Tapi mendengar apa yang dikatakan oleh Barra, malah membuat Asih merasa tersudut.Dia tidak terima saat Barra menganggapnya sebagai wanita lemah, ini baginya adalah sebuah penghinaan terhadap dirinya yang selalu saja menjaga harga diri.Harga diri jauh di atas segalanya."Siapa bilang aku lemah? Aku nggak lemah, aku nggak takut dan aku tidak seperti yang kau pikirkan!" tegas Asih.Barra pun terdiam sejenak mendengar apa yang keluar dari mulut Asih.Dia tersenyum miring mendengar jawaban wanita yang tak lain adalah istrinya sendiri, tapi terlalu geli untuk mengakui status tersebut.Katakan saja wanita yang sangat keras kepala."Kamu mikirin apa? Aku nggak takut! Aku bukan wanita lamah!" seru Asih di depan wajah Barra."Kau menantang aku?""Iya!" Asih pun membusungkan dadanya seakan mengibarkan bendera perang tanpa rasa takut sama sekali.Barra pun menatap dada Asih, entah apa yang dia pikirkan saat ini.Hingga Asih pun segera mendorong dada Barra, meskipun itu tidak ada apa-apa bagi Ba
"Kamu kenapa? Aku tanya, kamu kenapa? Lagian aku ngerasa, akhir-akhir ini kamu itu beda banget dari biasanya. Kamu punya rahasia? Kamu merahasiakan sesuatu dari aku?" Nia pun terus saja membuat Asih tersudut, dia benar-benar butuh penjelasan dari sahabatnya tersebut.Terlalu banyak kejanggalan, hingga menimbulkan pertanyaan di benaknya.Sehingga jika tidak mendapatkan sebuah penjelasan dia akan terus semakin penasaran."Bu Nia, saya pamit pulang, besok saya akan datang lagi di jam yang sama," Kiara yang muncul pun langsung saja berpamitan pada Nia.Dia butuh sedikit waktu untuk beristirahat, otaknya ingin sekali menjadi lebih segar.Mungkin pilihan tepatnya adalah pulang, kemudian tidur, berharap besok pagi bangun dengan keadaan yang lebih baik."Makan malam di sini saja," kata Nia."Lain kali aja, Bu. Terima kasih sebelumnya, tapi saya ingin istirahat, lagi kurang enak badan," kata Kiara."Nggak enak badan atau nggak enak pikiran," kata Asih yang langsung saja menimpali pembicaraan
"Cepat!"Asih pun menggelengkan kepalanya dengan cepat, dia benar-benar panik saat Barra memintanya untuk meniup benda sialan itu.Lagi pula apakah itu masuk akal?Rasanya tidak!Itu sama sekali sangat tidak masuk akal, mata sucinya bisa ternodai oleh benda asing itu."Kamu mau lepas dari tanggung jawab!" tebak Barra."Barra, aku tidak sengaja. Kemudian aku pun akan bertanggung jawab, tapi tolong jangan suruh aku meniupnya. Aku tidak bisa," jelas Asih dengan suara bergetar hebat.Saat ini dia ingin berpindah saja tinggal di planet mars, karena keadaan ini sungguh membuatnya ketakutan bukan main."Kau harus bertanggung jawab! Ini sakit!" kata Barra sambil mengipas-ngipas miliknya."Iya, aku bertanggung jawab. Aku kipas saja, ya," Asih pun segera masuk ke dalam kamar Barra, kemudian dia mencari benda yang bisa dia jadikan sebagai alat untuk mengipas milik Barra.Hingga matanya pun melihat sebuah buku, rasanya itu adalah benda yang cukup berguna bukan.Dia pun kembali menemui Barra yang
Barra hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kekonyolan Asih, wanita itu memang sedang dia berikan sedikit pelajaran.Biarkan saja, karena kekasih Sandi itu sepertinya selalu saja membuatnya menjadi jengkel.Belum lagi dia punya inisiatif untuk menjodohkan dirinya dengan Kiara.Bahkan sampai detik ini pun dia belum bisa lupa akan kekasihnya Kanaya, apa lagi Barra benar-benar tidak ingin melupakan Kanaya dan menggantikan dengan wanita lainya.Sesaat kemudian Barra pun kembali mencari posisi yang aman, dia tahu Asih sudah kembali.Karena, gagang pintu yang sudah bergerak. Dalam hitungan detik pastinya pintu akan terbuka, dan benar saja.Asih pun masuk, kemudian dengan cepat kembali menutup pintu tidak lupa juga menguncinya kembali.Dia pun bersandar pada daun pintu, menghirup udara dengan sebanyak mungkin dan menghembuskan dengan panjang.Rasanya sangat lega sekali, bayangkan saja dia harus mengendap-endap hanya untuk mengambil mineral saja.Persis seperti maling.Dan dia akan di julu
