"Rey." Megan menyentuh rambut suaminya yang tampak tertidur dengan posisi wajah menelungkup di tepi ranjang.Riley mengeliat kecil. "Hmm, Meg. Kamu udah bangun?""Jam sebelas malam," sahut Riley sambil mengucek kedua matanya.'Pasti dia kelelahan.' pikir Megan."Selama malam, Rey." Sapa Megan sambil tersenyum melihat wajah lucu Riley yang belum terjaga sepenuhnya."Malam, Sayang." Balas Riley senang. Ia bangun untuk mengecup kening istrinya."Malam juga putri-putri ku yang nakal," ucapnya sambil mengelus perut Megan. Seolah tengah menyapa dua putri kecilnya."Mereka nakal?""Yah, mereka membuat Mama Megan tidur sangat lama," keluh Riley.Megan terkekeh geli. "Berapa lama aku nggak sadar, Rey?""Tiga hari, Sayang.""Hhh … belakangan ini aku tubuh ku mudah sekali kelelahan."Melihat mimik sedih di balik wajah istrinya membuat Riley ingin menghiburnya. "Itu wajar, Sayang. Kamu membawa dua putri kita. Maka dari itu, kamu tidak boleh lupa kalau sekarang kamu tidak lagi sendirian. Ada aku d
"Megan …" teriakan langsung terdengar nyaring begitu pintu ruang rawat terbuka.Seorang wanita menghambur masuk disusul empat pria lainnya. Mereka hanya bisa menggelengkan kepala kala melihat kelakuan sang wanita yang tiba-tiba menjerit histeris begitu melihat Megan duduk sambil mengunyah jeruk."Hush! Kamu mau di geret keluar lagi sama satpam?" Hardik Zian sambil membekap mulut Nesa."Ini anak makin lama tingkahnya makin gila," keluhnya yang disambut anggukan cepat oleh Kevin."Aku menyerah menjadi tutor nya. Zian, kalau kamu tetap memaksa aku akan mengemasi barang-barang ku sekarang juga," pungkas Kevin lelah."Meg, aku serahkan dia kembali padamu," adu nya sembari meletakkan kepalanya dipinggiran ranjang."Jangan lakukan itu," cegah Baron. "Bila Riley melihat mu dekat-dekat dengan Megan, dia akan mendeportasi mu sekarang juga," ujarnya mengingatkan.Kevin mengerucutkan bibirnya sebal. "Suamimu terlalu berlebihan," keluhnya pada Megan yang hanya menggoyangkan bahunya sebagai balasan
"Kamu yakin, Meg?" Baron menghentikan laju mobilnya tepat di depan lobi restoran mewah tengah pusat kota.Megan mengangguk pelan. "Ya." gumamnya samar."Kamu mau aku temani ke dalam?"Kali ini Megan menggeleng. "Nggak usah. Kamu tunggu di parkiran aja.""Kabari aku bila terjadi sesuatu," tahan Baron saat Megan membuka pintu mobil."Kamu tenang saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."Megan mengulas senyum lemah di wajah pucatnya lalu melangkah turun dari mobil dan meninggalkan area parkir. Begitu melewati pintu restoran Megan langsung disambut oleh para waiters."Charles Bronson," ucap Megan. Begitu menyebut nama mertuanya, Megan langsung diarahkan menuju ruangan VIP. Mata Megan terpaku begitu pintu terbuka dan tidak hanya Charles yang menyambut kedatangannya tapi juga Yasmen bersama seorang pria asing."Maaf, Pa. Tapi, ada apa ini?" Selidik Megan. "Mengapa mereka ada disini?""Ayo duduk, Megan. Ada yang ingin kami bicarakan dengan mu." Pria asing itu bangkit dari kursinya dan men
"Megan?" Panggil Baron. "Kenapa? Apa yang terjadi?"Begitu melihat Megan keluar dari restoran dengan di, Baron segera melompat keluar dari mobil untuk menghampirinya."Apa yang terjadi?" Buru nya cemas melihat wajah pucat Megan yang jauh terlihat lebih buruk dari sebelumnya."Segera bawa dia ke rumah sakit." Ujar Edbert.Baron membuka pintu mobil membantu pria yang tak di kenalnya membopong tubuh Megan ke dalam mobil."Aku akan menemani mu.""Tidak perlu, Paman. Baron bisa mengurus ku dengan baik. Lebih baik paman kembali ke dalam," tutur Megan lemah."Baiklah." Desah Edbert. Ia mengeluarkan secarik kertas dari balik saku jasnya."Ini kartu nama ku. Jika kamu butuh bantuan segera hubungi nomor ini," ujarnya sambil menyerahkan kartu nama pada Baron.Baron mengangguk paham dan menyambut kartu nama itu lalu memasukkan ke dalam saku celana."Maaf, kami berangkat sekarang," pamitnya dan segera memasuki sisi pengemudi.Edbert menutup pintu di sisi Megan sambil menatap cemas wajah pucat yan
