Part 123 Mereka meminum es yang dipesan dan kembali ke keluarga Iyan berada. “Ayo, pulang,” ajak Agam saat Aini sudah sampai. “Mbak Dania, kami pamit ya? Maaf, tidak ikut menyaksikan sidang selanjutnya. Soalnya jauh rumahnya. Ini saja mobil nyewa, Mbak, jadi waktunya dibatasi.” Agam berpamitan pada Dania. “Gak papa, Mas. Hati-hati di jalan ya? Jaga Aira baik-baik,” jawab Dania sambil menyalami mereka satu per satu. “Aira, semangat belajar ya, Sayang. Kamu anak yang hebat,” katanya lagi sambil memeluk Aira. “Selamat tinggal ya, Tante. Semoga kita bisa bertemu lagi,” kata Aira yang sudah kelihatan ceria. Di posisi yang berbeda, ternyata Aini sedang memeluk Cika yang menangis. “Mbak Ai, tidak bisa nginep sama aku ya?” tanya Cika. “Gak bisa, Cika. Kapan-kapan saja, ya? Atau kamu mau ikut main?” Aini menawarkan. “Aku ingin melihat sidang Mama. Meski dia bukan mamaku, tetapi aku ingin menyaksikan itu, Mbak. Aku ingin tahu hukuman untuk orang yang selalu jahat sama aku berapa lama . M
EKSTRA PART "Saya terima nikah dan kawinnya Nuraini Iklimah dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai," ucap Iyan lantang. Ucapan sah menggema memenuhi ruang tamu berukuran lima kali enam meter, di rumah Aini. Dengan riasan yang sederhana, tetapi tidak mengurangi makna sakral dari peristiwa siang itu. Sebuah pelaminan sederhana ada di halaman rumah. Aira tersenyum bahagia menyaksikan dua orang yang sangat ia sayangi akhirnya bersatu. Ia tidak lagi merindukan Aini karena kini, mbak pondoknya sudah sah menjadi istri sang ayah. Abah Kyai datang untuk menjadi pengganti wali. Gus Hafiz dan Kholis juga ikut hadir untuk mendoakan kedua mempelai yang mereka kenal.Aini mencium takzim tangan Iyan.Mereka berdua naik ke pelaminan untuk menyalami para tamu. Diantara mereka ternyata hadir Maharani. Ia menyalami Iyan dan mengucapkan selamat. Mengabaikan rasa sakit hatinya, Maharani ingin hadir dalam acara membahagiakan sahabatnya itu. Maharani lalu memeluk Aini dan mengucapkan d
Dania Part 1 POV Dania Mobil yang ku tumpangi melaju dengan cepat menuju bandara. Aku memang sengaja meminta pada sopir untuk menambah kecepatan agar cepat sampai sana. Rasanya sudah tidak tahan untuk segera pulang. Cika, aku tidak pernah menyalahkanmu jika memang kamu tidak menerima keberadaanku. Tidak mudah untuk berdamai dengan hatimu sendiri, terlebih mungkin kamu berpikir, jika orang yang diharapkan menjadi ibu kandungmu adalah sosok yang tidak sepertiku. Yang ada dalam khayalan kamu sepertinya adalah wanita lemah lembut, alim, dewasa dan memiliki keluarga yang utuh. Maafkan aku telah mengandungmu dan membawamu ada di dunia ini. Air mata terus mengalir, jari sampai kewalahan karena harus menghapus itu beberapa kali. Aku merogoh tas untuk mengambil ponsel. Ada sebuah kertas yang terselip di sana. Sebuah nomer ponsel yang dituliskan oleh Mas Riko pada saat pertemuan kami kemarin. Aku menatapnya. Ragu untuk menyimpan, tetapi tetap aku simpan di memori ponsel. Toh hanya menyimpa
Part 2POV CikaAku melihatnya pergi. Wanita yang mengaku dan memang sudah terbukti kalau dia adalah ibu kandungku, dia telah pergi. Meninggalkan aku selamanya. Itu bisa jadi. Karena aku sudah mengatakan padanya aku tidak ingin hidup bersamanya lagi.Saat berada di dekatnya, aku sangat membenci. Bukan sosok sepertinya yang aku inginkan menjadi ibu kandungku. Tetapi kenapa wanita itu yang dipilih Allah untuk menjadi orang yang telah mengandungku selama sembilan bulan? Bahkan, aku tumbuh dalam perutnya sebagai bayi yang keberadaannya tidak pernah diinginkan oleh siapapun.Jika aku boleh memilih, aku lebih memilih Mama Ines yang menjadi ibu kandungku meskipun dia sudah sangat jahat.Kenapa?Karena aku pernah mengharapkan kasih sayang dari Mama Ines diberikan untukku.Bukan dia, wanita yang ternyata menjadi simpanan Ayah selama ini. Berarti dia bukan wanita baik-baik. Itu penilaianku terhadapnya. Lagi pula, jika dia adalah ibu kandungku, itu artinya, aku dilahirkan oleh seorang anak kecil
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber