Tap tap tap.Derap langkah kaki semakin terdengar jelas, membuat keduanya terdiam saat Barra melintas begitu saja."Ya, ampun. Aku nggak kuat banget nahan malu," kata Kiara sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya."Aku akan selesaikan dengan baik-baik! Kamu tunggu di sini!""Hu'um, aku butuh banget bantuan dari kamu," kata Kiara sambil menatap punggung Barra yang sudah di tekan kejauhan tersebut."Siip!" Asih pun memberikan ibu jarinya, dia memang sangat serius untuk menolong Kiara bisa mendapatkannya Barra.Lihat saja, saat ini dia berjalan menyusul Barra yang menuju kamarnya.Kemudian saat Barra hampir saja menutup pintu depan rapat tiba-tiba saja Asih ikut masuk.Wanita itu persis seperti ular yang begitu cepat sehingga Barra saja sangat terkejut melihat kehadiran Asih yang tiba-tiba.Tapi, tidak tampak di wajahnya terkejut. Dia terlihat biasa saja dengan wajah datarnya."Hey, kamu itu bisa nggak sih, bisa aja ngeliatin aku?" tanya Asih.Asih pun akhirnya menutup pintu denga
Tapi mendengar apa yang dikatakan oleh Barra, malah membuat Asih merasa tersudut.Dia tidak terima saat Barra menganggapnya sebagai wanita lemah, ini baginya adalah sebuah penghinaan terhadap dirinya yang selalu saja menjaga harga diri.Harga diri jauh di atas segalanya."Siapa bilang aku lemah? Aku nggak lemah, aku nggak takut dan aku tidak seperti yang kau pikirkan!" tegas Asih.Barra pun terdiam sejenak mendengar apa yang keluar dari mulut Asih.Dia tersenyum miring mendengar jawaban wanita yang tak lain adalah istrinya sendiri, tapi terlalu geli untuk mengakui status tersebut.Katakan saja wanita yang sangat keras kepala."Kamu mikirin apa? Aku nggak takut! Aku bukan wanita lamah!" seru Asih di depan wajah Barra."Kau menantang aku?""Iya!" Asih pun membusungkan dadanya seakan mengibarkan bendera perang tanpa rasa takut sama sekali.Barra pun menatap dada Asih, entah apa yang dia pikirkan saat ini.Hingga Asih pun segera mendorong dada Barra, meskipun itu tidak ada apa-apa bagi Ba
"Kamu kenapa? Aku tanya, kamu kenapa? Lagian aku ngerasa, akhir-akhir ini kamu itu beda banget dari biasanya. Kamu punya rahasia? Kamu merahasiakan sesuatu dari aku?" Nia pun terus saja membuat Asih tersudut, dia benar-benar butuh penjelasan dari sahabatnya tersebut.Terlalu banyak kejanggalan, hingga menimbulkan pertanyaan di benaknya.Sehingga jika tidak mendapatkan sebuah penjelasan dia akan terus semakin penasaran."Bu Nia, saya pamit pulang, besok saya akan datang lagi di jam yang sama," Kiara yang muncul pun langsung saja berpamitan pada Nia.Dia butuh sedikit waktu untuk beristirahat, otaknya ingin sekali menjadi lebih segar.Mungkin pilihan tepatnya adalah pulang, kemudian tidur, berharap besok pagi bangun dengan keadaan yang lebih baik."Makan malam di sini saja," kata Nia."Lain kali aja, Bu. Terima kasih sebelumnya, tapi saya ingin istirahat, lagi kurang enak badan," kata Kiara."Nggak enak badan atau nggak enak pikiran," kata Asih yang langsung saja menimpali pembicaraan
