Sekedar pemberitahuan ya. Buku ini sudah dikontrak secara eksklusif dan berakhir hari ini. kontrak eksklusif itu harus menulis setiap hari dan hanya diberi lima empat hari saja dalam sebulan. setelah kontrak habis, artinya buku sudah tamat. Dan jumlah kata sudah ditentukan juga. kalau memang masih ada yang belum puas dengan tamatnya cerita, saya bisa melanjutkan dengan cara lain, yakni masuk grup telegram dengan harga yang sangat terjangkau. Hanya beberapa bab saja sampai cerita ini benar-benar tuntas. Harganya maksimal lima puluh ribu saja kayaknya. Itu maksimal ya. Jadi, bisa kurang dari itu. Karena hanya sekitar sepuluh bab saja, maka saya hanya bisa melanjutkan di telegram saja. terima kasih. Tuliskan tanggapan di kolom komentar.
Part 121 Polisi telah berhasil mendapatkan keterangan dari Dodi tentang kejadian di malam itu. Satu nama telah dikantongi sebagai tersangka lain yaitu Ines. Dania yang saat itu sudah ada di dalam kamar, mendapatkan informasi kalau Dodi ikut terlibat membuang jasadnya dan Sri ke hutan. Ia tersenyum senang saat tahu kaki lelaki itu telah ditembak oleh polisi. Sama sekali tidak menyangka jika nyawanya yang hampir hilang ternyata melibatkan banyak orang. Pagi itu, polisi datang ke rumah sakit jiwa dengan tidak memakai seragam serta menggunakan mobil biasa. Salah satu diantaranya masuk dan menemui petugas. Mereka menunjukkan sebuah surat perintah penangkapan. Salah satu petugas lalu memanggil Ines. Polisi melihat perempuan itu nampak seperti wanita normal lainnya. “Selamat siang, Ibu Ines, kami dari kantor polisi diperintahkan untuk menangkap Bu Ines guna mengikuti pemeriksaan atas kasus pembunuhan Saudari Aisya.” Polisi itu menyodorkan sebuah borgol. Beberapa anggota polisi yang lain
Part 122Aira hari itu begitu ceria. Dua orang tamu spesial yang sangat ia rindukan datang. Rela melompat dari atas ranjang sambil berteriak, "Mbak Dinta! Mas Danis."Agam tersenyum senang melihat anak-anaknya. terlihat menyayangi Aira. Mereka melakukan banyak hal bersama. Bermain, bercerita dan bercanda. Dinta yang sudah remaja lebih banyak diam. Ia hanya tersenyum saat Aira dan Danis melakukan hal yang lucu."Aira sekolah ya?" kata Dinta. "Nanti jadi anak bodoh. Biar tahu siapa yang jahat, kita harus pintar," kata Dinta membujuk.Aira menunduk."Orang jahatnya sudah pergi. Aira harus sekolah. Kalau gak sekolah, Mbak Dinta gak mau kesini lagi," kata Dinta pura-pura mengancam.Aira akhirnya mengangguk."Nah, gitu dong!" sahut Dinta.Nusri sudah diperbolehkan mendekati Aira, dengan ancaman, ia tidak boleh membahas Han lagi. Sejak kepulangannya, Aira masih tinggal di rumah Eka.Dinta dan Danis menginap, membuat suasana rumah menjadi ramai. Mereka bertiga tidur bersama. Agam sudah berjan
Part 123 Mereka meminum es yang dipesan dan kembali ke keluarga Iyan berada. “Ayo, pulang,” ajak Agam saat Aini sudah sampai. “Mbak Dania, kami pamit ya? Maaf, tidak ikut menyaksikan sidang selanjutnya. Soalnya jauh rumahnya. Ini saja mobil nyewa, Mbak, jadi waktunya dibatasi.” Agam berpamitan pada Dania. “Gak papa, Mas. Hati-hati di jalan ya? Jaga Aira baik-baik,” jawab Dania sambil menyalami mereka satu per satu. “Aira, semangat belajar ya, Sayang. Kamu anak yang hebat,” katanya lagi sambil memeluk Aira. “Selamat tinggal ya, Tante. Semoga kita bisa bertemu lagi,” kata Aira yang sudah kelihatan ceria. Di posisi yang berbeda, ternyata Aini sedang memeluk Cika yang menangis. “Mbak Ai, tidak bisa nginep sama aku ya?” tanya Cika. “Gak bisa, Cika. Kapan-kapan saja, ya? Atau kamu mau ikut main?” Aini menawarkan. “Aku ingin melihat sidang Mama. Meski dia bukan mamaku, tetapi aku ingin menyaksikan itu, Mbak. Aku ingin tahu hukuman untuk orang yang selalu jahat sama aku berapa lama . M
