“Ah, kepalaku sakit.” Brianna bangun dari tidurnya sambil memegangi kepalanya yang terasa sakit.
'Apa yang terjadi denganku?'Wanita itu terbangun dengan rasa sakit di kepalanya. Tenggorokannya kering dan perutnya juga tidak nyaman. Dia terkejut menemukan dirinya sedang berbaring di ruangan VIP di kelab tempatnya bekerja.Malam itu dia minum lebih banyak daripada malam-malam sebelumnya. Brianna ke kamar mandi dan muntah. Dia merasa sangat tidak nyaman, perutnya bergejolak dan pandangannya berbayang, dan terakhir dia tidak sadarkan diri.Dia tidak ingat lagi apa yang terjadi dengannya, kemudian dia bangun dan berada di ruangan ini. Sebelum dia tidak sadarkan diri tadi, samar-samar dia melihat bayangan seseorang."Kamu sudah sadar?" Tiba-tiba terdengar suara pria di dekatnya. Suaranya dalam dan dingin, suara yang sudah lama tidak dia dengar.'Suara itu...'Brianna mendongakkan kepalanya dan menemukan seorang pria duduk disana menatapnya tajam. Pria itu...'Steven...'Pria yang pernah singgah di hatinya empat tahun lalu... Brianna terkejut, dia duduk membatu dan tdak bisa menemukan suaranya.Steven berjalan mendekatinya dan memberikan sebuah botol kecil kepada Brianna, "Pereda mabuk, minumlah."Brianna mengambil minuman itu dari tangan Steven. "Terima kasih." Ucapnya parau sambil menatap botol yang ada di tangannya. Matanya tidak berani melihat pria itu.Kemudian Steven duduk di sofa lain di seberang dari tempat Brianna duduk. Brianna meminum minumannya sambil melirik mencuri pandang ke arah Steven.'Apakah aku sedang bermimpi?'Melihat sosok laki-laki yang pernah hadir dalam hidupnya empat tahun lalu membuat pikirannya kembali ke masa lalu. Empat tahun lalu, saat mereka duduk di bangku SMA, Steven yang menjadi pujaan para gadis selalu menjadi pusat perhatian. Gadis-gadis selalu mengikuti kemanapun Steven pergi. Steven bagaikan artis idola yang dikejar-kejar penggemar dan juga paparazi.Steven tidak berubah, tetap menawan dan sangat tampan. Namun sekarang dia terlihat lebih dewasa. Pakaiannya, gaya rambutnya, rahangnya yang semakin tajam, membuatnya semakin seksi dan maskulin.Steven berdeham dan membuyarkan lamunan Brianna."Apakah kamu merasa lebih baik?" tanya Steven.Brianna tidak berani menatap Steven. Dia hanya perlahan mengangguk dan menjawab pertanyaannya, "Ya, aku merasa lebih baik. Terima kasih.. untuk ini." Kata Brianna sambil mengangkat minuman pereda mabuknya.Melihat Brianna yang tidak memandangnya, Steven menghela nafas dan bertanya dengan suara berat, "Kenapa kamu harus minum kalau kamu tidak bisa minum?""Aku tidak bisa menolaknya." Dia menjawab sambil menunjuk mengangkat kedua bahunya."Tidak bisa menolak atau tidak mau menolak?" Steven melayangkan senyuman sinis kepadanya.Brianna menggenggam botol kosongnya dengan kuat, namun dia tetap diam tidak menjawab Steven.“Aku tahu wanita seperti apa kamu, Brie.. Kenapa tidak sekalian jual tubuhmu? Atau cari pria kaya yang bisa menyokongmu? " Tanya Steven dengan nada cemooh. Dia berdiri dihadapan Brianna dengan tangan di saku celananya. Membuat Brianna semakin menciut.Tangan Brianna bergetar karena marah. Tidak dia sangka orang yang pernah dia cintai menganggapnya sebagai wanita murahan hanya karena dia bekerja di kelab dan minum-minum. Dia menggertakkan gigi dan mengangkat kepalanya."Aku disini bekerja, bukan menjual tubuh. Siapa yang tidak butuh uang? Semua orang membutuhkan uang. Tapi kamu tidak berhak mencemoohku." Mata Brianna berkilauan menatap Steven.Steven