Hari pertama Elena di mansion Leon.
“Hei, bangun!”
“Ibu ... Hentikan, aku masih mengantuk,” racau Elena sambil memeluk bantal yang dia pegang lebih erat.
Semalam, Leon melepaskan ikatan yang menjerat tubuh Elena setelah gadis itu tidur. Untungnya, gadis itu tidak bangun. Tetapi Leon heran karena gadis itu sangat santai dan bisa tertidur dalam sekejap.
Elena hanya takut di awal saja, setelah itu sikapnya jadi kurang ajar. Dia tidak peduli dengan semua siksaan yang diterimanya.
Elena perlakuan Leon dengan kalem.
Sialan, dia meremehkannya!
Leon pikir gadis ini masokis makanya dia tenang saja saat ditampar dan dipukul, tetapi tidak, dia meringis kesakitan saat Leon mencoba mematahkan lengan Elena dengan memutarnya wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan adanya ciri bergairah. Dia menunjukkan raut wajah tersiksanya, tak ada emosi aneh yang keluar dari wajahnya selain kesakitan.
Itu menyebalkan!
Dia ingin melihat Elena meraung dan memohon ampun padanya tetapi Elena tidak juga menunjukkan itu padanya.
“Aku bukan ibumu jadi cepat bangun!” perintah Leon dingin.
Elena tidak mengindahkan keberadaan Leon dan meneruskan tidurnya. Leon yang kesal menarik selimut Elena dengan paksa kemudian menyeretnya hingga terjatuh.
“Ah, sial! Pantatku sakit, apa yang kau lakukan, Bu?” teriak Elena kesal.
Mulut gadis itu seketika menutup begitu tahu siapa yang melakukannya. Si Pak Tua gila. Ah, dia lupa jika sekarang dia sedang diculik dan disekap di kamar ini.
“Tuan, kau sudah gila? Kau seharusnya membangunkanku dengan lembut dan bukannya malah menyeretku seperti ini?!” ujarnya menggurui.
Leon tidak memperdulikan ucapan Elena yang terdengar kurang ajar ditelinganya kemudian mengangkat paksa tubuh gadis itu dan membawanya keluar kamar seperti karung beras.
“Hei, Pak Tua! Kau mau bawa aku ke mana? Apa kau mau memukulku lagi, huh? Sudah kubilang aku tidak akan memohon padamu. Aku tidak sudi!”
“Hei! Apa kau tidak mau menjawabku? Apa aku benar? Hah, kau ini sangat kuno. Kenapa aku diculik pria bodoh sepertimu?”
“Aku tidak takut. Kau tidak bisa membuatku takut, kau dengar aku? Yakkkkk!”
Elena berteriak memaki Leon sambil menepuk pantat Leon tetapi pria itu juga tak mau kalah. Dia membalas memukul pantat Elena hingga gadis itu meringis pedih.
'Dia benar-benar Pak Tua sialan!'
Elena membatin kesal.
Para pelayan mengintip dari kejauhan untuk melihat apa yang akan Leon lakukan pada mainannya kali ini. Itu menjadi hiburan tersendiri yang kini banyak disukai, anggap saja mereka sudah ternoda kegilaan Leon.
Orang waras macam apa yang bisa bertahan di rumah ini? Tidak ada!
Mereka semua gila dan diam saja menikmati alunan kesakitan yang terus terdengar setiap harinya tanpa ada niat untuk menolong.
Mereka tidak sudi mempersembahkan nyawa mereka yang berharga untuk dikorbankan pada iblis kejam seperti Leon hanya untuk menyelamatkan orang asing.
“Hoi orang gila, kau mau membawaku ke mana?”
Leon tidak menjawab. Dia menyeret Elena ke tepi kolam kemudian mengikat kaki Elena dengan rantai yang juga terhubung dengan sebuah batu besar.
Otak Elena bekerja dengan cepat.
Oh sial, dia akan dibuang ke kolam renang.
