Barra hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kekonyolan Asih, wanita itu memang sedang dia berikan sedikit pelajaran.Biarkan saja, karena kekasih Sandi itu sepertinya selalu saja membuatnya menjadi jengkel.Belum lagi dia punya inisiatif untuk menjodohkan dirinya dengan Kiara.Bahkan sampai detik ini pun dia belum bisa lupa akan kekasihnya Kanaya, apa lagi Barra benar-benar tidak ingin melupakan Kanaya dan menggantikan dengan wanita lainya.Sesaat kemudian Barra pun kembali mencari posisi yang aman, dia tahu Asih sudah kembali.Karena, gagang pintu yang sudah bergerak. Dalam hitungan detik pastinya pintu akan terbuka, dan benar saja.Asih pun masuk, kemudian dengan cepat kembali menutup pintu tidak lupa juga menguncinya kembali.Dia pun bersandar pada daun pintu, menghirup udara dengan sebanyak mungkin dan menghembuskan dengan panjang.Rasanya sangat lega sekali, bayangkan saja dia harus mengendap-endap hanya untuk mengambil mineral saja.Persis seperti maling.Dan dia akan di julu
"Aneh sekali kalian, istri meminta ijin pada suaminya untuk berjumpa dengan kekasihnya. Dan, gilanya, suaminya juga mengijinkannya, dulu aku juga menikah dengan, Nia karena terpaksa. Tapi, rasanya tidak pernah segila ini," kata Dion.Dion benar-benar tidak habis pikir dengan jalan kehidupan yang dijalani oleh Barra dan juga Asih.Dia sudah tahu jika Barra menikah dengan Asih, karena beberapa menit sebelum menikahi Asih, Barra sudah menghubunginya dan mengatakan apa yang terjadi pada malam itu.Dion tidak bisa mengatakan iya atau tidak, sebab semua keputusan ada pada Barra sendiri. Sebab yang menjalani nanti adalah Barra sendiri nantinya.Kemudian keesokan harinya Barra mengatakannya perniknya justru membuat keadaan Tias menjadi lebih baik.Tentunya itu adalah kabar yang sangat menggembirakan, karena Dion sangat menyayangi ibunya juga. Jadi dia tahu perasaan Barra saat mengetahui keadaan Ibunya ada kemajuan.Sedangkan untuk Nia, Dion memang tidak mengatakan apapun. Karena, dia tidak ma
Sepanjang perjalanan pulang Asih terus saja tersenyum, dia merasa hidupnya kini sangat berarti dan penuh warna.Penyebabnya tak lain adalah Sandi yang kini sudah melingkarkan cincin di jarinya.Bahkan pria itu menerima dirinya yang sudah mengatakan bahwa dia hanya orang kampung.Terlahir dari keluarga miskin, serta dia adalah tulang punggung keluarga.Awalnya Asih mengira jika Sandi akan mundur karena tak ingin memiliki seorang istri dari kalangan bawah.Tapi tidak, karena nyatanya Sandi tidak perduli dengan itu semua."Sandi, tapi sebenarnya aku hanya orang kampung. Aku tulang punggung keluarga, aku harus menghidupi adik dan Ibu ku. Mengingat kamu sepertinya berasa dari kalangan cukup berada. Di tambah lagi orang dari kota, apa mungkin kamu mau menikah dengan gadis seperti aku?"Perasaan Asih benar-benar begitu was-was karena dia tidak tahu apakah Sandi bisa menerima semua kekurangannya.Padahal Asih sangat menyukai Sandi, siang dan malam hanya nama pria itu yang terlintas di benakny
Sampai di dalam kamar pun Asih masih saja senyum-senyum sendiri, dia terus saja menatap jari-jarinya tanpa henti.Hingga dia pun sejenak melihat cincin yang satunya lagi, itu adalah cincin yang di pakaikan oleh Tias saat malam itu."Tapi, kok cincin ini nggak bisa di lepas, ya? Kayaknya besok aku harus pergi ke toko perhiasan untuk melepaskan cincin ini. Atau kalau perlu cincinnya yang di potong saja."Asih pun mendadak berbicara sendiri sambil terus melihat cincin di tangannya, namun sesaat kemudian dia pun kembali melihat cincin yang di pasangkan oleh Sandi di jari manisnya."Ya, ampun. Aku nggak tahu harus gimana. Tapi, aku bahagia," Asih pun melempar tubuhnya pada ranjang, kemudian matanya melihat langit-langit kamar.Hingga suara ponselnya pun membuatnya tersadar dari lamunannya."Halo, Nilam," jawab Asih."Mbak Asih, aku udah bisa balik ke toko belum? Entar gaji aku di potong lagi," kata Nilam dari seberang sana."Udah, besok kamu masuk kerja lagi. Masalah gaji tetap aman, tenan
