"Aneh sekali kalian, istri meminta ijin pada suaminya untuk berjumpa dengan kekasihnya. Dan, gilanya, suaminya juga mengijinkannya, dulu aku juga menikah dengan, Nia karena terpaksa. Tapi, rasanya tidak pernah segila ini," kata Dion.Dion benar-benar tidak habis pikir dengan jalan kehidupan yang dijalani oleh Barra dan juga Asih.Dia sudah tahu jika Barra menikah dengan Asih, karena beberapa menit sebelum menikahi Asih, Barra sudah menghubunginya dan mengatakan apa yang terjadi pada malam itu.Dion tidak bisa mengatakan iya atau tidak, sebab semua keputusan ada pada Barra sendiri. Sebab yang menjalani nanti adalah Barra sendiri nantinya.Kemudian keesokan harinya Barra mengatakannya perniknya justru membuat keadaan Tias menjadi lebih baik.Tentunya itu adalah kabar yang sangat menggembirakan, karena Dion sangat menyayangi ibunya juga. Jadi dia tahu perasaan Barra saat mengetahui keadaan Ibunya ada kemajuan.Sedangkan untuk Nia, Dion memang tidak mengatakan apapun. Karena, dia tidak ma
Sepanjang perjalanan pulang Asih terus saja tersenyum, dia merasa hidupnya kini sangat berarti dan penuh warna.Penyebabnya tak lain adalah Sandi yang kini sudah melingkarkan cincin di jarinya.Bahkan pria itu menerima dirinya yang sudah mengatakan bahwa dia hanya orang kampung.Terlahir dari keluarga miskin, serta dia adalah tulang punggung keluarga.Awalnya Asih mengira jika Sandi akan mundur karena tak ingin memiliki seorang istri dari kalangan bawah.Tapi tidak, karena nyatanya Sandi tidak perduli dengan itu semua."Sandi, tapi sebenarnya aku hanya orang kampung. Aku tulang punggung keluarga, aku harus menghidupi adik dan Ibu ku. Mengingat kamu sepertinya berasa dari kalangan cukup berada. Di tambah lagi orang dari kota, apa mungkin kamu mau menikah dengan gadis seperti aku?"Perasaan Asih benar-benar begitu was-was karena dia tidak tahu apakah Sandi bisa menerima semua kekurangannya.Padahal Asih sangat menyukai Sandi, siang dan malam hanya nama pria itu yang terlintas di benakny
Sampai di dalam kamar pun Asih masih saja senyum-senyum sendiri, dia terus saja menatap jari-jarinya tanpa henti.Hingga dia pun sejenak melihat cincin yang satunya lagi, itu adalah cincin yang di pakaikan oleh Tias saat malam itu."Tapi, kok cincin ini nggak bisa di lepas, ya? Kayaknya besok aku harus pergi ke toko perhiasan untuk melepaskan cincin ini. Atau kalau perlu cincinnya yang di potong saja."Asih pun mendadak berbicara sendiri sambil terus melihat cincin di tangannya, namun sesaat kemudian dia pun kembali melihat cincin yang di pasangkan oleh Sandi di jari manisnya."Ya, ampun. Aku nggak tahu harus gimana. Tapi, aku bahagia," Asih pun melempar tubuhnya pada ranjang, kemudian matanya melihat langit-langit kamar.Hingga suara ponselnya pun membuatnya tersadar dari lamunannya."Halo, Nilam," jawab Asih."Mbak Asih, aku udah bisa balik ke toko belum? Entar gaji aku di potong lagi," kata Nilam dari seberang sana."Udah, besok kamu masuk kerja lagi. Masalah gaji tetap aman, tenan