“Tidak, jangan!!” teriaknya panik.
Leon menyeringai sementara Elena melotot karena tak sadar jika baru membeberkan kelemahannya.
“Ah, jadi kau tidak bisa berenang....”
Leon kemudian melempar tubuh Elena ke dalam kolam renang dan menyaksikan gadis itu kelabakan berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.
“Tolong ... bleblebeleb ... Tolong ... Hmhmmpp.”
Elena yang sekarang terlihat sangat lucu dimata Leon, dia berjuang dengan keras untuk keluar dari air padahal dia bilang untuk membunuhnya saja kemarin. Dia sangat yakin jika dia tidak takut mati tetapi apa yang dihadapannya justru sebaliknya.
Dia sangat ingin hidup dan takut pada kematian. Hah, dasar!
Dia tidak suka jika mainannya mengemis untuk mati, dia lebih suka mainannya meminta untuk dilepaskan, itu lebih menarik untuk dilihat karena mereka sangat menyedihkan.
Lolongan putus asa dan jeritan kesedihan yang mengudara adalah alunan melodi terindah untuk yang Leon sukai.
Setelah beberapa saat, tubuh Elena mengambang di air tanpa pergerakan. Leon segera turun kemudian menarik Elena yang pingsan dari dalam kolam dan memberinya napas buatan. Tak lama kemudian Elena bangun dan terbatuk-batuk karena merasakan sesak di bagian dada.
“Oh, kupikir kau akan menyerah dan memilih mati. Ternyata kau berusaha untuk hidup, ya.” Leon mencibir Elena yang masih sibuk mengatur napasnya dengan meraup oksigen sebanyak-banyaknya setelah sesaat hilang dari paru-parunya. “Jalang menyedihkan!”
Elena mengangkat wajahnya dan menampar pipi Leon dengan sekuat tenaga. “Dasar gila!” makinya marah. “Kau benar-benar pria tua gila, sialan!” semburnya kasar.
Leon balas menampar Elena hingga membuat kepala gadis itu tertoleh ke arah kiri. Lagi-lagi rasa panas dan sakit itu kembali dia rasakan.
Leon kemudian menangkup pipi Elena dan mencium kening gadis itu dengan sangat lembut, hal menjijikkan yang membuat Elena semakin ingin membunuhnya. “Terima kasih untuk hiburan pagi yang menyenangkan, cantik,” ujar Leon sambil tersenyum tipis hingga membuatnya semakin terlihat tampan.
Elena yang jijik meludah tepat di muka Leon. “Fuck you, jerk.” Elena memaki dengan serius.
Leon menggeram pelan. Dia balas meludah pada Elena yang hanya ditanggapi gadis itu dengan wajah datar. Leon tak mau mengusap wajahnya dengan tangannya jadi dia langsung berbalik mengambil air kolam untuk membersihkan ludah Elena, gadis itu dengan cepat mendorong Leon hingga terjungkal ke dalam kolam. “Terima kasih juga untuk hiburan pagi yang menyenangkan, tampan,” ejek Elena mengulangi ucapan Leon beberapa saat yang lalu dengan nada sinis yang kental.
Leon berenang ke pinggir kolam dan tertawa. Dia menatap tajam Elena yang sedang berusaha melepaskan diri dari tali rantai yang mengikatnya. Leon segera keluar dari air dan pergi ke dalam.
Pria itu menemui seorang perempuan tua yang sudah lama menjadi kepala pelayan di rumahnya. Dia mengambil handuk dari tangan perempuan itu dan mengusap wajahnya yang basah.
“Eise, urus dia dan pakaikan dress hitam yang ada di lemariku.” Leon mengembalikan handuk itu pada Eise, “Jika kalian sampai menambah luka ke tubuh gadis itu tanpa aku pinta, aku sendiri yang akan mencincang kalian. Perhatikan dia dengan baik!” sindirnya mengingatkan kelakuan para pelayan pada setiap mainannya. “Apa kau dengar yang kukatakan Eise?” ancamnya tajam.
