"Ibu, apa yang Ibu pikirkan saat aku berkata kasar sama Ibu?" tanya Nadia suatu malam saat mereka he dak tidur.
Anti membalikkan badan, menatap anak gadis yang wajahnya tertutup anak rambut.
"Tidak!" jawabnya tulus.
"Kenapa Ibu tidak marah?"
"Karena kesalahan Ibu lebih besar sama Nadia." Jawaban yang disampaikan Anti membuatnya tidak bisa berkata lagi. Rasa bersalah kian hadir dalam hati. Melihat ketulusan wanita yang telah melahirkannya.
"Ibu tidak ingin tahu, kenapa aku berubah?" tanya Nadia lagi.
"Kenapa?" Anti balik bertanya.
"Karena seseorang datang menemui aku untuk memberitahu semua kebenaran yang terjadi ketika aku sakit. Ayah dan Mbah sudah membohongi aku tentang semuanya. Lalu, orang itu datang untuk menjelaskan." Kening Anti mengerut, mencoba menebak dalam hati siapa orang itu. Namun, tidak berhasil.
"Siapa?"
"Pak Polsi. Dia datang ke sekolah aku. Memberitahu semuanya. Aku pulang dan tanya sama orang rumah, ta
"Hikmah sebuah kesabaran. Allah tidak akan membiarkan seseorang melalui ujiannya tanpa diberi hadiah setelahnya. Mbak Anti ternyata mendapatkan hadiah dengan kembalinya Nadia. Semoga juga, Mbak Anti setelah ini diberikan kesempatan untuk dapat bertemu Bilal." Senyum kecut tergambar jelas di bibir Anti setelah mendengar ucapan doa yang diberikan Umi. Bukan karena tidak ingin mengaminkan, tapi rasanya sesuatu hal yang sangat sulit untuknya. "Aku sudah pasrah kalau yang itu, Umi. Aku sudah membuangnya. Pantas bila Mas Agam tidak akan pernah mengijinkan aku menyentuhnya," lirih Anti putus asa. "Jangan putus asa! Tetaplah berbuat kebaikan, Allah Maha membolak-balikan hati. Siapapun yang dia kehendaki," "Iya, Umi," jawab Anti pasrah tidak ingin berdebat. Lelah berbincang, mereka berdua beranjak pulang. Saat sampai di serambi masjid, samar Anti mendengar seseorang tengah menghafal Surah Al-Kafirun. "W* laa antum aaabiduna ma a'bud. W* laa ana abiduna
Perubahan sikap Agung kian terasa oleh orang-orang di sekitarnya.Perlahan, sikap Anti terhadap lelaki itu semakin melunak. Karena melihat kegigihan Agung untuk berubah menjadi lebih baik.Bukan hal yang mudah untuk memaafkan seorang pembulli. Namun, suatu ketika, kalimat yang disampaikan Agung terasa menohok di hati Anti.Kala itu, mereka berdua kembali tak sengaja bertemu. Tidak sengaja bagi Anti, tapi sengaja bagi Agung. Karena pria itu memang sudah tahu, jadwal Anti keluar dari masjid dan melalui pintu sebelah mana."Anti, apakah kamu membenciku?" Spontan Agung bertanya saat pandangan dan senyumannya selalu tidak dibalas.Anti yang saat itu sedang memakai sandal berhenti sejenak dan menatap pria tegap yang berjarak tiga meter dari tubuhnya."Bullying adalah perilaku yang bisa membuat seseorang merasa kehilangan jati dirinya.""Aku tahu, aku sudah merasa bersalah dan aku minta maaf sama kamu, Anti. Apakah hatimu begitu keras untuk
Tidak berapa lama, Tohir datang dengan mengendarai mobilnya. Nadia langsung berlari memeluk ibunya saat mobil berhenti. "Ayo, istirahat ke kamar," ajak Anti dan membimbing anaknya masuk kamar. "Ibu, bolehkah aku tinggal di sini?" "Ini rumah kamu, Nad. Kapanpun kamu boleh datang. Nanti Ibu bersihkan kamar sebelah, ya? Itu ada ranjang kamu yang Ibu bawa dari rumah lama. Ibu mau menemui Ayah dulu." Nadia mengangguk. Anti segera melangkah ke ruang tamu. "Maafkan aku, Anti. Kamu tahu 'kan, sifat Ibu bagaimana?" ujar Tohir saat mereka bersama. "Iya, Mas, tidak apa. Ini juga rumah Nadia. Aku akan menerima kapanpun dia datang," jawab Anti. "Aku sudah mencari tahu perihal rumah kita dulu sama pihak bank. Ternyata belum ada ya membeli. Aku akan membelinya untuk kalian," "Aku tidak mau, Mas. Itu akan menimbulkan masalah buat aku," "Aku sudah bilang sama Erina. Dan kami sepakat untuk merahasiakan dari Ibu." Lagi, Anti meras