Asih langsung saja memarkirkan sepeda motornya, kemudian dia pun segera turun.Dan itu bertepatan dengan Barra yang keluar dari rumah.Dengan cepat Asih pun menghampiri pria tersebut."Barra, aku mau bicara," kata Asih.Barra pun menghentikan langkah kakinya, kemudian melihat Asih."Tapi, kita cari tempat lain saja bagaimana?" Asih pun melihat sekiranya.Dia tak mau ada yang mendengar apa yang kini mereka bicarakan, lagi pula berbicara di tempat seperti ini tentunya tidak aman.Bisa-bisa ada yang datang tiba-tiba tanpa mereka sadari.Sedangkan dia sungguh tak mau ada yang mendengar apa yang nantinya mereka bicarakan."Aku sedang sibuk," Barra pun memilih untuk pergi, dia berniat masuk ke dalam mobil.Tapi dengan cepat Asih pun berdiri di depan pintu mobil agar Barra tak bisa pergi dengan begitu saja."Barra, aku mau bicara, penting," pinta Asih.Dia sangat berharap untuk kali ini, bahkan dia tak ingin ada pertengkaran agar mempermudah semuanya.Barra pun hanya terdiam sambil menatap w
Sudah 30 menit berlalu, tapi Asih masih menunggu kedatangan Barra.Dia sudah mengirimkan pesan sebelumnya, kemudian menentukan waktu dan tempat untuk mereka bertemu.Dia tidak tahu apakah Barra akan datang atau tidak, tapi dia sangat berharap dengan kedatangan pria itu.Semuanya harus di selesaikan dengan cepat, jika dirinya terus memikirkan Tias lantas bagaimana dengan perasaannya?Asih juga punya perasaan dan ingin masa depan yang bahagia bersama orang yang di cintainya.Dan kini dia dan kekasihnya sudah siap untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius yaitu, pernikahan, Asih tak bisa untuk pergi begitu saja.Karena, dia sangat mencintai Sandi, entah sudah berapa kali kata cinta itu keluar dari mulutnya.Tapi memang begitu adanya, hingga akhirnya Asih pun memutuskan untuk menghubungi Barra kembali.Tapi, tidak satupun panggilannya terjawab. Membuatnya hanya bisa menarik napas dengan begitu berat.1 jam berlalu, Asih pun mulai jenuh. Tapi dia juga belum menyerah.Hingga akhirnya mat
"Istri?" tanya Sandi.Sandi tak mengerti mengapa bisa Barra berkata demikian, ini sungguh sangat menimbulkan tanya."Iya, dia adalah istri ku!" papar Barra.Asih pun menundukkan kepalanya, dia tak tahu apa yang akan terjadi pada hidupnya setelah ini.Terutama pada hubungannya dengan Sandi seorang yang sangat dia cintai."Kau, jangan gila!" Kata Sandi membalas ucapan Barra, dia benar-benar tidak percaya akan apa yang dikatakan oleh Barra barusan."Mungkin, dia sedang sakit jiwa!" tambah Fera.Barra pun mengangkat bahunya seakan dia tak perduli dengan apapun yang dikatakan oleh dua orang itu."Tanyakan padanya," Barra pun menatap Asih.Asih yang menunduk pun menjadi pusat perhatian ketiganya, hingga dia pun mengangkat kepalanya dan melihat tiga pasang bola mata yang menatap ke arahnya.Jika Barra tampak datar saja, maka lain halnya dengan Fera dan Sandi yang seakan butuh penjelasan."Barra, kamu punya dendam apa sama aku!" kesal Asih.Menurutnya saat ini Barra sangat keterlaluan, karena
