Ada dua hal yang tidak pernah Elena lepaskan jika sudah dia miliki. Pertama adalah uang, yang kedua adalah makanan. Dia tidak akan membiarkan siapapun merebut miliknya. Tetapi, sekarang. Segerombol pria tidak berotak sedang mengerubunginya dan ingin merebut keduanya dari dia.
Hah! Enak saja! Elena tidak akan menyerahkannya begitu saja, sial. Dia sudah menderita begitu banyak sebelumnya dan sekarang dengan seenak jidat mereka mau mengambil miliknya? Wah, mereka memang mencari mati.
"Pergi! Kalian tidak akan mendapat apapun di sini!" usirnya sambil memasukkan sepotong pizza besar ke mulutnya. "Tidak ada uang atau makanan yang bisa kalian dapatkan di sini. Aku miskin!" teriaknya lantang.
"Ci stai sfidando?!" (Apa kamu menantang kami?!)
"Hah? Can't you speak English? I don't understand!" sela Elena tidak mengerti.
"Ci ha deriso tutti. Prendiamolo da
'Tidak! Kumohon jangan! Jangan lakukan apapun padaku. Tidak! Tuhan, tolong aku!'Elena terus menjerit dalam hati dan menutup matanya rapat-rapat setiap kali mereka mengelus tubuhnya dan mengamatinya sembari memegang kemaluan mereka sendiri."Cantik, cantik, dia cantik sekali.""Kulitnya juga lembut dan juga wangi.""Oh, aku ingin merasakan tubuh indahnya, berengsek.""Ah ... Sial, sial, sial! Aku keluar ... Ah!"Mereka mengeluarkan cairan tubuh mereka secara bersamaan ke tubuh atas Elena sembari mengerang senang.Mereka tentu saja sedang terburu-buru ingin menyicipi Elena tetapi, mereka harus tetap mempertahankan kewarasannya agar mereka bisa menikmatinya dengan puas. Sudah lama sekali mereka tidak melakukan ini dan sekarang, kesempatan itu hadir kembali.Mereka menemukan berlian yang dibuang oleh pemili
Terlalu banyak menangis membuat Elena kelelahan. Matanya terlihat sembab. Fisik dan mentalnya sangat letih juga berantakan membuatnya kehilangan kesadarannya dalam pelukan Leon.Elena sangat pulas, dia bahkan tidak terlihat terganggu ketika Leon dengan lembut mengusapkan air ke tubuhnya.Leon memandikan Elena! Wow, dia bahkan melakukannya dengan hati-hati!Luar biasa. Bagi laki-laki sehat seperti Leon, ini adalah tantangan terbesarnya. Tetapi, dia baik-baik saja dan tidak terlihat ingin menuntaskan imajinasi liarnya pada gadis itu. Bahkan, dia terlihat menikmati memandikan Elena yang seperti bayi besar.Tangan besar Leon menyusuri leher, tengkuk, hingga kemudian jatuh ke bagian dada Elena. Dia mengusapnya pelan dan membuat Elena melenguh pelan.Leon menatap Elena dengan sebal. "Jangan mengerang berengsek. Kau masih kotor!" desis Leon tidak suka.&
"Kita cari jalan alternatif lain. Pasar Rusia harus kita tembus apapun yang terjadi." "Tapi, Tuan Dante. Kami memiliki masalah dengan perbatasan. Mereka sangat sulit diajak untuk berbicara.""Lakukan saja seperti apa yang kukatakan. Kenapa kau selalu saja berbicara omong kosong?! Jika mereka tidak mau bicara, kau culik dan bunuh saja serangga yang mengganggu, berengsek! Berhenti membuatku sakit kepala!" Dante berteriak marah. Dia melempar gelas yang dipegangnya ke lantai dengan emosi. "Sialan. Kenapa mereka semua bodoh sekali? Apa mereka hanya akan bekerja jika aku memukul dan menendang pantat mereka?""Terlebih lagi aku harus mengurus Leon yang temperamental! Sialan, aku benci pekerjaanku!"Dante mengambil rokok dari balik jas hitamnya dan mematiknya, meniup asap tipis hingga membumbung tebal di udara. "Kali ini dia mau berbuat apa?" Lirihnya sambil menatap keluar jendela dengan malas. "Aku sedang malas membersihkan kegilaannya malam ini."Sementara Leon yang dibicarakan sedang du
Karen Valentine Parvez. Seorang perempuan paruh baya yang memiliki tatanan terkuat di keluarga Parvez setelah ibu mertuanya meninggal. Dia mewarisi gelar sebagai menantu dan ibu terbaik di kalangan masyarakat kelas atas. Dia adalah sosok yang dipuja dan juga menjadi panutan.Sayangnya, hal itu jauh dari kebenaran yang ada. Dia tak lebih dari sekedar seorang perempuan tua yang gila harta dan juga kehormatan. Dia ingin semua orang memandangnya dengan hormat dan tidak berani meremehkannya.Seorang ibu yang kejam dan juga tega dengan darah dagingnya sendiri. Dia orang yang berhati dingin dan sanggup menghancurkan anaknya dengan membunuh orang yang dicintainya tepat dihadapannya."Kudengar anda memanggil saya." Leon yang baru saja tiba duduk di hadapan ibunya dengan tenang. Dia membuka dua kancing atasnya dan melampirkan jasnya. Duduk dengan menyandarkan punggungnya dan terlihat berusaha mencari tempat nyaman untuk menghilangkan rasa amarah yang sedari tadi membara semenjak menginjakkan ka
"Aku bukan Diana.""Apa? Apa yang kau katakan, sayang?""Aku bukan Diana!" ulang Elena sekali lagi dengan penuh penekanan."Tidak, tidak, itu tidak mungkin. Kau adalah Diana. Kekasihku, cintaku, dan calon ibu dari anak-anakku! Kau ... Kau milikku!" seru pria itu posesif.Elena menggeram pelan. Dia membiarkan Leon menggerayangi tubuhnya dengan bibirnya yang panas, kemudian melemas dan memeluknya dengan erat setelah beberapa saat.Ah, kesempatan. Gadis itu mendorong Leon kemudian menampar pipinya dengan kuat.Plak! Elena menampar pria itu hingga menjauh ke belakang."Hah ... Apa?" Dia kaget, tapi tidak sadar juga. Dia terlihat bodoh.Elena berhasil mengatasi rasa takutnya. Kebencian yang mendalam membuatnya berani untuk melawan. Pria ini. Orang sialan ini yang membawanya ke tempat ini. Dia menculiknya, menyiksanya, melecehkannya, dan membuatnya tak berdaya. "Sayang ... Diana. Kenapa kau ...."Leon sepertinya memang mabuk berat karena pria itu langsung ambruk begitu saja di lantai se
Satu minggu.Kebebasan itu terasa sangat singkat dan juga cepat. Elena menikmati hidupnya di pedesaan yang terletak di pinggir Kota entah di mana ini.Saat ini dia tinggal di sebuah rumah kecil yang dihuni oleh sepasang suami istri. Begitu dia menyebutkan nama Leon, entah mengapa mereka sedikit takut padanya. Tapi, mereka tetap berbuat baik padanya. Elena tidak menyangka jika pamor Leon sampai di tempat terpencil ini. Tapi tentu saja bukan pamor yang baik. Dia tak lebih dari berandal sinting yang menyebalkan. Mungkin, itu yang akan orang-orang katakan jika mereka berani. "Kuharap dia cepat mati," bisik Elena sambil mengangkat segelas kopi susu hangat di tangannya. Tatapannya tertuju pada pemandangan sore hari yang indah. Waktu-waktu menyenangkan yang sudah lama tak dia nikmati karena penculikan sialan ini. "Sepertinya harapanmu tidak akan terwujud dalam waktu dekat."Elena tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang baru saja bersuara. Dia sangat mengenali nada rendah dan serak yang
