Sudah 30 menit berlalu, tapi Asih masih menunggu kedatangan Barra.Dia sudah mengirimkan pesan sebelumnya, kemudian menentukan waktu dan tempat untuk mereka bertemu.Dia tidak tahu apakah Barra akan datang atau tidak, tapi dia sangat berharap dengan kedatangan pria itu.Semuanya harus di selesaikan dengan cepat, jika dirinya terus memikirkan Tias lantas bagaimana dengan perasaannya?Asih juga punya perasaan dan ingin masa depan yang bahagia bersama orang yang di cintainya.Dan kini dia dan kekasihnya sudah siap untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius yaitu, pernikahan, Asih tak bisa untuk pergi begitu saja.Karena, dia sangat mencintai Sandi, entah sudah berapa kali kata cinta itu keluar dari mulutnya.Tapi memang begitu adanya, hingga akhirnya Asih pun memutuskan untuk menghubungi Barra kembali.Tapi, tidak satupun panggilannya terjawab. Membuatnya hanya bisa menarik napas dengan begitu berat.1 jam berlalu, Asih pun mulai jenuh. Tapi dia juga belum menyerah.Hingga akhirnya mat
"Istri?" tanya Sandi.Sandi tak mengerti mengapa bisa Barra berkata demikian, ini sungguh sangat menimbulkan tanya."Iya, dia adalah istri ku!" papar Barra.Asih pun menundukkan kepalanya, dia tak tahu apa yang akan terjadi pada hidupnya setelah ini.Terutama pada hubungannya dengan Sandi seorang yang sangat dia cintai."Kau, jangan gila!" Kata Sandi membalas ucapan Barra, dia benar-benar tidak percaya akan apa yang dikatakan oleh Barra barusan."Mungkin, dia sedang sakit jiwa!" tambah Fera.Barra pun mengangkat bahunya seakan dia tak perduli dengan apapun yang dikatakan oleh dua orang itu."Tanyakan padanya," Barra pun menatap Asih.Asih yang menunduk pun menjadi pusat perhatian ketiganya, hingga dia pun mengangkat kepalanya dan melihat tiga pasang bola mata yang menatap ke arahnya.Jika Barra tampak datar saja, maka lain halnya dengan Fera dan Sandi yang seakan butuh penjelasan."Barra, kamu punya dendam apa sama aku!" kesal Asih.Menurutnya saat ini Barra sangat keterlaluan, karena
"Cepat!" Asih pun mendorong dada Barra, dia benar-benar tidak ingin lagi melihat wajah pria tersebut.Pria yang menjengkelkan dan menghancurkan hubungannya dengan Sandi.Sesaat kemudian Asih pun melepaskan kancing kemejanya, hingga menampakan tubuh bagian depannya.Dua dadanya yang tertutup dengan bra pun tampak begitu terlihat di mata Barra.Meskipun kemeja wanita itu belum terlepas dari tubuhnya.Asih pun menarik kerah kemeja Barra, dia tidak tahu lagi harus bagaimana.Menurutnya hidupnya sudah sangat berada di titik kehancuran paling dasar.Apa lagi gunanya dia hidup, menikah dengan seseorang yang tidak dia inginkan. Kemudian, di tinggalkan oleh kekasih yang teramat dia cintai itu."Ayo, apa lagi? Aku sudah memberikan ijin, aku sudah menyetujui apa yang kau inginkan!" kata Asih.Kedua tangan Asih terus saja mencengkram erat kerah kemeja, Barra.Kedua kakinya berjinjit agar mengimbangi wajah Barra, bahkan tatapan keduanya pun saling bertemu.Barra terus saja menatap tatapan mata Asi
"Kenapa?" tanya Barra saat melihat wajah Asih yang begitu ketakutan, dia benar-benar ketakutan untuk saat ini.Dimana Asih yang keras kepala, kasar dan sangat suka memakai seorang Barra?Tampaknya kini hanya ada Asih yang lemah dan merasa terancam dengan keadaan yang dia buat sendiri.Apakah nantinya yang akan terjadi pada dirinya? Asih tak ingin setelah kehilangan kesucian, malah harus mengandung anak Barra.Jika sudah demikian maka tak akan pernah bisa lepas dari pria itu.Pernikahan yang dia rahasiakan akan di ketahui banyak orang.Dia akan hidup dalam sebuah tekanan, keterpaksaan dan juga kesedihan.Karena, bagaimana pun Barra tak akan mungkin bisa membuat dirinya sebagai bagian dari hidupnya.Begitu pun juga dengan Asih yang tak mungkin bisa menempatkan Barra dengan posisi yang baik di hatinya.Rumah tangga macam apa yang akan mereka jalani nantinya?Tidak-tidak!Bahkan dalam hatinya berdoa semoga saja ada yang bisa menolong dirinya saat ini entah siapapun itu."Barra, aku--" As
