“Nona, tunggu!”
Sebuah genggaman tangan itu membuat Oliv menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Keningnya mengkerut ketika mendapati tangan pria yang memakai jas dengan setelan celana itu seperti sedang meminta bantuan.
Kening Oliv mengkerut. “Ya, kenapa ya?”
“Jadilah istri pura-pura saya. Saya akan memberikan kamu tiga miliyar jika menerima tawaran saya,” kata pria itu.
Perempuan itu hanya diam sambil membawa tas orderan makanan di sana. Dia melihat dari bawa ke atas penampilan pria tersebut.
“A–aku?” tanya Oliv menunjuk diri sendiri untuk memastikannya.
“Ya,” jawab pria itu dengan enteng.
“Maksudnya gimana ya? Kamu kira aku cewe murahan gitu? Makanya kami nawarin aku jadi istri pura-pura kamu?” kata Oliv dengan nada tidak terima. “Gila ya kamu! Kenal aja nggak!”
Pria itu tersenyum evil. “Saya tau semuanya dan seharusnya kamu menerima tawaranku barusan.”
Oliv menatap pria itu dengan tatapan tidak percaya Pria tersebut kini memberikan kartu nama di hadapannya. “Beneran gila ya ini cowo?” batin Oliv.
“Apa itu? Kamu kira kamu bisa nyogok aku dengan kartu itu gitu, hah?”
“Mungkin saja kamu membutuhkannya. Cepat ambil dan dapatkan hadiah nantinya.”
Sebenarnya Oliv ragu. Namun, sepertinya ia akan membutuhkannya nanti. Akhirnya perempuan itu mengambil kartu itu dan membaca kartu nama itu. “Nicholas Alexander?” gumamnya. Dia menatap pria itu yang sudah menghilang dari hadapannya.
***
Disetiap perjalanan Oliv hanya diam memandangi kartu nama itu. Bahkan di halte sampai masuk ke dalam bus dirinya hanya memandangi kartu itu. “Dia sangat tampan, masa iya dia nawarin aku jadi istrinya? Otaknya emang agak-agak,” gumamnya.
“Nicholas, apa dia orang kaya? Apa aku harus memanfaatkan dia untuk berobat ibu?” gumamnya.
Ya, beberapa menit kemarin Oliv sudah sampai di rumah kediamannya dan sekarang dia berada di kamarnya. Perempuan itu duduk di tepi kasur dan memikirkan apa yang dikatakan oleh pria tadi. “Terus? Kenapa dia menyuruh aku buat jadi istrinya? Apa dia nggak waras? Atau ... dia nggak mau menikahi seseorang pilihan orang tuanya?” katanya dengan pelan.
Sepertinya ada alasan pria itu untuk ini. Oliv menggelengkan kepala cepat karena terlalu memikirkan alasan dari pria tadi. “Astaga, mending aku buatin makanan ibu dulu.”
Perempuan kfu segera meletakkan kartu nama itu di meja. Kemudian ia beranjak dari sana dan keluar dari kamar.
“Oliv? Kamu sudah balik? Kamu tidak kerja?” tanya Lauren, selaku mama Oliv yang baru keluar dari kamar.
Oliv menoleh ke sumber suara dan mendekat ke mamanya itu. “Oliv libur Ma. Oliv buatin makanan buat Mama, ya?”
“Mau Mama bantu?”
Oliv menggelengkan kepala. “Mama istirahat aja ya? Dokter nyuruh apa kemarin, hah?”
“Hum, okey. Mama tunggu di kamar saja ya? Jangan capek-capek kamu.”
Oliv mengangguk kecil dan segera melangkahkan kaki ke dapur. Kemudian ia menyiapkan beberapa bahan di sana. Seperti yang dipikir-pikir dia harus ke rumah pria tadi untuk menyari tambahan berobat untuk mamanya itu. “Kayaknya aku harus ke sana nanti sore. Kalau nggak, siapa yang membayar biaya berobat nanti? Sedangkan uang aku juga pas-pasan buat berobat Mama, belum buat beli kebutuhan pokok aku sama mama juga,” gumamnya.
