"Apa kamu baik-baik saja, Brie?"
Di sebuah butik yang terletak di sebuah mall terbesar di kota Old Coast, Brianna sedang berganti pakaian di ruang ganti.Beberapa malam berturut-turut Brianna menemani tamu minum banyak alkohol. Dan malam itu dia minum lebih banyak daripada malam-malam sebelumnya. Dia merasa mual dan perutnya tidak nyaman."Ya aku baik-baik saja." Jawab Brianna tersenyum.."Tapi kamu terlihat pucat. Apa kamu sakit?" Jane Caddel rekan kerja Brianna di butik bertanya dengan cemas.Brianna baru tidur tiga jam sebelum kembali memulai harinya untuk bekerja dengan perut kosong. Pagi hari dia bekerja di restoran dan siang harinya Brianna bekerja di butik."Hanya kurang tidur, jangan khawatir." Brianna menjawab sambil mengoleskan lipstik merah di bibirnya.Bekerja di butik bermerek dengan baju, tas, dan sepatu mahal, menuntutnya untuk tampil rapi dan berdandan. Dia melihat dirinya di cermin, terlihat agak pucat. Mungkin dia kelelahan, ditambah lagi dia mabuk tadi malam, menyebabkan perutnya sangat tidak nyaman.Brianna menatap Jane dan memaksakan senyumannya, "Bagaimana penampilanku? Sudah tidak pucat kan?""Sempurna, cantik seperti biasanya." Jawab Jane."Aku sangat iri padamu, Brie. Kamu bahkan tidak perlu berdandan untuk terlihat cantik. Seandainya aku memiliki wajah sepertimu, pasti akan ada banyak pria tampan dan kaya yang mengejarku." Jane berandai-andai."Jangan terlalu menyanjungku, nanti aku besar kepala." Brianna tertawa mendengar pujian temannya.Bekerja di butik tidak terlalu melelahkan seperti di restoran, sehingga Brianna bisa istirahat sejenak saat tidak ada pelanggan. Berdiri lama dengan sepatu hak tinggi bukanlah hal baru buat Brianna. Tapi sekarang tubuhnya terasa lemah dan perutnya melilit, membuatnya tidak tahan untuk menopang tubuhnya sendiri.Brianna mengalami sakit perut yang cukup parah. Ibunya sakit kanker otak dan perawatan ibunya di pusat rehabilitasi kanker membuatnya harus menabung penghasilannya dengan cara kelaparan.Brianna seringkali hanya makan sekali sehari. Karena dia bekerja di restoran, dia bisa makan sarapan untuk karyawan saat restoran sedang tidak sibuk. Dia bahkan bisa mengambil sisa makanan yang masih bersih.Namun sebelumnya, dia sering kelaparan untuk menghemat uang. Bahkan, ia sering mengisi perutnya yang kosong hanya dengan minum air putih. Inilah yang membuatnya menderita sakit lambung. Dan semakin lama sakit lambungnya semakin parah. Oleh karena itu, ia selalu menyimpan obat lambung di dalam tasnya untuk berjaga-jaga.Brianna melihat tidak ada pelanggan di toko, dia memutuskan ke ruang ganti untuk meminum obat lambungnya. "Jane, aku permisi sebentar ke ruang ganti ya?""Apa kamu tidak apa-apa?" Tanya Jane khawatir melihat keringat di pelupuk Brianna."Aku hanya sedikit sakit perut. Minum air hangat akan membuatku lebih baik." Brianna menjawab dengan senyum lemah."Tidak masalah. Lagipula sedang tidak ada pelanggan. Aku bisa mengatasinya sendiri. Kembalilah saat kamu merasa lebih baik."Buru-buru dia merogoh tasnya untuk mengambil obat maag dan mengunyahnya sebelum meminum air hangat. Brianna beristirahat sejenak sambil menutup mata setelah meminum obatnya bekerja. Dia kembali ke toko ketika merasa lebih baik.Saat dia kembali ke toko ada sepasang ibu dan anak sedang melihat-lihat pakaian. Orang yang paling tidak ingin dia temui di dunia."Wah.. wah... Lihat siapa ini, Ma?" Seru Lisa dengan berlebihan saat dia melihat Brianna.Mereka adalah Carmen Monroe, wanita selingkuhan ayahnya, dan Lisa Gonzalez, putrinya. Karena merekalah, ayahnya menceraikan ibunya dan mengusir Brianna dan ibunya keluar dari rumah.Carmen yang sedang memilih pakaian menghentikan kegiatannya dan melihat ke arah Brianna, "Oh hai, Brianna… Lama tidak bertemu denganmu. Bagaimana kabarmu sayang? Ngomong-ngomong, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Carmen basa-basi."Sedang apa lagi, tentu saja dia sedang bekerja, ma. Lihat saja seragamnya." Lisa tersenyum mengejek.Tangan Brianna mengepal karena marah. 'Dasar rubah tak tahu malu!'. Ingin sekali dia membalas dan memaki mereka, tapi dia tidak bisa melakukannya di sini. Dia sedang bekerja. Dia harus menahan diri tidak ingin kehilangan pekerjaannya di butik ini."Ada yang bisa saya bantu Nyonya?" Tanya Brianna dengan sopan.Lisa tertawa penuh kemenangan ketika mendengar Brianna, "Kamu dengar, Ma? Aku benar kan.""Oh, Brianna kamu bekerja di sini? Kenapa kamu jadi kurus seperti ini, sayang? Bagaimana kalau kamu ikut saja dengan kami pulang kerumah. Akan kubujuk ayahmu untuk menerimamu . Dia pasti tidak keberatan menerima anaknya pulang."Carmen selalu bersikap bak malaikat pelindung di depan banyak orang terutama ayahnya. Padahal dia adalah rubah betina yang menyebabkan Brianna dan ibunya menderita.Jane yang mendengar percakapan tersebut merasa ada yang janggal dengan situasi mereka. Dia buru-buru menyela, "Maaf nyonya, rekan saya sedang kurang sehat. Biar saya saja yang melayani kalian berdua." Jane berinisiatif memisahkan Brianna dari kedua perempuan itu."Oh, benarkah? Tidak heran kamu terlihat pucat, Brie sayang. Ya ya, kamu istirahatlah, kami tidak akan mengganggumu."Kata-kata Carmen membuat perut Brianna tambah mual saat mendengarnya. Tapi Brianna hanya bisa berpura-pura tidak mendengarnya. Dia menganggukkan kepala kepada temannya dan menggerakkan mulutnya, "Terima kasih Jane.""Tidak masalah." Balas jane tanpa suara sambil tersenyum meyakinkan.Brianna beristirahat di ruang ganti sambil menunggu jam pulang. Jane bersikeras menyuruh Brianna pulang, tapi Brianna memilih beristirahat disana. Brianna memanfaatkan waktunya beberapa jam untuk tidur karena memang dia kurang tidur beberapa hari ini.Waktu menunjukkan pukul 9 malam dan Brianna keluar dari butik. Brianna langsung berjalan kaki menuju ke Golden Sky.Golden Sky, adalah sebuah kelab malam di kawasan elit. Mulai dari eksekutif muda, artis, hingga pejabat terdaftar sebagai anggota VIP kelab itu. Mereka datang untuk berpesta, berbicara bisnis, bahkan hanya sekedar nongkrong dan minum-minum.Dan di tempat inilah dia bertemu kembali dengan Steven, mantan kekasihnya, beberapa hari lalu.'Apakah hari ini dia akan muncul lagi?' Pikiran Brianna berkeliaranMemikirkannya saja sudah membuat jantung Brianna berdebar-debar. Walaupun ada perasaan canggung dan rasa bersalah pada Steven, namun tidak bisa dipungkiri, jauh di dalam dasar hatinya, Brianna sangat senang bisa bertemu kembali dengan Steven.Kemarin dia terlalu banyak minum sampai mabuk dan tidak sadarkan diri. Entah bagaimana Steven bisa menolongnya?Malam itu adalah akhir pekan. Kelab ramai dipenuhi pengunjung. Brianna langsung memasuki ruang ganti dan mengganti pakaian kusamnya dengan seragam Golden Sky.Sesuai namanya, seragam tersebut berwarna emas yang dipadukan sedikit warna hitam. Seragamnya terdiri dari dua potong pakaian, atasan dan bawahan rok yang menempel ketat pada tubuh dan memperlihatkan sedikit kulit Brianna yang putih.Di meja bartender, Alice, sahabat yang memperkenalkan pekerjaan ini kepada Brianna, sudah menunggunya."Hai, Brie... Kamu sudah datang. Apa yang terjadi padamu tadi malam? Apa kamu baik-baik saja sekarang?" Tanya Alice."Aku terlalu banyak minum semalam dan mabuk. Aku baik-baik saja sekarang.""Jangan terlalu memaksakan dirimu, Brie. Apa gunanya kamu mendapatkan banyak uang tip tapi kamu jadi sakit?""Aku tahu, Al." Brianna tahu dia tidak boleh sakit, karena itu hanya akan menambah masalahnya, juga pengeluarannya."Brie, siapa yang menggendongmu semalam? Sepertinya pelanggan baru. Dia sungguh tampan, Brie!" Alice sangat bersemangat tentang hal itu sehingga dia membombardir Brianna dengan pertanyaan.Alice adalah sahabat Brianna selama empat tahun terakhir, tetapi dia tidak pernah memberi tahu siapa pun tentang Steven, bahkan kepada ibunya sendiri.Ketika dia hendak bercerita, tiba-tiba seorang pria jangkung dengan kuncir kuda berdiri di sampingnya, "Brianna, ikuti aku!" Perintah Joe, sang pemilik Golden Sky.'Apakah Steven mengatakan hal buruk tentangnya? Apakah dia akan dipecat?' Brianna bertanya-tanya mengapa sang bos memanggilnya. Brianna hanya bisa menuruti perintahnya."Kita lanjut nanti ya." kata Brianna pada Alice. Alice hanya menjawab dengan anggukan kepala.Brianna mengikuti Joe tanpa suara. Langkah mereka menyusuri jalan yang mengarah ke ruangan VIP yang biasa Steven berada. Semakin dekat dengan ruangan itu, jantung Brianna semakin berdetak kencang.Joe mengetuk pintu sebelum membuka pintu ruangan. "Steve, Brianna ada di sini." Dia berkata kepada Steven. Kemudian Joe memberi isyarat agar Brianna masuk ke dalam dan kemudian dia pergi.Dengan gugup Brianna memasuki ruangan dan menutup pintu. Steven sedang duduk di sofa menyilangkan kaki dan ditangannya memegang segelas minuman. Dia seperti patung maha karya yang dipahat sempurna.Steven melihat tajam mata Brianna. "Kemarilah, temani aku minum." Perintah Steven.Brianna menghembuskan napas dengan frustasi. 'Mengapa aku tidak bisa m
Brianna membuka mata, dan menyadari dia berada di dalam mobil. Matanya samar-samar melihat kilau lampu jalanan, perlahan-lahan pandangan matanya semakin terlihat lebih jelas. Dia sedang terbaring di jok belakang mobil."Kamu sudah sadar?" Suara Steven dari belakang kemudi membuat pikiran Brianna menjadi lebih sadar. Dia terduduk dan menemukan mata Steven melihatnya dibalik kaca spion."Aku kenapa?" Tanya Brianna lemah."Kamu pingsan lagi. Kenapa kamu selalu pingsan saat bersamaku? Kalau kamu lemah, jangan minum, jangan bekerja di kelab malam." "Kita mau kemana?""Aku akan mengantarmu ke rumah sakit." Jawab Steven."Jangan! Jangan kerumah sakit.. Aku hanya terlalu banyak minum, minum pereda mabuk sudah cukup, tidak perlu ke rumah sakit." Brianna panik mendengar Steven akan membawanya ke rumah sakit. Kantongnya sudah cukup terkuras untuk membayar sewa kontrakan. Dia tidak punya lagi uang untuk membayar rumah sakit. Brianna tahu dia mempunyai sakit maag yang cukup parah. Dia hanya perlu