"Apa lagi maunya wanita ini," Sandi merasa kesal setelah membaca pesan-pesan yang dikirimkan oleh Asih.Semenjak kejadian tadi dia merasa sangat terhina dengan apa yang dilakukan oleh seorang wanita padanya, bahkan ternyata wanita itu adalah istri dari seorang pria yang sangat dia benci.Hanya tidak menyangka bahwa dirinya yang begitu lihai dalam menipu, malah kali ini bisa tertipu.Sialan memang."Kamu masih memikirkan wanita itu?" tanya Fera yang kini duduk berhadapan dengan putranya."Iya, Bu. Bagaimana tidak kesal. Wanita sialan ini ternyata membohongi, Sandi habis-habisan. Menjengkelkan," umpat Sandi.Dia begitu kesal jika mengingat wajah Asih, sungguh sesuatu yang tak pernah dia pikirkan sebelumnya jika hari ini dia di tipu oleh seorang wanita seperti Asih.Sedangkan Fera hanya tersenyum mendengar keluhan anaknya itu.Tentu saja Sandi kesal, bahkan siapapun akan merasakan hal yang sama."Tapi, Sandi kamu harus mendapatkan istri. Karena, itu adalah syarat yang di berikan oleh, Ay
"Halo," Sandi pun menjawab panggilan telepon untuk kali ini.Mungkin itu adalah panggilan yang ke 100 kalinya, Asih mencoba untuk menghubungi Sandi dan berharap bisa berbicara langsung dengan pria tersebut.Cinta sedang begitu besarnya, rasanya badai dan gelombang tak kan ada yang mampu untuk memisahkan antara keduanya.Salah satu cara adalah perjuangan, itulah yang kini sedang dilakukan oleh seorang Asih.Wanita yang berharap bisa kembali pada Sandi dan tak ingin terpisahkan lagi.Begitu pun dengan saat ini, perasaannya sangat lega ketika Sandi menjawab panggilan tersebut."Sandi, aku nggak bohong. Aku udah jelasin semuanya sama kamu, aku mohon mengerti dengan keadaan ini. Aku juga bakalan cerai sama, Barra," kata Asih dengan begitu cepat.Berharap Sandi mendengarkan apa yang dia katakan sebelum akhirnya kembali memutuskan panggilan tersebut.Meskipun sebenarnya dirinya juga tidak tahu apakah bisa bercerai dari Barra.Tapi Sandi hanya diam saja di sebrang sana, tak ada suara yang ter
"Asih!"Asih pun tidak mendengar saat namanya di panggil.Membuat Nia pun memilih untuk berjalan ke arah Asih dan menepuk pundak wanita tersebut."Asih!" lagi-lagi Nia pun memanggil wanita itu.Akhirnya dia pun tersadar dari lamunannya, membuatnya tersentak seketika itu juga."Nia, kamu bikin aku kaget aja," kata Asih sambil mengusap dadanya."Kaget? Aku udah manggil-manggil kamu, dari tadi. Kamu kenapa? Lagi mikirin apa?" tanya Nia yang malah penasaran pada Asih."Nggak papa, cuman kurang enak badan aja," jawab Asih.Kepalanya memang sedikit pusing, mungkin karena apa yang dia alami hari ini cukup membuatnya shock."Begitu, padahal kita mau kumpul-kumpul di taman belakang, soalnya Dila ulang tahun besok," jelas Asih."Waw, ternyata si cantik itu sudah besar," ujar Asih dengan sangat antusias."Ya. Dan, dia mau kita ngumpul sambil barbeque di belakang. Mas Dion, juga setuju. Soalnya selama ini kata, Mas Dion. Dila, selama ini merayakan ulang tahunnya di rumah sakit," tambah Nia lagi.
"Dia siapa?" tanya Kiara pada Asih."Dia, Kakaknya, Tuan Dion," jawab Asih dengan suara pelan."Lebih tua, kayaknya," kata Kiara lagi."Huuuss!" Asih pun menyenggol lengan Kiara, karena tak ingin ada yang mendengar apa yang dikatakan Kiara barusan."Hehe," Kiara pun tersenyum kemudian kembali melihat Barra, "ini kunci apa?" tanya Kiara."Letakkan, tangan mu di sini, kemudian jari-jarinya di sini," Barra pun membatu Kiara untuk memulai bermain gitar.Sedangkan Asih masih saja diam duduk di antara Kiara dan Niko."Apa perasaan mu baik-baik saja?" tanya Niko."Perasaan?" Asih sangat tidak mengerti dengan setiap pertanyaan ataupun kata yang keluar dari mulut Niko.Menurutnya itu semua penuh dengan misteri yang sulit untuk di pecahkan."Ya, mungkin saja, kan?" tanya Niko lagi."Wah, sepertinya semuanya benar-benar berkumpul di sini?" kata Nia yang kembali lagi setelah Dila terlelap dalam tidur."Hay, apa kabar?" tanya Niko berbasa-basi."Baik, sepertinya ini sudah pas. Niko dan Asih, Barra