"Kenapa?"Megan masuk ke dalam ruang kerjanya dan mendapati wajah-wajah lesu, merebahkan kepalanya lunglai di atas meja."Kamu masih disini?" Alihnya pada Kevin yang duduk santai dengan kaki terangkat dan disampirkan ke atas meja.Kevin menaikkan alisnya. "Sepertinya kamu nggak suka kalau aku lama-lama disini?" tudingnya."Iya. Aku nggak suka," aku Megan dengan jujur.Kevin berdecak sebal. "Bisa nggak sih kamu pura-pura aja gitu," keluhnya."Apa yang terjadi pada mereka?" tunjuk Megan pada Zian dan Nesa."Depresi pasca patah hati," sahut Kevin dengan ekspresi mengejek."Aku paham dengan Zian tapi …" Megan meletakkan empat cup kopi yang dibawanya ke atas meja. "Kamu kenapa, Nesa?"Nesa membuka matanya seketika dia antusias saat Megan meletakkan cup kopi yang mengeluarkan aroma vanila dihadapannya "Kopi dari mana? Baron?" tebaknya.Megan menggeleng yang membuat semangat Nesa kembali surut."Kenapa Baron nggak pernah datang ke cafe lagi? Aku kangen," rintih Nesa."Beberapa hari ini banya
"Baron."Baron membalikkan tubuhnya menghadap pemilik suara yang memanggil namanya."Apa?" Sergahnya langsung. "Apa yang kamu lakukan disini?""Aku hanya ingin bicara denganmu." Balas Daniel. Wajahnya tampak lesu, frustasi dengan banyaknya masalah yang mendera hidupnya.Baron menghela napas panjang. "Duduklah," ucapnya sembari menarik kursi besi yang menghadap ke pemandangan laut lepas dan duduk disana.Daniel mengerjapkan mata, tak yakin dengan apa yang ia dengar."Apa kamu akan terus berdiri disana?" Baron menengadah, menatap tubuh yang jauh lebih tinggi darinya. "Leherku sakit," keluhnya."Maaf," ucap Daniel dan menarik kursi lainnya, duduk disamping Baron."Apa kabarmu?"Daniel mengulas senyum tipis di bibirnya. "Tidak cukup buruk tapi tidak juga baik.""Bagus. Itu yang kuharapkan," ujar Baron sarkas."Bagaimana denganmu?" "Masih sama seperti biasanya. Tapi, bisakah kita menghentikan basa basi ini?" cemooh Baron. "Membosankan."Daniel mendesah lega. "Aku bersyukur satu hal, Baron
Megan kembali melirik arloji di lengannya. "Kemana sih, mereka?" Ujarnya sambil mendesis kesal.Riley yang berdiri disampingnya hanya bisa tersenyum maklum sambil mengelus punggung istrinya. Berharap itu bisa sedikit meredakan amarah Megan yang sedari tadi tak henti menggerutu."Padahal aku udah ingatkan berkali-kali. Jangan sampai terlambat, mereka harus sampai sebelum terlalu sore.""Coba hubungi lagi. Mungkin mereka nyasar," saran Riley.Megan mengangguk pelan sembari mengeluarkan ponsel dari saku celana cargo yang dikenakannya. Tapi gerakannya terhenti begitu terdengar deru suara mesin mobil memasuki pekarangan rumah."Akhirnya," desahnya lega. Ia khawatir karena tak ada satupun diantara tiga orang yang mereka tunggu mengangkat ponselnya."Lama banget, dari mana aja sih?" Buru Megan begitu pintu dari ruang penumpang terbuka.Langkahnya terhenti begitu menemukan wajah kusut yang turun dengan langkah menghentak tanah."Kamu yang menyuruh mereka menculik ku, Megan?" Tuding Baron kesa
"Jadi ini menantu tertua keluarga ini?" Seru Charlie senang. Ia menyongsong para tamu yang memasuki ruang tamu rumahnya."Ya, Paman. Ini Megan, istriku." Terang Riley sembari melingkarkan tangannya di pinggang sang istri.Charlie mengangguk puas. "Cantik sekali. Ayo nak, duduklah. Jangan sampai kamu kelelahan.""Allen bilang, kamu tengah hamil?"Megan mengangguk malu-malu. "Ya, Paman. Bayi kembar kami berumur dua bulan.""Apa? Kembar?" Moana muncul dari balik dapur dengan wajah ceria. Begitu mendengar calon anak keponakannya kembar, seketika ia ingin langsung bertemu Megan dan menyapanya."Sayang, ini Bibi Moana. Beliau ibu Allen," jelas Riley yang menangkap raut bingung di wajah istrinya.Megan mengangguk paham dan sedikit kaget saat Moana menariknya ke dalam pelukan dan menepuk punggungnya."Selamat, Nak. Semoga Tuhan selalu melindungi mu," doa Moana."Terima kasih, Bibi.""Jangan sungkan padaku, Sayang. Kalian semua bagian dari keluarga ini," tunjuk Moana pada semua orang yang ada
