Seketika Lucas menoleh singkat ke arah Albert yang sudah membeku di tempat. Wajah Albert tampak memerah dan serius.[Iya, Tuan. Saya masih ingat. Apakah ada yang mengganggu Anda?][Tidak. Hanya saja… aku jadi teringat anak Ashley tiap melihat wajah pegawai Lucas. Namanya siapa? Albert, ya?]Bibir Albert terkatup rapat. Sekarang tubuhnya bergetar karena telinganya mendengar langsung pria paruh baya itu menyebut nama ayahnya. Napas Albert kian terasa tercekik. Setelah ini, ia berharap cepat mengetahui pelaku itu. Dan keyakinannya soal K Group yang terlibat pada tragedi 20 tahun lalu semakin kuat.[Iya, Tuan. Sejujurnya saya tidak begitu ingat tentang putra Ashley. Tapi, saya memang ada sedikit masalah dengan pria bernama Albert itu.]Franklin mengangkat sebelah alis. Kerutan di dahinya terlihat samar.[Apa itu?][Pegawai Tuan Lucas yang bernama Albert itu—]Lalu kalimat Chen Ze terpotong oleh suara telepon di ponselnya. Chen Ze memasang tak enak. Franklin hanya mengangguk sambil mengger
Sontak Chiara lekas bangkit berdiri. Begitu juga Lucas yang akhirnya harus segera menyambar handuk dan kembali memakainya."Oh, maaf, Lucas. Maafkan aku. Aku tidak sengaja. Sungguh!" Chiara berulang kali meminta maaf sambil tetap menutup mata karena sangat merasa bersalah. Sementara wajah Lucas sudah bersemu merah menahan malu."Tidak apa-apa. Kau kan tidak melakukannya secara sengaja," desah Lucas memastikan handuk yang membalut tubuh bagian bawahnya aman.Dalam tangkupan kedua tangannya, Chiara mengembuskan napas panjang. Ia tetap merasa bersalah. Apalagi kini bayangannya dipenuhi oleh kejantanan Lucas yang sempat ia lihat. Padahal, ini bukan pertama kalinya ia menyaksikan keperkasaan milik Lucas. Tapi tetap saja, ia merasa canggung, malu dan berdosa."Kenapa kau tetap menutup matamu?" sindir Lucas.Mula-mula Chiara merenggangkan sejumlah jarinya hingga membentuk celah kecil. Lucas mengernyit begitu menatap bola mata Chiara yang muncul dari tengah-tengah sana. Setelah memastikan Luc
Chiara ketakutan. Wajahnya sudah memucat tatkala pria di luar tampak menodongkan pistol ke arah kaca jendela tepat samping sopir di depannya."Bagaimana ini, Nona?" tanya si sopir tampak khawatir. Pria itu buru-buru meraih ponsel, mengotak-atiknya singkat."Mungkin, kita coba buka saja." Bibir Chiara terkatup rapat. Tidak ada pilihan lain.Lalu si sopir dengan ragu membuka pintu. Seketika pria berjaket yang berada di luar itu langsung menyeret sang sopir hingga terjerembap ke tanah. Sontak Chiara berteriak.Mula-mula pria tersebut mengambil alih kemudi mobil yang sedang ditumpangi Chiara. Ketakutan Chiara semakin meningkat."Apa yang kau lakukan?! Tolong berhenti!" desis Chiara di tengah ketakutannya."Diam! Kau harus ikut denganku!" ancam pria itu.Chiara tak berkutik. Tapi setelahnya ia memutuskan untuk segera menghubungi nomor Lucas.[Halo?]Suara Lucas berbunyi di antara keheningan yang mencekam dan ketakutan Chiara. Chiara tak menjawab. Namun sialnya pria asing yang menjalankan m
"Chiara!"Lucas tersentak sewaktu bunyi peluru berdesing dari belakang tubuhnya. Chiara terkejut, peluru barusan telah menyerempet kaki sebelah kanannya hingga tubuhnya terhuyung.Lucas dengan sigap menangkap badan Chiara. Wajahnya yang merah padam menoleh ke arah pria bertompel yang sedang sekarat. Ia langsung menggendong tubuh Chiara. Berlari cepat menuju mobil.Tak menunggu waktu, Albert menyambar pistolnya juga dari saku celana. Ia selalu siap dimanapun. Pistol di arahkah kepada si pelaku dan mulai balas menembak perang mereka. Menarik pelatuk dari pistol, Albert membidikkan senjatanya tepat kepada pria bertompel. Bunyi peluru yang berdesing tepat mengenai jantung pria tersebut dan mati di tempat seketika.Sementara itu, Lucas segera memeriksa kaki Chiara yang sempat terserempet peluru. Mula-mua Lucas menyingkap kain celana yang menutupi kaki jenjang Chiara hingga sebatas lutut dan mulai memperhatikan ada aliran darah deras dari sana.Chiara mengerang kesakitan. Meski sejujurnya i
Rahang Lucas waktu itu sudah mengeras. Bahkan nadi di sekitar lehernya berdenyut cepat. Lucas melangkahkan kaki tegas menuju lorong lantai tertinggi yang menghubungkan beberapa ruang eksklusif sekaligus.Mata hazel Lucas menatap tajam ke area sebuah pintu yang akan ia datangi. Tanpa mengetuk pintu, Lucas masuk begitu saja hingga membuat pria yang duduk di belakang meja besar mendongak.Robert menghela napas, lantas menyandarkan punggungnya ke kursi. Tatapannya seakan sedang menunggu kehadiran Lucas beserta protes yang akan pria itu luapkan."Daddy pasti tahu kan kalau aku akan kemari," tekan Lucas menggertakkan gigi.Robert meresponnya dengan gerakan tangan menuding kursi. "Duduklah dulu.""Apa yang sebenarnya membuatmu ringan tangan hingga mudah sekali kau membunuh orang?!" geram Lucas dengan mengabaikan ucapan Robert barusan."Kecilkan suaramu, Lucas!" Robert mengatupkan rahangnya. Kedua mata itu melotot ke arah anaknya."Apa kau akan menanggung semua nyawa yang telah kau hilangkan?
Cahaya matahari menembus sebuah jendela lebar hingga menerangi seluruh ruangan yang didominasi warna putih. Bau obat serta alat-alat medis menyeruak memenuhi indra penciuman Lucas.Lucas terpegun. Menyaksikan pergerakan patient monitor yang ada di sisinya. Ia mengamati irama detak jantung, respirasi dan tekanan darah milik Robert yang sekarang tengah terlentang tak berdaya di salah satu ruang khusus rumah sakit elit di kota New York.Lucas membuang napas. Hal ini akhirnya terulang kembali. Ia de javu dengan kondisi Robert satu tahun yang lalu. Tepatnya saat Zyan memberontak dan akhirnya di buang ke salah satu negara terpencil. Sejak itu, Lucas merawat Robert yang mempunyai riwayat sakit jantung. Padahal operasi dan pemasangan ring sudah sukses dilakukan, namun hal tersebut tak pelak membuat penyakit milik pria paruh baya itu kumat lagi.Lucas meraih ponsel dan mengetikkan pesan untuk Albert. Karena rapat tetap harus dilanjutkan, maka ia menyuruh Albert untuk menggantikannya. Sekarang
Sontak Albert yang berada di belakangnya langsung terpaku pada punggung Lucas. Tubuhnya seketika menegang. Rasa ingin tahunya kian membuncah.Sementara itu, Lucas melirik Albert sekilas. "Ya, trims. Kau bisa pulang hari ini," ujarnya lantas menutup sambungan teleponnya.Setelah itu, Lucas berderap mendekati meja Albert."Ada apa, Tuan? Apa yang telah mereka temukan?" Albert berdiri. Menuntut jawaban dari Lucas.Lucas mengerutkan hidungnya. "Orang yang pertama kali memesan liontin ular mata biru itu memang Franklin, Albert," desah Lucas."Tapi, jangan gegabah. Kita kumpulkan semua bukti dulu. Lalu setelahnya, kau bisa membalaskan dendam. Sementara aku akan mengumpulkan beberapa kelemahan orang itu juga," tambahnya."Baik, Tuan. Bagaimanapun saya juga akan tetap menggunakan pikiran dingin saya," aku Albert. Namun sejujurnya, ia tengah memutar keras otaknya."Bagus, Albert. Sampai hari itu tiba, jangan pernah membuat mereka curiga." Bibir Lucas terkatup rapat. Kedua mata hazelnya setenga
Chiara tahu, ini salah. Sejujurnya ia tak akan membiarkan dirinya bodoh untuk kesekian kalinya. Tidak ada masa depan untuknya bersama pria yang sekarang mengulum bibirnya lembut.Mata Chiara terpejam. Merasakan bagaimana akhirnya ciuman orang yang ia sukai mendarat lagi di bibirnya. Ia sendiri juga tidak tahu kenapa Lucas menciumnya lagi. Apakah bibirnya mengandung magnet hingga bisa menarik Lucas kembali? Ataukah pria itu hanya mempergunakannya sebagai penyalur kerinduannya kepada Lala?Entahlah. Chiara memilih untuk tidak peduli. Sebesar apapun ia menutup hatinya untuk Lucas, maka sebesar itulah juga perasaannya kian memaksa untuk menerima pria tersebut. Meski Lucas hanya seorang tamu jauh yang berkunjung dan menginap. Tapi tidak untuk menetap.Chiara pun memang menginginkan Lucas. Sama seperti Lucas menginginkannya malam ini. Sekarang ciuman lembut Lucas perlahan menjelma menjadi ciuman penuh gairah. Lidah pria itu berkelana mencari celah untuk menerobos serta mengeksplor setiap ru