"Cepat!"Asih pun menggelengkan kepalanya dengan cepat, dia benar-benar panik saat Barra memintanya untuk meniup benda sialan itu.Lagi pula apakah itu masuk akal?Rasanya tidak!Itu sama sekali sangat tidak masuk akal, mata sucinya bisa ternodai oleh benda asing itu."Kamu mau lepas dari tanggung jawab!" tebak Barra."Barra, aku tidak sengaja. Kemudian aku pun akan bertanggung jawab, tapi tolong jangan suruh aku meniupnya. Aku tidak bisa," jelas Asih dengan suara bergetar hebat.Saat ini dia ingin berpindah saja tinggal di planet mars, karena keadaan ini sungguh membuatnya ketakutan bukan main."Kau harus bertanggung jawab! Ini sakit!" kata Barra sambil mengipas-ngipas miliknya."Iya, aku bertanggung jawab. Aku kipas saja, ya," Asih pun segera masuk ke dalam kamar Barra, kemudian dia mencari benda yang bisa dia jadikan sebagai alat untuk mengipas milik Barra.Hingga matanya pun melihat sebuah buku, rasanya itu adalah benda yang cukup berguna bukan.Dia pun kembali menemui Barra yang
Barra hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kekonyolan Asih, wanita itu memang sedang dia berikan sedikit pelajaran.Biarkan saja, karena kekasih Sandi itu sepertinya selalu saja membuatnya menjadi jengkel.Belum lagi dia punya inisiatif untuk menjodohkan dirinya dengan Kiara.Bahkan sampai detik ini pun dia belum bisa lupa akan kekasihnya Kanaya, apa lagi Barra benar-benar tidak ingin melupakan Kanaya dan menggantikan dengan wanita lainya.Sesaat kemudian Barra pun kembali mencari posisi yang aman, dia tahu Asih sudah kembali.Karena, gagang pintu yang sudah bergerak. Dalam hitungan detik pastinya pintu akan terbuka, dan benar saja.Asih pun masuk, kemudian dengan cepat kembali menutup pintu tidak lupa juga menguncinya kembali.Dia pun bersandar pada daun pintu, menghirup udara dengan sebanyak mungkin dan menghembuskan dengan panjang.Rasanya sangat lega sekali, bayangkan saja dia harus mengendap-endap hanya untuk mengambil mineral saja.Persis seperti maling.Dan dia akan di julu
"Aneh sekali kalian, istri meminta ijin pada suaminya untuk berjumpa dengan kekasihnya. Dan, gilanya, suaminya juga mengijinkannya, dulu aku juga menikah dengan, Nia karena terpaksa. Tapi, rasanya tidak pernah segila ini," kata Dion.Dion benar-benar tidak habis pikir dengan jalan kehidupan yang dijalani oleh Barra dan juga Asih.Dia sudah tahu jika Barra menikah dengan Asih, karena beberapa menit sebelum menikahi Asih, Barra sudah menghubunginya dan mengatakan apa yang terjadi pada malam itu.Dion tidak bisa mengatakan iya atau tidak, sebab semua keputusan ada pada Barra sendiri. Sebab yang menjalani nanti adalah Barra sendiri nantinya.Kemudian keesokan harinya Barra mengatakannya perniknya justru membuat keadaan Tias menjadi lebih baik.Tentunya itu adalah kabar yang sangat menggembirakan, karena Dion sangat menyayangi ibunya juga. Jadi dia tahu perasaan Barra saat mengetahui keadaan Ibunya ada kemajuan.Sedangkan untuk Nia, Dion memang tidak mengatakan apapun. Karena, dia tidak ma