Para pelayan itu menunduk dengan takut. Ternyata kelakuan mereka diketahui oleh tuan mereka. Eise sendiri mendengus sembari menengok ke arah para bawahannya berada.
“Baik, Tuan.”
Mereka menjawab dengan sopan dan bersamaan. Tetapi, siapa yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan?
Provinsi Grosseto, Tuscany, Italia. Pertemuan dua kolega di sebuah rumah kecil namun nyaman yang terbuat dari kayu di daerah peternakan tampak sedikit berbeda dari biasanya. Suasana yang seharusnya menenangkan karena embusan angin segar di sekitar yang di kelilingi pepohonan rindang dan tanah lapang yang luas berwarna hijau tak berlaku, sebab, ketegangan yang mengudara karena salah satu dari mereka mengubah perjanjian yang telah disepakati di pembicaraan pertama. Bagi Leon, kesepakatan seperti itu tidaklah bermoral. Orang yang mudah ingkar janji berarti adalah orang yang bisa berkhianat kapan saja dan itu bukanlah orang yang menyenangkan untuk dihadapi. Leon, pria dengan jas hitam dipadukan kemeja putih bermerek terkenal dan dasi berwarna merah maroon ini tampak tampan. Celana hitam yang agak kecil membuatnya semakin menarik. Dia menyugar rambutnya ke belakang dan tersenyum sinis. Sementara Johan, pria dengan jas putih dengan dibalut kemeja putih motif bunga. "Kau mengubah ke
Suara tembakan menggema kuat di ruangan itu. Peluru dari revolver yang tadi dilontarkan melaju mengenai tepat di ulu hati salah satu penjaga. Dia ambruk dengan mata melotot. Sementara yang lain segera mendekat, memberi perlindungan pada tuannya. "Kau gila, Leon!" sentak Dante sambil melempar pistol lain di sakunya pada pria itu. "Kau selalu saja seperti ini. Apa kau mau aku mati mendadak, hah?" Leon menerima pistol hasil lemparan Dante dan menatapnya datar. "Kau tidak akan mati semudah itu. Tekad bertahan hidupmu jauh lebih besar dariku," balas Leon santai. Mendengar jawaban dari Leon membuat Dante meradang.Sialan! Pria ini sedang menghinanya. Keduanya lantas kembali fokus menembak musuh yang tersisa. Ada sekitar enam orang tersisa sekalian Johan. Salah satu dari mereka berhasil mendekat dan menghantamkan meja kecil pada Leon. Pria itu dengan gagah menangkis serangan darinya menggunakan kursi yang ada di sisinya. "Woah, kau nyaris mati!" celetuk Dante sambil melilit leher seora
Hari kedua di mansion Leon. Leon, pria sinting. Elena semakin memahami makna kata itu. Ratapan kesedihan dan juga permohonan ampun dari korbannya adalah kesukaan Leon. Leon selalu marah saat dia bungkam. Seperti yang terjadi tadi malam. "Kenapa kau tidak memohon padaku, berengsek?! Cepat memohonlah! Kau harus meminta untuk dilepaskan! Jangan terus memintaku untuk membunuhmu, sialan! Kau memuakkan! Akh, dasar jalang kecil yang menjengkelkan!" Usai berteriak seperti itu, Leon menamparnya dengan kuat hingga membuat kepala Elena pusing. Elena yang tak kuasa melawan akhirnya diam dan menutup matanya. Dia memilih untuk tidur dengan tubuh penuh luka ketimbang melihat Leon yang sinting. Sebelum benar-benar terlelap, dia bisa mendengar Leon memakinya berulang kali.Kemudian, dipagi cerah seperti ini, Leon sudah bersiap menyiksanya kembali. Dia membangunkannya secara paksa. "Bangun! Apa kau tuli? Kubilang bangun, sial!" Leon melakukannya dengan kasar. Dia menarik tubuh ringkih Elena dari