Setelah siap, Oliv segera membawa nampan ke kamar yang berisi sup dan nasi, tidak lupa dengan air putih yang berada di gelas. “Ma, ayo makan dulu. Habis itu Mama minum obat,” katanya sambil meletakkan di meja.
“Maaf ya, andai aja Mama nggak sakit. Pasti Mama nggak nyusahin kamu,” ucap Lauren dengan wajah tidak enak.
Oliv mengulas senyuman kecil, ia duduk di tepi kasur dan mengambil makanan itu. “Udahlah, Ma. Mama makan dulu ya,” katanya sambil menyuapi makanan untuk mamanya sendiri.
Perempuan itu merasa senang karena mama sudah bisa menelan makanan meskipun cuma sedikit. Dia berharap jika mamanya itu cepat sembuh dari penyakitnya. Itu saja yang ia harap.
***
Sore ini, Oliv bersiap-siap untuk menemui seseorang. Pastinya dirinya harus mempersiapkan dengan penampilan yang menarik. Dress putih menutupi tubuhnya dengan cantik, rambut yang digurai rapi, dan juga make-up yang sangat natural. Kemudian ia memakai sandal heels pendek yang menurutnya cocok dengan dressnya.
“Sudah siap!” Oliv berkaca di depan cermin dan menatap dirinya sendiri. “Perfect! Sepertinya sudah pantas buat ketemu sama cowo tadi,” katanya dengan percaya diri.
Perempuan itu mengambil ponsel yang berada di meja dan mencatat nomor yang ada di kartu nama tadi.
“Apa aku harus menelpon dia? Sopan nggak sih? Takutnya ganggu,” ucapnya dengan ragu. Dia duduk ditepi kasur sambil menatap ke layar ponsel sambil mengigit bibirnya sendiri.
Tak mau berpikir panjang, akhirnya ia menelpon nomor yang sudah disimpan tadi.
‘Hallo? Siapa?’
“Hallo, ini ... saya Oliv.”
‘Oh, okey. Temui saya di cafe dekat kantor saya. Saya kirim lokasinya.’
Oliv melirik ke ponselnya itu. Sepertinya pria itu sudah paham. “Baik, Pak.”
Setelah itu, pria tersebut mematikan telepon dari sana. Oliv segera mengambil tas selempangnya dan keluar dari kamar.
Tak mau menunggu lama, Oliv segera masuk ke dalam mobil dan menjalankan mobilnya. “Kalau memang kurang nantinya. Terpaksa aku harus menjual mobilku ini,” gumamnya.
Setelah sampai di tempat lokasi yang dikirim Nick. Oliv segera masuk ke dalam cafe tersebut sambil melihat kanan-kiri. Ya, ternyata pria itu ingin bertemu di cafe.
Oliv duduk di salah satu kursi di sana dan menunggu di tempat itu. “Sumpah lama banget sih dia,” gumamnya.
Merasa bosan menunggu seorang pria yang ditunggunya. Akhirnya, perempuan itu mengambil ponselnya dan mengirim pesan ke pria tersebut.
[Oliv]
Aku sudah sampaiKamu di mana?Setelah mengirimkan pesan, ia meletakkan ponsel itu kembali di meja.
“Sudah lama?” kata pria itu yang tiba-tiba nongol, sebelum duduk di hadapan Oliv.
Tentunya membuat Oliv terkejut dan merasa kikuk. “Menurut kamu aja gimana? Nggak usah banyak omong deh.”
Nick mendesis kecil dan memberikan sebuah berkas di meja itu. “Tanda tangan.”
Perempuan melirik ke berkas itu, kemudian membuka berkas tersebut. Ternyata banyak aturan di dalam sana. “Apa sebanyak ini aturannya?” tanya Oliv.
“Ya, memang itu aturannya. Kalau kamu ingin mendapatkan uangnya.”
Oliv menghela napas pelan. Ia memejamkan matanya sekilas sebelum menanda tangani kontrak itu.
“Jadi, kamu akan melakukannya kan?”
Oliv meletakkan pulpen itu dan menutup berkas kembali. “Ya,” jawabnya dengan yakin.
Nick mengulurkan tangannya di depan perempuan itu. “Deal?”
Oliv melirik ke tangan pria itu. Demi apapun, apa dia akan bahagia karena kontrak ini. Tapi, kalau tidak ikut kontrak dengan pria kaya ini. Kemungkinan dirinya tidak bisa membantu berobat mamanya sendiri.
Perempuan itu menghela napas kasar, ia mengulurkan tangan dan membalas jabatan tangan pria itu. “Deal!”
Nick melepaskan jabatan Oliv. “Kalau begitu, saya mau balik, kalau ada yang ingin bertemu saya, langsung tanya saja. Asisten saya yang akan membalas pesan darimu,” kata pria itu sebelum beranjak dari duduknya.
Kening Oliv mengkerut seketika, apa pria itu sudah gila? Perasaan baru saja dirinya duduk dan belum memesan apapun.
“Kenapa melihat saya seperti itu?”
Oliv menerjapkan mata dan menggelengkan kepala cepat. “Eng–enggak,” ucapnya dengan nada kikuk.
Nick meringis kecil, pria itu melihat jam yang melingkar ditangan. “Waktu saya sudah habis. Saya duluan,” kata pria itu sebelum pergi dari hadapannya sambil membawa berkas tadi.
Oliv terdiam di tempat itu, ia menatap punggung Nick yang sudah menghilang dari pandangannya. Tangannya mengepal di sana. “Beneran tuh orang nggak ada niatan buat beliin tamunya? Gila banget,” gumamnya.
Perempuan itu segera bangkit dari duduknya dan bergegas untuk keluar dari cafe tersebut. “Nggak modal banget tuh cowok. Kelihatannya sih kaya, tapi nggak beliin makanan sama sekali. Minimal harusnya minuman kan bisa? Ini nggak sama sekali?” gumamnya. Ia terus menggerutu di setiap perjalanannya.
Pagi ini sangat cerah. Seorang perempuan itu masih saja tertidur pulas di atas ranjang empuknya itu. Tiba-tiba terbangun karena ada seseorang yang menelponnya, “Astaga, siapa sih,” lirihnya. Dengan mata terpejam, Oliv segera mengambil ponsel yang kini berada di meja dan mengangkatnya tanpa melihat nama. “Hallo, siapa?” ‘Maaf Nona Oliv. Saya asisten pribadinya Tuan Nick. Saya sudah di depan rumah Nona untuk menjemput Noona.’ Oliv terdiam sejenak. Sedetik pula ia membulatkan matanya dan bangun dari tidurnya. “Bentar, Pak? Di depan rumah saya?” tanyanya kembali untuk memastikan. ‘Iya, Nona.’ Oliv segera bangkit dari kasur dan mengintip dari sela horden. Ternyata benar, ada sebuah mobil mewah di depan rumahnya. “Astaga, kenapa mendadak sih? Kan bisa kirim pesan dulu si Nick,” batinnya. “Engh–baik, Pak. Tunggu di depan ya. Saya siap-sial dulu,” katanya sebelum mematikan panggilan di sana. Oliv merasa bingung. Kemudian ia buru-buru untuk mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar
Oliv masih shock di tempat dan menatap pria itu dengan lekat. “Nick?” gumamnya. Sesekali ia melihat orang itu dibawa oleh orang-orang yang berada di sana. Sungguh dia sangat lega saat ini. Bukan karena dirinya takut akan kehilangan ponselnya itu. Namun, di dalam ponselnya itu terdapat dokumen yang penting, bahkan kontak-kontak penting juga. Pria itu melangkah ke arahnya dan memberikan ponselnya kepadanya. “Lain kali bisa hati-hati tidak?” kata Nick dengan nada datar. Oliv segera mengambil ponselnya di tangan Nick dan mengangguk kikuk. “Y–ya, makasih, Tuan Nick,” katanya sambil menundukkan kepala sekilas. Nick berdehem pelan. “Panggil saya dengan sebutan Nick bisa? Jangan sampai keluarga saya mendengarkan ucapan kamu barusan.” Oliv menghela napas pelan. “B–baik, Nick. Ah ya, aku mau buka stand, kalau kamu mau. Aku akan memasakkan kamu makanan. Sebagai pertanda terimakasih aku ke kamu,” katanya. “Saya sebenarnya harus meeting, tapi kalau kamu memaksa saya. Saya akan meneriman
Nick melirik dari sudut mata sambil menyunggingkan senyuman devilnya. “Memangnya kenapa hah? Bukannya kamu sudah mendapatkan ciuman dari pacarmu itu? Otomatis kamu pernah melihat tubuh pacarmu itu, kan?” Mata Oliv membulat seketika dan membuka matanya. Perempuan itu menatap ke pria itu tajam dan bangkit dari tidurnya. “Coba bilang sekali lagi!” Nick mengangkat bahunya acuh dan segera masuk ke dalam kamar mandi. Oliv menghela napas kasar, ia bangkit dari tidurnya dan menatap dirinya sendiri di depan cermin. “Seorang Oliv sekarang menikah. Apa ini nggak mimpi?” gumamnya. Perempuan itu menghela napas kasar, kemudian ia melangkahkan kakinya untuk membuka horden di sana. Senyuman lembut teukar dibibirnya sendiri. “Kayaknya aku harus mengenal lebih Tuan Nick. Dia benar-benar sangat tertutup,” gumamnya. “Dih kenapa malah mikir kayak gitu sih? Biarin aja si cowok tadi idup seenaknya. Kenapa aku mikirin tuh cowo?” gerutunya. Oliv menggelengkan kepala cepat untuk menepis semua pikirann
Nick mendesis pelan. “Yasudah, makan saya yang ada. Tidak usah masak. Makanannya sayang kalau tidak dimakan,” kata Nick. Oliv melirik pria itu dari sudut mata. “Bisa nggak sih kamu nggak pelit-pelit sedikit? Lagian aku nggak bakalan masak kalau sudah ada makanan di meja makan.” “Ya, kali aja kamu bakalan masak lagi.” Oliv berdehem kecil, kemudian ia mengambil porsi makanan untuknya sendiri di sebuah piring. “Orang tua kamu di mana?” “Mereka pergi, sibuk sama pekerjaan mereka. Maksud saya papa yang sibuk, mama cuma menemani papa saja,” jawab Nick spontan. Oliv mengangguk kecil, ia menarik salah satu kursi di sana dan segera melahap makanannya dengan pelan. “Kamu belum makan, kan?” Nick melirik ke arahnya dan menautkan alisnya. “Kalau kamu tau saya belum makan. Kenapa kamu tidak mengambilkan makanan untuk saya?” tanya pria itu dengan nada datar. Oliv menelan makanannya dengan pelan. Apa dia salah? “Mana aku tau, aku kira kamu makan bareng sama tamu tadi. Yaudah aku makan sendir
