"Hey, apa mereka masuk ke dalam kamar?" tanya Asih yang melihat Nia dan Dion masuk ke dalam kamar.Sebab antara dapur dan Kamar Nia cukup berdekatan."Em, katanya tidak menganggap suami. Tapi, main masuk kamar," umpat Asih.Kemudian Asih pun kembali melanjutkan pekerjaannya.Sedang Nia melepaskan tangan Dion, kemudian menutup pintu agar tidak ada yang mendengar apa yang dia katakan.Terutama Farah, karena Dion semakin merasa korban jika sudah ada Farah di antara mereka.Karena seperti tujuan awal, berbicara berdua tanpa ada orang lain agar Nia bisa berbicara tegas pada Dion."Mas, mau kamu apa sih? Kamu mau Ibu benci sama aku? Kaki kamu juga baik-baik saja, nggak usah aneh-aneh!" kesal Nia.Sedangkan Dion hanya diam dan membalasnya dengan senyuman manisnya."Mas, aku ngomong! Kamu dengar tidak!" seru Nia semakin kesal saja karena Dion yang tampak biasa saja.Padahal dirinya sedang mengajak berbicara, menyelesaikan masalah mereka."Mas!""Em?" jawab Dion.Dion pun melangkahkan kakinya
Asih semakin gemetar berada di depan pintu kamar Nia.Bahkan sampai mengeluarkan kencing, sedangkan pikirannya sudah jauh entah di mana."Kenapa kaki ku berat sekali untuk melangkah saja sulit," gumam Asih dengan tubuh yang semakin gemetaran.Otaknya mengatakan ingin segera pergi dari sana, tapi tidak dengan tubuhnya yang tak bisa bergerak sama sekali.Telinganya masih mendengarkan suara dari dalam sana.Suara Nia yang lagi-lagi menjadikan dirinya menjadi begini.Suara itu terdengar begitu aneh dan dia yakin apa yang dia pikirkan adalah kejadian yang sebenarnya tanpa terkecuali."Mas, bukain! Aku mau keluar!""Ambil sendiri, kalau bisa!" Dion semakin menjauhkan dirinya, Nia pun menatapnya dengan begitu tajam."Benar-benar tua bangka!" maki Nia."Apa?" Dion terkejut mendengar kalimat yang diucapkan oleh Nia.Tapi, tidak ada kemarahan. Malahan lucu saja di telinganya."Tua bangka!" Nia pun mengulang kalimatnya tanpa rasa takut.Agar telinga Dion yang sudah tidak berfungsi dengan baik i
Nia dan Asih pun selesai membuat kue, hingga akhirnya Nia pun merasa cukup kelelahan.Dengan segera meneguk mineral dan duduk di kursi meja makan untuk sejenak beristirahat."Kamu capek banget kayaknya?" tanya Asih yang juga duduk di samping Nia."Sedikit, tapi harus tetap semangat kan?""Iya sih, tapi jangan dipaksa juga. Kasihan kandungan kamu."Nia pun mengangguk mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Asih."Anak Ibu kuat ya, Nak. Sehat-sehat juga ya," Nia pun mengusap perutnya seolah sedang berbicara pada janinnya.Asih ikut tersenyum melihatnya, meskipun dengan banyaknya pekerjaan tapi tetap saja Nia tak pernah mengeluh di saat sedang banyaknya pekerjaan yang harus di lakukan."Nia!" seru seseorang dari luar sana.Membuat Nia dan Asih pun saling pandang, dengan segera Asih bangkit dari duduknya untuk melihat siapa yang ada di luar sana."Ada apa Bu?" tanya Asih sambil melihat wanita gemuk yang ada di hadapannya."Asih, Nia ada?" wanita itu tampak panik, dan ingin segera bertemu