Pria itu membawanya menuruni tangga belakang mansion menuju lapangan terbuka. Elena reflek mengangkat tangannya untuk menutupi matanya karena silau, sudah dua hari ini dia tidak melihatnya. Elena mengedipkan matanya dan berjalan dengan terseok-seok menahan rasa sakit karena Leon menyeretnya dengan tidak berperasaan. Yah, memang sejak kapan Pak Tua itu punya hati? Bukankah dia itu manusia tanpa hati yang melakukan apapun demi kepuasan dirinya sendiri? Elena menganga melihat pagar besi yang besar terpasang melingkar dengan diameter yang lebar, mungkin sekitar empat puluh lima meter atau lebih. Didalamnya tumbuh pohon-pohon besar dan dibawah ada beberapa batang pohon tergeletak sementara bagian depan ada sungai dengan jembatan kecil sebagai penghubung. Tempat itu juga dipasang atap, mirip seperti kurungan super besar. Perasaan Elena tidak enak.Dia melirik Leon yang tersenyum. “Aku ingin memperkenalkanmu pada dua temanku, Nona.” Leon membuka kandang itu dan mendesak Elena untuk mas
Mimpi, sebuah angan atau gambaran visual yang tercipta di saat kita sedang tertidur. Sulit di jelaskan makna sebenarnya apa itu mimpi. Namun, yang pasti selain dari imajinasi yang kita miliki, mimpi juga bisa tercipta akibat kenangan di masa lalu. Mimpi yang berasal dari ikatan kenangan justru lebih mengerikan dari semua mimpi yang di miliki. Baik itu buruk ataupun baik. Mimpi baik akan membuat suasana hati menjadi membuncah dan terkadang lupa jika itu terjadi dulu hingga tak bisa terulang kembali. Kemudian saat mimpi itu buruk maka efeknya akan timbul secara berlebihan dan cukup merepotkan. Sama seperti yang kini di alami Leon. Pria itu baru menutup matanya beberapa menit namun kilasan menyakitkan yang terjadi padanya dulu timbul begitu saja. Hal ini membuatnya merasakan sakit kepala dan juga kelelahan akibat napasnya yang terengah sebab melakukan respirasi terlalu cepat. Jantungnya berdebar dengan kecepatan tidak normal dan berhasil menyakitinya. Dia mengusap kasar wajahnya d
Elena tersenyum, dia tertawa, dan tak lama kemudian berteriak. Dia melotot ke arah para pengemis yang melihatnya dengan pandangan kasihan. Oh, ayolah! Keadaannya jauh lebih mengenaskan dari mereka.Jika mereka hanya berpakaian kusam dan kumal. Elena jauh dari itu. Selain pakaiannya yang kotor, wajah yang berantakan, kedua tangannya juga terikat dengan tali yang cukup kuat.Kakinya dirantai. Walaupun dia bisa berjalan dengan baik, tetapi, dia tak jauh berbeda dari pasien yang melarikan diri dari rumah sakit jiwa."Berengsek, Pak Tua sialan! Aku akan membunuhnya! Akan kupukul wajahnya sampai cacat dan dia tidak akan bisa lagi disebut pria tampan! Dia hanya bajingan yang harus dimusnahkan!"Elena menggeram pelan. Dia menyugar rambutnya dengan kesulitan dan mengembuskan napas kesal.Ingatannya terlempar ke beberapa saat yang lalu. Saat pert