"Cepat!" Asih pun mendorong dada Barra, dia benar-benar tidak ingin lagi melihat wajah pria tersebut.Pria yang menjengkelkan dan menghancurkan hubungannya dengan Sandi.Sesaat kemudian Asih pun melepaskan kancing kemejanya, hingga menampakan tubuh bagian depannya.Dua dadanya yang tertutup dengan bra pun tampak begitu terlihat di mata Barra.Meskipun kemeja wanita itu belum terlepas dari tubuhnya.Asih pun menarik kerah kemeja Barra, dia tidak tahu lagi harus bagaimana.Menurutnya hidupnya sudah sangat berada di titik kehancuran paling dasar.Apa lagi gunanya dia hidup, menikah dengan seseorang yang tidak dia inginkan. Kemudian, di tinggalkan oleh kekasih yang teramat dia cintai itu."Ayo, apa lagi? Aku sudah memberikan ijin, aku sudah menyetujui apa yang kau inginkan!" kata Asih.Kedua tangan Asih terus saja mencengkram erat kerah kemeja, Barra.Kedua kakinya berjinjit agar mengimbangi wajah Barra, bahkan tatapan keduanya pun saling bertemu.Barra terus saja menatap tatapan mata Asi
"Kenapa?" tanya Barra saat melihat wajah Asih yang begitu ketakutan, dia benar-benar ketakutan untuk saat ini.Dimana Asih yang keras kepala, kasar dan sangat suka memakai seorang Barra?Tampaknya kini hanya ada Asih yang lemah dan merasa terancam dengan keadaan yang dia buat sendiri.Apakah nantinya yang akan terjadi pada dirinya? Asih tak ingin setelah kehilangan kesucian, malah harus mengandung anak Barra.Jika sudah demikian maka tak akan pernah bisa lepas dari pria itu.Pernikahan yang dia rahasiakan akan di ketahui banyak orang.Dia akan hidup dalam sebuah tekanan, keterpaksaan dan juga kesedihan.Karena, bagaimana pun Barra tak akan mungkin bisa membuat dirinya sebagai bagian dari hidupnya.Begitu pun juga dengan Asih yang tak mungkin bisa menempatkan Barra dengan posisi yang baik di hatinya.Rumah tangga macam apa yang akan mereka jalani nantinya?Tidak-tidak!Bahkan dalam hatinya berdoa semoga saja ada yang bisa menolong dirinya saat ini entah siapapun itu."Barra, aku--" As
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Setiap kisah dan waktu yang sudah terlewati tak akan bisa diulang kembali.Namun, semua kisah itu seakan lekat dalam ingatan tanpa bisa untuk terlupakan oleh ingatan.Aku Nia putri, menjalin kisah dengan takdir yang kujalani.Harapan ku hanya satu, bisa mendapatkan suatu harapan untuk bisa membuat ibu ku terus bersama ku setelah aku kehilangan ayah ku.Namun, siapa sangka bonus dari semua perjuangkan ku justru hal yang tak terduga.Justru kebahagiaan itu menghampiri ku.Dion seorang pria duda dengan satu anak dan usianya jauh lebih tua dari ku.Kami menjalin hubungan yang rumit karena sebuah alasan yang kuat namun penuh dengan air mata.Tujuan saling menguntungkan malah berakhir dengan saling mendapatkan kenyamanan.Tapi aku katakan aku bahagia.Awal kisah yang ku alami malah membawaku padanya.Meskipun banyak yang tidak aku inginkan dalam kisah ini.Tapi tetap saja aku tidak bisa bisa menolak takdir ku yang rumit itu.Terlepas dari itu semua aku adalah wanita penuh dengan kesalahan y
Di tempat lainnya ada juga yang sedang berbahagia.Raya kembali melahirkan seorang anak laki-laki Dan kini anak itu diberi nama 'Raza' perpaduan antara nama Raya dan Reza.Itu adalah saran nama dari Dion.Reza dan Raya pun setuju saja."Itu nama dari, Opa Dion," kata Reza sambil tersenyum pada bayinya."Benar, dan ini adalah, Oma," Raya pun menunjuk Nia.Nia pun tersenyum karena merasa lucu, tapi bagaimana pun juga itu memang benar dan tidak masalah juga menjadi Oma diusia yang masih muda ini."Aduh, cucu Oma," Nia pun menggendong bayi lucu itu.Dia melihat wajah anak itu yang sangat mirip dengan Reza.Bahkan sedikit mirip dengan Zaki."Nia, berikan pada, Opanya," Dion pun menunjuk ke arah Chandra.Chandra pun tersenyum karena kini sudah memiliki seorang cucu."Bagaimana kalau berikan pada, Oma Kiara," celetuk Nia.Kiara yang dari tadi hanya diam pun seketika terkejut mendengar ucapan Nia."Ibu Nia, saya masih ting-ting. Saya masih mahasiswa, saya masih kecil, saya dipanggil, Kak Kia
Beberapa bulan kemudian...Niko dan Ranti menyambut bahagia saat kelahiran putra mereka yang diberi nama 'Fatih Niko Adiguna'Sesuai dengan keinginan Niko, mereka hanya memiliki satu orang anak saja.Niko tidak ingin serakah, dia sudah merasa cukup dengan kehadiran seorang anak laki-laki untuk menjadi pewarisnya.Terlebih lagi tidak ingin melihat Ranti harus berada dalam sebuah keadaan yang menegangkan.Dia tak mau mengambil resiko.Meskipun keadaan rahim Ranti masih memungkinkan untuk mengandung lagi.Dia sangat mencintai istrinya dalam keadaan apapun.Menurutnya memiliki anak adalah sebuah hadiah.Tapi memiliki Ranti adalah anugerah.Jadi, dia sudah sangat bahagia dengan satu putra saja.Selebihnya dia menganggap anak Barra juga anaknya.Apa lagi Barra memiliki 3 orang anak, membuat Niko merasa anaknya sudah memiliki Kakak walaupun hanya sepupu saja."Wajahnya lebih mirip, Mama," kata Ranti.Dia pun melihat wajah Mama mertuanya dan lagi-lagi melihat wajah putranya.Putra kecil yang
"Dokter Niko, lihat ini," Adam menunjuk layar monitor.Saat itu Niko pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Dokter Adam.Tapi Niko yang sedang tidak baik-baik saja tidak mengerti."Ada apa?" tanya Niko.Bodoh?Ya, Niko akan sangat bodoh jika sudah menyangkut tentang Ranti.Begitu juga dengan saat ini.Bahkan dia sendiri tidak dapat berpikir jernih, padahal Dokter Adam sudah menunjukkan dengan jelas.Namun, Niko masih bertanya.Dia butuh jawaban, sekaligus penjelasan yang pasti.Jangan memintanya untuk menyimpulkan sendiri, dia tidak bisa.Otaknya sedang sulit untuk bisa berpikir jernih."Tidak ada masalah dengan rahim istri anda, janinnya juga sudah berada di dalam rahim," terang Dokter Adam.Niko pun terkejut mendengarnya dia pun segera mendekat dan melihat dengan jelas."Ini keajaiban, Dokter Niko. Lihat ini," Dokter Adam pun kembali memperlihatkan bagian lainya, rasanya pemeriksaan sebelumnya dan saat ini jauh lebih baik."Apakah ini mungkin?" tanya Niko yang belum percaya."Iya, i
"Aku pun akan mati, jika kamu mati," tambah Niko lagi.Ranti terdiam mendengar ucapan suaminya itu."Tapi aku akan tetap mempertahankan anak ku," kata Ranti dengan penuh keyakinan.Siapa pun ibu tak akan tega membunuh anaknya, begitu juga dengan Ranti."Vina, panggil, Dokter Winda!" pinta Niko.Untuk kaki ini dia tak bisa lagi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.Dia tidak memiliki keberanian untuk mengetahui keadaan Ranti saat ini.Dia butuh bantuan dokter lain untuk bisa membantunya, sedangkan Dokter Winda adalah dokter senior yang sudah banyak menangani pasien dan Niko sudah tak tahu dengan kehebatannya.Meskipun perasannya begitu was-was akan keadaan Ranti saat ini.Tapi jelas terlihat bahwa Ranti akan dengan kerasnya pendiriannya yang tak akan menggugurkan kandungannya."Selamat siang, anda memanggil saya, Dok?" Dokter Winda pun telah tiba seperti yang di sampaikan oleh Vina untuk segera menemui Niko.Niko pun mulai tersadar dari pikirannya yang kacau, sambil melihat wajah