Malam harinya Nia pun sibuk menyuapi Dila, entah mengapa Nia begitu menyayangi Dila padahal Nia begitu membenci Dion.Bahkan hatinya begitu mudah luluh dengan melihat mata bocah itu saja.Sedangkan jika melihat Dion dan mengingat semua kejadian itu dirinya tak akan pernah bisa luluh sama sekali.Mungkin karena Nia sudah terlalu banyak tersakiti, sehingga memilih untuk pergi dan menutup perasaannya pada lelaki manapun.Termasuk pada Dion sekalipun."Enak nggak masakan Mami?" tanya Nia di sela-sela menyuapi Dila."Enak Mami, di rumah sakit makanya nggak enak. Besok Dila mau ayam goreng ya Mami," pinta Dila sambil terus mengunyah makanannya dengan begitu enaknya."Besok Dila masih nginep di rumah Mami? Memangnya Papi ijinin?" tanya Nia.Sebab, sepertinya Dila belum ingin pulang ke rumah."Nanti Dila ijin ke Papi lagi deh.""Iya, tapi abis ini, minum obat dulu ya. Minum obat nggak boleh telat," Nia pun mengingatkan Dila.Bahkan dengan nada suara yang cukup tegas, agar Dila tak bisa memban
"Udah ah, mending Mas pulang. Aku mau istirahat juga!""Kamu mengusir Mas?" "Iya!"Dion pun terdiam sejenak karena Nia yang terang-terangan memintanya untuk pergi."Apa lagi? Pergi sana.""Nia, sebarnya Mas tidak masalah jika kamu usir pulang --""--ya udah apa lagi? Pulang sana!"Dion pun lagi-lagi menarik napas, tapi berbicara dengan ibu hamil itu harus penuh dengan kesabaran.Hingga akhirnya setelah merasa Nia tidak lagi berbicara dia pun kembali lanjut berbicara."Mas, tidak mungkin pulang. Keadaan Dila masih terlalu mengkhawatirkan. Mas, hanya berjaga-jaga saja, bagaimana mungkin Mas bisa pulang tidak mungkin pula bisa tidur nyenyak," jelas Dion dengan suara pelan agar Nia mengerti.Nia pun hanya bisa terdiam mendengarkan penjelasan dari Dion, mungkin itu adalah sebuah alasan yang membuatnya menjadi lebih mudah luluh."Tapi, di sini nggak ada kamar Mas. Cuman ada dua kamar, satu kamar Ibu, satunya lagi kamar Nia!" terang Nia."Ya, tidak masalah Mas kan tidur sama kamu," jawab Di
Saat tengah malam tiba-tiba saja perut Nia berbunyi, sepertinya dia sedang merasakan lapar hingga tidurnya terasa tidak nyaman lagi.Namun, lagi-lagi rasa kesal itu datang melanda, penyebabnya adalah Dion yang masih memeluknya dengan erat.Hingga akhirnya dengan paksa Nia pun melepaskan diri.Dan saat itu Dion pun ikut terbangun dari tidurnya."Kamu mau kemana?" Melihat Nia yang menuruni ranjang, membuat Dion pun penasaran dan bertanya.Tapi, Nia hanya diam saja. Tidak ingin menjawab pertanyaan Dion barusan.Dengan segera memakai sendalnya dan keluar dari kamar.Dion pun segera menyusul Nia yang ternyata sedang membuka pintu, sesaat kemudian mengeluarkan sepeda motornya."Kamu mau ke mana? Ini sudah tengah malam?" tanya Dion lagi.Tapi, lagi-lagi Nia memilih untuk mengacuhkannya, karena perutnya sudah sangat lapar butuh diisi dengan sepiring nasi goreng yang biasanya dia makan di penjual kaki lima yang ada di persimpangan jalan sana.Bukan dengan menjawab pertanyaan Dion yang sama se
Pagi harinya Nia pun terbangun, melihat jam yang terpasang di dinding yang ternyata sudah tidak bisa di sebut sebagai pagi.Karena, matahari pun sudah memancarkan sinarnya dengan begitu terang."Dila, udah makan?" tanya Nia yang melihat Dila yang duduk di kursi meja makan sambil memainkan boneka kecil milik Nia."Udah, Mami. Mbak Asih yang nyuapin," kata Dila."Syukurlah," Nia pun merasa lebih tenang, sebab Dila tidak boleh telat minum obat."Cie, telat bangun ya. Enak ya di kelonin sama suami," goda Asih yang baru saja keluar dari kamar mandi."CK! Minggir!" Nia langsung menyenggol Asih, kemudian masuk ke dalam kamar mandi.Sedangkan Dion entah di mana, sebab saat Nia terbangun pun sudah tidak ada di sampingnya.Dan sama sekali tidak membuat Nia penasaran kemana perginya Dion.Setelah menyelesaikan ritual paginya, Nia pun kini duduk di kursi meja makan.Sarapan pagi dengan nasi goreng kampung dan juga telur mata sapi kesukaannya, tampaknya pagi ini Asih yang memasak."Dila, nggak bos