Ada dua hal yang tidak pernah Elena lepaskan jika sudah dia miliki. Pertama adalah uang, yang kedua adalah makanan. Dia tidak akan membiarkan siapapun merebut miliknya. Tetapi, sekarang. Segerombol pria tidak berotak sedang mengerubunginya dan ingin merebut keduanya dari dia. Hah! Enak saja! Elena tidak akan menyerahkannya begitu saja, sial. Dia sudah menderita begitu banyak sebelumnya dan sekarang dengan seenak jidat mereka mau mengambil miliknya? Wah, mereka memang mencari mati. "Pergi! Kalian tidak akan mendapat apapun di sini!" usirnya sambil memasukkan sepotong pizza besar ke mulutnya. "Tidak ada uang atau makanan yang bisa kalian dapatkan di sini. Aku miskin!" teriaknya lantang. "Ci stai sfidando?!" (Apa kamu menantang kami?!) "Hah? Can't you speak English? I don't understand!" sela Elena tidak mengerti. "Ci ha deriso tutti. Prendiamolo da
'Tidak! Kumohon jangan! Jangan lakukan apapun padaku. Tidak! Tuhan, tolong aku!'Elena terus menjerit dalam hati dan menutup matanya rapat-rapat setiap kali mereka mengelus tubuhnya dan mengamatinya sembari memegang kemaluan mereka sendiri."Cantik, cantik, dia cantik sekali.""Kulitnya juga lembut dan juga wangi.""Oh, aku ingin merasakan tubuh indahnya, berengsek.""Ah ... Sial, sial, sial! Aku keluar ... Ah!"Mereka mengeluarkan cairan tubuh mereka secara bersamaan ke tubuh atas Elena sembari mengerang senang.Mereka tentu saja sedang terburu-buru ingin menyicipi Elena tetapi, mereka harus tetap mempertahankan kewarasannya agar mereka bisa menikmatinya dengan puas. Sudah lama sekali mereka tidak melakukan ini dan sekarang, kesempatan itu hadir kembali.Mereka menemukan berlian yang dibuang oleh pemili
Pesta yang dia hadiri kali ini jauh berbeda dari kebanyakan pesta anak-anak muda yang dia datangi. Semua orang di tempat ini memakai pakaian formal dengan tema gelap dan tidak menonjol. Tidak ada satupun orang yang memakai aksesoris mencolok seperti berwarna pink atau kuning cerah. Nyaris semua memakai serba hitam dan merah maroon, atu ada juga biru gelap dan abu-abu.Elena tanpa sadar menaikkan sudut bibirnya sinis. Orang-orang ini sama sekali tidak ada yang menikmati pesta, begitu yang dia simpulkan.Mereka semua berbicara serius, dengan suasana yang menegangkan, dan tidak ada hiburan sama sekali.Musik pestanya pun terlalu pelan, hanya ada dansa-dansa kecil yang dilakukan di lantai dansa."Hoam ... Ini membosankan," komentar Elena di samping Leon.Ketiga pria yang sedang berbincang dengan Leon melirik Elena. Gadis itu tersenyum tipis dan mengangka
Satu minggu.Kebebasan itu terasa sangat singkat dan juga cepat. Elena menikmati hidupnya di pedesaan yang terletak di pinggir Kota entah di mana ini.Saat ini dia tinggal di sebuah rumah kecil yang dihuni oleh sepasang suami istri. Begitu dia menyebutkan nama Leon, entah mengapa mereka sedikit takut padanya. Tapi, mereka tetap berbuat baik padanya. Elena tidak menyangka jika pamor Leon sampai di tempat terpencil ini. Tapi tentu saja bukan pamor yang baik. Dia tak lebih dari berandal sinting yang menyebalkan. Mungkin, itu yang akan orang-orang katakan jika mereka berani. "Kuharap dia cepat mati," bisik Elena sambil mengangkat segelas kopi susu hangat di tangannya. Tatapannya tertuju pada pemandangan sore hari yang indah. Waktu-waktu menyenangkan yang sudah lama tak dia nikmati karena penculikan sialan ini. "Sepertinya harapanmu tidak akan terwujud dalam waktu dekat."Elena tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang baru saja bersuara. Dia sangat mengenali nada rendah dan serak yang