tidak menjawabnya. Mereka berdua saling memandang. Jantung Brianna berdegup kencang karena tatapan mata Steven seperti menghisap jiwanya.Setelah beberapa saat, Brianna menarik napas panjang dan menghembuskannya. Setelah merasa tenang dia melanjutkan. "Terima kasih atas pertolonganmu, Tuan. Biar kutraktir Anda dengan segelas minuman. Aku permisi."Pria itu menyilangkan kakinya dan menyenderkan badannya ke sofa, dan bibirnya membentuk senyum dingin, "Oh, jadi kamu bekerja ditempat ini.. Beginikah caramu melayani tamu?""Apa maksudmu?" Tanya Brianna sambil memicingkan matanya."Aku sudah menolongmu saat kamu tidak sadarkan diri tadi, dan aku tamu VIP disini, tapi kamu melayani dengan cara yang sangat tidak profesional." Steven menyilangkan tangannya di dada."Aku bisa membuatmu berhenti dari pekerjaanmu dengan sikapmu ini. Ngomong-ngomong, pemilik kelab ini adalah teman baikku." Kata Steven sambil mengangkat sebelah alisnya. "Apakah kamu bisa terus bekerja di sini atau tidak...."Brianna tercengang mendengar ancaman Steven. 'Mengapa pria ini harus menyusahkanku?'"Jadi apa maumu, Tuan?""Mudah saja. Pertama, jangan panggil aku tuan, panggil aku Steven. Kedua, aku tidak ingin lagi melihatmu mabuk lagi seperti hari ini. Ketiga, kamu mau uang? Aku akan memberikannya padamu. Mulai besok kamu harus menemaniku minum."Perkataan Steven membuat Brianna sedikit lega. Dia mengira Steven akan mempersulitnya dan memecatnya. Tapi berada di dekatnya juga akan sulit untuknya. 'Setidaknya aku masih bisa bekerja disini. Tapi menemaninya minum setiap hari, sepertinya bukan ide bagus. Tapi aku bisa berbuat apa lagi?'"Terserah kau saja." Brianna berkata sambil bangkit berdiri. "Aku permisi." Brianna kemudian berjalan menuju pintu keluar ruangan itu.Setelah ragu sejenak, dia berbalik dan ingin mengatakan sesuatu. Tapi kata-kata itu tercekik di tenggorokannya. Dia menelan kata-kata itu dan berbalik, membuka pintu dan pergi.Setelah Brianna pergi, Steven menelepon asisten pribadinya. "Aku ingin kau menyelidiki seseorang, Brianna Hart."Keesokkan paginya, Steven sedang berada di kantornya sambil mendengarkan informasi dari asisten pribadinya."Jam 10 anda ada meeting dengan kantor pusat di New York. Jam 1 siang ada pertemuan dengan para pemegang saham, untuk memperkenalkan kepemimpinan anda secara resmi. Jam 7 ada makan malam dengan para direksi.""Lewatkan makan malamnya." Kata Steven tegas. Matanya melihat pemandangan gedung-gedung tinggi dari balik jendela besar di ruangannya."Baik, Tuan." Balas asisten pribadinya."Kamu sudah mendapatkan informasi yang kuminta?" Tanya Steven mengganti topik.Empat tahun lalu, Steven dan Brianna adalah pasangan kekasih yang saling mencintai. Namun Brianna memutuskan hubungan mereka di malam pesta perpisahan hanya melalui pesan singkat. Lalu Steven meninggalkan negaranya. Kini dia kembali dan dipertemukan kembali dengan Brianna."Saya sudah mendapatkan informasi yang Anda minta, Tuan Pierce." Kemudian asisten pribadinya memberi tahu Steven semua informasi tentang Brianna."Brianna Hart, usia 21 tahun. Setiap pagi dia bekerja di restoran, siang dia bekerja di sebuah butik, dan sejak beberapa hari yang lalu, dia bekerja di Golden Sky pada malam hari. Orang tuanya berpisah empat tahun lalu, dan Nona Brianna ikut bersama ibunya. Tapi Nona Brianna tidak tinggal bersama ibunya, dia tinggal sendiri di sebuah kontrakan kecil di pinggiran kota.""Selidiki lagi lebih lanjut!" Steven sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di