"Aneh sekali kalian, istri meminta ijin pada suaminya untuk berjumpa dengan kekasihnya. Dan, gilanya, suaminya juga mengijinkannya, dulu aku juga menikah dengan, Nia karena terpaksa. Tapi, rasanya tidak pernah segila ini," kata Dion.Dion benar-benar tidak habis pikir dengan jalan kehidupan yang dijalani oleh Barra dan juga Asih.Dia sudah tahu jika Barra menikah dengan Asih, karena beberapa menit sebelum menikahi Asih, Barra sudah menghubunginya dan mengatakan apa yang terjadi pada malam itu.Dion tidak bisa mengatakan iya atau tidak, sebab semua keputusan ada pada Barra sendiri. Sebab yang menjalani nanti adalah Barra sendiri nantinya.Kemudian keesokan harinya Barra mengatakannya perniknya justru membuat keadaan Tias menjadi lebih baik.Tentunya itu adalah kabar yang sangat menggembirakan, karena Dion sangat menyayangi ibunya juga. Jadi dia tahu perasaan Barra saat mengetahui keadaan Ibunya ada kemajuan.Sedangkan untuk Nia, Dion memang tidak mengatakan apapun. Karena, dia tidak ma
Sepanjang perjalanan pulang Asih terus saja tersenyum, dia merasa hidupnya kini sangat berarti dan penuh warna.Penyebabnya tak lain adalah Sandi yang kini sudah melingkarkan cincin di jarinya.Bahkan pria itu menerima dirinya yang sudah mengatakan bahwa dia hanya orang kampung.Terlahir dari keluarga miskin, serta dia adalah tulang punggung keluarga.Awalnya Asih mengira jika Sandi akan mundur karena tak ingin memiliki seorang istri dari kalangan bawah.Tapi tidak, karena nyatanya Sandi tidak perduli dengan itu semua."Sandi, tapi sebenarnya aku hanya orang kampung. Aku tulang punggung keluarga, aku harus menghidupi adik dan Ibu ku. Mengingat kamu sepertinya berasa dari kalangan cukup berada. Di tambah lagi orang dari kota, apa mungkin kamu mau menikah dengan gadis seperti aku?"Perasaan Asih benar-benar begitu was-was karena dia tidak tahu apakah Sandi bisa menerima semua kekurangannya.Padahal Asih sangat menyukai Sandi, siang dan malam hanya nama pria itu yang terlintas di benakny
Sampai di dalam kamar pun Asih masih saja senyum-senyum sendiri, dia terus saja menatap jari-jarinya tanpa henti.Hingga dia pun sejenak melihat cincin yang satunya lagi, itu adalah cincin yang di pakaikan oleh Tias saat malam itu."Tapi, kok cincin ini nggak bisa di lepas, ya? Kayaknya besok aku harus pergi ke toko perhiasan untuk melepaskan cincin ini. Atau kalau perlu cincinnya yang di potong saja."Asih pun mendadak berbicara sendiri sambil terus melihat cincin di tangannya, namun sesaat kemudian dia pun kembali melihat cincin yang di pasangkan oleh Sandi di jari manisnya."Ya, ampun. Aku nggak tahu harus gimana. Tapi, aku bahagia," Asih pun melempar tubuhnya pada ranjang, kemudian matanya melihat langit-langit kamar.Hingga suara ponselnya pun membuatnya tersadar dari lamunannya."Halo, Nilam," jawab Asih."Mbak Asih, aku udah bisa balik ke toko belum? Entar gaji aku di potong lagi," kata Nilam dari seberang sana."Udah, besok kamu masuk kerja lagi. Masalah gaji tetap aman, tenan
Asih langsung saja memarkirkan sepeda motornya, kemudian dia pun segera turun.Dan itu bertepatan dengan Barra yang keluar dari rumah.Dengan cepat Asih pun menghampiri pria tersebut."Barra, aku mau bicara," kata Asih.Barra pun menghentikan langkah kakinya, kemudian melihat Asih."Tapi, kita cari tempat lain saja bagaimana?" Asih pun melihat sekiranya.Dia tak mau ada yang mendengar apa yang kini mereka bicarakan, lagi pula berbicara di tempat seperti ini tentunya tidak aman.Bisa-bisa ada yang datang tiba-tiba tanpa mereka sadari.Sedangkan dia sungguh tak mau ada yang mendengar apa yang nantinya mereka bicarakan."Aku sedang sibuk," Barra pun memilih untuk pergi, dia berniat masuk ke dalam mobil.Tapi dengan cepat Asih pun berdiri di depan pintu mobil agar Barra tak bisa pergi dengan begitu saja."Barra, aku mau bicara, penting," pinta Asih.Dia sangat berharap untuk kali ini, bahkan dia tak ingin ada pertengkaran agar mempermudah semuanya.Barra pun hanya terdiam sambil menatap w