Pesta yang dia hadiri kali ini jauh berbeda dari kebanyakan pesta anak-anak muda yang dia datangi. Semua orang di tempat ini memakai pakaian formal dengan tema gelap dan tidak menonjol. Tidak ada satupun orang yang memakai aksesoris mencolok seperti berwarna pink atau kuning cerah. Nyaris semua memakai serba hitam dan merah maroon, atu ada juga biru gelap dan abu-abu.Elena tanpa sadar menaikkan sudut bibirnya sinis. Orang-orang ini sama sekali tidak ada yang menikmati pesta, begitu yang dia simpulkan.Mereka semua berbicara serius, dengan suasana yang menegangkan, dan tidak ada hiburan sama sekali.Musik pestanya pun terlalu pelan, hanya ada dansa-dansa kecil yang dilakukan di lantai dansa."Hoam ... Ini membosankan," komentar Elena di samping Leon.Ketiga pria yang sedang berbincang dengan Leon melirik Elena. Gadis itu tersenyum tipis dan mengangka
Dentum musik DJ yang menggema di sebuah rumah megah dan mewah bergaya Neo Klasik yang memiliki ciri khas teras yang tinggi dan lebar, pedimen yang besar, serta fasad yang simetris berlantai dua di salah satu kompleks di Kota Manhattan menandakan pesta sedang diadakan. Kumpulan pemuda-pemudi di berbagai sisi yang sedang asyik bergoyang membuat suasana semakin meriah. Bukan hanya halaman saja yang penuh melainkan juga bagian dalam. Semua sesak dengan anak muda yang berpesta. Diantara keramaian itu ada satu orang yang menjadi pusat perhatian. Seorang gadis muda dengan dress tipis bertali spaghetti warna hitam yang super ketat dengan panjangnya yang hanya sampai atas paha. Dia adalah Elena Shei Maclean. Gadis berusia delapan belas tahun yang memiliki pesona seorang wanita dewasa. Tingginya yang mencapai seratus enam puluh delapan senti dengan berat tubuh lima puluh kilogram membuat tubuhnya terlihat ramping bak model papan atas. Buah dadanya yang sintal dan padat membuatnya semakin t
Pesta yang dia hadiri kali ini jauh berbeda dari kebanyakan pesta anak-anak muda yang dia datangi. Semua orang di tempat ini memakai pakaian formal dengan tema gelap dan tidak menonjol. Tidak ada satupun orang yang memakai aksesoris mencolok seperti berwarna pink atau kuning cerah. Nyaris semua memakai serba hitam dan merah maroon, atu ada juga biru gelap dan abu-abu.Elena tanpa sadar menaikkan sudut bibirnya sinis. Orang-orang ini sama sekali tidak ada yang menikmati pesta, begitu yang dia simpulkan.Mereka semua berbicara serius, dengan suasana yang menegangkan, dan tidak ada hiburan sama sekali.Musik pestanya pun terlalu pelan, hanya ada dansa-dansa kecil yang dilakukan di lantai dansa."Hoam ... Ini membosankan," komentar Elena di samping Leon.Ketiga pria yang sedang berbincang dengan Leon melirik Elena. Gadis itu tersenyum tipis dan mengangka
Satu minggu.Kebebasan itu terasa sangat singkat dan juga cepat. Elena menikmati hidupnya di pedesaan yang terletak di pinggir Kota entah di mana ini.Saat ini dia tinggal di sebuah rumah kecil yang dihuni oleh sepasang suami istri. Begitu dia menyebutkan nama Leon, entah mengapa mereka sedikit takut padanya. Tapi, mereka tetap berbuat baik padanya. Elena tidak menyangka jika pamor Leon sampai di tempat terpencil ini. Tapi tentu saja bukan pamor yang baik. Dia tak lebih dari berandal sinting yang menyebalkan. Mungkin, itu yang akan orang-orang katakan jika mereka berani. "Kuharap dia cepat mati," bisik Elena sambil mengangkat segelas kopi susu hangat di tangannya. Tatapannya tertuju pada pemandangan sore hari yang indah. Waktu-waktu menyenangkan yang sudah lama tak dia nikmati karena penculikan sialan ini. "Sepertinya harapanmu tidak akan terwujud dalam waktu dekat."Elena tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang baru saja bersuara. Dia sangat mengenali nada rendah dan serak yang
