Pria itu membawanya menuruni tangga belakang mansion menuju lapangan terbuka. Elena reflek mengangkat tangannya untuk menutupi matanya karena silau, sudah dua hari ini dia tidak melihatnya.
Elena mengedipkan matanya dan berjalan dengan terseok-seok menahan rasa sakit karena Leon menyeretnya dengan tidak berperasaan.
Yah, memang sejak kapan Pak Tua itu punya hati? Bukankah dia itu manusia tanpa hati yang melakukan apapun demi kepuasan dirinya sendiri?
Elena menganga melihat pagar besi yang besar terpasang melingkar dengan diameter yang lebar, mungkin sekitar empat puluh lima meter atau lebih.
Didalamnya tumbuh pohon-pohon besar dan dibawah ada beberapa batang pohon tergeletak sementara bagian depan ada sungai dengan jembatan kecil sebagai penghubung.
Tempat itu juga dipasang atap, mirip seperti kurungan super besar. Perasaan Elena tidak enak.
Dia melirik Leon yang tersenyum.
“Aku ingin memperkenalkanmu pada dua temanku, Nona.” Leon membuka kandang itu dan mendesak Elena untuk masuk ke dalam. “Nox, Kei, kalian memiliki pengunjung hari ini. Bergembiralah,” ujar Leon pada sepasang singa yang tiba-tiba menyeruak dari pepohonan rimbun.
Jantung Elena seketika berdegup kencang. Keringat dingin membasahi dahi dan lehernya. Kakinya gemetar dan bola mata cokelatnya nyaris keluar karena memelototi binatang buas yang berjalan kearahnya. Tatapannya yang tajam dan siap menerkam membuat nyalinya menciut drastis.
“P-pak Tua, jangan begini,” ratap Elena gagap.
Leon tersenyum.
Dia melambaikan pada Nox, sang singa jantan yang memiliki rupa sempurna. Bulu-bulunya yang tertata rapi dan lembut, gigi-giginya yang tajam dan tampak siap mengoyak daging membuat aura pemangsa mengudara. Jangan lupakan juga kuku-kukunya yang tajam itu.
Nox adalah singa yang tampan. Sementara Kei, singa betina itu memiliki bulu mata yang lentik dan menawan. Dia tidak terlihat beringas seperti Nox, malah dia seperti singa bangsawan yang anggun.
Penampilan mereka yang mempesona berbanding terbalik dengan Elena yang merosot sambil mencengkeram tiang besi kurungan. Wajahnya pucat pasi.
Dia ketakutan!
Gila!
Orang normal macam apa yang akan santai jika dihadapkan pada sepasang pemangsa daging yang liar seperti mereka. Batin Elena terpecut. Keinginannya akhirnya terkabul. Dia akan mati.
“P-pak Tua,” lirih Elena sekali lagi.
“Kubilang memohonlah ampun padaku dan bukannya malah memakiku seperti itu! Dasar jalang kecil tidak tahu diri.”
“Tapi kau memang sudah tua,” kilah Elena kurang ajar.
Leon mendengus. Dia berjalan menjauh dan meninggalkan Elena yang diserang panik saat hewan buas itu berjalan mendekatinya.
“Oh, oh, tidak! Pak Tua! Apa yang kau lakukan?! Jangan tinggalkan aku di sini, hei! Yak! Kurang ajar! Dasar pria gila! Sialan kau, aku akan menghantuimu sampai kau mati! Kau dengar aku? Hoi! YAK!!!!” jerit Elena tidak karuan.
Leon mengabaikan teriakan Elena dan tetap melangkah dengan santai kembali ke mansionnya.
Leon bertemu dengan Dante yang melirik ke belakang. “Kau meninggalkannya dengan kedua singamu? Sungguh?” tanya Dante sedikit terkejut. “Hidup-hidup? Kupikir kau akan memberikan tubuhnya setelah dia mati,” singgung Dante tidak mengerti.
Leon melewati Dante dan duduk di sofa besar mewah berwarna putih.
