"Kamu mau makan dulu, Ed?" tawar Yasmen meski ia tahu, suaminya hanya ingin mendengar penjelasan darinya secepat mungkin.Edbert menggeleng lemah lalu berbalik pada kedua ajudannya. "Kalian istirahatlah. Aku ingin bicara dengan istriku," perintahnya.Kedua ajudan mengangguk paham dan segera mengundurkan diri.Edbert kembali menatap wajah sendu istrinya. "Bisakah kita bicara sekarang?"Yasmen mengangguk pasrah dan berjalan ke sofa, duduk disana. Sedang Edbert membuka lemari pendingin dan mengeluarkan dua botol teh. Ia meletakkan salah satunya dihadapan Yasmen dan mengambil tempat dihadapannya."Apa yang kamu dengar, Ed?" Ucap Yasmen. Memecah kesunyian diantara mereka.Wajah pria yang di kenal sebagai pemimpin yang tegas, kini meredup tanpa gairah. "Tak penting apa yang aku dengar dari orang lain. Aku hanya ingin mendengarnya dari mu."Yasmen menepis airmata yang mengalir turun dari sudut matanya. "Ed, bisakah kamu mempercayai ku?""Tentu. Bahkan di tiga puluh tahun pernikahan kita, aku
"Itu maksudku," tunjuk Riley pada dua pria yang saling bertukar tertawa di bawah pohon apel."Apa yang dilakukan pria itu disini?" Geram Allen."Siapa? Daniel?""Siapa lagi?" Kecam Allen. Ia mengerang kesal dengan tingkah Riley yang tampak senang menggodanya."Dia salah satu korban insiden," jelas Riley."Apa sih maksudmu dengan insiden?" Riley mengibaskan tangannya. "Nggak penting, ntar aja di bahas. Pokoknya aku sudah memperingatkanmu. Jangan sampai kamu menyesal.""Sialan," umpat Allen yang marah saat melihat tangan Daniel merengkuh pundak Baron."Mau kemana?" Tahan Riley kala melihat Allen ingin melangkah kakinya."Tentu aja kesana," protes Allen."Dengan penampilan ini?" Tunjuk Riley ke wajah dan baju yang dikenakan Allen. "Katamu malu kalau sampai Baron melihat mu dalam bentuk seperti ini.""Hhh." Desah Allen kesal. "Aku ganti baju dulu.""Bukan cuma baju. Kamu harus menganti semuanya, termasuk mandi," ejek Riley.Allen berdecak pelan lalu melanjutkan langkah cepatnya menuju p
Zian kembali memetik senar, mendawaikan nada yang sama untuk ke sekian kalinya."Ku menunggu … ku menunggu …""Jandamu … huooo … huooo …" koor sumbang kompak terdengar nyaring untuk mengiringi lagu yang dinyanyikan Zian, meski lebih terdengar seperti merusak lagu itu."Apa sih yang kalian lakukan disini?" Hardik Zian kesal. Lagu untuk mengungkapkan perasaannya kembali di rusak oleh Nesa dan Kevin."Lah? Kami membantu mengiringi lagu mu. Biar terdengar lebih syahdu," kilah Kevin tak terima. Ia merasa tengah melakukan kebajikan."Apanya yang syahdu! Kalian malah membuatnya terdengar mengerikan," sergah Zian sambil melempar gitar dalam pelukannya. Semangat yang tadinya menggebu tiba-tiba menguap bagai kuah mie instan yang terlalu lama di atas kompor.Kevin mendekatinya dan mengambil alih gitar yang teronggok tak berdaya di rumput. "Ayolah, hentikan kegalauan mu ini.""Lihat, gara-gara kamu. Nesa jadi ikut tak bersemangat padahal tadi dia sudah ngiler melihat apel bergelantungan di pohon.