Kedatangan Agung yang sering ke rumah Anti membuat hubungan mereka semakin dekat. Nadia juga semakin akrab dengan Agung, membuat pria itu lebih semangat lagi mendekati ibunya. Namun, hati Anti tetap saja masih ia lindungi untuk tidak pernah tertarik dengan yang namanya lelaki."Anti, apa. kamu memang benar-benar tidak ingin menikah?" tanya Agung suatu sore saat berkunjung ke rumahnya lagi untuk ke sekian kalinya. Anti menjawab dengan gelengan."Aku hanya ingin memperbaiki diri. Tidak berpikir apapun tentang itu,""Memperbaiki diri bukankah bisa dengan menikah? Kamu akan bersama-sama suami kemu beribadah dan saling mengingatkan dalam hal kebaikan.""Kenapa kata-kata kamu sok bijak?" tanya Anti dengan mengerutkan dahi."Itu harapan, bukan kata-kata.""Ya sudah, wujudkan harapan kamu itu agar menjadi kenyataan.""Belum menemukan orangnya,""Cari, dong!""Udah. Tapi dia sepertinya tidak mau," jawab Agung putus asa."I
"Aku harus bagaimana, Umi? Aku takut, bila aku menolaknya dia akan kembali ke lembah hitam yang dulu. Tapi menerimanya juga bukan keinginan hatiku. Sungguh, bukan karena apapun. Aku hanya ingin terus nyaman seperti ini," keluh Anti saat dirinya memutuskan untuk mendiskusikan perihal permintaan Agung dengan Umi."Sholat Istikharah saat malam. Mintalah petunjuk sama Allah, yang terbaik untuk kamu. Mintalah petunjuk untuk memberi jawaban pada Agung. Bila sudah mendapatkan petunjuk dan jawabannya tetap tidak, maka, kamu harus berani bilang dan jangan takut dia berubah. Bila setelah ini Agung berubah dan kembali lagi pada dunia hitamnya, itu pertanda bahwa taubat yang dia lakukan bukan lillah karena Allah. Bukan Hablumminallah, tapi Hablumminannas. Dan itu bukanlah kesalahan kamu," jelas Umi membuat hati Anti lega.Ibu Nadia memeluk wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu kedua sambil terisak. Sungguh dalam hati menyesali pertemuannya dengan Agung. Karena membuat gundah hat
Nadia sangat paham, bila sesungguhnya, jauh dalam lubuk hati ibunya yang terdalam, ada sebuah kesedihan yang sengaja ia tutup rapat-rapat.Gadis remaja itu pun tahu, jika seringkali, wanita yang telah mengandungnya selama sembilan bulan itu selalu menangis is sebuah foto yang telah usang.'Sekuat apapun kau menyembunyikannya, aku sangat paham, Ibu. Bila dalam hatimu menginginkan untuk bisa bertemu dengan Bilal,' Lirih Nadia suatu malam saat dirinya terbangun."Zul, anterin aku ke suatu tempat, yuk!" ajak Nadia suatu hari pada temannya."Kemana?""Ke gunung," jawab Nadia enteng. Membuat Zulfa membelalakan matanya. Dirinya tahu, tempat apa yang dimaksudkan oleh sahabatnya.Gunung, istilah yang orang sekitarnya gunakan untuk menyebutkan daerah yang kini menjadi tempat tinggal Agam."Ogah ah! Aku tidak berani. Apalagi kamu 'kan habis kecelakaan," tolak Ada halus."Tapi aku butuh ke sana, Zul.""Mau nemuin siapa?" tanya Zulfa
Dua kali harus terpukul dengan situasi yang sebenarnya sudah biasa di sekitarnya, tapi Agung abai. Yang pertama, lebih banyak polisi di lingkungan kerjanya yang memiliki etika yang baik, berbudi pekerti luhur dan taat beragama. Sedikit yang memiliki sifat sama seperti dirinya saat belum bertaubat, ia anggap sebagai acuan bahwa kehidupan semua rekan kerjanya seperti itu. Kedua, gadis SMA yang genit ia jadikan tolok ukur untuk memukul rata sifat mereka. Nyatanya, masih banyak dari mereka yang bersikap sopan dan manis layaknya wanita yang belum dewasa."Om!" Panggilan keras dari Nadia membuatnya tersadar dari lamunan."Eh, iya. Apa, Nad? Eh, kita mau kemana?" jawabnya gugup."Om mikirin apa sih? Lha kok nanya kita mau ke mana? Aku mau diajak kemana?""Oh, iya, maaf. Ayo," ajaknya sedaya menghidupkan mesin motor.Nadia membonceng miring karena memakai rok panjang."Kamu mau makan apa, Nad?""Apa aja, tapi yang seger aja, Om. Aku udah maka
“Bagaimana, Nad?” tanya Zulfa saat pagi duduk di kelas menunggu guru datang.“Tidak boleh sama Ibu. Katanya, bagaimanapun Om Agung itu lelaki dewasa dan aku juga bukan anak kecil,” jawab Nadia lesu.“Terus? Bagaimana?”“Apa aku minta tolong Ayah aja ya, buat ngantar?”“Coba aja, itu lebih baik. Dan juga, jaraknya jauh. Kalau kamu ajak ayah kamu ‘kan, bisa pakai mobil. Ibu kamu juga akan lebih tenang.”“Apa Ayah mau, Zul?”“Atau, mama tiri kamu?”“Ah, iya. Kenapa aku tidak kepikiran, ya?”Bel tanda masuk berbunyi. Guru yang terkenal rajin dan galak sudah berada di depan kelas. Seketika, Nadia dan Zulfa terdiam.“Nanti anterin aku ketemu Mama Erina ya, Zul?” bisik Nadia. Sementara Zulfa yang takut dengan sosok pengajar di depan mereka, diam tidak menanggapi.“Nadia! Belum puas ngobrol