Setelah ini kembali pada bab penculikan Aira ya ....
Part 106Dania telah menyelesaikan tahapan untuk melakukan tes DNA. Satu minggu waktu yang dijanjikan oleh petugas rumah sakit untuk memberikan hasilnya. Saat keluar dari rumah sakit, hari sudah mulai gelap. Ia duduk di balik kemudi sambil berpikir cara apakah yang bisa mengamankan rumah yang telah diberikan Han.Malam itu juga Dania meluncur ke rumahnya. Dengan mencari informasi dari beberapa kenalannya, ia mendapatkan jasa pasang kunci digital yang harus dibuka menggunakan sidik jari. Tidak lupa, bagian teras dipasang CCTV yang bisa dipantau menggunakan ponsel pintarnya.Dania melakukan itu malam itu juga, karena takut Han akan berbuat nekat dengan mencari jasa tukang kunci untuk mengganti. Tak lupa, barang sertifikat rumah dan BPKB mobil akan diamankan dengan menitipkan ke tempat pegadaian. “Gak papa aku pura-pura menggadaikan barang, ini supaya aman,” katanya. “Aku harus lebih waspada.”***Beberapa hari setelah bertemu Dania dan mengatakan ingin meminta kembali rumah serta mobil
Part 107 Aira tertidur lelap saat Han masuk ke dalam kamar hotel. Sesekali tubuhnya terguncang karena habis menangis panjang. Han tersenyum lebar melihat pemandangan itu. ia menyiapkan baju Aira untuk ganti setelah bangun. Duduk di tepi ranjang, mengusap peluh dan sisa air mata yang menempel dan merebahkan tubuh di sampingnya. “Kamu bau asem, Dek. Bau kamu khas anak-anak. Kakak suka ini,” katanya sambil merapikan anak rambut Aira yang keluar dari jilbab putih yang dipakai. “Dek, Kakak rasanya tidak sabar menunggu sampai Adek siap dinikahi. Tapi Kakak akan mencobanya, Dek. Kakak akan bersabar untuk kehidupan yang indah kita di masa depan.” Han ikut terlelap dengan satu tangan memeluk Aira. Ia merasakan kedamaian yang sangat besar dalam hati. Wajahnya berhadapan dengan wajah Aira. Tidak peduli posisi kakinya menjuntai ke bawah, ia merasa nyaman dengan posisi itu. *** Aini menangis mendengar informasi itu. namun, tidak ada yang bisa dilakukannya. Hendak menemui Iyan, tidak enak pada
Part 108 Aira membuka mata karena merasa ada tangan yang mendekapnya erat sekali. Ia menjerit saat wajah Han berada tepat di depannya, membuat lelaki itu terbangun. “Dek, kamu kenapa, Dek?” tanya Han kaget. Aira sudah melompat dan duduk di pojok kamar dengan wajah ketakutan. “Antar aku ke pondok,” katanya sambil menangis. “Aira, jangan sampai Kakak galak dan jahat sama kamu. Diamlah, Aira! Kalau kamu tidak menurut sama Kakak, maka Kakak akan berubah jadi jahat,” ancam Han. Aira tidak peduli. Ia terus menangis. Han bingung, hendak menyakiti Aira, ia tidak tega. Tetapi ia harus mencari cara untuk mengancam anak itu agar diam. Han melihat pisau kecil yang terletak di atas nampan makanan yang dipesan. “Aira, kalau kamu menangis, Kakak akan bunuh diri,” ancamnya sambil meletakkan pisau di atas pergelangan tangan. Melihat itu, Aira ketakutan, antara takut Han benar-benar bunuh diri dan juga takut ia dibunuh juga. “Mandi, ya? Kakak sudah belikan baju untuk kamu,” kata Han sambil mengu
Part 109 Han memegang kening Aira. Panas sekali. Ia jadi bingung. Lagi, diciumnya lembut pipi gadis kecil itu seraya berkata, “Dek, jangan sakit! Kakak takut. Kakak cari obat dulu, ya? Adek tunggu di sini,” katanya. Ia lalu keluar dan kembali mengunci pintu dari luar. Aira yang tahu Han sudah tidak ada, tertatih bangun hendak menyelamatkan diri. Melihat sekeliling mencari celah untuk bisa meloloskan diri. Bagian kanan tempatnya berdiri adalah kolam renang yang dibatasi tembok yang sangat tinggi. Aira jelas tidak bisa memanjat. Ia mengamati tembok itu lama, lalu menangis. Lampu pada bagian kolam renang bersinar terang. Aira berlari ke arah pintu dan pintunya tertutup rapat tidak bisa dibuka. Ia melihat pada sebuah benda yang dia tahu itu telepon. Aira berlari cepat dan mengangkat gagangnya. Namun, ia tidak bisa mengoperasikannya. Mencoba melihat buku panduan di samping lalu membacanya. Han berjalan cepat menuju kamarnya. Ia sudah menemukan cara kemana membawa Aira agar tetap ama
Part 110Dania duduk termenung di samping jendela kamar kosnya. Menatap hujan yang membasahi jalan samping rumah yang ditinggali. Esok adalah waktunya ia mengambil hasil tes DNA. Selama satu minggu, Cika jarang berkirim kabar dengannya. Dania pun tidak terlalu agresif dengan mengirimkan pesan lebih dulu. Semua dilakukan untuk berjaga-jaga. Berjaga dari kemungkinan yang terjadi.Temaram lampu pinggir jalan menambah hening suasana malam.Cika juga belum tidur. Satu minggu ini ia sibuk menata hatinya untuk menghadapi apa yang akan terjadi esok. Bimbang. Salah satu perasaan yang juga hadir dalam hati. Jika hasil DNA yang keluar menyatakan ia bukan anak Ines dan Han, ia harus berpikir untuk pergi kemana.Pintu kamarnya diketuk pelan. Cika siap siaga. Namun, ia tidak terlalu takut karena pembantunya kini tinggal satu rumah.“Cika ....” Suara Kevin dari luar.Cika bangun dari duduknya dan membukakan pintu.“Kamu tidak memakai hijabmu?” tanya Kevin.Cika menggeleng.“Kenapa?”“Aku bukan santr
Part 111 “Kamu mengumpat, Dan? sama dong kayak aku,” celetuk Nona sambil menguap. “Ini komplek perumahan elit, Dania. Kamu kaya berarti ya punya rumah di sini,” kata Samson. “Bang, nanti aku keluar dan Abang awasi dari dalam mobil ya? Aku akan mengajak Han bertengkar dan kalau di sana ada anak kecil, Bang Samson tugasnya merebut anak kecil itu. Pokoknya Bang Samson rebut dia dan bawa ke mobil. Nona, tugas kamu adalah mengamankan anak itu. Ingat, Bang. Masukkan mobil kasih sama Nona.” Dania memberi instruksi. “Nona bisa turun buat bantuin Bang Samson merebut anak itu kalau memang terjadi perdebatan. Kita tidak sedang melakukan kejahatan. Justru kita sedang menyelamatkan seorang anak,” kata Dania. Saat masuk ke pekarangan rumah dengan perasaan yang takut, Dania kaget karena pintunya sudah dalam keadaan dibuka dengan gergaji. Aira sedari turun dari mobil ketakutan, apalagi Han terlihat beringas. Setelah menelpon orang untuk menggergaji pintu rumah Dania, ia menggendong Aira masuk sam
Part 112Iyan tetap tidak bisa tidur. Ia duduk di teras losmen sambil memandang langit yang hitam pekat. "Rani, apa kamu menyalahkan aku dari alam sana? Rani, bantu aku mencari anak kita," ucapnya lirih.Di rumah Iyan, Nusri dan Hanif masih belum percaya jika cucu mereka diculik oleh Han, keduanya menyalahkan Eka dan Iyan yang terlalu ber-suudzon."Aira palingan lagi diajak jalan-jalan. Mereka saja yang berlebihan," kata Hanif."Biarin lah, Pak, nanti juga kalau Aira balik dan dibelikan banyak barang, Iyan dan Eka malu sendiri," sahut Nusri.*Dania menghentikan mobil secara mendadak membuat dua orang yang duduk di belakangnya, kepala mereka terbentur jok depan."Dan, lu apa-apaan sih?" protes Samson sambil mengusap jidat. Pun dengan Nona yang melakukan hal yang sama."Bang, kok dia ditinggalkan sendiri ya? Aduh, kacau ini, Bang. Harusnya dijaga," kata Dania."Lu gak bilang dari tadi," ucap Samson."Iya, Bang, lupa. Habisnya kalian bertengkar melulu sih," kata Dania."Puter balik!" pe
Part 113 Dania masuk ke kamar. Mengambil beberapa foto dan juga KTP pertamanya dulu, lalu masuk ke dalam kamar tempat Han disekap. "Apa kabar, Tuan?" tanya Dania yang melihat Han sudah terkulai lemas. Senyum jahat tersungging di bibir tipisnya. Lelaki itu masih memakai celana pendek. Di luar perkiraan, Han bangun lebih awal. Dania membuka lakban yang menutup mulut Han. "Ke pa rat kamu, Dania! Apa salahku sama kamu ja lang? Kamu memerasku dan aku sudah menuruti semuanya. Kenapa kamu ikut campur urusanku, Bang sat?" teriak Han dengan sisa tenaga yang masih ada. "Bagaimana rasanya semalam? Enak? Ternyata kamu masih be jat, Tuan Han. Masih sama seperti dulu sebagai predator anak," ucap Dania santai sambil berjongkok dengan satu kaki lebih tinggi. Han menatap penuh amarah pada Dania. Lalu pada Samson yang berdiri di kamar itu juga. "Siapa kamu sebenarnya, Jalang?" tanya Han dengan berteriak. Dania tertawa terbahak-bahak. Tawa yang dibuat-buat. "Bagus kalau kamu bertanya seperti itu,"
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”