Sofa Natuzzi King–sofa dengan konsep klasik dengan desain yang diusung bukan desain main-main, namun desain dengan tingkat ketelitian dan kesempurnaan yang tinggi. Berbahan kulit asli khas dari Italia, bodi sofa bakal di percantik dengan keberadaan bagian backrest yang dirancang secara handmade oleh perajin kulit ternama di Italy.
Prosesnya yang rumit dan handmade inilah yang membuat harga sofa ini berada dalam kategori termahal dibanding sofa lainnya. Harganya bahkan mencapai 70-85 juta atau sekitar empat ribu euro.
Leon menuang wine Russo baltique yang di ambil Dante dari ruang anggur di bawah mansionnya dan menyesapnya perlahan. Matanya melirik keluar, menatap suasana pagi hari yang cerah. “Aku memberinya pelajaran karena dia menyebalkan.”
Dante mendekat dan menatap Leon intens. “Menyebalkan? Kau merasa dia menyebalkan? Wow, astaga! Selama dua puluh tujuh tahun kau hidup, akhirnya kau bilang ada orang menyebalkan selain aku. Ini bagus, Leon. Kau menemukannya!” papar Dante semangat.
Leon meliriknya.
“Benar sekali! Dia yang akan mengubah duniamu."
"Aku tidak sabar melihatmu berubah menjadi pria bertanggung jawab yang memiliki keluarga. Itu sangat menarik, Le.”
“Kau mau mati?” desis Leon dingin.
“Aku serius, Leon. Kau pasti akan menyukainya. Cobalah untuk lebih ramah, jangan kasar seperti ini. Gadis itu pasti akan memberikan warna di hidupmu yang serba hitam.”
Leon mengambil bantal sofa di sisinya dan memukul Dante. “Pergilah, sial! Kau menggangguku!” dengus Leon sebal.
Dante tersenyum lebar dan mengacungkan jempolnya. “Semangat!”
“KUBILANG PERGI ATAU AKU AKAN MEMBUNUHMU SEKARANG, DANTE!”
Dante lari terbirit-birit sambil tertawa lebar. Melihat wajah kesal Leon memang menyenangkan. Sementara Leon yang ditinggalkan berusaha keras mengendalikan emosinya yang meluap. Bersama Dante memang hanya membuatnya kesal saja. Pria itu tidak menyenangkan untuk diajak bicara.
Leon melirik ke belakang dan membuang wajah malas. “Bau tubuhnya yang menyelamatkannya,” gumamnya pelan lalu pergi ke ruang kerja.
Dia harus menyelesaikan laporannya pada Sean, bos besar sekaligus penerus kerajaan bisnis keluarga Benigno.
Sementara di sisi lain, Elena menahan tangis ketika mereka berjarak satu langkah di depannya. Hidung mereka bergerak mengendus dan membuat Elena semakin ketakutan.
“Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan? Astaga, bagaimana bisa aku berakhir seperti ini? Bagaimana bisa gadis populer sepertiku mati ditangan singa sepertinya? Ini tidak adil! Ini sangat tidak adil! Pria tua sialan! Seharusnya aku menendang biji miliknya sampai pecah. Seharusnya kubuat dia menyesal karena telah menculikku. Tapi apa yang bisa kulakukan? Aku tidak bisa melakukan apapun, huaaaa ....” ujar Elena berisik.
“Kakak, Katya, Ibu, Ayah, Tuhan, maafkan aku. Kumohon ampuni semua kesalahanku. Katya, maaf karena menjadi teman yang buruk. Sebenarnya aku yang selalu membuat rok pendekmu itu sobek. Aku kesal dengan model yang kau pilih, kau mirip jalang.”
“Kakak, terima kasih untuk nasihatmu. Aku bisa bersenang-senang dengan bebas. Tapi karena janjiku padamu aku tidak bisa bercinta dengan orang yang kusukai. Ini salahmu yang membuatku mati dalam keadaan perawan seperti ini. Padahal aku ingin menikmati rasanya bercinta ... Kau harus bertanggung jawab, karena itu aku akan memukulmu saat di Surga nanti.”
Elena mengusap air matanya.
“Ibu ayah, kalian berengsek. Aku benci kalian. Terus saja bekerja sampai tulang kalian patah, aku tidak peduli.”
“Tuhan, aku tidak pernah pergi ke gereja. Maksudku saat beranjak dewasa. Aku hamba yang buruk, tetapi tidak apa-apa bukan? Kau akan mengampuniku, 'kan? Kau baik' kan? Jadi, buat aku bersama kakakku, ya.”
Elena terisak semakin keras saat singa jantan itu menyentuh lengannya.
"Baik, selamat tinggal dunia!"
Mimpi, sebuah angan atau gambaran visual yang tercipta di saat kita sedang tertidur. Sulit di jelaskan makna sebenarnya apa itu mimpi. Namun, yang pasti selain dari imajinasi yang kita miliki, mimpi juga bisa tercipta akibat kenangan di masa lalu. Mimpi yang berasal dari ikatan kenangan justru lebih mengerikan dari semua mimpi yang di miliki. Baik itu buruk ataupun baik. Mimpi baik akan membuat suasana hati menjadi membuncah dan terkadang lupa jika itu terjadi dulu hingga tak bisa terulang kembali. Kemudian saat mimpi itu buruk maka efeknya akan timbul secara berlebihan dan cukup merepotkan. Sama seperti yang kini di alami Leon. Pria itu baru menutup matanya beberapa menit namun kilasan menyakitkan yang terjadi padanya dulu timbul begitu saja. Hal ini membuatnya merasakan sakit kepala dan juga kelelahan akibat napasnya yang terengah sebab melakukan respirasi terlalu cepat. Jantungnya berdebar dengan kecepatan tidak normal dan berhasil menyakitinya. Dia mengusap kasar wajahnya d
Elena tersenyum, dia tertawa, dan tak lama kemudian berteriak. Dia melotot ke arah para pengemis yang melihatnya dengan pandangan kasihan. Oh, ayolah! Keadaannya jauh lebih mengenaskan dari mereka.Jika mereka hanya berpakaian kusam dan kumal. Elena jauh dari itu. Selain pakaiannya yang kotor, wajah yang berantakan, kedua tangannya juga terikat dengan tali yang cukup kuat.Kakinya dirantai. Walaupun dia bisa berjalan dengan baik, tetapi, dia tak jauh berbeda dari pasien yang melarikan diri dari rumah sakit jiwa."Berengsek, Pak Tua sialan! Aku akan membunuhnya! Akan kupukul wajahnya sampai cacat dan dia tidak akan bisa lagi disebut pria tampan! Dia hanya bajingan yang harus dimusnahkan!"Elena menggeram pelan. Dia menyugar rambutnya dengan kesulitan dan mengembuskan napas kesal.Ingatannya terlempar ke beberapa saat yang lalu. Saat pert
Ada dua hal yang tidak pernah Elena lepaskan jika sudah dia miliki. Pertama adalah uang, yang kedua adalah makanan. Dia tidak akan membiarkan siapapun merebut miliknya. Tetapi, sekarang. Segerombol pria tidak berotak sedang mengerubunginya dan ingin merebut keduanya dari dia. Hah! Enak saja! Elena tidak akan menyerahkannya begitu saja, sial. Dia sudah menderita begitu banyak sebelumnya dan sekarang dengan seenak jidat mereka mau mengambil miliknya? Wah, mereka memang mencari mati. "Pergi! Kalian tidak akan mendapat apapun di sini!" usirnya sambil memasukkan sepotong pizza besar ke mulutnya. "Tidak ada uang atau makanan yang bisa kalian dapatkan di sini. Aku miskin!" teriaknya lantang. "Ci stai sfidando?!" (Apa kamu menantang kami?!) "Hah? Can't you speak English? I don't understand!" sela Elena tidak mengerti. "Ci ha deriso tutti. Prendiamolo da
'Tidak! Kumohon jangan! Jangan lakukan apapun padaku. Tidak! Tuhan, tolong aku!'Elena terus menjerit dalam hati dan menutup matanya rapat-rapat setiap kali mereka mengelus tubuhnya dan mengamatinya sembari memegang kemaluan mereka sendiri."Cantik, cantik, dia cantik sekali.""Kulitnya juga lembut dan juga wangi.""Oh, aku ingin merasakan tubuh indahnya, berengsek.""Ah ... Sial, sial, sial! Aku keluar ... Ah!"Mereka mengeluarkan cairan tubuh mereka secara bersamaan ke tubuh atas Elena sembari mengerang senang.Mereka tentu saja sedang terburu-buru ingin menyicipi Elena tetapi, mereka harus tetap mempertahankan kewarasannya agar mereka bisa menikmatinya dengan puas. Sudah lama sekali mereka tidak melakukan ini dan sekarang, kesempatan itu hadir kembali.Mereka menemukan berlian yang dibuang oleh pemili
Terlalu banyak menangis membuat Elena kelelahan. Matanya terlihat sembab. Fisik dan mentalnya sangat letih juga berantakan membuatnya kehilangan kesadarannya dalam pelukan Leon.Elena sangat pulas, dia bahkan tidak terlihat terganggu ketika Leon dengan lembut mengusapkan air ke tubuhnya.Leon memandikan Elena! Wow, dia bahkan melakukannya dengan hati-hati!Luar biasa. Bagi laki-laki sehat seperti Leon, ini adalah tantangan terbesarnya. Tetapi, dia baik-baik saja dan tidak terlihat ingin menuntaskan imajinasi liarnya pada gadis itu. Bahkan, dia terlihat menikmati memandikan Elena yang seperti bayi besar.Tangan besar Leon menyusuri leher, tengkuk, hingga kemudian jatuh ke bagian dada Elena. Dia mengusapnya pelan dan membuat Elena melenguh pelan.Leon menatap Elena dengan sebal. "Jangan mengerang berengsek. Kau masih kotor!" desis Leon tidak suka.&
"Kita cari jalan alternatif lain. Pasar Rusia harus kita tembus apapun yang terjadi." "Tapi, Tuan Dante. Kami memiliki masalah dengan perbatasan. Mereka sangat sulit diajak untuk berbicara.""Lakukan saja seperti apa yang kukatakan. Kenapa kau selalu saja berbicara omong kosong?! Jika mereka tidak mau bicara, kau culik dan bunuh saja serangga yang mengganggu, berengsek! Berhenti membuatku sakit kepala!" Dante berteriak marah. Dia melempar gelas yang dipegangnya ke lantai dengan emosi. "Sialan. Kenapa mereka semua bodoh sekali? Apa mereka hanya akan bekerja jika aku memukul dan menendang pantat mereka?""Terlebih lagi aku harus mengurus Leon yang temperamental! Sialan, aku benci pekerjaanku!"Dante mengambil rokok dari balik jas hitamnya dan mematiknya, meniup asap tipis hingga membumbung tebal di udara. "Kali ini dia mau berbuat apa?" Lirihnya sambil menatap keluar jendela dengan malas. "Aku sedang malas membersihkan kegilaannya malam ini."Sementara Leon yang dibicarakan sedang du
Karen Valentine Parvez. Seorang perempuan paruh baya yang memiliki tatanan terkuat di keluarga Parvez setelah ibu mertuanya meninggal. Dia mewarisi gelar sebagai menantu dan ibu terbaik di kalangan masyarakat kelas atas. Dia adalah sosok yang dipuja dan juga menjadi panutan.Sayangnya, hal itu jauh dari kebenaran yang ada. Dia tak lebih dari sekedar seorang perempuan tua yang gila harta dan juga kehormatan. Dia ingin semua orang memandangnya dengan hormat dan tidak berani meremehkannya.Seorang ibu yang kejam dan juga tega dengan darah dagingnya sendiri. Dia orang yang berhati dingin dan sanggup menghancurkan anaknya dengan membunuh orang yang dicintainya tepat dihadapannya."Kudengar anda memanggil saya." Leon yang baru saja tiba duduk di hadapan ibunya dengan tenang. Dia membuka dua kancing atasnya dan melampirkan jasnya. Duduk dengan menyandarkan punggungnya dan terlihat berusaha mencari tempat nyaman untuk menghilangkan rasa amarah yang sedari tadi membara semenjak menginjakkan ka