Asih langsung saja memarkirkan sepeda motornya, kemudian dia pun segera turun.Dan itu bertepatan dengan Barra yang keluar dari rumah.Dengan cepat Asih pun menghampiri pria tersebut."Barra, aku mau bicara," kata Asih.Barra pun menghentikan langkah kakinya, kemudian melihat Asih."Tapi, kita cari tempat lain saja bagaimana?" Asih pun melihat sekiranya.Dia tak mau ada yang mendengar apa yang kini mereka bicarakan, lagi pula berbicara di tempat seperti ini tentunya tidak aman.Bisa-bisa ada yang datang tiba-tiba tanpa mereka sadari.Sedangkan dia sungguh tak mau ada yang mendengar apa yang nantinya mereka bicarakan."Aku sedang sibuk," Barra pun memilih untuk pergi, dia berniat masuk ke dalam mobil.Tapi dengan cepat Asih pun berdiri di depan pintu mobil agar Barra tak bisa pergi dengan begitu saja."Barra, aku mau bicara, penting," pinta Asih.Dia sangat berharap untuk kali ini, bahkan dia tak ingin ada pertengkaran agar mempermudah semuanya.Barra pun hanya terdiam sambil menatap w
Sudah 30 menit berlalu, tapi Asih masih menunggu kedatangan Barra.Dia sudah mengirimkan pesan sebelumnya, kemudian menentukan waktu dan tempat untuk mereka bertemu.Dia tidak tahu apakah Barra akan datang atau tidak, tapi dia sangat berharap dengan kedatangan pria itu.Semuanya harus di selesaikan dengan cepat, jika dirinya terus memikirkan Tias lantas bagaimana dengan perasaannya?Asih juga punya perasaan dan ingin masa depan yang bahagia bersama orang yang di cintainya.Dan kini dia dan kekasihnya sudah siap untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius yaitu, pernikahan, Asih tak bisa untuk pergi begitu saja.Karena, dia sangat mencintai Sandi, entah sudah berapa kali kata cinta itu keluar dari mulutnya.Tapi memang begitu adanya, hingga akhirnya Asih pun memutuskan untuk menghubungi Barra kembali.Tapi, tidak satupun panggilannya terjawab. Membuatnya hanya bisa menarik napas dengan begitu berat.1 jam berlalu, Asih pun mulai jenuh. Tapi dia juga belum menyerah.Hingga akhirnya mat
"Istri?" tanya Sandi.Sandi tak mengerti mengapa bisa Barra berkata demikian, ini sungguh sangat menimbulkan tanya."Iya, dia adalah istri ku!" papar Barra.Asih pun menundukkan kepalanya, dia tak tahu apa yang akan terjadi pada hidupnya setelah ini.Terutama pada hubungannya dengan Sandi seorang yang sangat dia cintai."Kau, jangan gila!" Kata Sandi membalas ucapan Barra, dia benar-benar tidak percaya akan apa yang dikatakan oleh Barra barusan."Mungkin, dia sedang sakit jiwa!" tambah Fera.Barra pun mengangkat bahunya seakan dia tak perduli dengan apapun yang dikatakan oleh dua orang itu."Tanyakan padanya," Barra pun menatap Asih.Asih yang menunduk pun menjadi pusat perhatian ketiganya, hingga dia pun mengangkat kepalanya dan melihat tiga pasang bola mata yang menatap ke arahnya.Jika Barra tampak datar saja, maka lain halnya dengan Fera dan Sandi yang seakan butuh penjelasan."Barra, kamu punya dendam apa sama aku!" kesal Asih.Menurutnya saat ini Barra sangat keterlaluan, karena
"Cepat!" Asih pun mendorong dada Barra, dia benar-benar tidak ingin lagi melihat wajah pria tersebut.Pria yang menjengkelkan dan menghancurkan hubungannya dengan Sandi.Sesaat kemudian Asih pun melepaskan kancing kemejanya, hingga menampakan tubuh bagian depannya.Dua dadanya yang tertutup dengan bra pun tampak begitu terlihat di mata Barra.Meskipun kemeja wanita itu belum terlepas dari tubuhnya.Asih pun menarik kerah kemeja Barra, dia tidak tahu lagi harus bagaimana.Menurutnya hidupnya sudah sangat berada di titik kehancuran paling dasar.Apa lagi gunanya dia hidup, menikah dengan seseorang yang tidak dia inginkan. Kemudian, di tinggalkan oleh kekasih yang teramat dia cintai itu."Ayo, apa lagi? Aku sudah memberikan ijin, aku sudah menyetujui apa yang kau inginkan!" kata Asih.Kedua tangan Asih terus saja mencengkram erat kerah kemeja, Barra.Kedua kakinya berjinjit agar mengimbangi wajah Barra, bahkan tatapan keduanya pun saling bertemu.Barra terus saja menatap tatapan mata Asi