Aliya masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin. Ia baru saja mengunjungi rumah mama dan papanya. Sejak siang tadi ia yang telah meminta izin Elang untuk menengok kedua orangtuanya, menghabiskan waktu di rumah berbincang dengan sang mama dan papa. “Hati-hati, Al,” suara Laila mengiringi mobil yang Aliya kendarai mulai bergerak maju. Lambaian tangan pun dilakukan Aliya seiring jawaban riangnya. “Iya Ma. Aliya pulang dulu ya Ma, Pa. Maaf Aliya pinjam dulu mobilnya…” Mobil sejenis minibus yang Aliya kendarai mulai menjauh dari kediaman kedua orangtuanya. Mobil ini adalah mobil papa Aliya yang ia pinjam. Jam sebelas tadi siang Aliya memang diantar Ridwan, namun Aliya meminta Ridwan meninggalkannya karena ia akan lama berada di rumah mama papanya itu. Tanpa banyak pertanyaan Ridwan lalu pergi dengan membawa mobil dan meninggalkan Aliya di rumah Adnan. Namun sejak Aliya memutuskan untuk pulang, ia sulit menghubungi Ridwan sehingga ia memutuskan pulang tanpa menunggu Ridwan menjempu
Aliya hanya diam berdiri di sana tanpa respon.“Liebling…” Elang memanggil lirih lagi. Ia melangkah pelan mendekati istrinya.‘Apa kau berbohong lagi padaku, Elang?’Langkah kaki Elang terhenti begitu ia mendengar pikiran Aliya. Ia memandang istrinya yang tengah menatap dirinya dengan mata kian memerah. Lalu satu rasa sakit dan rasa tak percaya yang terbalut satu menjadi kesedihan, sampai dan terasa pula oleh Elang.Rasa itu milik Aliya. Elang sedang merasakannya juga.Kedua tangan Elang mengepal erat. Ia memajukan tiga langkah lagi dan meraih tangan Aliya.“Let’s go home, Liebling. Kita bicara di rumah,” ujar Elang dengan lembut dan hati-hati.Tanpa melawan, Aliya membiarkan tangannya digenggam Elang dan mengikuti suaminya keluar rumah.Tepat di pintu masuk, mereka berpapasan dengan Dean yang baru saja datang.Dean menatap Elang lalu menurunkan wajah dan menatap Aliya. Me
Marseille, Perancis. 1993. Mobil-mobil tampak jarang di ruas Jalan Four du Chapitre. Terlihat seorang wanita berjalan sedikit tergesa. Rambut panjang bergelombang berwarna burgundi itu berayun mengiringi langkah kakinya yang mengenakan sepatu boot setengah betis. Tubuh tinggi serta ramping, mengenakan dress corak bunga ditutup dengan long-coat berwarna krem. Tangan kirinya terlihat digenggam erat oleh tangan kecil seorang anak yang bersusah payah mencoba mengikuti langkah cepat wanita itu. Ketika mereka akhirnya tiba di pertigaan jalan, wanita itu berhenti dan menatap bangunan megah di seberang jalan. Kedua matanya menatap lurus tanpa berkedip pada bangunan megah berwarna putih pudar yang telah menjadi basilika minor sejak ratusan tahun lalu itu. Beberapa saat kemudian, wanita itu membungkuk lalu berkata sesuatu pada anak kecil yang masih menggenggam erat tangannya. Entah apa yang dikatakannya. Namun anak itu mengangguk patuh dan berkata; “Oui, mère..” (Ya, Bu) Wanita itu berkat
Bola mata itu…Warna hazel yang khas dengan bulu mata lentiknya.‘Apa anak itu adalah… Dean?’Aliya hendak merangsek maju, namun ia terlupa bahwa seluruh tubuhnya terkunci. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya untuk bergerak ke depan. Menyelamatkan anak itu.Anak itu terjatuh dengan wajahnya yang pucat sudah. Tangan kecilnya menapak di tanah yang rata. Ya tanah. Lorong kecil ini belum di aspal ataupun terpasang paving block.Tubuh sang anak tampak gemetar, meski demikian anak itu tidak menangis. Manik mata berwarna hazel itu memerah dan bergerak-gerak. Anak itu jelas ketakutan.Ketiga pemuda di hadapannya berjalan mendekati si anak dengan seringai puas. Dua di antaranya tertawa dan berbicara, namun entah apa. Tidak terdengar suara apapun.Dada Aliya kian berdebar tidak karuan, seluruh rongga dadanya dipenuhi rasa cemas dan rasa takut. Apa yang akan dialami anak itu nanti? Jika anak itu benar Dea