"Ayo pergi." Steven dengan cepat mengambil salah satu buku merah, dan berjalan keluar gedung catatan sipil dengan suasana hati yang baik.Brianna mengikuti dari belakang mencoba menjajarkan posisi mereka. Mereka berjalan dalam diam sampai masuk kedalam mobil."Aku tidak percaya pada akhirnya aku benar-benar menjual diriku untuk uang." Brianna bergumam pelan namun Steven masih dapat mendengarnya."Mulai sekarang kamu adalah milikku." Tanpa menunggu reaksi Brianna, Steven dengan kasar memegang wajah Brianna, dan menciumnya ciuman dengan menuntut. Sebelum Brianna sempat bereaksi, Steven sudah melepaskan ciumannya dan tersenyum menggoda. Brianna masih kaget. Dia tidak berani mengeluarkan suara ataupun bergerak. Steven melajukan mobilnya dengan cepat membelah jalanan. Brianna tidak bisa membayangkan bahwa semua yang ada dihadapannya adalah nyata. Pria yang ada disampingnya kini adalah suaminya.'Suatu hari, aku akan meminangmu, dan aku akan membuatmu bahagia.' Brianna teringat ucapan Stev
"Aku sedang tidak ingin berdebat, Steve." Jawab Brianna lemah.Tanpa menghiraukan Steven, wanita itu mengambil ponselnya dan memasukkannya ke dalam tas, kemudian pergi meninggalkan Steven. Steven membuang napas dengan kasar. Dia tahu selama ini Brianna masih bekerja di Golden Sky, karena kelab itu adalah milik sahabatnya. Kalau bukan Steven yang mengijinkannya, Brianna tidak mungkin masih bekerja disana. Tapi dia tidak habis pikir mengapa Brianna masih bekerja di kelab, padahal Steven sudah memberinya uang yang cukup besar setiap bulannya.Brianna menghentikan taksi dan naik ke dalamnya."Ke Golden Sky, terima kasih." Brianna berkata pada sopir taksi. Brianna menutup matanya dan setetes air mata mengalir di pipinya.Belakangan ini Brianna merasa tertekan karena sikap Steven padanya. Mereka menikah hanya karena manfaat satu sama lain. Sejak Brianna menolaknya di hari pencatatan nikahnya, Steven tidak pernah menyentuh Brianna lagi. Dan entah mengapa, itu membuat Brianna tertekan.Dulu
"Kenapa aku di sini?" Tanya Brianna lemah. Dia mencoba untuk bangun dan duduk.Steven dengan sigap membantunya untuk duduk. Dia menyelipkan sebuah bantal di belakang punggung Brianna agar lebih nyaman. Lalu menuang segelas air dan memberikannya kepada Brianna. "Minumlah dulu."Brianna mengambil gelas itu perlahan. Jemarinya bersentuhan dengan jari Steven, mengirimkan getaran ke seluruh sarafnya. Dia tertegun dengan perubahan sikap Steven padanya. Hangat. Sudah lama dia tidak merasakan kehangatan Steven. Dia menyesap air itu sedikit.Steven mengambil kembali gelas itu dan menaruhnya di meja kecil di sebelah ranjang."Kamu pingsan semalam. Bagaimana keadaanmu sekarang?""Aku merasa lebih baik." jawab Briana."Kamu menderita gastritis akut. Dokter berkata lambungmu iritasi. Dan aku lihat ada obat lambung di tasmu. Apakah kamu sudah sering mengalami ini?"Brianna menunduk dan memainkan jarinya, "Hanya sakit perut biasa. Obat itu hanya untuk berjaga-jaga.""Ayolah Brie, jangan bohong padak
"Dokter, apa yang terjadi dengan ibuku?" Tanya Brianna dengan napas tersenggal ketika dia mendapati dokter Smith ada di ruangannya."Perawat menemukan ibumu tidak sadarkan diri di kamar mandi. Sepertinya dia terjatuh dan kepalanya membentur sesuatu. Kami telah melakukan CT scan dan MRI dan kami menemukan pendarahan pada otak pasien. Sementara ini pasien dalam keadaan koma dan sedang berada di ruang ICU untuk penanganan lebih lanjut. Pasien harus dioperasi sesegera mungkin. Tapi...""Tapi apa dokter?" Tanya Brianna gemetar."Tapi dengan kondisi nyonya Raven, ada resiko operasi ini bisa membuat penglihatannya semakin hilang. Dan... biaya yang dibutuhkan juga sangat besar." Otak Brianna berdengung sesudah mendengar penjelasan dokter, tubuhnya hampir merosot. Untung Steven datang di saat yang tepat, dia langsung menangkap Brianna dan menopangnya untuk duduk. Steven berbicara dengan dokter, dan dokter mengulangi menjelaskan kondisi ibu Brianna. "Sebaiknya cepat diputuskan apakah akan dio
"Kelihatannya dia pria yang baik. Sejak kapan kalian bersama?" Samantha akhirnya membuka suara saat sedang berduaan saja dengan Brianna.Ponsel Steven tiba-tiba berdering, dan dia sedang keluar untuk menjawab teleponnya.Brianna menundukkan kepalanya untuk menjawab Samantha, "Kami pacaran beberapa tahun lalu, tapi kemudian perpisahan kalian membuatku tidak percaya lagi akan cinta, dan akhirnya aku memutuskan untuk berpisah dengannya. Tapi setelah kami bertemu lagi, dia berhasil meyakinkanku untuk menikah dengannya."'Ya, Steven berhasil menikahiku dengan uang.' pikir Brianna di dalam hatinya.Brianna tidak mungkin menjelaskan kepada ibunya bahwa dia menikah dengan Steven agar bisa membiayai pengobatan Samantha.Samantha memegang tangan Brianna, "Brie... Tidak semua orang seperti ayahmu. Jangan berkaca pada kegagalanku, tapi lihatlah diluar sana masih banyak yang berbahagia sampai maut memisahkan. Kamu berhak untuk bahagia. Aku bisa lihat dia sangat perhatianmu." Samantha menepuk pelan
Brianna tidak menyangka Steven akan memperlakukan dia dan Samantha dengan sangat baik. "Steven... Kamu terlalu sempurna untukku." Brianna menyentuh ranjang besar dan terlihat sedih.Steven adalah satu-satunya pria yang pernah ada di dalam hidupnya. Tapi dia tidak tahu bagaimana perasaan Steven padanya saat ini. Melihat perubahan sikap Steven pada Brianna, membuat Brianna memiliki sedikit harapan, mungkin hubungan ini akan berhasil.Brianna terperangah dengan kamarnya yang bahkan lebih luas daripada kamar apartemen tempat mereka tinggal sebelumnya. Kamar itu di dominasi warna putih dan abu-abu. Pakaiannya sudah terlipat rapi di lemari pakaian. Sebagian kecil adalah pakaian miliknya, sebagian besar lainnya adalah baju-baju baru yang disediakan Steven untuknya, berbagai model dan warna tergantung di sana. Seperti memindahkan butik ke dalam lemari pakaiannya. Ada juga meja rias dengan setumpuk produk mahal perawatan wajah, kulit, rambut, dan parfum.Malam hari....Brianna dengan hati-hat