Megan berjalan mendekati bebatuan dimana Nesa duduk. Keduanya tidak bicara, hanya duduk dan menatap Padang rumput gersang dengan tatapan kosong."Aku menyukainya sejak pertama kali melihatnya," ucap Nesa memecah kesunyian."Saat itu dia tersenyum ramah. Menanyakan arah menuju fakultas sinematografi. Aku mengantarkannya dan terkejut, ternyata dia datang untuk menemui mu," tuturnya. Mengisahkan awal mula pertemuannya dengan Baron."Saat itu aku hanya junior yang mengangumi setiap karya mu, Megan. Aku bermimpi suatu hari bisa duduk satu meja dan berkerjasama denganmu, tapi itu sekedar mimpi. Tak lebih,""Namun, semenjak bertemu dengan Baron dan aku tahu sejarah hubungan kalian, aku bertekad untuk membuat mimpi ku menjadi kenyataan. Aku ingin bersama kalian setiap hari." Airmata Nesa tak tertahankan. Ia terisak perlahan."Karena itu aku tidak berani sembarangan memaksakan perasaan ku. Tapi dia—"Megan mengacungkan lembaran tisu yang sengaja dibawanya."Dia dengan mudah merebut hati Baron,
"Hati-hati di jalan, ya. Jangan ngebut," pesan Moana untuk mengantar rombongan putra dan keponakannya tercinta.Riley mengangguk paham lalu memeluk singkat sang Bibi."Meg, sering-sering lah berkunjung. Kalau kamu merasa tidak sehat dan butuh bantuan, jangan segan untuk menghubungi Bibi." Moana meraih tangan Megan dan menepuknya perlahan.Megan mengembangkan senyum haru, merasakan betapa tulus kasih sayang yang dicurahkan Moana dan Charlie kepada orang-orang di sekitarnya."Kamu, Rey. Jaga Megan baik-baik. Lebih banyak sabar sama Ibu hamil." Pesan Charlie sambil menepuk pundak keponakannya."Sepertinya Paman sangat berpengalaman?" Kekeh Riley bernada menyindir."Tentu saja. Kamu tahu bagaimana rewelnya Bibi mu saat mengandung Allen. Dia hampir saja membuat seluruh rambut Paman rontok," canda Charlie.Moana menyodok pinggang suaminya. Mengisyaratkan pria tua itu untuk menutup mulutnya. Orang-orang yang ada disana hanya bisa mengulum senyum geli."Berhentilah membongkar aib, Pa. Kami ha
"Minggir, aku mau bertemu dengan bos mu!" Teriak Celine marah.Untuk ke sekian kalinya, ia kembali menerima penolakan setiap kali mengunjungi rumah dan kantor Riley. Seperti di sengaja, para karyawan kantor dan pekerja di rumah menghalangi langkahnya untuk mendekati area dalam rumah megah itu."Minggir. Kamu mau di pecat!" Ancamnya dengan nada angkuh. Pria berpakaian tentara tak gentar meski Celine berulangkali berteriak dan mengancam. Mereka secara khusus mendapat mandat dari sang jenderal untuk menjaga keamanan rumah putra semata wayangnya sekaligus memastikan Celine tidak memasuki bahkan mendekati rumah ini."Maaf, Bu Celine. Anda di larang masuk. Lagipula Pak Riley tidak di tempat, beliau tengah berlibur bersama istrinya.""Istri … istri! Jangan menyebut kata itu di hadapanku," hardik Celine kasar sambil mengacungkan telunjuknya ke arah petugas.Ia muak setiap kali ada orang yang mengingatkannya bahwa Riley kini telah menjadi milik pria lain."Minggir!" Teriaknya lagi namun tiga
"Istri anda mengalami pendarahan. Beruntung, ibu dan bayinya masih bisa diselamatkan. Untuk sementara, beliau harus bedrest hingga kondisinya stabil," jelas dokter yang baru saja selesai memeriksa kondisi Megan secara menyeluruh.Riley mendesah lega. Jantungnya kembali berdetak dengan ritme normal."Saya sarankan, jauhkan istri anda dari stres berlebih karena usia kandungannya masih muda dan lemah."Sang dokter mengangguk kecil pada semua orang yang menunggu di pintu UGD lalu bergegas pergi untuk memeriksa pasien lainnya."Apa yang sebenarnya kalian lakukan?" Desis Riley sambil memijat pelipisnya."Rey." Riley menepis tangan Celine yang berusaha menyentuhnya. "Kalau terjadi sesuatu yang buruk pada Megan dan anak-anakku, aku pastikan kamu akan menyesal," ujarnya mengancam.Celine mundur, seketika ia tak mengenali Riley yang menatapnya dengan tatapan tajam."A—aku hanya …""Cukup, Celine." Sergah Charles. Ia menyeret Celine pergi bersamanya.Riley menghela napas panjang lalu melirik pa