Sepanjang perjalanan pulang Asih terus saja tersenyum, dia merasa hidupnya kini sangat berarti dan penuh warna.Penyebabnya tak lain adalah Sandi yang kini sudah melingkarkan cincin di jarinya.Bahkan pria itu menerima dirinya yang sudah mengatakan bahwa dia hanya orang kampung.Terlahir dari keluarga miskin, serta dia adalah tulang punggung keluarga.Awalnya Asih mengira jika Sandi akan mundur karena tak ingin memiliki seorang istri dari kalangan bawah.Tapi tidak, karena nyatanya Sandi tidak perduli dengan itu semua."Sandi, tapi sebenarnya aku hanya orang kampung. Aku tulang punggung keluarga, aku harus menghidupi adik dan Ibu ku. Mengingat kamu sepertinya berasa dari kalangan cukup berada. Di tambah lagi orang dari kota, apa mungkin kamu mau menikah dengan gadis seperti aku?"Perasaan Asih benar-benar begitu was-was karena dia tidak tahu apakah Sandi bisa menerima semua kekurangannya.Padahal Asih sangat menyukai Sandi, siang dan malam hanya nama pria itu yang terlintas di benakny
Sampai di dalam kamar pun Asih masih saja senyum-senyum sendiri, dia terus saja menatap jari-jarinya tanpa henti.Hingga dia pun sejenak melihat cincin yang satunya lagi, itu adalah cincin yang di pakaikan oleh Tias saat malam itu."Tapi, kok cincin ini nggak bisa di lepas, ya? Kayaknya besok aku harus pergi ke toko perhiasan untuk melepaskan cincin ini. Atau kalau perlu cincinnya yang di potong saja."Asih pun mendadak berbicara sendiri sambil terus melihat cincin di tangannya, namun sesaat kemudian dia pun kembali melihat cincin yang di pasangkan oleh Sandi di jari manisnya."Ya, ampun. Aku nggak tahu harus gimana. Tapi, aku bahagia," Asih pun melempar tubuhnya pada ranjang, kemudian matanya melihat langit-langit kamar.Hingga suara ponselnya pun membuatnya tersadar dari lamunannya."Halo, Nilam," jawab Asih."Mbak Asih, aku udah bisa balik ke toko belum? Entar gaji aku di potong lagi," kata Nilam dari seberang sana."Udah, besok kamu masuk kerja lagi. Masalah gaji tetap aman, tenan
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Setiap kisah dan waktu yang sudah terlewati tak akan bisa diulang kembali.Namun, semua kisah itu seakan lekat dalam ingatan tanpa bisa untuk terlupakan oleh ingatan.Aku Nia putri, menjalin kisah dengan takdir yang kujalani.Harapan ku hanya satu, bisa mendapatkan suatu harapan untuk bisa membuat ibu ku terus bersama ku setelah aku kehilangan ayah ku.Namun, siapa sangka bonus dari semua perjuangkan ku justru hal yang tak terduga.Justru kebahagiaan itu menghampiri ku.Dion seorang pria duda dengan satu anak dan usianya jauh lebih tua dari ku.Kami menjalin hubungan yang rumit karena sebuah alasan yang kuat namun penuh dengan air mata.Tujuan saling menguntungkan malah berakhir dengan saling mendapatkan kenyamanan.Tapi aku katakan aku bahagia.Awal kisah yang ku alami malah membawaku padanya.Meskipun banyak yang tidak aku inginkan dalam kisah ini.Tapi tetap saja aku tidak bisa bisa menolak takdir ku yang rumit itu.Terlepas dari itu semua aku adalah wanita penuh dengan kesalahan y
Di tempat lainnya ada juga yang sedang berbahagia.Raya kembali melahirkan seorang anak laki-laki Dan kini anak itu diberi nama 'Raza' perpaduan antara nama Raya dan Reza.Itu adalah saran nama dari Dion.Reza dan Raya pun setuju saja."Itu nama dari, Opa Dion," kata Reza sambil tersenyum pada bayinya."Benar, dan ini adalah, Oma," Raya pun menunjuk Nia.Nia pun tersenyum karena merasa lucu, tapi bagaimana pun juga itu memang benar dan tidak masalah juga menjadi Oma diusia yang masih muda ini."Aduh, cucu Oma," Nia pun menggendong bayi lucu itu.Dia melihat wajah anak itu yang sangat mirip dengan Reza.Bahkan sedikit mirip dengan Zaki."Nia, berikan pada, Opanya," Dion pun menunjuk ke arah Chandra.Chandra pun tersenyum karena kini sudah memiliki seorang cucu."Bagaimana kalau berikan pada, Oma Kiara," celetuk Nia.Kiara yang dari tadi hanya diam pun seketika terkejut mendengar ucapan Nia."Ibu Nia, saya masih ting-ting. Saya masih mahasiswa, saya masih kecil, saya dipanggil, Kak Kia