senderan tangan kursinya."Baik, Tuan." Jawab James tanpa ragu."Oh ya Tuan, ada pesan penting dari kakek Anda. Beliau berpesan, Anda mempunyai waktu satu minggu untuk menikah. Tapi Nona Selena... ""Jangan sebut nama itu lagi!" Steven berkata dingin."Maaf Tuan." James menjawab sambil menundukkan kepalanya."Keluarlah!" Perintah Steven.'Brianna...' Bibirnya melengkung menampilkan senyum penuh makna."Apa kamu baik-baik saja, Brie?"Di sebuah butik yang terletak di sebuah mall terbesar di kota Old Coast, Brianna sedang berganti pakaian di ruang ganti.Beberapa malam berturut-turut Brianna menemani tamu minum banyak alkohol. Dan malam itu dia minum lebih banyak daripada malam-malam sebelumnya. Dia merasa mual dan perutnya tidak nyaman. "Ya aku baik-baik saja." Jawab Brianna tersenyum.."Tapi kamu terlihat pucat. Apa kamu sakit?" Jane Caddel rekan kerja Brianna di butik bertanya dengan cemas. Brianna baru tidur tiga jam sebelum kembali memulai harinya untuk bekerja dengan perut kosong. Pagi hari dia bekerja di restoran dan siang harinya Brianna bekerja di butik."Hanya kurang tidur, jangan khawatir." Brianna menjawab sambil mengoleskan lipstik merah di bibirnya.Bekerja di butik bermerek dengan baju, tas, dan sepatu mahal, menuntutnya untuk tampil rapi dan berdandan. Dia melihat dirinya di cermin, terlihat agak pucat. Mungkin dia kelelahan, ditambah lagi dia mabuk tadi malam, menye
'Apakah Steven mengatakan hal buruk tentangnya? Apakah dia akan dipecat?' Brianna bertanya-tanya mengapa sang bos memanggilnya. Brianna hanya bisa menuruti perintahnya."Kita lanjut nanti ya." kata Brianna pada Alice. Alice hanya menjawab dengan anggukan kepala.Brianna mengikuti Joe tanpa suara. Langkah mereka menyusuri jalan yang mengarah ke ruangan VIP yang biasa Steven berada. Semakin dekat dengan ruangan itu, jantung Brianna semakin berdetak kencang.Joe mengetuk pintu sebelum membuka pintu ruangan. "Steve, Brianna ada di sini." Dia berkata kepada Steven. Kemudian Joe memberi isyarat agar Brianna masuk ke dalam dan kemudian dia pergi.Dengan gugup Brianna memasuki ruangan dan menutup pintu. Steven sedang duduk di sofa menyilangkan kaki dan ditangannya memegang segelas minuman. Dia seperti patung maha karya yang dipahat sempurna.Steven melihat tajam mata Brianna. "Kemarilah, temani aku minum." Perintah Steven.Brianna menghembuskan napas dengan frustasi. 'Mengapa aku tidak bisa m
Brianna membuka mata, dan menyadari dia berada di dalam mobil. Matanya samar-samar melihat kilau lampu jalanan, perlahan-lahan pandangan matanya semakin terlihat lebih jelas. Dia sedang terbaring di jok belakang mobil."Kamu sudah sadar?" Suara Steven dari belakang kemudi membuat pikiran Brianna menjadi lebih sadar. Dia terduduk dan menemukan mata Steven melihatnya dibalik kaca spion."Aku kenapa?" Tanya Brianna lemah."Kamu pingsan lagi. Kenapa kamu selalu pingsan saat bersamaku? Kalau kamu lemah, jangan minum, jangan bekerja di kelab malam." "Kita mau kemana?""Aku akan mengantarmu ke rumah sakit." Jawab Steven."Jangan! Jangan kerumah sakit.. Aku hanya terlalu banyak minum, minum pereda mabuk sudah cukup, tidak perlu ke rumah sakit." Brianna panik mendengar Steven akan membawanya ke rumah sakit. Kantongnya sudah cukup terkuras untuk membayar sewa kontrakan. Dia tidak punya lagi uang untuk membayar rumah sakit. Brianna tahu dia mempunyai sakit maag yang cukup parah. Dia hanya perlu
"Ayo pergi." Steven dengan cepat mengambil salah satu buku merah, dan berjalan keluar gedung catatan sipil dengan suasana hati yang baik.Brianna mengikuti dari belakang mencoba menjajarkan posisi mereka. Mereka berjalan dalam diam sampai masuk kedalam mobil."Aku tidak percaya pada akhirnya aku benar-benar menjual diriku untuk uang." Brianna bergumam pelan namun Steven masih dapat mendengarnya."Mulai sekarang kamu adalah milikku." Tanpa menunggu reaksi Brianna, Steven dengan kasar memegang wajah Brianna, dan menciumnya ciuman dengan menuntut. Sebelum Brianna sempat bereaksi, Steven sudah melepaskan ciumannya dan tersenyum menggoda. Brianna masih kaget. Dia tidak berani mengeluarkan suara ataupun bergerak. Steven melajukan mobilnya dengan cepat membelah jalanan. Brianna tidak bisa membayangkan bahwa semua yang ada dihadapannya adalah nyata. Pria yang ada disampingnya kini adalah suaminya.'Suatu hari, aku akan meminangmu, dan aku akan membuatmu bahagia.' Brianna teringat ucapan Stev
"Aku sedang tidak ingin berdebat, Steve." Jawab Brianna lemah.Tanpa menghiraukan Steven, wanita itu mengambil ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas, kemudian pergi meninggalkan Steven. Steven membuang napas dengan kasar. Dia tahu selama ini Brianna masih bekerja di Golden Sky, karena kelab itu adalah milik sahabatnya. Kalau bukan Steven yang mengijinkannya, Brianna tidak mungkin masih bekerja disana. Tapi dia tidak habis pikir mengapa Brianna masih bekerja di kelab, padahal Steven sudah memberinya uang yang cukup besar setiap bulannya.Brianna menghentikan taksi dan naik ke dalamnya."Ke Golden Sky, terima kasih." Brianna berkata pada sopir taksi. Brianna menutup matanya dan setetes air mata mengalir di pipinya.Belakangan ini Brianna merasa tertekan karena sikap Steven padanya. Mereka menikah hanya karena manfaat satu sama lain. Sejak Brianna menolaknya di hari pencatatan nikahnya, Steven tidak pernah menyentuh Brianna lagi. Dan entah mengapa, itu membuat Brianna tertekan.Dulu
"Kenapa aku di sini?" Tanya Brianna lemah. Dia mencoba untuk bangun dan duduk.Steven dengan sigap membantunya untuk duduk. Dia menyelipkan sebuah bantal di belakang punggung Brianna agar lebih nyaman. Lalu menuang segelas air dan memberikannya kepada Brianna. "Minumlah dulu."Brianna mengambil gelas itu perlahan. Jemarinya bersentuhan dengan jari Steven, mengirimkan getaran ke seluruh sarafnya. Dia tertegun dengan perubahan sikap Steven padanya. Hangat. Sudah lama dia tidak merasakan kehangatan Steven. Dia menyesap air itu sedikit.Steven mengambil kembali gelas itu dan menaruhnya di meja kecil di sebelah ranjang."Kamu pingsan semalam. Bagaimana keadaanmu sekarang?""Aku merasa lebih baik." jawab Briana."Kamu menderita gastritis akut. Dokter berkata lambungmu iritasi. Dan aku lihat ada obat lambung di tasmu. Apakah kamu sudah sering mengalami ini?"Brianna menunduk dan memainkan jarinya, "Hanya sakit perut biasa. Obat itu hanya untuk berjaga-jaga.""Ayolah Brie, jangan bohong padak
"Dokter, apa yang terjadi dengan ibuku?" Tanya Brianna dengan napas tersenggal ketika dia mendapati dokter Smith ada di ruangannya."Perawat menemukan ibumu tidak sadarkan diri di kamar mandi. Sepertinya dia terjatuh dan kepalanya membentur sesuatu. Kami telah melakukan CT scan dan MRI dan kami menemukan pendarahan pada otak pasien. Sementara ini pasien dalam keadaan koma dan sedang berada di ruang ICU untuk penanganan lebih lanjut. Pasien harus dioperasi sesegera mungkin. Tapi...""Tapi apa dokter?" Tanya Brianna gemetar."Tapi dengan kondisi nyonya Raven, ada resiko operasi ini bisa membuat penglihatannya semakin hilang. Dan... biaya yang dibutuhkan juga sangat besar." Otak Brianna berdengung sesudah mendengar penjelasan dokter, tubuhnya hampir merosot. Untung Steven datang di saat yang tepat, dia langsung menangkap Brianna dan menopangnya untuk duduk. Steven berbicara dengan dokter, dan dokter mengulangi menjelaskan kondisi ibu Brianna. "Sebaiknya cepat diputuskan apakah akan dio
