Nick mendesis pelan. “Yasudah, makan saya yang ada. Tidak usah masak. Makanannya sayang kalau tidak dimakan,” kata Nick.
Oliv melirik pria itu dari sudut mata. “Bisa nggak sih kamu nggak pelit-pelit sedikit? Lagian aku nggak bakalan masak kalau sudah ada makanan di meja makan.”
“Ya, kali aja kamu bakalan masak lagi.”
Oliv berdehem kecil, kemudian ia mengambil porsi makanan untuknya sendiri di sebuah piring. “Orang tua kamu di mana?”
“Mereka pergi, sibuk sama pekerjaan mereka. Maksud saya papa yang sibuk, mama cuma menemani papa saja,” jawab Nick spontan.
Oliv mengangguk kecil, ia menarik salah satu kursi di sana dan segera melahap makanannya dengan pelan. “Kamu belum makan, kan?”
Nick melirik ke arahnya dan menautkan alisnya. “Kalau kamu tau saya belum makan. Kenapa kamu tidak mengambilkan makanan untuk saya?” tanya pria itu dengan nada datar.
Oliv menelan makanannya dengan pelan. Apa dia salah? “Mana aku tau, aku kira kamu makan bareng sama tamu tadi. Yaudah aku makan sendiri.”
“Kalau begitu, bisa ambilkan makanan buat suamimu ini?”
Oliv menghela napas kasar dan memutarkan bolamata jengah. “Jangan buat moodku ancur karena kamu ya.”
“Bukannya itu sudah kewajiban istri? Melayani seorang suaminya?”
Lagi-lagi Oliv menghela napas kasar. Ia bangkit dari kursi dan mengambilkan porsi makanan untuk Nick.
“Nih, makan. Nggak usah bawel ya kamu, untungnya aku baik hari ini, belum lihat kalau aku marah.”
Nick melirik kearahnya sambil menautkan alis. “Coba saja kamu marah. Mungkin saja uang kamu aku potong satu juta,” kata pria itu dengan wajah santai.
Oliv terdiam, ia menggertakkan giginya bahkan tangannya hampir saja ingin mencakar pria itu. “Tahan, Oliv. Cuma sebentar kok,” batinnya.
Oliv segera duduk kembali dan melahap makanannya itu dengan mood hancur.
“Makannya bisa santai tidak, hah?”
Oliv melirik dari sudut mata. “Suka-suka akulah. Kenapa kamu yang repot sih?”
“Kamu perempuan kan. Harusnya perempuan makan yang sopan.”
Oliv menghela napas pelan, ia memakan makanannya dengan santai. Jujur saja dirinya sangat muak dengan ucapan Nick barusan.
Setelah selesai makan, Oliv membawa sisa piring mereka ke wastafel untuk mencucinya.
“Ada bibi, kamu tidak usah mencucinya,” kata Nick yang sedang membuka kulkas di sana.
Oliv melirik dari sudut mata dan menghembuskan napas kasar. “Kan aku ada waktu juga kan? Sesekali bantu bibi kan bisa?”
“Yasudah kalau itu mau kamu. Saya juga tidak melarang,” kata Nick sebelum pergi dari hadapannya.
Oliv menghela napas kasar. Ia membersihkan tangannya setelah selesai mencuci. Kemudian melangkahkan kakinya ke kamar dan ternyata pria itu sudah berbaring di kasur tersebut.
Perempuan itu kembali menutup pintu itu dan duduk di tepi kasur.
“Kamu besok kerja?” tanya pria itu tiba-tiba.
Oliv melirik dari sudut mata, melihat Nick yang bermain ponsel di sana tanpa menatapnya. “Ya, seperti biasa,” jawabnya.
“Yasudah kalau begitu. Saya juga kerja, saya akan mengantarmu besok,” ucap pria itu sebelum meletakkan ponsel itu di meja.
“Aku bisa sendiri. Lagian nggak jauh juga dari sini.”
“Tidak ada penolakan. Nanti saya dimarahi orang tua saya, jika tidak bersamamu nanti.”
“Bukannya mereka ke luar negeri?”
Nick mendesis pelan. “Kamu kira mereka bodoh? Mereka pasti memasang cctv untuk melihat kita. Jadi, kita masih akting meskipun tidak ada mereka.”