"Aku bukan Diana.""Apa? Apa yang kau katakan, sayang?""Aku bukan Diana!" ulang Elena sekali lagi dengan penuh penekanan."Tidak, tidak, itu tidak mungkin. Kau adalah Diana. Kekasihku, cintaku, dan calon ibu dari anak-anakku! Kau ... Kau milikku!" seru pria itu posesif.Elena menggeram pelan. Dia membiarkan Leon menggerayangi tubuhnya dengan bibirnya yang panas, kemudian melemas dan memeluknya dengan erat setelah beberapa saat.Ah, kesempatan. Gadis itu mendorong Leon kemudian menampar pipinya dengan kuat.Plak! Elena menampar pria itu hingga menjauh ke belakang."Hah ... Apa?" Dia kaget, tapi tidak sadar juga. Dia terlihat bodoh.Elena berhasil mengatasi rasa takutnya. Kebencian yang mendalam membuatnya berani untuk melawan. Pria ini. Orang sialan ini yang membawanya ke tempat ini. Dia menculiknya, menyiksanya, melecehkannya, dan membuatnya tak berdaya. "Sayang ... Diana. Kenapa kau ...."Leon sepertinya memang mabuk berat karena pria itu langsung ambruk begitu saja di lantai se
Karen Valentine Parvez. Seorang perempuan paruh baya yang memiliki tatanan terkuat di keluarga Parvez setelah ibu mertuanya meninggal. Dia mewarisi gelar sebagai menantu dan ibu terbaik di kalangan masyarakat kelas atas. Dia adalah sosok yang dipuja dan juga menjadi panutan.Sayangnya, hal itu jauh dari kebenaran yang ada. Dia tak lebih dari sekedar seorang perempuan tua yang gila harta dan juga kehormatan. Dia ingin semua orang memandangnya dengan hormat dan tidak berani meremehkannya.Seorang ibu yang kejam dan juga tega dengan darah dagingnya sendiri. Dia orang yang berhati dingin dan sanggup menghancurkan anaknya dengan membunuh orang yang dicintainya tepat dihadapannya."Kudengar anda memanggil saya." Leon yang baru saja tiba duduk di hadapan ibunya dengan tenang. Dia membuka dua kancing atasnya dan melampirkan jasnya. Duduk dengan menyandarkan punggungnya dan terlihat berusaha mencari tempat nyaman untuk menghilangkan rasa amarah yang sedari tadi membara semenjak menginjakkan ka
"Kita cari jalan alternatif lain. Pasar Rusia harus kita tembus apapun yang terjadi." "Tapi, Tuan Dante. Kami memiliki masalah dengan perbatasan. Mereka sangat sulit diajak untuk berbicara.""Lakukan saja seperti apa yang kukatakan. Kenapa kau selalu saja berbicara omong kosong?! Jika mereka tidak mau bicara, kau culik dan bunuh saja serangga yang mengganggu, berengsek! Berhenti membuatku sakit kepala!" Dante berteriak marah. Dia melempar gelas yang dipegangnya ke lantai dengan emosi. "Sialan. Kenapa mereka semua bodoh sekali? Apa mereka hanya akan bekerja jika aku memukul dan menendang pantat mereka?""Terlebih lagi aku harus mengurus Leon yang temperamental! Sialan, aku benci pekerjaanku!"Dante mengambil rokok dari balik jas hitamnya dan mematiknya, meniup asap tipis hingga membumbung tebal di udara. "Kali ini dia mau berbuat apa?" Lirihnya sambil menatap keluar jendela dengan malas. "Aku sedang malas membersihkan kegilaannya malam ini."Sementara Leon yang dibicarakan sedang du
