Maaf ya, sampai sore. Hari ini benar-benar banyak ujian. dari mulai wifi rumah dan sekolah yang mati dua hari, laptop yang ngadat dan juga lagi sibuk mengurus berkas buat PPG. Mohon doanya saya otaknya lancar untuk mengetik tiga hari ini. Oh iya, ada yang ingat gak, nama panjang Cika siapa? Othor banyak sekali pikiran jadi lupa. lupa juga kagak nyatet. Yang ingat, mohon komentarnya ya ....
Part 114Dania berdiri menatap kepergian mobil polisi. Ia memanggil Samson kembali. “Bang, tolong ikuti Aira dan temani dia di sana. Aku ada urusan dulu sebentar,” perintahnya.“Siap, Dan. Kasihan memang dia, Dan, karena kekejaman dari lelaki itu. sebejat-bejatnya aku, tidak akan tega membayangkan atau berkhayal bersetubuh dengan anak kecil. Tapi dia, orang yang terhormat dan mapan dalam segala hal malah menjatuhkan harga dirinya seperti itu,” ucap Samson.“Ya memang seperti itu kelakuan orang-orang kaya, aneh-aneh,” celetuk teman Samson yang masih ada di sana.Dania lalu masuk ke dalam rumah dan mendapati Cika yang terduduk sambil menangis dengan ditemani sama Kevin. Kevin mengusap punggung Cika yang bergerak naik turun. Saat melihat Dania datang, Kevin melihatnya dengan perasaan iba. Ia ingat surat yang ditemukan di bawah kasur tempat tidur Ines.“Mama,” ucap Kevin karena sadar jika ibunya sedang dalam ancaman pidana karena tindakan yang dilakukan di masa lalu. “Cika, aku harus meli
Part 115 Dania sampai di kantor polisi. Ia memakai masker untuk menghindari awak media. Berjalan menunduk karena tidak mau para pemburu berita tahu kalau dirinya ikut terlibat dalam upaya menggagalkan aksi pencabulan yang dilakukan Han. “Silakan masuk ke ruangan penyidik,” kata seorang polisi. “Bolehkah saya menemui Air adulu? Saya takut tidak bisa bertemu dengan Aira setelah ini. Apa dia sudah ada keluarga yang dihubungi?” “Ayahnya memang ada di kota ini sedang mencari dia dan sekarang mereka sudah bertemu,” jawab polisi yang masih muda itu. “Baik, saya boleh kesana?” “Mari, tapi sebentar saja, anda sedang ditunggu untuk memberikan keterangan.” “Iya,” jawab Dania lalu gegas jalan mengikuti polisi yang akan mengantarkannya menemui Aira itu. Terlihat Aira memeluk seorang lelaki erat. Ia berada di pangkuan Iyan dan menyembunyikan wajahnya di dada sang ayah. “Aira,” panggil dania. Aira mendongak dan menghapus air matanya. “Tante,” ucapnya. Dania tersenyum. “Syukurlah kamu sudah
Part 116 Gerimis mulai turun membuat lantai rumah Dania bagian depan basah. Cika masih duduk di sana, lalu menepi menghindari cipratan air hujan. Ia bersandar di pinggir kusen pintu, meletakkan kepalanya pada tembok sambil memandang ke depan. Berharap setiap kali ada suara motor datang, itu adalah Kevin yang datang untuk menjemputnya pulang. Namun harapannya sia-sia belaka. Karena deru suara kendaraan yang selalu membuatnya mendongakkan kepala, tidak ada satupun yang masuk pelataran rumah Dania. “Apa kamu berbohong sama aku?” tanya Cika seorang diri. “Cika, masuklah! Sudah hujan. Nanti badan kamu basah. Sebentar lagi pasti Mbak Dania akan datang,” kata teman Dania mengingatkan. Jangankan menjawab, Cika bahkan tidak menoleh sama sekali. Tak berapa lama, Dania benar-benar datang. Hari sudah hampir sore, ditambah dengan cuaca hujan sehingga keadaan agak gelap. Ia tergopoh turun dan menghampiri Cika. “Kenapa kamu di luar? Ayo, masuklah!”ajaknya. Cika bergeming menatap ke arah depan.
Part 117“Aku tidak memaksamu untuk menerima atau menganggapku sebagai ibu kamu. Tapi aku hanya ingin mengatakan kalau kamu harus bisa belajar untuk menerima nasib. Beda antara aku dan kamu adalah, aku dibuang keluarga yang sangat kusayangi dan tidak diakui lagi sebagai anak mereka, sementara kamu harus menerima kenyataan kalau kamu dilahirkan oleh orang lain selain Ines yang dianggap ibumu. Satu yang harus kamu syukuri, Cika. Ines yang jahat sama kamu bukanlah ibu kandung kamu. Jadi, wajar kalau dia tidak menyayangimu. Coba kalau yang membencimu adalah ibu kandungmu, maka kamu akan merasakan sakit yang lebih dari ini,” kata Dania lagi setelah kesedihannya sedikit menghilang.“Yakin kalau kamu tidak membenciku?” tanya Cika. “Jika aku tidak ingin hidup denganmu, apa yang akan kamu lakukan?”Dania menoleh. “Sulit untuk aku menjelaskan perasaanku dulu. Saat aku berusia seperti kamu dan punya anak karena diperkosa orang. Bisakah kamu membayangkan menjadi aku? Benci aku, tidak mengapa. Jik
Part 118 Beberapa jam, ia juga menjawab pertanyaan yang disampaikan polisi dengan didampingi psikiater. Mereka harus menunggu selama setengah jam sampai psikiater itu datang menemani Aira menjawab semua pertanyaan. Bahkan beberapa pertanyaan, yang menyampaikan adalah psikiater tersebut. Aira bisa menjawab semuanya dengan jelas. Iyan dibakar emosi saat mendengar Aira menjelaskan kejadian di hotel, juga rumah Dania. Psikiater yang berjenis kelamin wanita itu berkali-kali menarik napas panjang dan menggigit bibirnya. Namun, ia sangat salut pada Aira yang bisa menjawab semuanya meski itu hal yang bisa membuat trauma seumur hidup. “Kamu di kamar sama Om itu saat ada yang datang menolong?” tanya polisi wanita yang memakai hijab. “Iya. Aku sudah dilepas semua bajunya.” “Apa Om itu sempat pegang yang digunakan Aira untuk pipis?” “Iya, sama dada aku.” Iyan merasa tidak kuat mendengarkan hal itu. Ia pamit pura-pura ke kamar mandi, padahal menangis di luar ruangan. Saat melihat seorang po
Part 119 “Iya, Mas, gak papa. Aku ikhlas membantu Mas Iyan tanpa mengharap apapun. Aku paham semuanya kok. Semoga urusan Aira cepat selesai dan semoga juga rezeki Mas Iyan lancar,’ jawab Maharani. “Sekali lagi. Maharani, aku minta maaf dan terima kasih untuk semuanya.” Hari itu, Iyan mengemasi barang-barangnya. Ia sudah berniat akan membuka usaha mie ayam di depan rumahnya sambil mengawasi Aira. Malam hari sebelum berangkat, Iyan kembali ke rumah Maharani, tetapi kali ini ia menemui Nindi. Bagaimanapun, Maharani sudah terlalu baik baginya, maka ia harus membalas dengan cara lain. Sebuah boneka berukuran besar telah disiapkan untuk Nindi. “Nindi suka?” tanya Iyan saat sudah memberikan barang tersebut. “Suka, Om,” jawab Nindi. Iyan mengernyit. Panggilan untuknya sudah berubah. “Nindi kok panggilnya berubah?” tanyanya. “Iya, soalnya kata Mama udah gak boleh lagi panggil Papa. Papa aku sudah mati. Mama sudah bawa aku ke kuburan Papa,” jawab Nindi jujur. Iyan menoleh pada Maharan
Part 120 "Aku bingung dengan masalah kalian apa. Aku tanya Mbak Dania gak mau jawab, tapi aku harus repot sambil kerja sambil ngurus kamu. Aku sih bukannya keberatan ya masalah bolak-balik kesininya. Hanya saja, aku merasa kesal kenapa aku tidak diberitahu masalah sebenarnya. Tapi aku dibikin capek?" protes Nindi saat ia masuk rumah Dania untuk memeriksa keadaan anak itu. "Mbak Dania tidak mau pulang. Tapi aku harus mengawasi kamu. Kamu bisa gak ceritakan sama aku, apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya pada Cika yang setia duduk di kamarnya. "Tanya saja sendiri. Yang temannya Kak Rindi kan dia. Kok tanya aku? Lagian aku juga tidak minta diurus kok. Siapa suruh kesini terus, emangnya aku anak kecil?" celetuk Cika membuat Rindi kesal. "Kalau dia jawab, aku gak tanya kamu." Begitulah pekerjaan tambahan Nindi setiap hari. Bolak-balik kantor untuk mengecek dan mengawasi keadaan Cika. Sementara Dania, dia pergi pagi pulang malam. Namun, ada kegiatan rutin yang dilakukan Dania, yakni me
Part 121 Polisi telah berhasil mendapatkan keterangan dari Dodi tentang kejadian di malam itu. Satu nama telah dikantongi sebagai tersangka lain yaitu Ines. Dania yang saat itu sudah ada di dalam kamar, mendapatkan informasi kalau Dodi ikut terlibat membuang jasadnya dan Sri ke hutan. Ia tersenyum senang saat tahu kaki lelaki itu telah ditembak oleh polisi. Sama sekali tidak menyangka jika nyawanya yang hampir hilang ternyata melibatkan banyak orang. Pagi itu, polisi datang ke rumah sakit jiwa dengan tidak memakai seragam serta menggunakan mobil biasa. Salah satu diantaranya masuk dan menemui petugas. Mereka menunjukkan sebuah surat perintah penangkapan. Salah satu petugas lalu memanggil Ines. Polisi melihat perempuan itu nampak seperti wanita normal lainnya. “Selamat siang, Ibu Ines, kami dari kantor polisi diperintahkan untuk menangkap Bu Ines guna mengikuti pemeriksaan atas kasus pembunuhan Saudari Aisya.” Polisi itu menyodorkan sebuah borgol. Beberapa anggota polisi yang lain