Di rumah Tohir terjadi perdebatan antara dirinya dengan sang ibu. Saroh menyalahkan anaknya yang tidak bisa membawa Nadia pulang. Dengan sumpah serapah yang kasar, wanita itu mengutuk Anti. Mantan menantu yang dibencinya.
“Kamu kenapa sih, Tohir? Tidak mau menyeret Nadia pulang?” ketus Saroh kesal.
“Nadia bukan anak yang kecil yang bisa digendong, Bu. Dia menginginkan di rumah Anti maka aku tidak bisa memaksa,”
“Wanita itu akan memberikan pengaruh buruk buat anakmu, Tohir!”
“Bukankah selama ini, Ibu yang sudah memberikan pengaruh buruk buat dia? Bukankah Ibu yang menjadikan Nadia sebagai pembenci?” protes Tohir tidak kalah kesal.
“Tohir, hentikan omong kosong kamu! Ibu ingin yang terbaik buat Nadia.”
“Nyatanya, Nadia merasa tersiksa, Bu. Dia sudah besar, bisa memutuskan segala hal tidak hareus sesuai dengan keinginan Ibu.”
“Erina! Apa kamu sudah mengatakan y
“Mas, ini aku Anti. Jemputlah Nadia untuk pulang ke rumah kamu beberapa hari. Tolong bagaimanapu caranya, kamu buat agar Ibu kamu tidak marah-marah lagi sama dia. Kasihan. Dan satu lagi, berhentilah memberikan tekanan batin dengan doktrinan kotor. Aku ikhlas menerima, tapi sepertinya Nadia terganggu akan hal itu. Perkembangan mentalnya belum cukup siap untuk mendapatkan hal semacam itu,” ucap Anti setelah mendengar Tohir mengucapkan salam.“Baik, aku minta maaf atas nama Ibu, ya?”“Tidak perlu, Mas. Aku sudah terbiasa. Dan satu lagi, ijinkan Nadia bila ingin menginap di sini. Buatlah kebebasan pada dia untuk memilih dengan siapa dia akan tinggal,” ujara Anti lalu berpamitan untuk menutup telepon.Selepas Maghrib, Tohir benar-benar datang menjemput anaknya. Saat itu, Nadia sedang diajak bapak Anti membeli martabak kesukaannya di perempatan jalan depan. Sehingga, membuat kedua insan yang pernah tinggal bersama itu melewati waktu
"Ibu, apa yang Ibu pikirkan saat aku berkata kasar sama Ibu?" tanya Nadia suatu malam saat mereka he dak tidur.Anti membalikkan badan, menatap anak gadis yang wajahnya tertutup anak rambut."Tidak!" jawabnya tulus."Kenapa Ibu tidak marah?""Karena kesalahan Ibu lebih besar sama Nadia." Jawaban yang disampaikan Anti membuatnya tidak bisa berkata lagi. Rasa bersalah kian hadir dalam hati. Melihat ketulusan wanita yang telah melahirkannya."Ibu tidak ingin tahu, kenapa aku berubah?" tanya Nadia lagi."Kenapa?" Anti balik bertanya."Karena seseorang datang menemui aku untuk memberitahu semua kebenaran yang terjadi ketika aku sakit. Ayah dan Mbah sudah membohongi aku tentang semuanya. Lalu, orang itu datang untuk menjelaskan." Kening Anti mengerut, mencoba menebak dalam hati siapa orang itu. Namun, tidak berhasil."Siapa?""Pak Polsi. Dia datang ke sekolah aku. Memberitahu semuanya. Aku pulang dan tanya sama orang rumah, ta
"Hikmah sebuah kesabaran. Allah tidak akan membiarkan seseorang melalui ujiannya tanpa diberi hadiah setelahnya. Mbak Anti ternyata mendapatkan hadiah dengan kembalinya Nadia. Semoga juga, Mbak Anti setelah ini diberikan kesempatan untuk dapat bertemu Bilal." Senyum kecut tergambar jelas di bibir Anti setelah mendengar ucapan doa yang diberikan Umi. Bukan karena tidak ingin mengaminkan, tapi rasanya sesuatu hal yang sangat sulit untuknya. "Aku sudah pasrah kalau yang itu, Umi. Aku sudah membuangnya. Pantas bila Mas Agam tidak akan pernah mengijinkan aku menyentuhnya," lirih Anti putus asa. "Jangan putus asa! Tetaplah berbuat kebaikan, Allah Maha membolak-balikan hati. Siapapun yang dia kehendaki," "Iya, Umi," jawab Anti pasrah tidak ingin berdebat. Lelah berbincang, mereka berdua beranjak pulang. Saat sampai di serambi masjid, samar Anti mendengar seseorang tengah menghafal Surah Al-Kafirun. "W* laa antum aaabiduna ma a'bud. W* laa ana abiduna
Perubahan sikap Agung kian terasa oleh orang-orang di sekitarnya.Perlahan, sikap Anti terhadap lelaki itu semakin melunak. Karena melihat kegigihan Agung untuk berubah menjadi lebih baik.Bukan hal yang mudah untuk memaafkan seorang pembulli. Namun, suatu ketika, kalimat yang disampaikan Agung terasa menohok di hati Anti.Kala itu, mereka berdua kembali tak sengaja bertemu. Tidak sengaja bagi Anti, tapi sengaja bagi Agung. Karena pria itu memang sudah tahu, jadwal Anti keluar dari masjid dan melalui pintu sebelah mana."Anti, apakah kamu membenciku?" Spontan Agung bertanya saat pandangan dan senyumannya selalu tidak dibalas.Anti yang saat itu sedang memakai sandal berhenti sejenak dan menatap pria tegap yang berjarak tiga meter dari tubuhnya."Bullying adalah perilaku yang bisa membuat seseorang merasa kehilangan jati dirinya.""Aku tahu, aku sudah merasa bersalah dan aku minta maaf sama kamu, Anti. Apakah hatimu begitu keras untuk