"Kelihatannya dia pria yang baik. Sejak kapan kalian bersama?" Samantha akhirnya membuka suara saat sedang berduaan saja dengan Brianna.Ponsel Steven tiba-tiba berdering, dan dia sedang keluar untuk menjawab teleponnya.Brianna menundukkan kepalanya untuk menjawab Samantha, "Kami pacaran beberapa tahun lalu, tapi kemudian perpisahan kalian membuatku tidak percaya lagi akan cinta, dan akhirnya aku memutuskan untuk berpisah dengannya. Tapi setelah kami bertemu lagi, dia berhasil meyakinkanku untuk menikah dengannya."'Ya, Steven berhasil menikahiku dengan uang.' pikir Brianna di dalam hatinya.Brianna tidak mungkin menjelaskan kepada ibunya bahwa dia menikah dengan Steven agar bisa membiayai pengobatan Samantha.Samantha memegang tangan Brianna, "Brie... Tidak semua orang seperti ayahmu. Jangan berkaca pada kegagalanku, tapi lihatlah diluar sana masih banyak yang berbahagia sampai maut memisahkan. Kamu berhak untuk bahagia. Aku bisa lihat dia sangat perhatianmu." Samantha menepuk pelan
Seorang wanita muda menyeret kopernya berjalan di sepanjang lorong kedatangan bandara menuju pintu keluar. Angin segar segera menyapa dan menerpa wajahnya, menyibakkan rambut bergelombang yang menutupi wajahnya yang mempesona. Dia mengenakan celana hitam yang ketat dan jaket kulit berwarna senada, memamerkan postur tubuhnya yang sempurna. Beberapa orang melirik terpana akan kecantikan dan kemolekan wanita itu. Bukan hanya pria, wanita pun berdecak kagum akan dirinya.Dengan sebelah tangannya yang bebas, wanita itu menyisir rambutnya, yang berantakan dengan jari-jarinya yang panjang dan lentik. Dia menarik napas dalam-dalam, menghirup udara Old Coast untuk pertama kalinya, sebelum kemudian menghembuskannya lagi perlahan. Perasaan hangat menyebar mengisi hatinya, namun sesaat kemudian jantungnya berdebar kencang! Ini adalah kali pertamanya menginjakkan kaki di negara ini, rasa semangat menjalar di tubuhnya. Tanpa sadar, bibirnya melengkung mengembangkan senyuman tipis.Netranya yang t
Lima tahun kemudian. Dua orang pria berdiri diatas ring tinju, saling menyerang dan bertahan. Sudah satu jam mereka berada disana. James mulai kewalahan menghadapi serangan pukulan Steven yang sedang melampiaskan emosinya. Ya... Sejak kehilangan Brianna, pria itu selalu menjadikan James sebagai 'sak tinju' nya saat dia merasa sedih dan merindukan wanita itu. "Sudah berlalu lima tahun, mengapa sangat sulit mencari seorang wanita??" Seru Steven sambil melayangkan pukulannya ke arah James, dan berhasil mengenai perut asistennya itu. James pun bukan pria lemah. Dia sudah terbiasa bertarung dengan Steven, terlebih lima tahun belakangan ini. Pria itu dengan cepat membalas menendang Steven. Steven terpental dan menabrak tali pembatas arena tinju, lalu terjatuh. "Karena kau tidak bisa menerima kenyataan! Brianna sudah mati, Steven! Dan kau harus bisa menerima kenyataan!" Kata James dengan suara menggeram. Di dalam kantor, James adalah asisten pribadi Steven. Namun di luar pekerja