"Kamu sedang apa?" tiba-tiba saja Dion muncul, membuat Nia tersentak seketika."Mas, kamu itu bisa nggak jangan ngagetin aku?" Nia tampak begitu kesal, bahkan tatapannya begitu tajam mengarah pada Dion.Sedangkan Dion hanya diam saja sambil berjalan mendekati ranjang dan duduk di bagian sisinya.Membuat Nia semakin kesal saja, dirinya sangat lelah seharian ini membuat kue pesanan.Tapi Dion malah semakin membuatnya emosi."Kamu ngapain di sini?""Memangnya kenapa?"Ya ampun, Nia pun mengepalkan kedua tangannya yang menggantung."Mas, aku mau pakai baju!""Lalu, masalahnya di mana?" Dion hanya biasa saja dan tidak terpancing amarah sama sekali.Matanya hanya melihat Nia yang hanya berbalut handuk, setelah selesai mandi.Dada wanita itu tampak semakin membesar saja, mungkin karena kehamilannya.Dion sangat hapal dengan lekuk tubuh Nia."Mas, keluar. Aku mau pakai baju baju!" Nia pun menunjuk arah pintu, meminta Dion untuk keluar dengan segera.Sungguh tidak nyaman berpakaian dengan adan
Satu Pesan dari Ibu[Kau tidak pulang? Jika tidak, Adinda akan menggantikan posisimu sebagai Presiden Direktur!] Membaca itu, Dimas segera mencengkram ponsel di tangannya.Sesaat kemudian ponsel itupun melayang dan berakhir hancur di lantai.Jika sebelumnya Laras mengancam akan menyumbangkan semua kekayaanya pada panti asuhan, maka kini Laras malah lebih gila lagi! Ibunya itu sampai mengatakan Adinda yang akan menggantikan posisinya.Ini gila!Dimas tidak habis pikir kenapa bisa Laras melakukan ini padanya.Dan jika Adinda yang menggantikan posisinya, itu akan jauh lebih membuatnya terhina di hadapan wanita jalang itu.Jelas tidak bisa dibiarkan!"Pak Presdir, Ibu Laras ingin berbicara," kata Gilang sambil memberikan ponsel di tangannya pada Dimas.Tentunya karena ponsel Dimas tak lagi bisa terhubung sebab sudah hancur berantakan di lantai."Katakan padanya saya akan pulang!" Dimas tak menerima ponsel yang diarahkan padanya.Dia menyambar jasnya dan langsung pergi.Jika bukan karen
Setiap kisah dan waktu yang sudah terlewati tak akan bisa diulang kembali.Namun, semua kisah itu seakan lekat dalam ingatan tanpa bisa untuk terlupakan oleh ingatan.Aku Nia putri, menjalin kisah dengan takdir yang kujalani.Harapan ku hanya satu, bisa mendapatkan suatu harapan untuk bisa membuat ibu ku terus bersama ku setelah aku kehilangan ayah ku.Namun, siapa sangka bonus dari semua perjuangkan ku justru hal yang tak terduga.Justru kebahagiaan itu menghampiri ku.Dion seorang pria duda dengan satu anak dan usianya jauh lebih tua dari ku.Kami menjalin hubungan yang rumit karena sebuah alasan yang kuat namun penuh dengan air mata.Tujuan saling menguntungkan malah berakhir dengan saling mendapatkan kenyamanan.Tapi aku katakan aku bahagia.Awal kisah yang ku alami malah membawaku padanya.Meskipun banyak yang tidak aku inginkan dalam kisah ini.Tapi tetap saja aku tidak bisa bisa menolak takdir ku yang rumit itu.Terlepas dari itu semua aku adalah wanita penuh dengan kesalahan y
Di tempat lainnya ada juga yang sedang berbahagia.Raya kembali melahirkan seorang anak laki-laki Dan kini anak itu diberi nama 'Raza' perpaduan antara nama Raya dan Reza.Itu adalah saran nama dari Dion.Reza dan Raya pun setuju saja."Itu nama dari, Opa Dion," kata Reza sambil tersenyum pada bayinya."Benar, dan ini adalah, Oma," Raya pun menunjuk Nia.Nia pun tersenyum karena merasa lucu, tapi bagaimana pun juga itu memang benar dan tidak masalah juga menjadi Oma diusia yang masih muda ini."Aduh, cucu Oma," Nia pun menggendong bayi lucu itu.Dia melihat wajah anak itu yang sangat mirip dengan Reza.Bahkan sedikit mirip dengan Zaki."Nia, berikan pada, Opanya," Dion pun menunjuk ke arah Chandra.Chandra pun tersenyum karena kini sudah memiliki seorang cucu."Bagaimana kalau berikan pada, Oma Kiara," celetuk Nia.Kiara yang dari tadi hanya diam pun seketika terkejut mendengar ucapan Nia."Ibu Nia, saya masih ting-ting. Saya masih mahasiswa, saya masih kecil, saya dipanggil, Kak Kia
Beberapa bulan kemudian...Niko dan Ranti menyambut bahagia saat kelahiran putra mereka yang diberi nama 'Fatih Niko Adiguna'Sesuai dengan keinginan Niko, mereka hanya memiliki satu orang anak saja.Niko tidak ingin serakah, dia sudah merasa cukup dengan kehadiran seorang anak laki-laki untuk menjadi pewarisnya.Terlebih lagi tidak ingin melihat Ranti harus berada dalam sebuah keadaan yang menegangkan.Dia tak mau mengambil resiko.Meskipun keadaan rahim Ranti masih memungkinkan untuk mengandung lagi.Dia sangat mencintai istrinya dalam keadaan apapun.Menurutnya memiliki anak adalah sebuah hadiah.Tapi memiliki Ranti adalah anugerah.Jadi, dia sudah sangat bahagia dengan satu putra saja.Selebihnya dia menganggap anak Barra juga anaknya.Apa lagi Barra memiliki 3 orang anak, membuat Niko merasa anaknya sudah memiliki Kakak walaupun hanya sepupu saja."Wajahnya lebih mirip, Mama," kata Ranti.Dia pun melihat wajah Mama mertuanya dan lagi-lagi melihat wajah putranya.Putra kecil yang
"Dokter Niko, lihat ini," Adam menunjuk layar monitor.Saat itu Niko pun melihat ke arah yang ditunjuk oleh Dokter Adam.Tapi Niko yang sedang tidak baik-baik saja tidak mengerti."Ada apa?" tanya Niko.Bodoh?Ya, Niko akan sangat bodoh jika sudah menyangkut tentang Ranti.Begitu juga dengan saat ini.Bahkan dia sendiri tidak dapat berpikir jernih, padahal Dokter Adam sudah menunjukkan dengan jelas.Namun, Niko masih bertanya.Dia butuh jawaban, sekaligus penjelasan yang pasti.Jangan memintanya untuk menyimpulkan sendiri, dia tidak bisa.Otaknya sedang sulit untuk bisa berpikir jernih."Tidak ada masalah dengan rahim istri anda, janinnya juga sudah berada di dalam rahim," terang Dokter Adam.Niko pun terkejut mendengarnya dia pun segera mendekat dan melihat dengan jelas."Ini keajaiban, Dokter Niko. Lihat ini," Dokter Adam pun kembali memperlihatkan bagian lainya, rasanya pemeriksaan sebelumnya dan saat ini jauh lebih baik."Apakah ini mungkin?" tanya Niko yang belum percaya."Iya, i
"Aku pun akan mati, jika kamu mati," tambah Niko lagi.Ranti terdiam mendengar ucapan suaminya itu."Tapi aku akan tetap mempertahankan anak ku," kata Ranti dengan penuh keyakinan.Siapa pun ibu tak akan tega membunuh anaknya, begitu juga dengan Ranti."Vina, panggil, Dokter Winda!" pinta Niko.Untuk kaki ini dia tak bisa lagi untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.Dia tidak memiliki keberanian untuk mengetahui keadaan Ranti saat ini.Dia butuh bantuan dokter lain untuk bisa membantunya, sedangkan Dokter Winda adalah dokter senior yang sudah banyak menangani pasien dan Niko sudah tak tahu dengan kehebatannya.Meskipun perasannya begitu was-was akan keadaan Ranti saat ini.Tapi jelas terlihat bahwa Ranti akan dengan kerasnya pendiriannya yang tak akan menggugurkan kandungannya."Selamat siang, anda memanggil saya, Dok?" Dokter Winda pun telah tiba seperti yang di sampaikan oleh Vina untuk segera menemui Niko.Niko pun mulai tersadar dari pikirannya yang kacau, sambil melihat wajah