"Kamu mau makan dulu, Ed?" tawar Yasmen meski ia tahu, suaminya hanya ingin mendengar penjelasan darinya secepat mungkin.Edbert menggeleng lemah lalu berbalik pada kedua ajudannya. "Kalian istirahatlah. Aku ingin bicara dengan istriku," perintahnya.Kedua ajudan mengangguk paham dan segera mengundurkan diri.Edbert kembali menatap wajah sendu istrinya. "Bisakah kita bicara sekarang?"Yasmen mengangguk pasrah dan berjalan ke sofa, duduk disana. Sedang Edbert membuka lemari pendingin dan mengeluarkan dua botol teh. Ia meletakkan salah satunya dihadapan Yasmen dan mengambil tempat dihadapannya."Apa yang kamu dengar, Ed?" Ucap Yasmen. Memecah kesunyian diantara mereka.Wajah pria yang di kenal sebagai pemimpin yang tegas, kini meredup tanpa gairah. "Tak penting apa yang aku dengar dari orang lain. Aku hanya ingin mendengarnya dari mu."Yasmen menepis airmata yang mengalir turun dari sudut matanya. "Ed, bisakah kamu mempercayai ku?""Tentu. Bahkan di tiga puluh tahun pernikahan kita, aku
"Itu maksudku," tunjuk Riley pada dua pria yang saling bertukar tertawa di bawah pohon apel."Apa yang dilakukan pria itu disini?" Geram Allen."Siapa? Daniel?""Siapa lagi?" Kecam Allen. Ia mengerang kesal dengan tingkah Riley yang tampak senang menggodanya."Dia salah satu korban insiden," jelas Riley."Apa sih maksudmu dengan insiden?" Riley mengibaskan tangannya. "Nggak penting, ntar aja di bahas. Pokoknya aku sudah memperingatkanmu. Jangan sampai kamu menyesal.""Sialan," umpat Allen yang marah saat melihat tangan Daniel merengkuh pundak Baron."Mau kemana?" Tahan Riley kala melihat Allen ingin melangkah kakinya."Tentu aja kesana," protes Allen."Dengan penampilan ini?" Tunjuk Riley ke wajah dan baju yang dikenakan Allen. "Katamu malu kalau sampai Baron melihat mu dalam bentuk seperti ini.""Hhh." Desah Allen kesal. "Aku ganti baju dulu.""Bukan cuma baju. Kamu harus menganti semuanya, termasuk mandi," ejek Riley.Allen berdecak pelan lalu melanjutkan langkah cepatnya menuju p
Zian kembali memetik senar, mendawaikan nada yang sama untuk ke sekian kalinya."Ku menunggu … ku menunggu …""Jandamu … huooo … huooo …" koor sumbang kompak terdengar nyaring untuk mengiringi lagu yang dinyanyikan Zian, meski lebih terdengar seperti merusak lagu itu."Apa sih yang kalian lakukan disini?" Hardik Zian kesal. Lagu untuk mengungkapkan perasaannya kembali di rusak oleh Nesa dan Kevin."Lah? Kami membantu mengiringi lagu mu. Biar terdengar lebih syahdu," kilah Kevin tak terima. Ia merasa tengah melakukan kebajikan."Apanya yang syahdu! Kalian malah membuatnya terdengar mengerikan," sergah Zian sambil melempar gitar dalam pelukannya. Semangat yang tadinya menggebu tiba-tiba menguap bagai kuah mie instan yang terlalu lama di atas kompor.Kevin mendekatinya dan mengambil alih gitar yang teronggok tak berdaya di rumput. "Ayolah, hentikan kegalauan mu ini.""Lihat, gara-gara kamu. Nesa jadi ikut tak bersemangat padahal tadi dia sudah ngiler melihat apel bergelantungan di pohon.
Megan berjalan mendekati bebatuan dimana Nesa duduk. Keduanya tidak bicara, hanya duduk dan menatap Padang rumput gersang dengan tatapan kosong."Aku menyukainya sejak pertama kali melihatnya," ucap Nesa memecah kesunyian."Saat itu dia tersenyum ramah. Menanyakan arah menuju fakultas sinematografi. Aku mengantarkannya dan terkejut, ternyata dia datang untuk menemui mu," tuturnya. Mengisahkan awal mula pertemuannya dengan Baron."Saat itu aku hanya junior yang mengangumi setiap karya mu, Megan. Aku bermimpi suatu hari bisa duduk satu meja dan berkerjasama denganmu, tapi itu sekedar mimpi. Tak lebih,""Namun, semenjak bertemu dengan Baron dan aku tahu sejarah hubungan kalian, aku bertekad untuk membuat mimpi ku menjadi kenyataan. Aku ingin bersama kalian setiap hari." Airmata Nesa tak tertahankan. Ia terisak perlahan."Karena itu aku tidak berani sembarangan memaksakan perasaan ku. Tapi dia—"Megan mengacungkan lembaran tisu yang sengaja dibawanya."Dia dengan mudah merebut hati Baron,