Seluruh tubuh Elang pun ikut membeku. Rasa kaget seketika berganti rasa dingin yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Gemuruh itu terasa kuat dalam rongga dadanya, membuatnya sesak. Matanya lekat dengan tatapan entah bagaimana pada dua orang di depannya. Wanita terkasihnya, yang menangis dengan memeluk Dean begitu erat. Apakah demikian terlukanya Aliya atas perbuatan dirinya, hingga Aliya memilih menangis dalam pelukan pria lain dan bukan padanya? Dan bagaimana ketatnya Aliya melakukan closure, hingga Elang tak bisa menembus pikiran Aliya. Apakah Aliya memikirkan sesuatu yang tak boleh ia dengar? Apakah tentang pria di depannya itu? Rahang Elang mengetat lalu menahan napas yang mulai terasa berat namun memburu. Baru saja ia hendak membuka mulutnya, ketika ia mendengar kalimat Aliya. “Syu..kurlah kau selamat… Ma…afkan aku…” ujar Aliya lemah dan terbata. Kening Dean kian melesak ke dalam. Entah bagaimana perasaannya sekarang, selain rasa bingung yang melandanya. Namun ia mengingatkan d
‘What?? Ke Jerman??’ Suara pekikan Hana di seberang telepon membuat Aliya harus menjauhkan ponsel dari telinganya. “Iya Han. Aku mau ke Jerman, menemui papa mertua,” jawab Aliya pelan. Tangannya mengambil satu set piyama lalu membawanya ke ruang tidur dan meletakkannya ke atas kasur. Hening beberapa saat di ujung sana, hingga Aliya memanggil nama temannya itu. “Hana?” ‘Kamu gak lupa kan Sis, kata-kataku terakhir kali?’ Aliya menghentikan kegiatannya. “Soal jangan kemana-mana itu?” ‘Iya. Syukur kau ingat.’ “But, Hana. Kita tidak bisa terkungkung dengan mengikuti perasaan cemas lalu ketakutan di sepanjang sisa hidup kita, lalu tak bisa melakukan apa-apa, kan?” Aliya menarik napas untuk meyakinkan Hana. “Aku pergi bersama suamiku. Dan kepergianku pun untuk alasan yang sangat kuat. Untuk mendapatkan doa dan restu dari ayah mertuaku.” Tidak ada sanggahan dari Hana. Ia pun menyadari, sahabatnya itu tidak mungkin hanya mengurung diri di dalam rumah, lalu meninggalkan dan mengabaikan s
“Jadi Aliya sekarang sudah tenang?” Suara dalam milik Dean terdengar dari arah ruang makan. Tak lama ia muncul ke ruang tamu dengan membawa dua gelas berisi kopi yang ia buat. Ia letakkan satu di depan Elang dan satu untuk dirinya sendiri. “Hm. Ya,” respon Elang singkat. Ia membuka kedua kancing manset dan menggulung sedikit ujung lengan kemeja panjangnya. Dean mengambil tempat di sofa singel sisi kanan Elang. Lalu duduk santai. Kepala Elang terangkat sedikit lalu menatap lurus pada Dean. “Jangan tanya pada saya, mengapa istrimu bermimpi tentang saya,” Dean berkata sebelum Elang sempat membuka mulutnya. “Menurutmu itu mimpi?” Dean mengangkat kedua bahunya. “Saya tidak tahu pasti.” “Yang jelas itu bukan dunia sukma, Einhard,” tambah Dean. “Tapi saya masih belum terlalu jelas apa yang dimaksud dengan mimpi Aliya itu.” Elang menyandarkan punggungnya ke belakang. Dalam hati ia mengakui, ia tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang mimpi Aliya itu. Dirinya tidak bertanya lebih
Kembali ke kediaman Elang dan Aliya, di kamar tidur utama. Aliya terlihat membawakan set pakaian santai yang berupa kaos dan celana panjang untuk salin suaminya. Dengan cekatan ia membantu Elang membuka satu persatu kancing kemeja yang dikenakan Elang. Bergeming, Elang membiarkan jemari istrinya melakukan itu untuknya. Dengan tatapan penuh kasih ia arahkan pada wajah Aliya yang tampak menunduk. Ia berdehem kecil. Teringat percakapan penutupan dirinya dengan Dean saat di basecamp Lembang tadi, soal keberangkatan Elang dan Aliya ke Jerman besok malam. Dengan kenyataan bahwa Aliya mengalami ‘vision’ atas masa lalu, mereka mempertimbangkan ulang tentang kepergian ke Jerman itu. Mereka tidak terlalu yakin, apakah dengan aksi Aliya menembus masa lalu Dean, menimbulkan efek yang bisa terdeteksi lawan atau tidak. Sehingga baik Elang maupun Dean akhirnya sampai pada kesepakatan, untuk menunda kepergian ke Jerman setelah Aliya setuju dengan hal tersebut. “Liebling,” Elang membuka suara.