"Aku bukan Diana.""Apa? Apa yang kau katakan, sayang?""Aku bukan Diana!" ulang Elena sekali lagi dengan penuh penekanan."Tidak, tidak, itu tidak mungkin. Kau adalah Diana. Kekasihku, cintaku, dan calon ibu dari anak-anakku! Kau ... Kau milikku!" seru pria itu posesif.Elena menggeram pelan. Dia membiarkan Leon menggerayangi tubuhnya dengan bibirnya yang panas, kemudian melemas dan memeluknya dengan erat setelah beberapa saat.Ah, kesempatan. Gadis itu mendorong Leon kemudian menampar pipinya dengan kuat.Plak! Elena menampar pria itu hingga menjauh ke belakang."Hah ... Apa?" Dia kaget, tapi tidak sadar juga. Dia terlihat bodoh.Elena berhasil mengatasi rasa takutnya. Kebencian yang mendalam membuatnya berani untuk melawan. Pria ini. Orang sialan ini yang membawanya ke tempat ini. Dia menculiknya, menyiksanya, melecehkannya, dan membuatnya tak berdaya. "Sayang ... Diana. Kenapa kau ...."Leon sepertinya memang mabuk berat karena pria itu langsung ambruk begitu saja di lantai se
Karen Valentine Parvez. Seorang perempuan paruh baya yang memiliki tatanan terkuat di keluarga Parvez setelah ibu mertuanya meninggal. Dia mewarisi gelar sebagai menantu dan ibu terbaik di kalangan masyarakat kelas atas. Dia adalah sosok yang dipuja dan juga menjadi panutan.Sayangnya, hal itu jauh dari kebenaran yang ada. Dia tak lebih dari sekedar seorang perempuan tua yang gila harta dan juga kehormatan. Dia ingin semua orang memandangnya dengan hormat dan tidak berani meremehkannya.Seorang ibu yang kejam dan juga tega dengan darah dagingnya sendiri. Dia orang yang berhati dingin dan sanggup menghancurkan anaknya dengan membunuh orang yang dicintainya tepat dihadapannya."Kudengar anda memanggil saya." Leon yang baru saja tiba duduk di hadapan ibunya dengan tenang. Dia membuka dua kancing atasnya dan melampirkan jasnya. Duduk dengan menyandarkan punggungnya dan terlihat berusaha mencari tempat nyaman untuk menghilangkan rasa amarah yang sedari tadi membara semenjak menginjakkan ka
"Kita cari jalan alternatif lain. Pasar Rusia harus kita tembus apapun yang terjadi." "Tapi, Tuan Dante. Kami memiliki masalah dengan perbatasan. Mereka sangat sulit diajak untuk berbicara.""Lakukan saja seperti apa yang kukatakan. Kenapa kau selalu saja berbicara omong kosong?! Jika mereka tidak mau bicara, kau culik dan bunuh saja serangga yang mengganggu, berengsek! Berhenti membuatku sakit kepala!" Dante berteriak marah. Dia melempar gelas yang dipegangnya ke lantai dengan emosi. "Sialan. Kenapa mereka semua bodoh sekali? Apa mereka hanya akan bekerja jika aku memukul dan menendang pantat mereka?""Terlebih lagi aku harus mengurus Leon yang temperamental! Sialan, aku benci pekerjaanku!"Dante mengambil rokok dari balik jas hitamnya dan mematiknya, meniup asap tipis hingga membumbung tebal di udara. "Kali ini dia mau berbuat apa?" Lirihnya sambil menatap keluar jendela dengan malas. "Aku sedang malas membersihkan kegilaannya malam ini."Sementara Leon yang dibicarakan sedang du