"Aku bukan Diana.""Apa? Apa yang kau katakan, sayang?""Aku bukan Diana!" ulang Elena sekali lagi dengan penuh penekanan."Tidak, tidak, itu tidak mungkin. Kau adalah Diana. Kekasihku, cintaku, dan calon ibu dari anak-anakku! Kau ... Kau milikku!" seru pria itu posesif.Elena menggeram pelan. Dia membiarkan Leon menggerayangi tubuhnya dengan bibirnya yang panas, kemudian melemas dan memeluknya dengan erat setelah beberapa saat.Ah, kesempatan. Gadis itu mendorong Leon kemudian menampar pipinya dengan kuat.Plak! Elena menampar pria itu hingga menjauh ke belakang."Hah ... Apa?" Dia kaget, tapi tidak sadar juga. Dia terlihat bodoh.Elena berhasil mengatasi rasa takutnya. Kebencian yang mendalam membuatnya berani untuk melawan. Pria ini. Orang sialan ini yang membawanya ke tempat ini. Dia menculiknya, menyiksanya, melecehkannya, dan membuatnya tak berdaya. "Sayang ... Diana. Kenapa kau ...."Leon sepertinya memang mabuk berat karena pria itu langsung ambruk begitu saja di lantai se
Pesta yang dia hadiri kali ini jauh berbeda dari kebanyakan pesta anak-anak muda yang dia datangi. Semua orang di tempat ini memakai pakaian formal dengan tema gelap dan tidak menonjol. Tidak ada satupun orang yang memakai aksesoris mencolok seperti berwarna pink atau kuning cerah. Nyaris semua memakai serba hitam dan merah maroon, atu ada juga biru gelap dan abu-abu.Elena tanpa sadar menaikkan sudut bibirnya sinis. Orang-orang ini sama sekali tidak ada yang menikmati pesta, begitu yang dia simpulkan.Mereka semua berbicara serius, dengan suasana yang menegangkan, dan tidak ada hiburan sama sekali.Musik pestanya pun terlalu pelan, hanya ada dansa-dansa kecil yang dilakukan di lantai dansa."Hoam ... Ini membosankan," komentar Elena di samping Leon.Ketiga pria yang sedang berbincang dengan Leon melirik Elena. Gadis itu tersenyum tipis dan mengangka
Satu minggu.Kebebasan itu terasa sangat singkat dan juga cepat. Elena menikmati hidupnya di pedesaan yang terletak di pinggir Kota entah di mana ini.Saat ini dia tinggal di sebuah rumah kecil yang dihuni oleh sepasang suami istri. Begitu dia menyebutkan nama Leon, entah mengapa mereka sedikit takut padanya. Tapi, mereka tetap berbuat baik padanya. Elena tidak menyangka jika pamor Leon sampai di tempat terpencil ini. Tapi tentu saja bukan pamor yang baik. Dia tak lebih dari berandal sinting yang menyebalkan. Mungkin, itu yang akan orang-orang katakan jika mereka berani. "Kuharap dia cepat mati," bisik Elena sambil mengangkat segelas kopi susu hangat di tangannya. Tatapannya tertuju pada pemandangan sore hari yang indah. Waktu-waktu menyenangkan yang sudah lama tak dia nikmati karena penculikan sialan ini. "Sepertinya harapanmu tidak akan terwujud dalam waktu dekat."Elena tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang baru saja bersuara. Dia sangat mengenali nada rendah dan serak yang
"Aku bukan Diana.""Apa? Apa yang kau katakan, sayang?""Aku bukan Diana!" ulang Elena sekali lagi dengan penuh penekanan."Tidak, tidak, itu tidak mungkin. Kau adalah Diana. Kekasihku, cintaku, dan calon ibu dari anak-anakku! Kau ... Kau milikku!" seru pria itu posesif.Elena menggeram pelan. Dia membiarkan Leon menggerayangi tubuhnya dengan bibirnya yang panas, kemudian melemas dan memeluknya dengan erat setelah beberapa saat.Ah, kesempatan. Gadis itu mendorong Leon kemudian menampar pipinya dengan kuat.Plak! Elena menampar pria itu hingga menjauh ke belakang."Hah ... Apa?" Dia kaget, tapi tidak sadar juga. Dia terlihat bodoh.Elena berhasil mengatasi rasa takutnya. Kebencian yang mendalam membuatnya berani untuk melawan. Pria ini. Orang sialan ini yang membawanya ke tempat ini. Dia menculiknya, menyiksanya, melecehkannya, dan membuatnya tak berdaya. "Sayang ... Diana. Kenapa kau ...."Leon sepertinya memang mabuk berat karena pria itu langsung ambruk begitu saja di lantai se
Karen Valentine Parvez. Seorang perempuan paruh baya yang memiliki tatanan terkuat di keluarga Parvez setelah ibu mertuanya meninggal. Dia mewarisi gelar sebagai menantu dan ibu terbaik di kalangan masyarakat kelas atas. Dia adalah sosok yang dipuja dan juga menjadi panutan.Sayangnya, hal itu jauh dari kebenaran yang ada. Dia tak lebih dari sekedar seorang perempuan tua yang gila harta dan juga kehormatan. Dia ingin semua orang memandangnya dengan hormat dan tidak berani meremehkannya.Seorang ibu yang kejam dan juga tega dengan darah dagingnya sendiri. Dia orang yang berhati dingin dan sanggup menghancurkan anaknya dengan membunuh orang yang dicintainya tepat dihadapannya."Kudengar anda memanggil saya." Leon yang baru saja tiba duduk di hadapan ibunya dengan tenang. Dia membuka dua kancing atasnya dan melampirkan jasnya. Duduk dengan menyandarkan punggungnya dan terlihat berusaha mencari tempat nyaman untuk menghilangkan rasa amarah yang sedari tadi membara semenjak menginjakkan ka
"Kita cari jalan alternatif lain. Pasar Rusia harus kita tembus apapun yang terjadi." "Tapi, Tuan Dante. Kami memiliki masalah dengan perbatasan. Mereka sangat sulit diajak untuk berbicara.""Lakukan saja seperti apa yang kukatakan. Kenapa kau selalu saja berbicara omong kosong?! Jika mereka tidak mau bicara, kau culik dan bunuh saja serangga yang mengganggu, berengsek! Berhenti membuatku sakit kepala!" Dante berteriak marah. Dia melempar gelas yang dipegangnya ke lantai dengan emosi. "Sialan. Kenapa mereka semua bodoh sekali? Apa mereka hanya akan bekerja jika aku memukul dan menendang pantat mereka?""Terlebih lagi aku harus mengurus Leon yang temperamental! Sialan, aku benci pekerjaanku!"Dante mengambil rokok dari balik jas hitamnya dan mematiknya, meniup asap tipis hingga membumbung tebal di udara. "Kali ini dia mau berbuat apa?" Lirihnya sambil menatap keluar jendela dengan malas. "Aku sedang malas membersihkan kegilaannya malam ini."Sementara Leon yang dibicarakan sedang du