Oliv membuka matanya perlahan, ia menguap pelan dan melihat ke sekitarnya. “Aku, di mana?” gumamnya. Perempuan itu segera bangkit dari tidurnya dan melirik ke sampingnya yang tak ada siapapun di sana. “Bukannya aku di sofa semalam?” gumamnya. Oliv terdiam sejenak, mengingat kejadian semalam. “Nick? Apa Nick yang membawa aku ke sini?” gumamnya. Perempuan itu segera bangkit dari duduknya, kemudian mengikat rambutnya asal. Dia bergegas untuk keluar dari kamarnya itu dan segera ke arah dapur. Oliv menghentikan langkahnya ketika melihat Nick yang sedang memasak di sana. Keningnya mengkerur seketika. “Tu–an? Kenapa kamu masak sih? Kan aku belum bangun? Kalau nggak ada yang masak kan bisa dimasakin bibi,” kata Oliv dengan nada cepat. Nick menoleh ke belakang sekilas. “Sudah bangun kamu? Kalau mau makan, makan saja.” Oliv menghela napas pelan, kemudian mendekat ke arah pria itu. Tepatnya ia berdiri di samping Nick dan melihat pria itu yang kini sedang membuat nasi goreng. “Nasi gor
“Sudahlah, saya kerja dulu. Tidak penting juga bicara sama kamu,” kata Nick sebelum bergegas pergi dari dapur. Oliv menautkan alis dan menatap punggung pria itu yang semakin menghilang dari pandangannya. “Ngeselin banget,” gumamnya. Ia mengambil lap untuk membersihkan meja itu supaya bersih kembali. Setelah mendengarkan suara mobil di luar sana, Oliv segera keluar dari rumah dan melihat mobil Nick yang sudah berjalan pergi dari halaman rumah. Oliv menghela napas pelan. “Ternyata gini ya, kalau punya keluarga. Bahkan kita nggak saling mencintai, jadi agak hambar juga,” gumamnya. Tak mau berlama di depan rumah. Oliv akhirnya masuk ke dalam dan menutup kembali pintu. Dia tak ingin pria itu marah jika kembali, akhirnya dia harus membersihkan sekeliling rumahnya itu agar terlihat bersih. “Akhirnya selesai juga,” gumamnya. Oliv menepis keringat yang berada di keningnya. “Mau mandi dulu ah, habis itu siap-siap ke stand.” Oliv kembali ke kamar dan melihat ke sekeliling kamar yang masi
‘Yasudah kalau begitu, kamu baik-baik di sana ya?’ Oliv mengulas senyuman kecilnya dibibirnya. “Pasti Ma, Mama jaga diri baik-baik ya di sana. Kalau ada apa-apa bilang sama Oliv, ngerti?” ‘Iya, Sayang. Mama tutup dulu ya, kapan-kapan Mama main ke sana, sampai ketemu nanti, princes.’ Oliv tersenyum lembut dan melihat ke layar ponselnya. “Tunggu Oliv ya, Ma. Pokoknya mama harus terus cek kondisi Mama biar nggak makin parah,” ucapnya lirih. Setelah sampai. Oliv segera membayar dengan memakai tapcash dan turun dari halte. Dia melihat ke sekitar, ternyata kantor milik Nick sangatlah luas. Tak mau berlama, akhirnya Oliv segera masuk ke dalam kantor tersebut. Dia mengedarkan pandangannya dan menatap kagum. “Ehm! Mau ngapain di sini? Lihat pakaian kamu, apa pantas, hah?” Langkah kaki Oliv terhenti seketika ketika melihat seorang wanita yang mencegatnya. “O–oh, ya. Saya mau ketemu Tuan Nick, apa dia ada di kantor?” “Nick? Emang kamu sudah janji sama dia?” kata wanita itu sambil menat