EKSTRA PART "Saya terima nikah dan kawinnya Nuraini Iklimah dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai," ucap Iyan lantang. Ucapan sah menggema memenuhi ruang tamu berukuran lima kali enam meter, di rumah Aini. Dengan riasan yang sederhana, tetapi tidak mengurangi makna sakral dari peristiwa siang itu. Sebuah pelaminan sederhana ada di halaman rumah. Aira tersenyum bahagia menyaksikan dua orang yang sangat ia sayangi akhirnya bersatu. Ia tidak lagi merindukan Aini karena kini, mbak pondoknya sudah sah menjadi istri sang ayah. Abah Kyai datang untuk menjadi pengganti wali. Gus Hafiz dan Kholis juga ikut hadir untuk mendoakan kedua mempelai yang mereka kenal.Aini mencium takzim tangan Iyan.Mereka berdua naik ke pelaminan untuk menyalami para tamu. Diantara mereka ternyata hadir Maharani. Ia menyalami Iyan dan mengucapkan selamat. Mengabaikan rasa sakit hatinya, Maharani ingin hadir dalam acara membahagiakan sahabatnya itu. Maharani lalu memeluk Aini dan mengucapkan d
Dania Part 1 POV Dania Mobil yang ku tumpangi melaju dengan cepat menuju bandara. Aku memang sengaja meminta pada sopir untuk menambah kecepatan agar cepat sampai sana. Rasanya sudah tidak tahan untuk segera pulang. Cika, aku tidak pernah menyalahkanmu jika memang kamu tidak menerima keberadaanku. Tidak mudah untuk berdamai dengan hatimu sendiri, terlebih mungkin kamu berpikir, jika orang yang diharapkan menjadi ibu kandungmu adalah sosok yang tidak sepertiku. Yang ada dalam khayalan kamu sepertinya adalah wanita lemah lembut, alim, dewasa dan memiliki keluarga yang utuh. Maafkan aku telah mengandungmu dan membawamu ada di dunia ini. Air mata terus mengalir, jari sampai kewalahan karena harus menghapus itu beberapa kali. Aku merogoh tas untuk mengambil ponsel. Ada sebuah kertas yang terselip di sana. Sebuah nomer ponsel yang dituliskan oleh Mas Riko pada saat pertemuan kami kemarin. Aku menatapnya. Ragu untuk menyimpan, tetapi tetap aku simpan di memori ponsel. Toh hanya menyimpa
Part 2POV CikaAku melihatnya pergi. Wanita yang mengaku dan memang sudah terbukti kalau dia adalah ibu kandungku, dia telah pergi. Meninggalkan aku selamanya. Itu bisa jadi. Karena aku sudah mengatakan padanya aku tidak ingin hidup bersamanya lagi.Saat berada di dekatnya, aku sangat membenci. Bukan sosok sepertinya yang aku inginkan menjadi ibu kandungku. Tetapi kenapa wanita itu yang dipilih Allah untuk menjadi orang yang telah mengandungku selama sembilan bulan? Bahkan, aku tumbuh dalam perutnya sebagai bayi yang keberadaannya tidak pernah diinginkan oleh siapapun.Jika aku boleh memilih, aku lebih memilih Mama Ines yang menjadi ibu kandungku meskipun dia sudah sangat jahat.Kenapa?Karena aku pernah mengharapkan kasih sayang dari Mama Ines diberikan untukku.Bukan dia, wanita yang ternyata menjadi simpanan Ayah selama ini. Berarti dia bukan wanita baik-baik. Itu penilaianku terhadapnya. Lagi pula, jika dia adalah ibu kandungku, itu artinya, aku dilahirkan oleh seorang anak kecil
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke