Part 118 Beberapa jam, ia juga menjawab pertanyaan yang disampaikan polisi dengan didampingi psikiater. Mereka harus menunggu selama setengah jam sampai psikiater itu datang menemani Aira menjawab semua pertanyaan. Bahkan beberapa pertanyaan, yang menyampaikan adalah psikiater tersebut. Aira bisa menjawab semuanya dengan jelas. Iyan dibakar emosi saat mendengar Aira menjelaskan kejadian di hotel, juga rumah Dania. Psikiater yang berjenis kelamin wanita itu berkali-kali menarik napas panjang dan menggigit bibirnya. Namun, ia sangat salut pada Aira yang bisa menjawab semuanya meski itu hal yang bisa membuat trauma seumur hidup. “Kamu di kamar sama Om itu saat ada yang datang menolong?” tanya polisi wanita yang memakai hijab. “Iya. Aku sudah dilepas semua bajunya.” “Apa Om itu sempat pegang yang digunakan Aira untuk pipis?” “Iya, sama dada aku.” Iyan merasa tidak kuat mendengarkan hal itu. Ia pamit pura-pura ke kamar mandi, padahal menangis di luar ruangan. Saat melihat seorang po
Part 119 “Iya, Mas, gak papa. Aku ikhlas membantu Mas Iyan tanpa mengharap apapun. Aku paham semuanya kok. Semoga urusan Aira cepat selesai dan semoga juga rezeki Mas Iyan lancar,’ jawab Maharani. “Sekali lagi. Maharani, aku minta maaf dan terima kasih untuk semuanya.” Hari itu, Iyan mengemasi barang-barangnya. Ia sudah berniat akan membuka usaha mie ayam di depan rumahnya sambil mengawasi Aira. Malam hari sebelum berangkat, Iyan kembali ke rumah Maharani, tetapi kali ini ia menemui Nindi. Bagaimanapun, Maharani sudah terlalu baik baginya, maka ia harus membalas dengan cara lain. Sebuah boneka berukuran besar telah disiapkan untuk Nindi. “Nindi suka?” tanya Iyan saat sudah memberikan barang tersebut. “Suka, Om,” jawab Nindi. Iyan mengernyit. Panggilan untuknya sudah berubah. “Nindi kok panggilnya berubah?” tanyanya. “Iya, soalnya kata Mama udah gak boleh lagi panggil Papa. Papa aku sudah mati. Mama sudah bawa aku ke kuburan Papa,” jawab Nindi jujur. Iyan menoleh pada Maharan
Part 120 "Aku bingung dengan masalah kalian apa. Aku tanya Mbak Dania gak mau jawab, tapi aku harus repot sambil kerja sambil ngurus kamu. Aku sih bukannya keberatan ya masalah bolak-balik kesininya. Hanya saja, aku merasa kesal kenapa aku tidak diberitahu masalah sebenarnya. Tapi aku dibikin capek?" protes Nindi saat ia masuk rumah Dania untuk memeriksa keadaan anak itu. "Mbak Dania tidak mau pulang. Tapi aku harus mengawasi kamu. Kamu bisa gak ceritakan sama aku, apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya pada Cika yang setia duduk di kamarnya. "Tanya saja sendiri. Yang temannya Kak Rindi kan dia. Kok tanya aku? Lagian aku juga tidak minta diurus kok. Siapa suruh kesini terus, emangnya aku anak kecil?" celetuk Cika membuat Rindi kesal. "Kalau dia jawab, aku gak tanya kamu." Begitulah pekerjaan tambahan Nindi setiap hari. Bolak-balik kantor untuk mengecek dan mengawasi keadaan Cika. Sementara Dania, dia pergi pagi pulang malam. Namun, ada kegiatan rutin yang dilakukan Dania, yakni me
Part 121 Polisi telah berhasil mendapatkan keterangan dari Dodi tentang kejadian di malam itu. Satu nama telah dikantongi sebagai tersangka lain yaitu Ines. Dania yang saat itu sudah ada di dalam kamar, mendapatkan informasi kalau Dodi ikut terlibat membuang jasadnya dan Sri ke hutan. Ia tersenyum senang saat tahu kaki lelaki itu telah ditembak oleh polisi. Sama sekali tidak menyangka jika nyawanya yang hampir hilang ternyata melibatkan banyak orang. Pagi itu, polisi datang ke rumah sakit jiwa dengan tidak memakai seragam serta menggunakan mobil biasa. Salah satu diantaranya masuk dan menemui petugas. Mereka menunjukkan sebuah surat perintah penangkapan. Salah satu petugas lalu memanggil Ines. Polisi melihat perempuan itu nampak seperti wanita normal lainnya. “Selamat siang, Ibu Ines, kami dari kantor polisi diperintahkan untuk menangkap Bu Ines guna mengikuti pemeriksaan atas kasus pembunuhan Saudari Aisya.” Polisi itu menyodorkan sebuah borgol. Beberapa anggota polisi yang lain