Oliv menghela napas pelan. “Yaudah, yang penting di kamar kamu nggak ngapa-ngapain aku gitu aja,” katanya, kemudia ia membaringkan tubuh di kasur dan menarik selimutnya ke tubuhnya.
“Kenapa kamu di sini? Ini kasur saya, harusnya kamu tidur di sofa sana.”
Oliv melirik ke pria itu dengan tajam. “Gila ya kamu!”
Nick mengangkat bahunya acuh. “Kontraknya cuma itu sja akan? Akting di depan orang tuaku saja dan tidak ada aturan lainnya. Jadi ... Kalau diluar itu. Berarti kamu tidak berhak untuk tidur dikasur saya,” kata pria itu dengan santai.
Wajah Oliv nampak merah menahan amarah di dalam sana. “Sumpah, ngeselin ya kamu! Kalau tau gitu kenapa kamu bawa aku ke rumah ini, hah!”
Oliv segera bangkit dari tidurnya dan mengambil salah satu bantal. Kemudian melemparkannya ke pria itu. “Makan tuh bantal!”
Dengan rasa kesalnya itu, dia berbaring di sofa dengan bantal kecil yang berada di sana.
Nick melirik ke arahnya. “Kenapa kamu yang marah? Aneh banget.”
“Aneh-aneh mata kamu tuh. Bisanya bikin emosi orang terus. Jangan bilang orang yang deket sama kamu dulu langsung kabur soalnya kamu ngeselin.”
“Mending kamu tidur, tidak usah banyak bicara.”
Di detik itu juga, Nick mematikan lampu di sana. Sehingga membuat Oliv terdiam dan merasa ketakutan. “Emm ... Nick?”
“Humm ....” Hanya deheman kecil yang didengarkan oleh Oliv.
Oliv melihat ke sekitar kamar itu. Tidak ada lampu sama sekali. Apa Nick sering tidur seperti ini? Tidak ada lampu tidur sama sekali.
“Nih, bantal sama selimut. Jangan coba-coba kamu pindah ke kasur,” kata Nick memberikan bantal dan selimut ke Oliv.
Spontan Oliv menerima bantal dan selimut itu. “Serius kamu tidur dengan keadaan gelap seperti ini?” tanyanya dengan nada ragu.
“Ya, saya tidak suka tidur dengan keadaan ada lampunya,” kata pria itu sebelum kembali ke kasur.
Oliv menerjapkan mata pelan. Ia membungkus tubuhnya itu memakai selimut dan membenarkan bantal untuk menyandarkan kepalanya di sana. Kemudian memeluk bantal kecil itu sebagai guling. “Nick?”
“Apa lagi?” ucap Nick dengan lirih. Sepertinya pria itu mau tidur. Suaranya juga mulai melirih.
Oliv menghela napas pelan dan menggelengkan kepala cepat. “Nggak, selamat tidur,” ucapnya dengan pelan.
Meskipun dirinya takut akan gelap. Namun, dia memaksakan diri untuk memejamkan matanya. “Untuk beberapa bulan doang Oliv, tahan ya,” batinnya.
Tiba-tiba saja lampunya hidup. Oliv membuka matanya pelan, dia melihat ke sekitar dan ternyata Nick menghidupkan lampunya di sana.
“Kenapa?”
“Tidur aja dulu, nanti kalau udah tidur. Saya matikan lampunya,” kata pria itu sebelum duduk di tepi kasur kembali.
Oliv menerjapkan mata pelan dan menghela napas. “Peka banget ternyata dia,” batinnya. Ia mengangguk kecil dan memejamkan matanya kembali.
Tak lama kemudian, Oliv tertidur di sofa sana dengan pulas. Entah karena kecapekan, makanya Oliv sangat cepat untuk tidur.
Melihat itu, Nick segera bangkit dari kasur itu dan kembali mengecek Oliv. “Dia sudah tidur?”
Nick melambaikan tangan di depan wajah Oliv. Ternyata Oliv beneran tidur di sana. Tak mau berpikir panjang, akhirnya Nick memutuskan untuk menggendong perempuan itu dan membaringkan ke kasur. Tidak lupa menarik selimut untuk menyelimuti tubuh Oliv supaya tidak kedinginan.
Oliv merasakan ada yang mengangkatnya, matanya terbuka sedikit dan tersenyum tipis saat melihat Nick di sana. “Makasih,” lirihnya, kemudian kembali melanjutkan tidurnya di sana.
Oliv membuka matanya perlahan, ia menguap pelan dan melihat ke sekitarnya. “Aku, di mana?” gumamnya. Perempuan itu segera bangkit dari tidurnya dan melirik ke sampingnya yang tak ada siapapun di sana. “Bukannya aku di sofa semalam?” gumamnya. Oliv terdiam sejenak, mengingat kejadian semalam. “Nick? Apa Nick yang membawa aku ke sini?” gumamnya. Perempuan itu segera bangkit dari duduknya, kemudian mengikat rambutnya asal. Dia bergegas untuk keluar dari kamarnya itu dan segera ke arah dapur. Oliv menghentikan langkahnya ketika melihat Nick yang sedang memasak di sana. Keningnya mengkerur seketika. “Tu–an? Kenapa kamu masak sih? Kan aku belum bangun? Kalau nggak ada yang masak kan bisa dimasakin bibi,” kata Oliv dengan nada cepat. Nick menoleh ke belakang sekilas. “Sudah bangun kamu? Kalau mau makan, makan saja.” Oliv menghela napas pelan, kemudian mendekat ke arah pria itu. Tepatnya ia berdiri di samping Nick dan melihat pria itu yang kini sedang membuat nasi goreng. “Nasi gor
“Sudahlah, saya kerja dulu. Tidak penting juga bicara sama kamu,” kata Nick sebelum bergegas pergi dari dapur. Oliv menautkan alis dan menatap punggung pria itu yang semakin menghilang dari pandangannya. “Ngeselin banget,” gumamnya. Ia mengambil lap untuk membersihkan meja itu supaya bersih kembali. Setelah mendengarkan suara mobil di luar sana, Oliv segera keluar dari rumah dan melihat mobil Nick yang sudah berjalan pergi dari halaman rumah. Oliv menghela napas pelan. “Ternyata gini ya, kalau punya keluarga. Bahkan kita nggak saling mencintai, jadi agak hambar juga,” gumamnya. Tak mau berlama di depan rumah. Oliv akhirnya masuk ke dalam dan menutup kembali pintu. Dia tak ingin pria itu marah jika kembali, akhirnya dia harus membersihkan sekeliling rumahnya itu agar terlihat bersih. “Akhirnya selesai juga,” gumamnya. Oliv menepis keringat yang berada di keningnya. “Mau mandi dulu ah, habis itu siap-siap ke stand.” Oliv kembali ke kamar dan melihat ke sekeliling kamar yang masi
‘Yasudah kalau begitu, kamu baik-baik di sana ya?’ Oliv mengulas senyuman kecilnya dibibirnya. “Pasti Ma, Mama jaga diri baik-baik ya di sana. Kalau ada apa-apa bilang sama Oliv, ngerti?” ‘Iya, Sayang. Mama tutup dulu ya, kapan-kapan Mama main ke sana, sampai ketemu nanti, princes.’ Oliv tersenyum lembut dan melihat ke layar ponselnya. “Tunggu Oliv ya, Ma. Pokoknya mama harus terus cek kondisi Mama biar nggak makin parah,” ucapnya lirih. Setelah sampai. Oliv segera membayar dengan memakai tapcash dan turun dari halte. Dia melihat ke sekitar, ternyata kantor milik Nick sangatlah luas. Tak mau berlama, akhirnya Oliv segera masuk ke dalam kantor tersebut. Dia mengedarkan pandangannya dan menatap kagum. “Ehm! Mau ngapain di sini? Lihat pakaian kamu, apa pantas, hah?” Langkah kaki Oliv terhenti seketika ketika melihat seorang wanita yang mencegatnya. “O–oh, ya. Saya mau ketemu Tuan Nick, apa dia ada di kantor?” “Nick? Emang kamu sudah janji sama dia?” kata wanita itu sambil menat
Oliv melirik ke Nick sekilas sesekali menatap perempuan yang masih diam di ambang pintu tersebut. Tak mau mencari keributan. Dia akhirnya keluar dari tempat itu. “Akhirnya bisa keluar juga, sumpah deg-degan parah pas liat orang tadi. Semoga aja nggak ada masalah nanti,” gumamnya. Oliv melihat ke sekeliling kantor itu. “Daebak! kayaknya aku bakalan kaya kalau kerja di sini. Sayangnya aku nggak kuliah kemarin, gabakalan bisa juga ngelamar ke sini, kecuali bagian administrasi,” gumamnya. Oliv melirik ke lift dan segera memencet lift itu berkali-kali. “Sumpah lama banget sih!” Tak lama kemudian, lift itu terbuka dan memperlihatkan seorang wanita yang datang dengan memakai pakaian rapi. Oliv menutup mulutnya saat melihat wanita itu sangat cantik dan anggun. “Astaga, cantik banget dia,” gumamnya “Kamu, karyawan di sini?” tanya wanita itu setelah keluar dari lift tersebut. Oliv menerjapkan mata pelan dan menggelengkan kepala. “Ng–nggak, aku–” Ucapannya terpotong saat wanita itu
Oliv melihat layar ponselnya itu saat pria itu mematikan panggilan dari sana. Dia bergidik ngeri. “Kalau dipikir-pikir ngeri juga manggil sayang si orang nyebelin itu,” gumamnya. Oliv menghela napas pelan, kemudian memasukkan kembali ke tas. “Tapi bagusdeh, kan dapat bonus juga,” ucapnya sambil tersenyum kecil. Ia kembali mendorong troli untuk ke kasir. Dia melihat beberapa belanjaan dimasukkan ke dalam wadah. Oliv segera membawa dua kantung belanjaan ke luar sana setelah membayarnya. Sambil menunggu grab datang, Oliv memutuskan untuk duduk di depan supermarket sambil memakan eskrim di sana. Selang beberapa menit, akhirnya grabnya datang dan ia segera bangkit. Ya, dirinya memang sengaja memesan grab mobil agar bisa membawa belanjaannya itu. Setelah diletakkan di bagasi. Oliv masuk ke dalam sana dan tak lama grab itu berjalan dengan kecepatan rata-rata. “Telat kayaknya, gara-gara si Nick tua itu. Pasti pelangganku nunggu di sana,” gerutunya. Sesampai di lokasi di mana ia berju
Oliv terdiam sejenak, mencerna ucapan Nick barusan. Lalu, memakan buah yang dikupas tadi. “Terus? Makanan? Baju? Apa bakalan kamu bayar?” “Semuanya saya bayar. Kamu tidak usah khawatir. Kamu cukup siap-siap dan ikut bersama saya,” kata Nick disela-sela makan. Oliv mengunyah pelan. “Okey, kalau begitu. Aku terima tawaran Om.” Nick melirik ke Oliv tajam. “Saya masih muda, ya. Jangan panggil saya Om, apalagi Tuan, ngerti?” “Dish! Kan emang kamu udah tua. Mending ngaca deh, cuma kebanting aja sama muka kamu,” ucap Oliv tanpa takut sama sekali. Nick mendesis pelan. “Ternyata saya salah orang. Saya kira kamu beneran polos dan perempuan biasa aja. Ternyata sangat bawel,” ucapnya sambil menggelengkan kepala. “Makanya, kalau mau sok aja kenalan lebih dalam.” “Saya tidak minat. Buat apa sih kenal sama perempuan lebih dekat? Bukannya bahagia, malah bikin sakit hati yang ada.” Oliv menghentikan makan buahnya dan memincingkan mata tajam menatap pria itu serius. “Wait ... wait ...? Jang
“Batu,” ucap pria itu sebelum masuk kembali ke kamar. Oliv mendesis pelan dan menyandarkan tubuhnya kembali. “Ngeselin banget jadi orang,” gumamnya, kemudian melanjutkan makan. Tiba-tiba saja Nick melemparkan jaket tepat di hadapannya. “Pakai jaket minimal, biar tidak sakit,” kata Nick sebelum masuk kembali. Oliv melihat jaket itu, sesekali melirik ke pria tersebut. Dia mengambil jaketnya dan memakai jaket itu. “Pas banget, jangan bilang ini jaket mantannya,” gumamnya, kemudian memakai jaket itu. Selama sejam lebih, Oliv mulai menguap dan matanya terasa berat. “Hoamm .... sepertinya aku mengantuk. Padahal pengen nyemil lagi,” gumamnya, kemudian ia beranjak dan mengambil sisa makanan tadi. Oliv masuk ke kamar dan menutup pintu balkon kamar, kemudian menutup gordennya kembali. Perempuan itu melihat seorang pria yang sudah tertidur pulas di kasur sana berselimut tebal. “Padahal cowo dia, tidur duluan. Gimana nanti kalau dia punya istri? Apa bakalan tidur duluan sebelum istri
“Udah, sana kamu tungguin di sana saja. Biar saya yang masak,” pinta Nick, kemudian mengalihkan masaknya. Oliv masih diam dan menatap ke pria itu dengan seksama. “Dia orang baik, tapi sepertinya dia trauma akan masa lalunya. Makanya si cowo ini merubah sikapnya,” batinnya. “Kenapa masih diam di situ? Duduk saja tuh ada kursi.” Oliv menyadarkan lamunannya. Kemudian mengangguk kecil sebelum duduk di kursi sana. “Maaf banget nih, kalau mau bantuan aku bantu kok.” “Tidak usah. Nanti malah tidak enak masakannya kalau pakai dua tangan,” kata Nick fokus dengan masaknya. Oliv menggembungkan pipinya dan menghela napas pelan. Setelah selesai masak, Nick segera menyiapkan makanan di meja makan. “Cepat ke sini. Keburu dingin nanti.” Oliv segera beranjak dari tempat duduk dan duduk di tempat makan. “Nanti aku bakalan hati-hati kok.” Nick melirik Oliv dari sudut mata dan meninggalkannya di sana. Oliv mengehela napas pelan, kemudian ia mengambil porsi makanan untuknya sendiri. “Mana t
Oliv menghentikan langkah di ambang pintu. Kapalnya ternyata sudah jalan di tengah laut. Spontan dirinya menahan tubuhnya agar tidak terjatuh karena tidak seimbang. Namun, tiba-tiba saja ada seseorang yang menahan tubuhnya itu dari belakang. “Are you okay?” Suara serak itu, membuat Oliv menoleh ke samping. Dia menatap pria itu yang nampak khawatir. “Aku, nggak papa kok,” ucapnya, kemudian dia menjajarkan tubuhnya. Nick tertawa miris. “Oliv, jangan bodohi saya bisa? Saya juga pernah melihat orang seperti kamu. Orang itu takut menaiki kapal, tapi tidak tau dengan kamu. Apa kamu juga begitu, heum?” Perempuan itu terdiam sambil menundukkan kepala dan memainkan jari-jarinya di bawah sana. Nick berjalan dan berdiri di hadapan perempuan tersebut. Pria itu menggenggam kedua tangannya lembut. “Tanganmu yang sangat dingin dan wajah kamu sangat pucat. Sudah pasti kamu tidak terbiasa menggunakan kapal.” Oliv menghembuskan napas pelan. “Ya, aku ... takut sama laut.” Pria itu terdiam se
Besoknya, Oliv sudah siap dengan memakai pakaian santai, tidak lupa juga memakai cardigan panjang untuk menutupi tubuhnya. “Sudah siap? Saya menyuruh Mark menjemput kita ke sini. Mumpung dia punya waktu,” ucap Nick yang kini masih memakai jam tangan di sana.Oliv menoleh ke pria itu, kemudian ia mengangguk kecil. “Kopernya aku bawa ke luar ya?”Baru saja perempuan itu menyeret koper itu. Namun sebuah tangan menahan koper itu juga. Oliv menatap ke tangan itu, kemudian menatap ke arah pria itu. “Kamu keluar saja dulu. Biar saya yang membawanya. Kamu bawa tas selempang kamu saja.”Oliv menelan salivanya, jujur saja degup jantungnya saat ini tidak bisa dikendalikan. Perempuan itu mengangguk dan segera mengambil tas selempangnya. Kemudian bergegas untuk keluar dari apartemen itu.“Astaga, jantung aku kenapa nggak bisa diatur sih?” gumamnya sambil memegang dadanya sendiri. Oliv menghela napas kasar dan masuk ke dalam lift. Kemudian memencet tombol untuk membawanya pergi ke lantai bawah.
Setelah selesai, mereka memutuskan keluar dari tempat itu. Dan ya, Oliv menggenggam bingkisan pakaian itu dengan erat sambil melihat ke sana kemari. Melihat itu, Nick nampak bingung. “Are you okay? Apa ada yang ketinggalan?” tanya pria itu sambil melihat ke belakang. Perempuan itu menatap ke pria itu, kemudian menggelengkan kepala cepat. “Nggak, cuma–” ucapannya tergantung. Di menggigit bibirnya sendiri. ”Cuma apa?” Nick nampak menghentikan langkahnya. Oliv-pun ikut berhenti. “Aku nggak nyaman aja sama orang-orang yang bilang aku perebut pacar orang?”Pria itu nampak mengkerutkan, tak lama tertawa miris. “Hei? Tumben sekali kamu peduli sama ucapan orang disana?”Nick memegang pundak perempuan itu. “Kamu tau semuanya kan? Dan mereka tidak tau bagaimana otak Kimberly? Jadi, kamu tidak perlu memikirkan ucapan mereka, oke?”Oliv menghembuskan napas kasar, kemudian mengangguk kecil dan tersenyum lebar. “Okey, thanksyou.”Pira tersebut mengulas senyuman dan mengaitkan jari-jemari ke jar
Sebulan lebih lamanya, Oliv bertahan di kontrak ini. Tapi, untuk saat ini Nick memutuskan membawa Oliv ke apartemen pribadi sendiri. Seperti janji pria itu dari awal. Oliv melihat ke sekeliling apartemen tersebut. Dia nampak terkesima melihatnya. “Ini apartemen kamu sendiri?” Nick mengangguk kecil dan meletakkan dua koper di sana. “Iya, sebelumnya saya minta maaf kalau sudah memisahkan kamu dengan mama kamu. Tapi, kamu tidak perlu khawatir. Mama kamu akan aman di sana. Bibi sama supir di sana bakalan menjaganya di sana.” Perempuan itu menatap pria yang sedang membuka jaket di sana. Dia mengangguk pelan dan mengulas senyuman kecilnya. “No problem, aku percaya sama kamu.” “Oh, ya. Kalau mau berendam, kamu berendam saja. Pasti perjalanan tadi sangat lama dan tubuh kamu berkeringat kan?” Oliv menerjapkan mata pelan. “Engh–okay.” “Besok kita bulan madu, kamu siapkan semuanya.” Nick menghempaskan tubuh ke kasur empuk itu sambil menutup mata untuk menghilangkan rasa lelah. Oliv terd
Oliv segera mengalihkan pandangan, kemudian menjajarkan duduknya kembali. “Ng–nggak, aku kaget aja. Tadi musiknya terlalu keras.” Nick mendesis pelan. “Dih, bilang saja takut.” Perempuan itu hanya diam dan mencoba fokus dengan film yang terpampang di layar besar tersebut. Mereka menonton film layar lebar dengan menikmati popcorn dan juga minuman yang dibeli tadi. Ternyata film-nya semakin seram, sehingga membuat Oliv semakin mendekat ke Nick sambil meremas lengan pria tersebut. “Astaga, apa itu!” “Teman kamu tadi, cepat agak geseran sedikit bisa? Saya tidak muat di sini.” Oliv menerjapkan matanya pelan, dia melihat posisinya kembali. Kemudian bergeser sedikit. “Maaf, tadi ... reflek,” ucapnya. Setelah itu. Mereka kembali menonton dengan serius. Meskipun Oliv sangat ketakutan, perempuan itu terus menahan rasa takutnya dengan menutup matanya sendiri. Oliv mengambil popcorn dan memakannya sesekali untuk menghilangkan rasa takutnya. Tak lama, dia mengambil lagi. Namun, ternyata d
“Jangan banyak omong.” ucap pria itu menyuruhnya untuk ke belakang. Oliv melirik ke pria itu sesekali melihat dua pasangan kekasih yang sedang mencari meja makan di sana. “Are you okay?” tanyanya pelan. Nick menoleh ke samping. “Menurutmu? Kamu bawa kacamata hitam? Buat kita ke sana?”Oliv menggelengkan kepala pelan. “Nggak bawa.”Nick menghela napas pelan, sesekali memastikan dua orang tersebut masih berada di sana. “Kita beli terlebih dahulu, habis itu kita ikuti mereka,” ucap pria itu, kemudian menarik lembut tangan Oliv untuk pergi dari tempat itu. Di dalam salah satu toko. Oliv mencari dua kacamata dan juga Nick yang masih mencari topi. “Lama banget sih? Kamu ini nyari topi atau nyari istri lagi?”Pria itu meliriknya dengan datar. “Apa kamu keberatan?” ucap Nick, kemudian menuju ke kasir untuk membayar beberapa barang yang berada di sana. “Kita cari pakaian santai dan sekalian beli sepatu buatmu.”Oliv melirik ke bawah sekilas. “Hmm, yaudah. Aku juga udah nggak betah lagi pa
