Ngos-ngosan ngetik ini. Nerasa jadi Nona, eh, wkkkkkkk .... Komentarnya dong buat bab ini. Othor mau istirahat dulu ya? Soalnya udah ngetik banyak hari ini, jadi pusing.
Part 112Iyan tetap tidak bisa tidur. Ia duduk di teras losmen sambil memandang langit yang hitam pekat. "Rani, apa kamu menyalahkan aku dari alam sana? Rani, bantu aku mencari anak kita," ucapnya lirih.Di rumah Iyan, Nusri dan Hanif masih belum percaya jika cucu mereka diculik oleh Han, keduanya menyalahkan Eka dan Iyan yang terlalu ber-suudzon."Aira palingan lagi diajak jalan-jalan. Mereka saja yang berlebihan," kata Hanif."Biarin lah, Pak, nanti juga kalau Aira balik dan dibelikan banyak barang, Iyan dan Eka malu sendiri," sahut Nusri.*Dania menghentikan mobil secara mendadak membuat dua orang yang duduk di belakangnya, kepala mereka terbentur jok depan."Dan, lu apa-apaan sih?" protes Samson sambil mengusap jidat. Pun dengan Nona yang melakukan hal yang sama."Bang, kok dia ditinggalkan sendiri ya? Aduh, kacau ini, Bang. Harusnya dijaga," kata Dania."Lu gak bilang dari tadi," ucap Samson."Iya, Bang, lupa. Habisnya kalian bertengkar melulu sih," kata Dania."Puter balik!" pe
Part 113 Dania masuk ke kamar. Mengambil beberapa foto dan juga KTP pertamanya dulu, lalu masuk ke dalam kamar tempat Han disekap. "Apa kabar, Tuan?" tanya Dania yang melihat Han sudah terkulai lemas. Senyum jahat tersungging di bibir tipisnya. Lelaki itu masih memakai celana pendek. Di luar perkiraan, Han bangun lebih awal. Dania membuka lakban yang menutup mulut Han. "Ke pa rat kamu, Dania! Apa salahku sama kamu ja lang? Kamu memerasku dan aku sudah menuruti semuanya. Kenapa kamu ikut campur urusanku, Bang sat?" teriak Han dengan sisa tenaga yang masih ada. "Bagaimana rasanya semalam? Enak? Ternyata kamu masih be jat, Tuan Han. Masih sama seperti dulu sebagai predator anak," ucap Dania santai sambil berjongkok dengan satu kaki lebih tinggi. Han menatap penuh amarah pada Dania. Lalu pada Samson yang berdiri di kamar itu juga. "Siapa kamu sebenarnya, Jalang?" tanya Han dengan berteriak. Dania tertawa terbahak-bahak. Tawa yang dibuat-buat. "Bagus kalau kamu bertanya seperti itu,"
Part 114Dania berdiri menatap kepergian mobil polisi. Ia memanggil Samson kembali. “Bang, tolong ikuti Aira dan temani dia di sana. Aku ada urusan dulu sebentar,” perintahnya.“Siap, Dan. Kasihan memang dia, Dan, karena kekejaman dari lelaki itu. sebejat-bejatnya aku, tidak akan tega membayangkan atau berkhayal bersetubuh dengan anak kecil. Tapi dia, orang yang terhormat dan mapan dalam segala hal malah menjatuhkan harga dirinya seperti itu,” ucap Samson.“Ya memang seperti itu kelakuan orang-orang kaya, aneh-aneh,” celetuk teman Samson yang masih ada di sana.Dania lalu masuk ke dalam rumah dan mendapati Cika yang terduduk sambil menangis dengan ditemani sama Kevin. Kevin mengusap punggung Cika yang bergerak naik turun. Saat melihat Dania datang, Kevin melihatnya dengan perasaan iba. Ia ingat surat yang ditemukan di bawah kasur tempat tidur Ines.“Mama,” ucap Kevin karena sadar jika ibunya sedang dalam ancaman pidana karena tindakan yang dilakukan di masa lalu. “Cika, aku harus meli
Part 115 Dania sampai di kantor polisi. Ia memakai masker untuk menghindari awak media. Berjalan menunduk karena tidak mau para pemburu berita tahu kalau dirinya ikut terlibat dalam upaya menggagalkan aksi pencabulan yang dilakukan Han. “Silakan masuk ke ruangan penyidik,” kata seorang polisi. “Bolehkah saya menemui Air adulu? Saya takut tidak bisa bertemu dengan Aira setelah ini. Apa dia sudah ada keluarga yang dihubungi?” “Ayahnya memang ada di kota ini sedang mencari dia dan sekarang mereka sudah bertemu,” jawab polisi yang masih muda itu. “Baik, saya boleh kesana?” “Mari, tapi sebentar saja, anda sedang ditunggu untuk memberikan keterangan.” “Iya,” jawab Dania lalu gegas jalan mengikuti polisi yang akan mengantarkannya menemui Aira itu. Terlihat Aira memeluk seorang lelaki erat. Ia berada di pangkuan Iyan dan menyembunyikan wajahnya di dada sang ayah. “Aira,” panggil dania. Aira mendongak dan menghapus air matanya. “Tante,” ucapnya. Dania tersenyum. “Syukurlah kamu sudah
Part 116 Gerimis mulai turun membuat lantai rumah Dania bagian depan basah. Cika masih duduk di sana, lalu menepi menghindari cipratan air hujan. Ia bersandar di pinggir kusen pintu, meletakkan kepalanya pada tembok sambil memandang ke depan. Berharap setiap kali ada suara motor datang, itu adalah Kevin yang datang untuk menjemputnya pulang. Namun harapannya sia-sia belaka. Karena deru suara kendaraan yang selalu membuatnya mendongakkan kepala, tidak ada satupun yang masuk pelataran rumah Dania. “Apa kamu berbohong sama aku?” tanya Cika seorang diri. “Cika, masuklah! Sudah hujan. Nanti badan kamu basah. Sebentar lagi pasti Mbak Dania akan datang,” kata teman Dania mengingatkan. Jangankan menjawab, Cika bahkan tidak menoleh sama sekali. Tak berapa lama, Dania benar-benar datang. Hari sudah hampir sore, ditambah dengan cuaca hujan sehingga keadaan agak gelap. Ia tergopoh turun dan menghampiri Cika. “Kenapa kamu di luar? Ayo, masuklah!”ajaknya. Cika bergeming menatap ke arah depan.