Beberapa bulan kemudian...Niko dan Ranti menyambut bahagia saat kelahiran putra mereka yang diberi nama 'Fatih Niko Adiguna'Sesuai dengan keinginan Niko, mereka hanya memiliki satu orang anak saja.Niko tidak ingin serakah, dia sudah merasa cukup dengan kehadiran seorang anak laki-laki untuk menjadi pewarisnya.Terlebih lagi tidak ingin melihat Ranti harus berada dalam sebuah keadaan yang menegangkan.Dia tak mau mengambil resiko.Meskipun keadaan rahim Ranti masih memungkinkan untuk mengandung lagi.Dia sangat mencintai istrinya dalam keadaan apapun.Menurutnya memiliki anak adalah sebuah hadiah.Tapi memiliki Ranti adalah anugerah.Jadi, dia sudah sangat bahagia dengan satu putra saja.Selebihnya dia menganggap anak Barra juga anaknya.Apa lagi Barra memiliki 3 orang anak, membuat Niko merasa anaknya sudah memiliki Kakak walaupun hanya sepupu saja."Wajahnya lebih mirip, Mama," kata Ranti.Dia pun melihat wajah Mama mertuanya dan lagi-lagi melihat wajah putranya.Putra kecil yang
"Dokter Niko, lihat ini," Adam menunjuk layar monitor.Saat itu Niko pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Dokter Adam.Tapi Niko yang sedang tidak baik-baik saja tidak mengerti."Ada apa?" tanya Niko.Bodoh?Ya, Niko akan sangat bodoh jika sudah menyangkut tentang Ranti.Begitu juga dengan saat ini.Bahkan dia sendiri tidak dapat berpikir jernih, padahal Dokter Adam sudah menunjukkan dengan jelas.Namun, Niko masih bertanya.Dia butuh jawaban, sekaligus penjelasan yang pasti.Jangan memintanya untuk menyimpulkan sendiri, dia tidak bisa.Otaknya sedang sulit untuk bisa berpikir jernih."Tidak ada masalah dengan rahim istri anda, janinnya juga sudah berada di dalam rahim," terang Dokter Adam.Niko pun terkejut mendengarnya dia pun segera mendekat dan melihat dengan jelas."Ini keajaiban, Dokter Niko. Lihat ini," Dokter Adam pun kembali memperlihatkan bagian lainya, rasanya pemeriksaan sebelumnya dan saat ini jauh lebih baik."Apakah ini mungkin?" tanya Niko yang belum percaya."Iya, i
"Aku pun akan mati, jika kamu mati," tambah Niko lagi.Ranti terdiam mendengar ucapan suaminya itu."Tapi aku akan tetap mempertahankan anak ku," kata Ranti dengan penuh keyakinan.Siapa pun ibu tak akan tega membunuh anaknya, begitu juga dengan Ranti."Vina, panggil, Dokter Winda!" pinta Niko.Untuk kaki ini dia tak bisa lagi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.Dia tidak memiliki keberanian untuk mengetahui keadaan Ranti saat ini.Dia butuh bantuan dokter lain untuk bisa membantunya, sedangkan Dokter Winda adalah dokter senior yang sudah banyak menangani pasien dan Niko sudah tak tahu dengan kehebatannya.Meskipun perasannya begitu was-was akan keadaan Ranti saat ini.Tapi jelas terlihat bahwa Ranti akan dengan kerasnya pendiriannya yang tak akan menggugurkan kandungannya."Selamat siang, anda memanggil saya, Dok?" Dokter Winda pun telah tiba seperti yang di sampaikan oleh Vina untuk segera menemui Niko.Niko pun mulai tersadar dari pikirannya yang kacau, sambil melihat wajah