Part 122Aira hari itu begitu ceria. Dua orang tamu spesial yang sangat ia rindukan datang. Rela melompat dari atas ranjang sambil berteriak, "Mbak Dinta! Mas Danis."Agam tersenyum senang melihat anak-anaknya. terlihat menyayangi Aira. Mereka melakukan banyak hal bersama. Bermain, bercerita dan bercanda. Dinta yang sudah remaja lebih banyak diam. Ia hanya tersenyum saat Aira dan Danis melakukan hal yang lucu."Aira sekolah ya?" kata Dinta. "Nanti jadi anak bodoh. Biar tahu siapa yang jahat, kita harus pintar," kata Dinta membujuk.Aira menunduk."Orang jahatnya sudah pergi. Aira harus sekolah. Kalau gak sekolah, Mbak Dinta gak mau kesini lagi," kata Dinta pura-pura mengancam.Aira akhirnya mengangguk."Nah, gitu dong!" sahut Dinta.Nusri sudah diperbolehkan mendekati Aira, dengan ancaman, ia tidak boleh membahas Han lagi. Sejak kepulangannya, Aira masih tinggal di rumah Eka.Dinta dan Danis menginap, membuat suasana rumah menjadi ramai. Mereka bertiga tidur bersama. Agam sudah berjan
Part 123 Mereka meminum es yang dipesan dan kembali ke keluarga Iyan berada. “Ayo, pulang,” ajak Agam saat Aini sudah sampai. “Mbak Dania, kami pamit ya? Maaf, tidak ikut menyaksikan sidang selanjutnya. Soalnya jauh rumahnya. Ini saja mobil nyewa, Mbak, jadi waktunya dibatasi.” Agam berpamitan pada Dania. “Gak papa, Mas. Hati-hati di jalan ya? Jaga Aira baik-baik,” jawab Dania sambil menyalami mereka satu per satu. “Aira, semangat belajar ya, Sayang. Kamu anak yang hebat,” katanya lagi sambil memeluk Aira. “Selamat tinggal ya, Tante. Semoga kita bisa bertemu lagi,” kata Aira yang sudah kelihatan ceria. Di posisi yang berbeda, ternyata Aini sedang memeluk Cika yang menangis. “Mbak Ai, tidak bisa nginep sama aku ya?” tanya Cika. “Gak bisa, Cika. Kapan-kapan saja, ya? Atau kamu mau ikut main?” Aini menawarkan. “Aku ingin melihat sidang Mama. Meski dia bukan mamaku, tetapi aku ingin menyaksikan itu, Mbak. Aku ingin tahu hukuman untuk orang yang selalu jahat sama aku berapa lama . M
EKSTRA PART "Saya terima nikah dan kawinnya Nuraini Iklimah dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai," ucap Iyan lantang. Ucapan sah menggema memenuhi ruang tamu berukuran lima kali enam meter, di rumah Aini. Dengan riasan yang sederhana, tetapi tidak mengurangi makna sakral dari peristiwa siang itu. Sebuah pelaminan sederhana ada di halaman rumah. Aira tersenyum bahagia menyaksikan dua orang yang sangat ia sayangi akhirnya bersatu. Ia tidak lagi merindukan Aini karena kini, mbak pondoknya sudah sah menjadi istri sang ayah. Abah Kyai datang untuk menjadi pengganti wali. Gus Hafiz dan Kholis juga ikut hadir untuk mendoakan kedua mempelai yang mereka kenal.Aini mencium takzim tangan Iyan.Mereka berdua naik ke pelaminan untuk menyalami para tamu. Diantara mereka ternyata hadir Maharani. Ia menyalami Iyan dan mengucapkan selamat. Mengabaikan rasa sakit hatinya, Maharani ingin hadir dalam acara membahagiakan sahabatnya itu. Maharani lalu memeluk Aini dan mengucapkan d
Dania Part 1 POV Dania Mobil yang ku tumpangi melaju dengan cepat menuju bandara. Aku memang sengaja meminta pada sopir untuk menambah kecepatan agar cepat sampai sana. Rasanya sudah tidak tahan untuk segera pulang. Cika, aku tidak pernah menyalahkanmu jika memang kamu tidak menerima keberadaanku. Tidak mudah untuk berdamai dengan hatimu sendiri, terlebih mungkin kamu berpikir, jika orang yang diharapkan menjadi ibu kandungmu adalah sosok yang tidak sepertiku. Yang ada dalam khayalan kamu sepertinya adalah wanita lemah lembut, alim, dewasa dan memiliki keluarga yang utuh. Maafkan aku telah mengandungmu dan membawamu ada di dunia ini. Air mata terus mengalir, jari sampai kewalahan karena harus menghapus itu beberapa kali. Aku merogoh tas untuk mengambil ponsel. Ada sebuah kertas yang terselip di sana. Sebuah nomer ponsel yang dituliskan oleh Mas Riko pada saat pertemuan kami kemarin. Aku menatapnya. Ragu untuk menyimpan, tetapi tetap aku simpan di memori ponsel. Toh hanya menyimpa
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”