Part 117“Aku tidak memaksamu untuk menerima atau menganggapku sebagai ibu kamu. Tapi aku hanya ingin mengatakan kalau kamu harus bisa belajar untuk menerima nasib. Beda antara aku dan kamu adalah, aku dibuang keluarga yang sangat kusayangi dan tidak diakui lagi sebagai anak mereka, sementara kamu harus menerima kenyataan kalau kamu dilahirkan oleh orang lain selain Ines yang dianggap ibumu. Satu yang harus kamu syukuri, Cika. Ines yang jahat sama kamu bukanlah ibu kandung kamu. Jadi, wajar kalau dia tidak menyayangimu. Coba kalau yang membencimu adalah ibu kandungmu, maka kamu akan merasakan sakit yang lebih dari ini,” kata Dania lagi setelah kesedihannya sedikit menghilang.“Yakin kalau kamu tidak membenciku?” tanya Cika. “Jika aku tidak ingin hidup denganmu, apa yang akan kamu lakukan?”Dania menoleh. “Sulit untuk aku menjelaskan perasaanku dulu. Saat aku berusia seperti kamu dan punya anak karena diperkosa orang. Bisakah kamu membayangkan menjadi aku? Benci aku, tidak mengapa. Jik
Part 118 Beberapa jam, ia juga menjawab pertanyaan yang disampaikan polisi dengan didampingi psikiater. Mereka harus menunggu selama setengah jam sampai psikiater itu datang menemani Aira menjawab semua pertanyaan. Bahkan beberapa pertanyaan, yang menyampaikan adalah psikiater tersebut. Aira bisa menjawab semuanya dengan jelas. Iyan dibakar emosi saat mendengar Aira menjelaskan kejadian di hotel, juga rumah Dania. Psikiater yang berjenis kelamin wanita itu berkali-kali menarik napas panjang dan menggigit bibirnya. Namun, ia sangat salut pada Aira yang bisa menjawab semuanya meski itu hal yang bisa membuat trauma seumur hidup. “Kamu di kamar sama Om itu saat ada yang datang menolong?” tanya polisi wanita yang memakai hijab. “Iya. Aku sudah dilepas semua bajunya.” “Apa Om itu sempat pegang yang digunakan Aira untuk pipis?” “Iya, sama dada aku.” Iyan merasa tidak kuat mendengarkan hal itu. Ia pamit pura-pura ke kamar mandi, padahal menangis di luar ruangan. Saat melihat seorang po
Part 119 “Iya, Mas, gak papa. Aku ikhlas membantu Mas Iyan tanpa mengharap apapun. Aku paham semuanya kok. Semoga urusan Aira cepat selesai dan semoga juga rezeki Mas Iyan lancar,’ jawab Maharani. “Sekali lagi. Maharani, aku minta maaf dan terima kasih untuk semuanya.” Hari itu, Iyan mengemasi barang-barangnya. Ia sudah berniat akan membuka usaha mie ayam di depan rumahnya sambil mengawasi Aira. Malam hari sebelum berangkat, Iyan kembali ke rumah Maharani, tetapi kali ini ia menemui Nindi. Bagaimanapun, Maharani sudah terlalu baik baginya, maka ia harus membalas dengan cara lain. Sebuah boneka berukuran besar telah disiapkan untuk Nindi. “Nindi suka?” tanya Iyan saat sudah memberikan barang tersebut. “Suka, Om,” jawab Nindi. Iyan mengernyit. Panggilan untuknya sudah berubah. “Nindi kok panggilnya berubah?” tanyanya. “Iya, soalnya kata Mama udah gak boleh lagi panggil Papa. Papa aku sudah mati. Mama sudah bawa aku ke kuburan Papa,” jawab Nindi jujur. Iyan menoleh pada Maharan