Terlalu banyak menangis membuat Elena kelelahan. Matanya terlihat sembab. Fisik dan mentalnya sangat letih juga berantakan membuatnya kehilangan kesadarannya dalam pelukan Leon.Elena sangat pulas, dia bahkan tidak terlihat terganggu ketika Leon dengan lembut mengusapkan air ke tubuhnya.Leon memandikan Elena! Wow, dia bahkan melakukannya dengan hati-hati!Luar biasa. Bagi laki-laki sehat seperti Leon, ini adalah tantangan terbesarnya. Tetapi, dia baik-baik saja dan tidak terlihat ingin menuntaskan imajinasi liarnya pada gadis itu. Bahkan, dia terlihat menikmati memandikan Elena yang seperti bayi besar.Tangan besar Leon menyusuri leher, tengkuk, hingga kemudian jatuh ke bagian dada Elena. Dia mengusapnya pelan dan membuat Elena melenguh pelan.Leon menatap Elena dengan sebal. "Jangan mengerang berengsek. Kau masih kotor!" desis Leon tidak suka.&
'Tidak! Kumohon jangan! Jangan lakukan apapun padaku. Tidak! Tuhan, tolong aku!'Elena terus menjerit dalam hati dan menutup matanya rapat-rapat setiap kali mereka mengelus tubuhnya dan mengamatinya sembari memegang kemaluan mereka sendiri."Cantik, cantik, dia cantik sekali.""Kulitnya juga lembut dan juga wangi.""Oh, aku ingin merasakan tubuh indahnya, berengsek.""Ah ... Sial, sial, sial! Aku keluar ... Ah!"Mereka mengeluarkan cairan tubuh mereka secara bersamaan ke tubuh atas Elena sembari mengerang senang.Mereka tentu saja sedang terburu-buru ingin menyicipi Elena tetapi, mereka harus tetap mempertahankan kewarasannya agar mereka bisa menikmatinya dengan puas. Sudah lama sekali mereka tidak melakukan ini dan sekarang, kesempatan itu hadir kembali.Mereka menemukan berlian yang dibuang oleh pemili
Ada dua hal yang tidak pernah Elena lepaskan jika sudah dia miliki. Pertama adalah uang, yang kedua adalah makanan. Dia tidak akan membiarkan siapapun merebut miliknya. Tetapi, sekarang. Segerombol pria tidak berotak sedang mengerubunginya dan ingin merebut keduanya dari dia. Hah! Enak saja! Elena tidak akan menyerahkannya begitu saja, sial. Dia sudah menderita begitu banyak sebelumnya dan sekarang dengan seenak jidat mereka mau mengambil miliknya? Wah, mereka memang mencari mati. "Pergi! Kalian tidak akan mendapat apapun di sini!" usirnya sambil memasukkan sepotong pizza besar ke mulutnya. "Tidak ada uang atau makanan yang bisa kalian dapatkan di sini. Aku miskin!" teriaknya lantang. "Ci stai sfidando?!" (Apa kamu menantang kami?!) "Hah? Can't you speak English? I don't understand!" sela Elena tidak mengerti. "Ci ha deriso tutti. Prendiamolo da
Elena tersenyum, dia tertawa, dan tak lama kemudian berteriak. Dia melotot ke arah para pengemis yang melihatnya dengan pandangan kasihan. Oh, ayolah! Keadaannya jauh lebih mengenaskan dari mereka.Jika mereka hanya berpakaian kusam dan kumal. Elena jauh dari itu. Selain pakaiannya yang kotor, wajah yang berantakan, kedua tangannya juga terikat dengan tali yang cukup kuat.Kakinya dirantai. Walaupun dia bisa berjalan dengan baik, tetapi, dia tak jauh berbeda dari pasien yang melarikan diri dari rumah sakit jiwa."Berengsek, Pak Tua sialan! Aku akan membunuhnya! Akan kupukul wajahnya sampai cacat dan dia tidak akan bisa lagi disebut pria tampan! Dia hanya bajingan yang harus dimusnahkan!"Elena menggeram pelan. Dia menyugar rambutnya dengan kesulitan dan mengembuskan napas kesal.Ingatannya terlempar ke beberapa saat yang lalu. Saat pert