"Bagaimana keadaan keponakanku, dokter?" Tanya Sonya cemas saat melihat dokter keluar dari ruang operasi. "Operasi berjalan dengan baik. Pendarahan di otaknya berhasil ditangani. Kami juga sudah mengeluarkan cairan di parunya dan mengobati semua luka-lukanya. Namun pasien masih dalam kondisi koma." "Oh..." Sonya menutup mulutnya dengan tangan, tenggorokannya tercekat tidak dapat menemukan suaranya. Timothy meremas lembut bahu istrinya dan berterima kasih kepada dokter. Brianna dipindahkan ke ruang VIP dan Sonya dengan setia menjaganya. Sudah beberapa hari berlalu sejak Brianna keluar dari kamar operasi, namun wanita itu belum kunjung sadar. Tidak hentinya Sonya berdoa agar keponakan yang baru ditemuinya itu segera sadar. Di satu sisi, Sonya ingin keponakannya sadar, sehingga mereka berkesempatan mengenal satu sama lain. Di sisi yang lain, dia ingin keponakannya segera sadar, karena hanya melalui keponakannya itulah harapan satu-satunya untuk dia dapat bertemu dengan Sophia
"Berarti wanita ini sungguh anak dari Sophia..." suara Sonya bergetar dan matanya berkaca-kaca melihat Brianna yang terbaring. Dia berjalan mendekat dan menggenggam tangan Brianna. "Dua puluh tiga tahun aku dan Sophia berpisah, dan kini aku dapat melihat keponakanku... Tapi dimana Sophia?" Air mata akhirnya jatuh mengalir di pipinya. Sanders mendekati Sonya, dan meletakkan tangannya pada bahu istrinya, dan membelainya dengan lembut, mencoba menenangkan wanita itu. "Mari kita pikirkan keselamatannya terlebih dahulu.. Kau akan ada kesempatan bertanya langsung padanya saat dia sadar." Mendengar kata-kata suaminya, Sonya menghapus air matanya dengan cepat. "Benar! Keselamatannya lebih penting. Tunggu apa lagi? Segera lakukan operasi padanya, dokter! Tolong selamatkan keponakanku..." "Kami akan berusaha melakukan yang terbaik." Brianna segera di dorong ke ruangan operasi. Tim dokter berusaha yang terbaik untuk menolongnya. Sementara itu di sisi sungai Valca, di Old Coast, Steven mas
"Kalung ini..."Letnan Sanders mengambil kalung itu dan memperhatikannya dengan seksama. Dia merasa akrab dengan benda itu. Kemudian netra pria paruh baya itu membesar melihat liontin giok berwarna hitam yang bentuknya menyerupai koin.Pria itu kemudian berjalan mendekati tempat tidur dimana Brianna terbaring dan melihat wajah Brianna dengan seksama. Wajah wanita itu tampak pucat dan dipenuhi dengan luka. Bahkan hampir separuh wajah sebelah kirinya terluka parah. Pandangan Letnan Sanders beralih ke daerah wajah yang hanya terdapat luka kecil. Beberapa saat kemudian Letnan Sanders terperajat!"Wanita ini...""Ada apa dengan wanita ini Tuan? Apa anda mengenalnya?" Tanya ajudan Lee yang heran melihat ekspresi Letnan Sanders.Letnan Sanders tidak menjawabnya, melainkan meminta ponselnya dari ajudan Lee, kemudian menelepon istrinya, Sonya Lewis."Halo..." Terdengar suara lembut wanita menyahut diujung telepon."Sonya, apa kamu kehilangan kalungmu?" Tanya Sanders namun tatapannya tidak pern
"Steven.." Terdengar suara Brianna yang panik dan ketakutan."Steven tolong aku..." Brianna berteriak dari dalam sebuah mobil.Tiba-tiba mobil itu meledak dan api menelan tubuh Brianna. "Aaahhh..." Teriakan Brianna membuat Steven tersentak membuka matanya. Steven menemukan dirinya terbaring di sebuah kamar rumah sakit. "Brianna!" Sontak pria itu bangun dari ranjang, namun tangan James menahan bahunya."Dimana Briana? Sudah ada kabar tentang Brianna?" Tanya Steven dengan penuh kecemasan."Belum." Jawab James. "Polisi sudah mengevakuasi tempat kejadian. Selena ditemukan di salam mobil, sedangkan Roy ditemukan satu kilometer dari tempat kejadian. Tapi Brianna... masih belum ditemukan..." "Mengapa belum ketemu?? Cari terus!" Perintah Steven."Tim khusus sudah di kerahkan untuk mencari Brianna, dan Jo juga mengerahkan anak buahnya mencari Brianna. Kami akan terus mencarinya sampai ketemu, kau tenang saja.""Bagaimana aku bisa tenang?" Steven berkata lirih."Sial! Mengapa aku disini?" St