Oliv melirik ke Nick sekilas sesekali menatap perempuan yang masih diam di ambang pintu tersebut. Tak mau mencari keributan. Dia akhirnya keluar dari tempat itu. “Akhirnya bisa keluar juga, sumpah deg-degan parah pas liat orang tadi. Semoga aja nggak ada masalah nanti,” gumamnya. Oliv melihat ke sekeliling kantor itu. “Daebak! kayaknya aku bakalan kaya kalau kerja di sini. Sayangnya aku nggak kuliah kemarin, gabakalan bisa juga ngelamar ke sini, kecuali bagian administrasi,” gumamnya. Oliv melirik ke lift dan segera memencet lift itu berkali-kali. “Sumpah lama banget sih!” Tak lama kemudian, lift itu terbuka dan memperlihatkan seorang wanita yang datang dengan memakai pakaian rapi. Oliv menutup mulutnya saat melihat wanita itu sangat cantik dan anggun. “Astaga, cantik banget dia,” gumamnya “Kamu, karyawan di sini?” tanya wanita itu setelah keluar dari lift tersebut. Oliv menerjapkan mata pelan dan menggelengkan kepala. “Ng–nggak, aku–” Ucapannya terpotong saat wanita itu
Oliv menghentikan langkah di ambang pintu. Kapalnya ternyata sudah jalan di tengah laut. Spontan dirinya menahan tubuhnya agar tidak terjatuh karena tidak seimbang. Namun, tiba-tiba saja ada seseorang yang menahan tubuhnya itu dari belakang. “Are you okay?” Suara serak itu, membuat Oliv menoleh ke samping. Dia menatap pria itu yang nampak khawatir. “Aku, nggak papa kok,” ucapnya, kemudian dia menjajarkan tubuhnya. Nick tertawa miris. “Oliv, jangan bodohi saya bisa? Saya juga pernah melihat orang seperti kamu. Orang itu takut menaiki kapal, tapi tidak tau dengan kamu. Apa kamu juga begitu, heum?” Perempuan itu terdiam sambil menundukkan kepala dan memainkan jari-jarinya di bawah sana. Nick berjalan dan berdiri di hadapan perempuan tersebut. Pria itu menggenggam kedua tangannya lembut. “Tanganmu yang sangat dingin dan wajah kamu sangat pucat. Sudah pasti kamu tidak terbiasa menggunakan kapal.” Oliv menghembuskan napas pelan. “Ya, aku ... takut sama laut.” Pria itu terdiam se
Besoknya, Oliv sudah siap dengan memakai pakaian santai, tidak lupa juga memakai cardigan panjang untuk menutupi tubuhnya. “Sudah siap? Saya menyuruh Mark menjemput kita ke sini. Mumpung dia punya waktu,” ucap Nick yang kini masih memakai jam tangan di sana.Oliv menoleh ke pria itu, kemudian ia mengangguk kecil. “Kopernya aku bawa ke luar ya?”Baru saja perempuan itu menyeret koper itu. Namun sebuah tangan menahan koper itu juga. Oliv menatap ke tangan itu, kemudian menatap ke arah pria itu. “Kamu keluar saja dulu. Biar saya yang membawanya. Kamu bawa tas selempang kamu saja.”Oliv menelan salivanya, jujur saja degup jantungnya saat ini tidak bisa dikendalikan. Perempuan itu mengangguk dan segera mengambil tas selempangnya. Kemudian bergegas untuk keluar dari apartemen itu.“Astaga, jantung aku kenapa nggak bisa diatur sih?” gumamnya sambil memegang dadanya sendiri. Oliv menghela napas kasar dan masuk ke dalam lift. Kemudian memencet tombol untuk membawanya pergi ke lantai bawah.