Terlalu banyak menangis membuat Elena kelelahan. Matanya terlihat sembab. Fisik dan mentalnya sangat letih juga berantakan membuatnya kehilangan kesadarannya dalam pelukan Leon.Elena sangat pulas, dia bahkan tidak terlihat terganggu ketika Leon dengan lembut mengusapkan air ke tubuhnya.Leon memandikan Elena! Wow, dia bahkan melakukannya dengan hati-hati!Luar biasa. Bagi laki-laki sehat seperti Leon, ini adalah tantangan terbesarnya. Tetapi, dia baik-baik saja dan tidak terlihat ingin menuntaskan imajinasi liarnya pada gadis itu. Bahkan, dia terlihat menikmati memandikan Elena yang seperti bayi besar.Tangan besar Leon menyusuri leher, tengkuk, hingga kemudian jatuh ke bagian dada Elena. Dia mengusapnya pelan dan membuat Elena melenguh pelan.Leon menatap Elena dengan sebal. "Jangan mengerang berengsek. Kau masih kotor!" desis Leon tidak suka.&
'Tidak! Kumohon jangan! Jangan lakukan apapun padaku. Tidak! Tuhan, tolong aku!'Elena terus menjerit dalam hati dan menutup matanya rapat-rapat setiap kali mereka mengelus tubuhnya dan mengamatinya sembari memegang kemaluan mereka sendiri."Cantik, cantik, dia cantik sekali.""Kulitnya juga lembut dan juga wangi.""Oh, aku ingin merasakan tubuh indahnya, berengsek.""Ah ... Sial, sial, sial! Aku keluar ... Ah!"Mereka mengeluarkan cairan tubuh mereka secara bersamaan ke tubuh atas Elena sembari mengerang senang.Mereka tentu saja sedang terburu-buru ingin menyicipi Elena tetapi, mereka harus tetap mempertahankan kewarasannya agar mereka bisa menikmatinya dengan puas. Sudah lama sekali mereka tidak melakukan ini dan sekarang, kesempatan itu hadir kembali.Mereka menemukan berlian yang dibuang oleh pemili
Ada dua hal yang tidak pernah Elena lepaskan jika sudah dia miliki. Pertama adalah uang, yang kedua adalah makanan. Dia tidak akan membiarkan siapapun merebut miliknya. Tetapi, sekarang. Segerombol pria tidak berotak sedang mengerubunginya dan ingin merebut keduanya dari dia. Hah! Enak saja! Elena tidak akan menyerahkannya begitu saja, sial. Dia sudah menderita begitu banyak sebelumnya dan sekarang dengan seenak jidat mereka mau mengambil miliknya? Wah, mereka memang mencari mati. "Pergi! Kalian tidak akan mendapat apapun di sini!" usirnya sambil memasukkan sepotong pizza besar ke mulutnya. "Tidak ada uang atau makanan yang bisa kalian dapatkan di sini. Aku miskin!" teriaknya lantang. "Ci stai sfidando?!" (Apa kamu menantang kami?!) "Hah? Can't you speak English? I don't understand!" sela Elena tidak mengerti. "Ci ha deriso tutti. Prendiamolo da
Elena tersenyum, dia tertawa, dan tak lama kemudian berteriak. Dia melotot ke arah para pengemis yang melihatnya dengan pandangan kasihan. Oh, ayolah! Keadaannya jauh lebih mengenaskan dari mereka.Jika mereka hanya berpakaian kusam dan kumal. Elena jauh dari itu. Selain pakaiannya yang kotor, wajah yang berantakan, kedua tangannya juga terikat dengan tali yang cukup kuat.Kakinya dirantai. Walaupun dia bisa berjalan dengan baik, tetapi, dia tak jauh berbeda dari pasien yang melarikan diri dari rumah sakit jiwa."Berengsek, Pak Tua sialan! Aku akan membunuhnya! Akan kupukul wajahnya sampai cacat dan dia tidak akan bisa lagi disebut pria tampan! Dia hanya bajingan yang harus dimusnahkan!"Elena menggeram pelan. Dia menyugar rambutnya dengan kesulitan dan mengembuskan napas kesal.Ingatannya terlempar ke beberapa saat yang lalu. Saat pert