"Hamil?" Niko terdiam saat menyaksikan sendiri ada janin di rahim istrinya.Dia pun mengingat kembali saat itu Ranti menggodanya dan hal itu pun terjadi sebelum dia berpikir untuk membuat sel telurnya tidak bekerja.Bahkan saat itu tidak hanya satu kaki, namun berkali-kali.Lantas bagaimana ini?"Kamu ngomong apa tadi?" tanya Ranti yang mendengar ucapan Niko.Niko pun kini melihat Ranti dengan pikirannya yang kacau."Niko, aku hamil?" tanya Ranti memastikan, "berarti testpack yang aku gunakan tadi tidak keliru," tambah Ranti.Ranti terus saja tersenyum bahagia membayangkan sebentar lagi anak menjadi seorang ibu.Dia langsung saja memeluk Niko dengan penuh kebahagiaan.Tak tahu harus bagaimana untuk meluapkannya tapi Ranti benar-benar tidak akan pernah bisa melupakan saat ini."Tuh, kan, nggak perlu adopsi anak. Buktinya sekarang aku hamil, artinya kita akan jadi orang tua," Ranti semakin mempererat pelukannya.Begitu larut dalam kebahagiaan yang tak bisa teralihkan sama sekali.Kemud
Beberapa hari kemudian.....Ranti menatap alat uji kehamilan di tangannya dengan malas.Entah sudah berapa kali dia menggunakannya demi mengetahui apakah ada janin yang tumbuh di rahimnya atau tidak.Mungkin saja ini sudah testpack yang ke 50.Dan hasilnya masih saja garis satu, sungguh membuatnya merasa sedih.Dia pun akhirnya segera menuju ranjang, hari ini dia sangat malas melakukan hal apapun.Sedangkan Niko sedang berada di rumah sakit.Dan seharusnya Ranti selalu mengantar makan siang untuk suaminya itu, sekaligus akan makan bersama-sama.Tapi dia pun malah tertidur pulas dan lupa untuk mengantarkan makanan siang untuk Niko.Hingga ponselnya pun berdering, tidurnya pun terusik dan dengan rasa malas menjawab panggilan itu."Halo," Ranti tak melihat terlebih dahulu nama siapa yang ada di layar ponselnya.Dia langsung saja menjawabnya."Sayang, kamu sudah di mana?" tanya Niko.Ranti pun baru tersadar jika yang menghubungi dirinya adalah Niko.Kemudian dia melihat jam dinding, dia p
Keesokan harinya."Kamu nggak ke kantor?" Ranti melihat Niko tampak santai di atas ranjang sambil memeluk dirinya.Ini tidak biasanya terjadi, karena kebiasaan Niko jika pagi begini pergi bekerja."Aku mau di rumah aja sama kamu," jawab Niko."Kenapa begitu?""Libur untuk satu hari rasanya tidak salah," kata Niko lagi.Ranti pun mengangguk mengerti.Mungkin Niko juga kelelahan dan butuh waktu untuk beristirahat.Mengingat selama ini Niko selalu saja disibukkan dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya."Ranti, bagaikan kalau kita mengadopsi anak."Deg!Jantung Ranti rasanya keluar dari dadanya.Dia begitu shock mendengar pertanyaan Niko barusan.Tunggu dulu.Itu pertanyaan atau pernyataan?Ranti tak pernah berpikir jika Niko akan berkata demikian.Apakah Niko sudah sangat ingin memiliki anak sehingga dia mengatakan demikian."Tapi aku juga bisa hamil, kenapa harus mengadopsi anak?" tanya Ranti yang bingung.Niko pun menutup matanya dia pun segera bangkit dari atas ranjangnya berjalan