Setelah selesai, mereka memutuskan keluar dari tempat itu. Dan ya, Oliv menggenggam bingkisan pakaian itu dengan erat sambil melihat ke sana kemari. Melihat itu, Nick nampak bingung. “Are you okay? Apa ada yang ketinggalan?” tanya pria itu sambil melihat ke belakang. Perempuan itu menatap ke pria itu, kemudian menggelengkan kepala cepat. “Nggak, cuma–” ucapannya tergantung. Di menggigit bibirnya sendiri. ”Cuma apa?” Nick nampak menghentikan langkahnya. Oliv-pun ikut berhenti. “Aku nggak nyaman aja sama orang-orang yang bilang aku perebut pacar orang?”Pria itu nampak mengkerutkan, tak lama tertawa miris. “Hei? Tumben sekali kamu peduli sama ucapan orang disana?”Nick memegang pundak perempuan itu. “Kamu tau semuanya kan? Dan mereka tidak tau bagaimana otak Kimberly? Jadi, kamu tidak perlu memikirkan ucapan mereka, oke?”Oliv menghembuskan napas kasar, kemudian mengangguk kecil dan tersenyum lebar. “Okey, thanksyou.”Pira tersebut mengulas senyuman dan mengaitkan jari-jemari ke jar
Sebulan lebih lamanya, Oliv bertahan di kontrak ini. Tapi, untuk saat ini Nick memutuskan membawa Oliv ke apartemen pribadi sendiri. Seperti janji pria itu dari awal. Oliv melihat ke sekeliling apartemen tersebut. Dia nampak terkesima melihatnya. “Ini apartemen kamu sendiri?” Nick mengangguk kecil dan meletakkan dua koper di sana. “Iya, sebelumnya saya minta maaf kalau sudah memisahkan kamu dengan mama kamu. Tapi, kamu tidak perlu khawatir. Mama kamu akan aman di sana. Bibi sama supir di sana bakalan menjaganya di sana.” Perempuan itu menatap pria yang sedang membuka jaket di sana. Dia mengangguk pelan dan mengulas senyuman kecilnya. “No problem, aku percaya sama kamu.” “Oh, ya. Kalau mau berendam, kamu berendam saja. Pasti perjalanan tadi sangat lama dan tubuh kamu berkeringat kan?” Oliv menerjapkan mata pelan. “Engh–okay.” “Besok kita bulan madu, kamu siapkan semuanya.” Nick menghempaskan tubuh ke kasur empuk itu sambil menutup mata untuk menghilangkan rasa lelah. Oliv terd
Oliv segera mengalihkan pandangan, kemudian menjajarkan duduknya kembali. “Ng–nggak, aku kaget aja. Tadi musiknya terlalu keras.” Nick mendesis pelan. “Dih, bilang saja takut.” Perempuan itu hanya diam dan mencoba fokus dengan film yang terpampang di layar besar tersebut. Mereka menonton film layar lebar dengan menikmati popcorn dan juga minuman yang dibeli tadi. Ternyata film-nya semakin seram, sehingga membuat Oliv semakin mendekat ke Nick sambil meremas lengan pria tersebut. “Astaga, apa itu!” “Teman kamu tadi, cepat agak geseran sedikit bisa? Saya tidak muat di sini.” Oliv menerjapkan matanya pelan, dia melihat posisinya kembali. Kemudian bergeser sedikit. “Maaf, tadi ... reflek,” ucapnya. Setelah itu. Mereka kembali menonton dengan serius. Meskipun Oliv sangat ketakutan, perempuan itu terus menahan rasa takutnya dengan menutup matanya sendiri. Oliv mengambil popcorn dan memakannya sesekali untuk menghilangkan rasa takutnya. Tak lama, dia mengambil lagi. Namun, ternyata d