"Hamil?" Niko terdiam saat menyaksikan sendiri ada janin di rahim istrinya.Dia pun mengingat kembali saat itu Ranti menggodanya dan hal itu pun terjadi sebelum dia berpikir untuk membuat sel telurnya tidak bekerja.Bahkan saat itu tidak hanya satu kaki, namun berkali-kali.Lantas bagaimana ini?"Kamu ngomong apa tadi?" tanya Ranti yang mendengar ucapan Niko.Niko pun kini melihat Ranti dengan pikirannya yang kacau."Niko, aku hamil?" tanya Ranti memastikan, "berarti testpack yang aku gunakan tadi tidak keliru," tambah Ranti.Ranti terus saja tersenyum bahagia membayangkan sebentar lagi anak menjadi seorang ibu.Dia langsung saja memeluk Niko dengan penuh kebahagiaan.Tak tahu harus bagaimana untuk meluapkannya tapi Ranti benar-benar tidak akan pernah bisa melupakan saat ini."Tuh, kan, nggak perlu adopsi anak. Buktinya sekarang aku hamil, artinya kita akan jadi orang tua," Ranti semakin mempererat pelukannya.Begitu larut dalam kebahagiaan yang tak bisa teralihkan sama sekali.Kemud
Beberapa hari kemudian.....Ranti menatap alat uji kehamilan di tangannya dengan malas.Entah sudah berapa kali dia menggunakannya demi mengetahui apakah ada janin yang tumbuh di rahimnya atau tidak.Mungkin saja ini sudah testpack yang ke 50.Dan hasilnya masih saja garis satu, sungguh membuatnya merasa sedih.Dia pun akhirnya segera menuju ranjang, hari ini dia sangat malas melakukan hal apapun.Sedangkan Niko sedang berada di rumah sakit.Dan seharusnya Ranti selalu mengantar makan siang untuk suaminya itu, sekaligus akan makan bersama-sama.Tapi dia pun malah tertidur pulas dan lupa untuk mengantarkan makanan siang untuk Niko.Hingga ponselnya pun berdering, tidurnya pun terusik dan dengan rasa malas menjawab panggilan itu."Halo," Ranti tak melihat terlebih dahulu nama siapa yang ada di layar ponselnya.Dia langsung saja menjawabnya."Sayang, kamu sudah di mana?" tanya Niko.Ranti pun baru tersadar jika yang menghubungi dirinya adalah Niko.Kemudian dia melihat jam dinding, dia p
Keesokan harinya."Kamu nggak ke kantor?" Ranti melihat Niko tampak santai di atas ranjang sambil memeluk dirinya.Ini tidak biasanya terjadi, karena kebiasaan Niko jika pagi begini pergi bekerja."Aku mau di rumah aja sama kamu," jawab Niko."Kenapa begitu?""Libur untuk satu hari rasanya tidak salah," kata Niko lagi.Ranti pun mengangguk mengerti.Mungkin Niko juga kelelahan dan butuh waktu untuk beristirahat.Mengingat selama ini Niko selalu saja disibukkan dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya."Ranti, bagaikan kalau kita mengadopsi anak."Deg!Jantung Ranti rasanya keluar dari dadanya.Dia begitu shock mendengar pertanyaan Niko barusan.Tunggu dulu.Itu pertanyaan atau pernyataan?Ranti tak pernah berpikir jika Niko akan berkata demikian.Apakah Niko sudah sangat ingin memiliki anak sehingga dia mengatakan demikian."Tapi aku juga bisa hamil, kenapa harus mengadopsi anak?" tanya Ranti yang bingung.Niko pun menutup matanya dia pun segera bangkit dari atas ranjangnya berjalan