Megan berjalan mendekati bebatuan dimana Nesa duduk. Keduanya tidak bicara, hanya duduk dan menatap Padang rumput gersang dengan tatapan kosong."Aku menyukainya sejak pertama kali melihatnya," ucap Nesa memecah kesunyian."Saat itu dia tersenyum ramah. Menanyakan arah menuju fakultas sinematografi. Aku mengantarkannya dan terkejut, ternyata dia datang untuk menemui mu," tuturnya. Mengisahkan awal mula pertemuannya dengan Baron."Saat itu aku hanya junior yang mengangumi setiap karya mu, Megan. Aku bermimpi suatu hari bisa duduk satu meja dan berkerjasama denganmu, tapi itu sekedar mimpi. Tak lebih,""Namun, semenjak bertemu dengan Baron dan aku tahu sejarah hubungan kalian, aku bertekad untuk membuat mimpi ku menjadi kenyataan. Aku ingin bersama kalian setiap hari." Airmata Nesa tak tertahankan. Ia terisak perlahan."Karena itu aku tidak berani sembarangan memaksakan perasaan ku. Tapi dia—"Megan mengacungkan lembaran tisu yang sengaja dibawanya."Dia dengan mudah merebut hati Baron,
"Hati-hati di jalan, ya. Jangan ngebut," pesan Moana untuk mengantar rombongan putra dan keponakannya tercinta.Riley mengangguk paham lalu memeluk singkat sang Bibi."Meg, sering-sering lah berkunjung. Kalau kamu merasa tidak sehat dan butuh bantuan, jangan segan untuk menghubungi Bibi." Moana meraih tangan Megan dan menepuknya perlahan.Megan mengembangkan senyum haru, merasakan betapa tulus kasih sayang yang dicurahkan Moana dan Charlie kepada orang-orang di sekitarnya."Kamu, Rey. Jaga Megan baik-baik. Lebih banyak sabar sama Ibu hamil." Pesan Charlie sambil menepuk pundak keponakannya."Sepertinya Paman sangat berpengalaman?" Kekeh Riley bernada menyindir."Tentu saja. Kamu tahu bagaimana rewelnya Bibi mu saat mengandung Allen. Dia hampir saja membuat seluruh rambut Paman rontok," canda Charlie.Moana menyodok pinggang suaminya. Mengisyaratkan pria tua itu untuk menutup mulutnya. Orang-orang yang ada disana hanya bisa mengulum senyum geli."Berhentilah membongkar aib, Pa. Kami ha
"Minggir, aku mau bertemu dengan bos mu!" Teriak Celine marah.Untuk ke sekian kalinya, ia kembali menerima penolakan setiap kali mengunjungi rumah dan kantor Riley. Seperti di sengaja, para karyawan kantor dan pekerja di rumah menghalangi langkahnya untuk mendekati area dalam rumah megah itu."Minggir. Kamu mau di pecat!" Ancamnya dengan nada angkuh. Pria berpakaian tentara tak gentar meski Celine berulangkali berteriak dan mengancam. Mereka secara khusus mendapat mandat dari sang jenderal untuk menjaga keamanan rumah putra semata wayangnya sekaligus memastikan Celine tidak memasuki bahkan mendekati rumah ini."Maaf, Bu Celine. Anda di larang masuk. Lagipula Pak Riley tidak di tempat, beliau tengah berlibur bersama istrinya.""Istri … istri! Jangan menyebut kata itu di hadapanku," hardik Celine kasar sambil mengacungkan telunjuknya ke arah petugas.Ia muak setiap kali ada orang yang mengingatkannya bahwa Riley kini telah menjadi milik pria lain."Minggir!" Teriaknya lagi namun tiga
"Istri anda mengalami pendarahan. Beruntung, ibu dan bayinya masih bisa diselamatkan. Untuk sementara, beliau harus bedrest hingga kondisinya stabil," jelas dokter yang baru saja selesai memeriksa kondisi Megan secara menyeluruh.Riley mendesah lega. Jantungnya kembali berdetak dengan ritme normal."Saya sarankan, jauhkan istri anda dari stres berlebih karena usia kandungannya masih muda dan lemah."Sang dokter mengangguk kecil pada semua orang yang menunggu di pintu UGD lalu bergegas pergi untuk memeriksa pasien lainnya."Apa yang sebenarnya kalian lakukan?" Desis Riley sambil memijat pelipisnya."Rey." Riley menepis tangan Celine yang berusaha menyentuhnya. "Kalau terjadi sesuatu yang buruk pada Megan dan anak-anakku, aku pastikan kamu akan menyesal," ujarnya mengancam.Celine mundur, seketika ia tak mengenali Riley yang menatapnya dengan tatapan tajam."A—aku hanya …""Cukup, Celine." Sergah Charles. Ia menyeret Celine pergi bersamanya.Riley menghela napas panjang lalu melirik pa
"Rey." Megan menyentuh rambut suaminya yang tampak tertidur dengan posisi wajah menelungkup di tepi ranjang.Riley mengeliat kecil. "Hmm, Meg. Kamu udah bangun?""Jam sebelas malam," sahut Riley sambil mengucek kedua matanya.'Pasti dia kelelahan.' pikir Megan."Selama malam, Rey." Sapa Megan sambil tersenyum melihat wajah lucu Riley yang belum terjaga sepenuhnya."Malam, Sayang." Balas Riley senang. Ia bangun untuk mengecup kening istrinya."Malam juga putri-putri ku yang nakal," ucapnya sambil mengelus perut Megan. Seolah tengah menyapa dua putri kecilnya."Mereka nakal?""Yah, mereka membuat Mama Megan tidur sangat lama," keluh Riley.Megan terkekeh geli. "Berapa lama aku nggak sadar, Rey?""Tiga hari, Sayang.""Hhh … belakangan ini aku tubuh ku mudah sekali kelelahan."Melihat mimik sedih di balik wajah istrinya membuat Riley ingin menghiburnya. "Itu wajar, Sayang. Kamu membawa dua putri kita. Maka dari itu, kamu tidak boleh lupa kalau sekarang kamu tidak lagi sendirian. Ada aku d