"Rey." Megan menyentuh rambut suaminya yang tampak tertidur dengan posisi wajah menelungkup di tepi ranjang.Riley mengeliat kecil. "Hmm, Meg. Kamu udah bangun?""Jam sebelas malam," sahut Riley sambil mengucek kedua matanya.'Pasti dia kelelahan.' pikir Megan."Selama malam, Rey." Sapa Megan sambil tersenyum melihat wajah lucu Riley yang belum terjaga sepenuhnya."Malam, Sayang." Balas Riley senang. Ia bangun untuk mengecup kening istrinya."Malam juga putri-putri ku yang nakal," ucapnya sambil mengelus perut Megan. Seolah tengah menyapa dua putri kecilnya."Mereka nakal?""Yah, mereka membuat Mama Megan tidur sangat lama," keluh Riley.Megan terkekeh geli. "Berapa lama aku nggak sadar, Rey?""Tiga hari, Sayang.""Hhh … belakangan ini aku tubuh ku mudah sekali kelelahan."Melihat mimik sedih di balik wajah istrinya membuat Riley ingin menghiburnya. "Itu wajar, Sayang. Kamu membawa dua putri kita. Maka dari itu, kamu tidak boleh lupa kalau sekarang kamu tidak lagi sendirian. Ada aku d
"Megan …" teriakan langsung terdengar nyaring begitu pintu ruang rawat terbuka.Seorang wanita menghambur masuk disusul empat pria lainnya. Mereka hanya bisa menggelengkan kepala kala melihat kelakuan sang wanita yang tiba-tiba menjerit histeris begitu melihat Megan duduk sambil mengunyah jeruk."Hush! Kamu mau di geret keluar lagi sama satpam?" Hardik Zian sambil membekap mulut Nesa."Ini anak makin lama tingkahnya makin gila," keluhnya yang disambut anggukan cepat oleh Kevin."Aku menyerah menjadi tutor nya. Zian, kalau kamu tetap memaksa aku akan mengemasi barang-barang ku sekarang juga," pungkas Kevin lelah."Meg, aku serahkan dia kembali padamu," adu nya sembari meletakkan kepalanya dipinggiran ranjang."Jangan lakukan itu," cegah Baron. "Bila Riley melihat mu dekat-dekat dengan Megan, dia akan mendeportasi mu sekarang juga," ujarnya mengingatkan.Kevin mengerucutkan bibirnya sebal. "Suamimu terlalu berlebihan," keluhnya pada Megan yang hanya menggoyangkan bahunya sebagai balasan
"Kamu yakin, Meg?" Baron menghentikan laju mobilnya tepat di depan lobi restoran mewah tengah pusat kota.Megan mengangguk pelan. "Ya." gumamnya samar."Kamu mau aku temani ke dalam?"Kali ini Megan menggeleng. "Nggak usah. Kamu tunggu di parkiran aja.""Kabari aku bila terjadi sesuatu," tahan Baron saat Megan membuka pintu mobil."Kamu tenang saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Megan mengulas senyum lemah di wajah pucatnya lalu melangkah turun dari mobil dan meninggalkan area parkir. Begitu melewati pintu restoran Megan langsung disambut oleh para waiters."Charles Bronson," ucap Megan. Begitu menyebut nama mertuanya, Megan langsung diarahkan menuju ruangan VIP. Mata Megan terpaku begitu pintu terbuka dan tidak hanya Charles yang menyambut kedatangannya tapi juga Yasmen bersama seorang pria asing."Maaf, Pa. Tapi, ada apa ini?" Selidik Megan. "Mengapa mereka ada disini?""Ayo duduk, Megan. Ada yang ingin kami bicarakan dengan mu." Pria asing itu bangkit dari kursinya dan men
"Megan?" Panggil Baron. "Kenapa? Apa yang terjadi?"Begitu melihat Megan keluar dari restoran dengan di, Baron segera melompat keluar dari mobil untuk menghampirinya."Apa yang terjadi?" Buru nya cemas melihat wajah pucat Megan yang jauh terlihat lebih buruk dari sebelumnya."Segera bawa dia ke rumah sakit." Ujar Edbert.Baron membuka pintu mobil membantu pria yang tak di kenalnya membopong tubuh Megan ke dalam mobil."Aku akan menemani mu.""Tidak perlu, Paman. Baron bisa mengurus ku dengan baik. Lebih baik paman kembali ke dalam," tutur Megan lemah."Baiklah." Desah Edbert. Ia mengeluarkan secarik kertas dari balik saku jasnya."Ini kartu nama ku. Jika kamu butuh bantuan segera hubungi nomor ini," ujarnya sambil menyerahkan kartu nama pada Baron.Baron mengangguk paham dan menyambut kartu nama itu lalu memasukkan ke dalam saku celana."Maaf, kami berangkat sekarang," pamitnya dan segera memasuki sisi pengemudi.Edbert menutup pintu di sisi Megan sambil menatap cemas wajah pucat yan