Terlalu banyak menangis membuat Elena kelelahan. Matanya terlihat sembab. Fisik dan mentalnya sangat letih juga berantakan membuatnya kehilangan kesadarannya dalam pelukan Leon.Elena sangat pulas, dia bahkan tidak terlihat terganggu ketika Leon dengan lembut mengusapkan air ke tubuhnya.Leon memandikan Elena! Wow, dia bahkan melakukannya dengan hati-hati!Luar biasa. Bagi laki-laki sehat seperti Leon, ini adalah tantangan terbesarnya. Tetapi, dia baik-baik saja dan tidak terlihat ingin menuntaskan imajinasi liarnya pada gadis itu. Bahkan, dia terlihat menikmati memandikan Elena yang seperti bayi besar.Tangan besar Leon menyusuri leher, tengkuk, hingga kemudian jatuh ke bagian dada Elena. Dia mengusapnya pelan dan membuat Elena melenguh pelan.Leon menatap Elena dengan sebal. "Jangan mengerang berengsek. Kau masih kotor!" desis Leon tidak suka.&
'Tidak! Kumohon jangan! Jangan lakukan apapun padaku. Tidak! Tuhan, tolong aku!'Elena terus menjerit dalam hati dan menutup matanya rapat-rapat setiap kali mereka mengelus tubuhnya dan mengamatinya sembari memegang kemaluan mereka sendiri."Cantik, cantik, dia cantik sekali.""Kulitnya juga lembut dan juga wangi.""Oh, aku ingin merasakan tubuh indahnya, berengsek.""Ah ... Sial, sial, sial! Aku keluar ... Ah!"Mereka mengeluarkan cairan tubuh mereka secara bersamaan ke tubuh atas Elena sembari mengerang senang.Mereka tentu saja sedang terburu-buru ingin menyicipi Elena tetapi, mereka harus tetap mempertahankan kewarasannya agar mereka bisa menikmatinya dengan puas. Sudah lama sekali mereka tidak melakukan ini dan sekarang, kesempatan itu hadir kembali.Mereka menemukan berlian yang dibuang oleh pemili
Ada dua hal yang tidak pernah Elena lepaskan jika sudah dia miliki. Pertama adalah uang, yang kedua adalah makanan. Dia tidak akan membiarkan siapapun merebut miliknya. Tetapi, sekarang. Segerombol pria tidak berotak sedang mengerubunginya dan ingin merebut keduanya dari dia. Hah! Enak saja! Elena tidak akan menyerahkannya begitu saja, sial. Dia sudah menderita begitu banyak sebelumnya dan sekarang dengan seenak jidat mereka mau mengambil miliknya? Wah, mereka memang mencari mati. "Pergi! Kalian tidak akan mendapat apapun di sini!" usirnya sambil memasukkan sepotong pizza besar ke mulutnya. "Tidak ada uang atau makanan yang bisa kalian dapatkan di sini. Aku miskin!" teriaknya lantang. "Ci stai sfidando?!" (Apa kamu menantang kami?!) "Hah? Can't you speak English? I don't understand!" sela Elena tidak mengerti. "Ci ha deriso tutti. Prendiamolo da
Elena tersenyum, dia tertawa, dan tak lama kemudian berteriak. Dia melotot ke arah para pengemis yang melihatnya dengan pandangan kasihan. Oh, ayolah! Keadaannya jauh lebih mengenaskan dari mereka.Jika mereka hanya berpakaian kusam dan kumal. Elena jauh dari itu. Selain pakaiannya yang kotor, wajah yang berantakan, kedua tangannya juga terikat dengan tali yang cukup kuat.Kakinya dirantai. Walaupun dia bisa berjalan dengan baik, tetapi, dia tak jauh berbeda dari pasien yang melarikan diri dari rumah sakit jiwa."Berengsek, Pak Tua sialan! Aku akan membunuhnya! Akan kupukul wajahnya sampai cacat dan dia tidak akan bisa lagi disebut pria tampan! Dia hanya bajingan yang harus dimusnahkan!"Elena menggeram pelan. Dia menyugar rambutnya dengan kesulitan dan mengembuskan napas kesal.Ingatannya terlempar ke beberapa saat yang lalu. Saat pert