"Cepat Roy!! Mereka akan mengejar kita!"Roy mengemudikan mobilnya secepat mungkin agar tidak terkejar oleh mereka. Mereka mengebut di jalan tebing yang sangat berbahaya. Jalan tebing yang berkelok-kelok dan minim cahaya. Dibawah mereka membentang sungai terbesar dan terpanjang di dunia. "Roy, kita pasti akan tertangkap oleh mereka!" Teriak Selena panik.Roy kehilangan konsentrasi karena suara Selena, dan menyerempet pembatas jalan, sebelum akhirnya dengan cepat berhasil mengendalikan kembali kemudinya."Hati-hati, Roy! Kita akan mati lebih dulu sebelum mereka menangkap kita!""Kau diamlah, Selena!" Bentak Roy. "Kita tidak akan berhasil Roy...""Dia tidak akan berani macam-macam... Wanitanya ada ditangan kita."Sementara itu, Steven mengejar mobil Roy tertinggal beberapa ratus meter dibelakang. Steven menggunakan mobil butut milik Roy, sementara Roy menggunakan mobil Steven, yang walaupun bukan mobil sport edisi terbatas, tapi mobil itu bisa melaju dengan kecepatan tinggi.Beberapa
"Steven... Aku tahu kamu masih peduli padaku!" Seru Selena dengan senyuman lebar. Matanya berbinar saat melihat Steven yang duduk dibelakang setir mobil menunggunya.Baru beberapa hari di penjara, Selena sudah tidak tahan dengan perlakuan narapidana lain terhadapnya. Saat dirinya sedang bertugas membersihkan kamar mandi, tiba-tiba seorang penjaga menghampirinya dan menariknya, dan membawanya keluar dari penjara.Penjaga itu menariknya masuk ke dalam mobil dan membawanya ke jalan yang sunyi dan gelap, dimana ada sebuah mobil lain yang menunggunya. Saat mendengar suara pria itu, barulah Selena menyadari bahwa orang itu adalah James, dan orang yang menunggunya di mobil lain itu adalah Steven!Steven tidak menjawabnya, bahkan pria itu tidak melirikkan matanya sedikitpun pada Selena. "Masuk!" James dengan kasar mendorongnya masuk ke dalam mobil, duduk di jok penumpang belakang. Pria itu memborgol satu tangannya, dan borgol sebelahnya lagi dipasang di pegangan tangan mobil."Hei, apa-apaan
"Ahh..."Brianna terbangun dengan rasa nyeri yang sangat pada perut bagian bawahnya. Baru saja beberapa hari lalu dia melewati masa kritis dan berhasil melahirkan secara caesar. Luka bekas operasinya bahkan belum kering! Dan saat ini dia duduk di lantai yang dingin dengan tangan terikat.'Dimana ini?'Brianna mengedarkan pandangannya ke ruangan tempatnya berada saat ini. Dia seperti berada di sebuah rumah tua, dan dari baunya yang tidak sedap dan lembab, dapat ditebak itu adalah rumah yang sudah lama terbengkalai. Bahkan Brianna dapat melihat tikus lalu lalang di dalam ruangan itu!'Mengapa aku disini?' Tanya wanita itu dalam hati. Dia tidak dapat bersuara karena terdapat lakban yang menempel, membungkam mulutnya.'Dimana Liam? Semoga saja Liam tidak apa-apa!' Sekujur tubuhnya bergetar ketakutan membayangkan apabila Liam bersamanya saat ini. Terdengar suara langkah kaki yang mendekati ruangan itu dan kemudian pintu terbuka. Seorang pria bertubuh tinggi dan kekar berdiri di ambang p