan Barra dari pada dengan dirinya.Sandi pun langsung saja menghubungi Asih melalui sambungan telepon seluler miliknya, d
Awalnya Asih berpikir jika Barra hanya sekedar berbasa-basi, ternyata tidak. Karena, benar saja. Beberapa saat kemudian Barra kembali dengan membawa secangkir teh hangat untuknya."Minumlah, aku merasa kamu sedikit pucat. Mungkin setelah ini bisa menjadi lebih baik."Asih pun mengangguk lemah, kemudian meneguk teh yang di berikan Barra padanya.Ini benar-benar di luar akal sehat seorang Asih, dia sepertinya tidak habis pikir dengan Barra yang menjadi begitu baik padanya."Apa, sudah lebih baik?" tanya Barra.Lagi-lagi Asih hanya bisa menjawab dengan anggukan kepala saja, perlakukan Barra sulit untuk bisa di terima dengan akal sehat.Namun, bagaimana pula menepis keadaan ini."Asih, bisa tidak aku sedikit meminta kepada mu untuk tidak memanggil nama ku di depan, Bunda. Karena, dia tidak suka dengan gaya seperti itu," kata Barra lagi.Asih pun menatap wajah Barra, tampaknya dia sedikit bingung dengan maksud dari suaminya tersebut.Suami?Ya, suami yang terpaksa harus terjadi karena adan
Selesai makan malam Asih pun bergegas untuk membersihkan meja makan, tapi saat itu tiba-tiba saja ada tangan yang mencegahnya."Biar, Bibi atau Ranti saja yang membereskannya," kata Barra.Asih pun cepat-cepat melepaskan tangannya dari tangan Barra."Tapi, aku suka melakukan pekerjaan ini," kata Asih."Tidak perlu, biarkan, Ranti aja, Kak. Pengantin baru nyantai aja," Ranti pun menimpalinya.Asih semakin tidak karuan, rasanya tidak mudah untuk dimengerti. Tapi, keadaannya saat ini benar-benar tidak karuan."Sudah-sudah, jangan di pikirkan. Ada, Bibik," kata Tias yang juga akhirnya berbicara, "kamu, istirahat saja," lanjut Tias lagi."Lebih baik kalian istirahat, sekalian. Bunda, biar cepat punya cucu," kata Tias sambil cekikikan.Asih pun tersenyum kikuk mendengar apa yang dikatakan oleh mertuanya itu.Cucu?Waw, membuat tegang saja."Ayo, kalian ke kamar aja. Ranti, juga nggak sabar pengen punya ponakan," celetuk Ranti sambil cekikikan.Wajah Asih benar-benar memerah karena tak dapat