"Megan, apa yang sebenarnya terjadi?" Baron duduk di tepi ranjang, menatap prihatin akan kondisi Megan yang mengenaskan. Wajahnya pucat dengan kelopak mata yang membengkak."Aku tahu sepanjang hari ini kamu terus menangis. Katakan, apa yang membuat mu begitu sedih setelah bertemu Papa Riley?"Megan hendak menggeleng namun Baron segera menghentikan gerakannya."Kalau kamu terus mengelak, aku akan bertanya langsung pada Riley," ancam Baron dan membuat gerakan seolah dia akan mengambil ponsel dari dalam saku."Jangan." Tahan Megan cepat. "Jangan katakan apapun pada Riley.""Kalau begitu katakan yang sejujurnya. Apa yang terjadi di dalam restoran? Kamu pernah janji pada ku, Meg. Tak akan pernah ada rahasia di antara kita."Megan memalingkan wajahnya, menatap lepas keluar balkon kamarnya."Di mana teman-teman yang lain?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan."Mereka di bawah. Makan malam bersama karyawan cafe."Megan terdiam beberapa saat sebelum kembali menghela napas untuk ke sekian kal
"Megan di kamarnya," ucap Baron begitu melihat Riley dan Allen muncul dari balik pintu masuk cafe.Riley mengangguk paham dan segera menaiki tangga menuju lantai dua bangunan ini.Sedangkan Allen menatap Baron, bingung. Wajah itu tampak lesu dengan mata sembab."Kenapa? Apa ada masalah?"Baron mendekat, memeluk Allen secara tiba-tiba. Mengabaikan puluhan pasang mata yang menatap mereka takjub."Ada apa, Sayang?'"Allen, apa yang harus kulakukan?" Desah Baron.Allen menghela napas lalu menggiring Baron ikut bersamanya. Keduanya menyusuri pinggiran pantai buatan di sekitar cafe."Katakan, apa yang membuatmu seperti ini?"Baron menggeleng. Ia memilih posisi dan merebahkan dirinya di atas pasir. Sedangkan Allen melepas jas untuk menutupi bagian depan tubuh Baron dari terpaan udara dingin yang menggigit lalu duduk disampingnya."Terkadang, tak ada seorangpun yang bisa menerka alur hidup ini. Di saat semuanya baik-baik saja, selalu ada badai yang datang untuk memporak-porandakan semuanya hi
"Gimana, kamu suka? Baru-baru ini aku mempelajari resep baru."Riley menatap istrinya penuh harap. Menunggu respon Megan atas citarasa dari inovasi baru, menu yang dibuatnya."Hmm, tidak buruk," balas Megan datar."Hanya itu?" Ucap Riley sedikit kecewa.Megan melebarkan senyum di bibirnya. "Rey, ini tidak buruk ini luar biasa," serunya sambil terkikis geli. "Kamu sengaja ya?" Desis Riley curiga. "Dari mana istriku ini belajar jahil, hmm?"Riley mencubit gemas hidung Megan lalu mengelus pipinya."Ini bakat alami, Rey. Tidak perlu dipelajari," kekeh Megan. Ia kembali menyendok porsi besar lasagna dari mangkuk ke piringnya."Kamu belajar dari Baron, 'kan?" Tebak Megan.Riley melebarkan matanya. "Kamu tahu?"Ia menepuk keningnya. "Ah, aku lupa. Tidak ada rahasia diantara kalian.""Tidak juga. Baron tidak mengatakan apapun. Untuk beberapa hal yang menurutnya tidak perlu dibeberkan, Baron tidak akan menceritakannya pada ku.""Jadi, dari mana kamu tahu?" Selidik Riley penasaran.Megan meng
"Tuhan …" racau Riley. "Sejauh mana kamu mau membuatku gila, Megan."Ia meraup rahang Megan, menundukkan tubuhnya untuk bisa meraih bibir yang terus saja membakar gairahnya. Riley menuntut bibir itu untuk bertanggung jawab. "Rey," desah Megan begitu tekanan demi tekanan membuat bibirnya terkatup rapat.Hanya butuh sedikit celah, saat hisapan kuat hingga badai menyapu langit-langit dan mengajak lidahnya menari. Suara decakan berpadu dengan desahan tertahan. Udara panas semakin menguat hingga salah satu dari mereka berhenti dan mengurai jarak.Riley menarik diri. Tatapannya semakin mengelap kala pandangan berhenti pada wajah yang merah dengan napas tersengal-sengal."Bukankah aku sudah memperingatkan mu, Sayang?"Megan tersenyum sambil mengalungkan tangannya ke leher suaminya. "Dan bukankah aku memintamu untuk melepaskannya?"Tak mau lagi membuang waktu, Riley melepaskan tangan Megan. Ia menarik keluar kemeja lengan panjangnya dan melepaskan seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya.R