"Hamil?" Niko terdiam saat menyaksikan sendiri ada janin di rahim istrinya.Dia pun mengingat kembali saat itu Ranti menggodanya dan hal itu pun terjadi sebelum dia berpikir untuk membuat sel telurnya tidak bekerja.Bahkan saat itu tidak hanya satu kaki, namun berkali-kali.Lantas bagaimana ini?"Kamu ngomong apa tadi?" tanya Ranti yang mendengar ucapan Niko.Niko pun kini melihat Ranti dengan pikirannya yang kacau."Niko, aku hamil?" tanya Ranti memastikan, "berarti testpack yang aku gunakan tadi tidak keliru," tambah Ranti.Ranti terus saja tersenyum bahagia membayangkan sebentar lagi anak menjadi seorang ibu.Dia langsung saja memeluk Niko dengan penuh kebahagiaan.Tak tahu harus bagaimana untuk meluapkannya tapi Ranti benar-benar tidak akan pernah bisa melupakan saat ini."Tuh, kan, nggak perlu adopsi anak. Buktinya sekarang aku hamil, artinya kita akan jadi orang tua," Ranti semakin mempererat pelukannya.Begitu larut dalam kebahagiaan yang tak bisa teralihkan sama sekali.Kemud
Beberapa hari kemudian.....Ranti menatap alat uji kehamilan di tangannya dengan malas.Entah sudah berapa kali dia menggunakannya demi mengetahui apakah ada janin yang tumbuh di rahimnya atau tidak.Mungkin saja ini sudah testpack yang ke 50.Dan hasilnya masih saja garis satu, sungguh membuatnya merasa sedih.Dia pun akhirnya segera menuju ranjang, hari ini dia sangat malas melakukan hal apapun.Sedangkan Niko sedang berada di rumah sakit.Dan seharusnya Ranti selalu mengantar makan siang untuk suaminya itu, sekaligus akan makan bersama-sama.Tapi dia pun malah tertidur pulas dan lupa untuk mengantarkan makanan siang untuk Niko.Hingga ponselnya pun berdering, tidurnya pun terusik dan dengan rasa malas menjawab panggilan itu."Halo," Ranti tak melihat terlebih dahulu nama siapa yang ada di layar ponselnya.Dia langsung saja menjawabnya."Sayang, kamu sudah di mana?" tanya Niko.Ranti pun baru tersadar jika yang menghubungi dirinya adalah Niko.Kemudian dia melihat jam dinding, dia p
Keesokan harinya."Kamu nggak ke kantor?" Ranti melihat Niko tampak santai di atas ranjang sambil memeluk dirinya.Ini tidak biasanya terjadi, karena kebiasaan Niko jika pagi begini pergi bekerja."Aku mau di rumah aja sama kamu," jawab Niko."Kenapa begitu?""Libur untuk satu hari rasanya tidak salah," kata Niko lagi.Ranti pun mengangguk mengerti.Mungkin Niko juga kelelahan dan butuh waktu untuk beristirahat.Mengingat selama ini Niko selalu saja disibukkan dengan pekerjaan yang tidak ada habisnya."Ranti, bagaikan kalau kita mengadopsi anak."Deg!Jantung Ranti rasanya keluar dari dadanya.Dia begitu shock mendengar pertanyaan Niko barusan.Tunggu dulu.Itu pertanyaan atau pernyataan?Ranti tak pernah berpikir jika Niko akan berkata demikian.Apakah Niko sudah sangat ingin memiliki anak sehingga dia mengatakan demikian."Tapi aku juga bisa hamil, kenapa harus mengadopsi anak?" tanya Ranti yang bingung.Niko pun menutup matanya dia pun segera bangkit dari atas ranjangnya berjalan