Tidak berapa lama, Tohir datang dengan mengendarai mobilnya. Nadia langsung berlari memeluk ibunya saat mobil berhenti. "Ayo, istirahat ke kamar," ajak Anti dan membimbing anaknya masuk kamar. "Ibu, bolehkah aku tinggal di sini?" "Ini rumah kamu, Nad. Kapanpun kamu boleh datang. Nanti Ibu bersihkan kamar sebelah, ya? Itu ada ranjang kamu yang Ibu bawa dari rumah lama. Ibu mau menemui Ayah dulu." Nadia mengangguk. Anti segera melangkah ke ruang tamu. "Maafkan aku, Anti. Kamu tahu 'kan, sifat Ibu bagaimana?" ujar Tohir saat mereka bersama. "Iya, Mas, tidak apa. Ini juga rumah Nadia. Aku akan menerima kapanpun dia datang," jawab Anti. "Aku sudah mencari tahu perihal rumah kita dulu sama pihak bank. Ternyata belum ada ya membeli. Aku akan membelinya untuk kalian," "Aku tidak mau, Mas. Itu akan menimbulkan masalah buat aku," "Aku sudah bilang sama Erina. Dan kami sepakat untuk merahasiakan dari Ibu." Lagi, Anti meras
Kedatangan Agung yang sering ke rumah Anti membuat hubungan mereka semakin dekat. Nadia juga semakin akrab dengan Agung, membuat pria itu lebih semangat lagi mendekati ibunya. Namun, hati Anti tetap saja masih ia lindungi untuk tidak pernah tertarik dengan yang namanya lelaki."Anti, apa. kamu memang benar-benar tidak ingin menikah?" tanya Agung suatu sore saat berkunjung ke rumahnya lagi untuk ke sekian kalinya. Anti menjawab dengan gelengan."Aku hanya ingin memperbaiki diri. Tidak berpikir apapun tentang itu,""Memperbaiki diri bukankah bisa dengan menikah? Kamu akan bersama-sama suami kemu beribadah dan saling mengingatkan dalam hal kebaikan.""Kenapa kata-kata kamu sok bijak?" tanya Anti dengan mengerutkan dahi."Itu harapan, bukan kata-kata.""Ya sudah, wujudkan harapan kamu itu agar menjadi kenyataan.""Belum menemukan orangnya,""Cari, dong!""Udah. Tapi dia sepertinya tidak mau," jawab Agung putus asa."I
"Aku harus bagaimana, Umi? Aku takut, bila aku menolaknya dia akan kembali ke lembah hitam yang dulu. Tapi menerimanya juga bukan keinginan hatiku. Sungguh, bukan karena apapun. Aku hanya ingin terus nyaman seperti ini," keluh Anti saat dirinya memutuskan untuk mendiskusikan perihal permintaan Agung dengan Umi."Sholat Istikharah saat malam. Mintalah petunjuk sama Allah, yang terbaik untuk kamu. Mintalah petunjuk untuk memberi jawaban pada Agung. Bila sudah mendapatkan petunjuk dan jawabannya tetap tidak, maka, kamu harus berani bilang dan jangan takut dia berubah. Bila setelah ini Agung berubah dan kembali lagi pada dunia hitamnya, itu pertanda bahwa taubat yang dia lakukan bukan lillah karena Allah. Bukan Hablumminallah, tapi Hablumminannas. Dan itu bukanlah kesalahan kamu," jelas Umi membuat hati Anti lega.Ibu Nadia memeluk wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu kedua sambil terisak. Sungguh dalam hati menyesali pertemuannya dengan Agung. Karena membuat gundah hat
Nadia sangat paham, bila sesungguhnya, jauh dalam lubuk hati ibunya yang terdalam, ada sebuah kesedihan yang sengaja ia tutup rapat-rapat.Gadis remaja itu pun tahu, jika seringkali, wanita yang telah mengandungnya selama sembilan bulan itu selalu menangis is sebuah foto yang telah usang.'Sekuat apapun kau menyembunyikannya, aku sangat paham, Ibu. Bila dalam hatimu menginginkan untuk bisa bertemu dengan Bilal,' Lirih Nadia suatu malam saat dirinya terbangun."Zul, anterin aku ke suatu tempat, yuk!" ajak Nadia suatu hari pada temannya."Kemana?""Ke gunung," jawab Nadia enteng. Membuat Zulfa membelalakan matanya. Dirinya tahu, tempat apa yang dimaksudkan oleh sahabatnya.Gunung, istilah yang orang sekitarnya gunakan untuk menyebutkan daerah yang kini menjadi tempat tinggal Agam."Ogah ah! Aku tidak berani. Apalagi kamu 'kan habis kecelakaan," tolak Ada halus."Tapi aku butuh ke sana, Zul.""Mau nemuin siapa?" tanya Zulfa