“Jangan banyak omong.” ucap pria itu menyuruhnya untuk ke belakang. Oliv melirik ke pria itu sesekali melihat dua pasangan kekasih yang sedang mencari meja makan di sana. “Are you okay?” tanyanya pelan. Nick menoleh ke samping. “Menurutmu? Kamu bawa kacamata hitam? Buat kita ke sana?”Oliv menggelengkan kepala pelan. “Nggak bawa.”Nick menghela napas pelan, sesekali memastikan dua orang tersebut masih berada di sana. “Kita beli terlebih dahulu, habis itu kita ikuti mereka,” ucap pria itu, kemudian menarik lembut tangan Oliv untuk pergi dari tempat itu. Di dalam salah satu toko. Oliv mencari dua kacamata dan juga Nick yang masih mencari topi. “Lama banget sih? Kamu ini nyari topi atau nyari istri lagi?”Pria itu meliriknya dengan datar. “Apa kamu keberatan?” ucap Nick, kemudian menuju ke kasir untuk membayar beberapa barang yang berada di sana. “Kita cari pakaian santai dan sekalian beli sepatu buatmu.”Oliv melirik ke bawah sekilas. “Hmm, yaudah. Aku juga udah nggak betah lagi pa
“Nick?”“Heumm?”“Kita mau ke mana? Bukannya ke kantor?” tanya Oliv memastikan. Dia menoleh ke samping.“Kan saya bilang ke suatu tempat.”“Nggak ke kantor?”“Lupakan masalah kantor, saya sudah menyuruh seseorang menhandle kantor saya.”“Terus? Kenapa kamu nyuruh aku pakai pakaian rapi kayak gini?”“Apa kamu tidak suka?”Oliv terdiam sejenak, kemudian menghela napas pelan. “Humm, sekali lagi aku tanya ke kamu. Kita mau ke mana?”Nick tidak menjawabnya. Alhasil, Oliv menyerah untuk bertanya kepada Nick. Dia menyandarkan punggungnya di sofa dengan santainya sembari menatap jalanan yang ramai dengan kendaraan. “Kamu suka film horor kan?”Kening Oliv mengkerut, dia menoleh ke Nick kembali. “Suka, tapi tergantung film-nya sih.”“Berani?”“Berani, mau nonton?”Nick menoleh ke samping, kemudian mengangguk kecil. “Mau temani saya nonton film horor?”Oliv menggembungkan pipinya. Tak mau menolak, akhirnya dia mengangguk kecil. “Boleh, nanti kita lihat jam tayangnya dulu. Nggak mungkin juga kan
Oliv membuka mata perlahan. Dia memincingkan matanya karena pancaran sinar matahari mengenai matanya. “Jam berapa ini?” gumamnya. Ia melihat ke jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Perempuan itu menguap pelan dan baru menyadari posisinya sekarang berada di dekapan pria yang masih tidur itu. Kening Oliv mengkerut, dia terus memandangi wajah tampan pria tersebut. Sangat damai, seakan tidak ada satupun permasalahan yang dipikirkan saat ini. “Lebih baik dia seperti ini daripada seperti kemarin. Aku nggak tega kalau lihatnya,” gumamnya.Oliv melihat ke tangan pria itu yang masih stay memeluk tubuh kecilnya. Senyuman kecil lolos keluar dari mulutnya. “Pantas saja hangat,” gumamnya. “Tapi, nggak mungkin juga aku mengganggu dia bangun.”Oliv menatap pria itu kembali. Dengan perlahan, perempuan itu melepaskan pelukan pria itu. “Jangan pergi, temani saya,” ucap pria itu lirih. Perempuan itu sempat diam dan menatap pria itu yang ternyata masih tidur. “Aku di sini. Kamu lanjutkan ti
“Hallo, Ma. Ini Oliv. Ma, tenangin pikiran Mama dulu. Nick akan menjelaskan semuanya di rumah, okay.”‘Cepat balik. Bawa Nick ke rumah!’ ucap mama Nick sebelum mematikan telepon dari sana. Oliv terdiam, dia menghela napas pelan dan memberikan ponselnya kembali ke pria yang berada di sampingnya itu. “Kamu harus menjelaskan dengan benar. Jangan ditutupi.”Nick hanya diam. Setelah sampai di kediaman rumah Nick. Mereka segera masuk ke dalam sana. Dan ya, benar sana mama Nick mendekat ke arah mereka. Satu tamparan keras mengenai pipi Nick. Mulut Oliv spontan ditutup karena shock. “Bilang sama Mama, kalau berita itu tidak benar, Nick!”Nick nampak memalingkan wajah dan hanya diam di tempat. Oliv tidak bisa diam, dia harus bicara yang sebenarnya. “Ma–”“Stop, bicara, Oliv. Ini salah Nick, harusnya dia yang menjelaskan apa yang terjadi sama dia.”Oliv terdiam sejenak dan menghela napas pelan. Dia menoleh ke samping sambil memegang lengan pria itu. “Nick?”Nick mendongakkan kepala, tangan