“Nick?”“Heumm?”“Kita mau ke mana? Bukannya ke kantor?” tanya Oliv memastikan. Dia menoleh ke samping.“Kan saya bilang ke suatu tempat.”“Nggak ke kantor?”“Lupakan masalah kantor, saya sudah menyuruh seseorang menhandle kantor saya.”“Terus? Kenapa kamu nyuruh aku pakai pakaian rapi kayak gini?”“Apa kamu tidak suka?”Oliv terdiam sejenak, kemudian menghela napas pelan. “Humm, sekali lagi aku tanya ke kamu. Kita mau ke mana?”Nick tidak menjawabnya. Alhasil, Oliv menyerah untuk bertanya kepada Nick. Dia menyandarkan punggungnya di sofa dengan santainya sembari menatap jalanan yang ramai dengan kendaraan. “Kamu suka film horor kan?”Kening Oliv mengkerut, dia menoleh ke Nick kembali. “Suka, tapi tergantung film-nya sih.”“Berani?”“Berani, mau nonton?”Nick menoleh ke samping, kemudian mengangguk kecil. “Mau temani saya nonton film horor?”Oliv menggembungkan pipinya. Tak mau menolak, akhirnya dia mengangguk kecil. “Boleh, nanti kita lihat jam tayangnya dulu. Nggak mungkin juga kan
Oliv membuka mata perlahan. Dia memincingkan matanya karena pancaran sinar matahari mengenai matanya. “Jam berapa ini?” gumamnya. Ia melihat ke jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi. Perempuan itu menguap pelan dan baru menyadari posisinya sekarang berada di dekapan pria yang masih tidur itu. Kening Oliv mengkerut, dia terus memandangi wajah tampan pria tersebut. Sangat damai, seakan tidak ada satupun permasalahan yang dipikirkan saat ini. “Lebih baik dia seperti ini daripada seperti kemarin. Aku nggak tega kalau lihatnya,” gumamnya.Oliv melihat ke tangan pria itu yang masih stay memeluk tubuh kecilnya. Senyuman kecil lolos keluar dari mulutnya. “Pantas saja hangat,” gumamnya. “Tapi, nggak mungkin juga aku mengganggu dia bangun.”Oliv menatap pria itu kembali. Dengan perlahan, perempuan itu melepaskan pelukan pria itu. “Jangan pergi, temani saya,” ucap pria itu lirih. Perempuan itu sempat diam dan menatap pria itu yang ternyata masih tidur. “Aku di sini. Kamu lanjutkan ti
“Hallo, Ma. Ini Oliv. Ma, tenangin pikiran Mama dulu. Nick akan menjelaskan semuanya di rumah, okay.”‘Cepat balik. Bawa Nick ke rumah!’ ucap mama Nick sebelum mematikan telepon dari sana. Oliv terdiam, dia menghela napas pelan dan memberikan ponselnya kembali ke pria yang berada di sampingnya itu. “Kamu harus menjelaskan dengan benar. Jangan ditutupi.”Nick hanya diam. Setelah sampai di kediaman rumah Nick. Mereka segera masuk ke dalam sana. Dan ya, benar sana mama Nick mendekat ke arah mereka. Satu tamparan keras mengenai pipi Nick. Mulut Oliv spontan ditutup karena shock. “Bilang sama Mama, kalau berita itu tidak benar, Nick!”Nick nampak memalingkan wajah dan hanya diam di tempat. Oliv tidak bisa diam, dia harus bicara yang sebenarnya. “Ma–”“Stop, bicara, Oliv. Ini salah Nick, harusnya dia yang menjelaskan apa yang terjadi sama dia.”Oliv terdiam sejenak dan menghela napas pelan. Dia menoleh ke samping sambil memegang lengan pria itu. “Nick?”Nick mendongakkan kepala, tangan