Cahaya matahari menembus sebuah jendela lebar hingga menerangi seluruh ruangan yang didominasi warna putih. Bau obat serta alat-alat medis menyeruak memenuhi indra penciuman Lucas.Lucas terpegun. Menyaksikan pergerakan patient monitor yang ada di sisinya. Ia mengamati irama detak jantung, respirasi dan tekanan darah milik Robert yang sekarang tengah terlentang tak berdaya di salah satu ruang khusus rumah sakit elit di kota New York.Lucas membuang napas. Hal ini akhirnya terulang kembali. Ia de javu dengan kondisi Robert satu tahun yang lalu. Tepatnya saat Zyan memberontak dan akhirnya di buang ke salah satu negara terpencil. Sejak itu, Lucas merawat Robert yang mempunyai riwayat sakit jantung. Padahal operasi dan pemasangan ring sudah sukses dilakukan, namun hal tersebut tak pelak membuat penyakit milik pria paruh baya itu kumat lagi.Lucas meraih ponsel dan mengetikkan pesan untuk Albert. Karena rapat tetap harus dilanjutkan, maka ia menyuruh Albert untuk menggantikannya. Sekarang
Sontak Albert yang berada di belakangnya langsung terpaku pada punggung Lucas. Tubuhnya seketika menegang. Rasa ingin tahunya kian membuncah.Sementara itu, Lucas melirik Albert sekilas. "Ya, trims. Kau bisa pulang hari ini," ujarnya lantas menutup sambungan teleponnya.Setelah itu, Lucas berderap mendekati meja Albert."Ada apa, Tuan? Apa yang telah mereka temukan?" Albert berdiri. Menuntut jawaban dari Lucas.Lucas mengerutkan hidungnya. "Orang yang pertama kali memesan liontin ular mata biru itu memang Franklin, Albert," desah Lucas."Tapi, jangan gegabah. Kita kumpulkan semua bukti dulu. Lalu setelahnya, kau bisa membalaskan dendam. Sementara aku akan mengumpulkan beberapa kelemahan orang itu juga," tambahnya."Baik, Tuan. Bagaimanapun saya juga akan tetap menggunakan pikiran dingin saya," aku Albert. Namun sejujurnya, ia tengah memutar keras otaknya."Bagus, Albert. Sampai hari itu tiba, jangan pernah membuat mereka curiga." Bibir Lucas terkatup rapat. Kedua mata hazelnya setenga
Chiara tahu, ini salah. Sejujurnya ia tak akan membiarkan dirinya bodoh untuk kesekian kalinya. Tidak ada masa depan untuknya bersama pria yang sekarang mengulum bibirnya lembut.Mata Chiara terpejam. Merasakan bagaimana akhirnya ciuman orang yang ia sukai mendarat lagi di bibirnya. Ia sendiri juga tidak tahu kenapa Lucas menciumnya lagi. Apakah bibirnya mengandung magnet hingga bisa menarik Lucas kembali? Ataukah pria itu hanya mempergunakannya sebagai penyalur kerinduannya kepada Lala?Entahlah. Chiara memilih untuk tidak peduli. Sebesar apapun ia menutup hatinya untuk Lucas, maka sebesar itulah juga perasaannya kian memaksa untuk menerima pria tersebut. Meski Lucas hanya seorang tamu jauh yang berkunjung dan menginap. Tapi tidak untuk menetap.Chiara pun memang menginginkan Lucas. Sama seperti Lucas menginginkannya malam ini. Sekarang ciuman lembut Lucas perlahan menjelma menjadi ciuman penuh gairah. Lidah pria itu berkelana mencari celah untuk menerobos serta mengeksplor setiap ru
Sinar hangat mentari pagi menyelinap dan menembus jendela luas di sisi kamar Chiara. Membuat wanita itu menggeliat, lantas membuka netranya perlahan.Setelah mengerjapkan mata beberapa kali dan berhasil menyesuaikan dengan intensitas cahaya pagi itu, Chiara langsung bangkit. Mencari-cari keberadaan Lucas yang seharusnya juga ada di sini.Ia menoleh ke samping tubuhnya. Kini selimut itu kosong. Hanya udara hampa yang terisi di dalam selimut yang menggunduk tersebut. Chiara menghela napas panjang. Otaknya terlalu bahagia merekam momen semalam secara detail hingga ia tak bisa melupakannya.Chiara mengusap wajahnya frustasi. Merutuki diri kenapa ia masih saja terhanyut oleh pesona Lucas yang fana. Namun, tiba-tiba ia mengernyit saat menangkap suara gemericik air.Ia kemudian memutuskan untuk mendaratkan kedua kaki telanjangnya pelan-pelan ke lantai sambil memiringkan kepala untuk memastikan pendengarannya. Sementara kedua tangannya masih mendekap selimut untuk menutupi tubuh polosnya.Beg
Seketika Albert terperangah. Ia menyeret perhatiannya lagi menuju liontin yang berkilauan itu. Padahal hanya liontin yang dipakai ibunya, tapi sudah seberharga itu hingga dipajang di tempat display khusus.Tunggu, kenapa liontin ibunya bisa sampai ke sini?Albert mengatupkan bibir. Tanpa disadari oleh siapapun tangannya terkepal erat di balik etalase display perhiasan.Lucas cukup terperanjat selama beberapa detik. Ia sama sekali tak tahu bahwa Albert ternyata berasal dari keluarga yang sangat kaya raya. Lucas pun merasa iba. Bagaimanapun, gara-gara kejadian nahas 20 tahun lalu, Albert jadi tak punya keluarga dan harus tinggal di panti asuhan.Waktu itu, Lucas berusia 11 tahun saat suatu hari berkunjung ke salah satu panti asuhan di New York. Ia berkunjung bersama Robert dan Sarah, juga Zyan.Tujuan mereka mengunjungi panti adalah karena ingin merayakan ulang tahun Lucas. Maka, Lucas cukup terkejut sekaligus bahagia saat dirinya bertemu banyak teman di sana. Ia jadi bisa punya teman m
"Tuan, tidak perlu mem—"Lucas langsung memotong kalimat Albert dengan mengangkat salah satu tangannya."Harganya 17 juta dollar, Tuan," papar pelayan pria di depannya sambil merekahkan senyum."Ya, aku ambil ini juga. Bungkus semuanya."Si pelayan menuruti titah Lucas. Pria itu sekarang dengan lihai membungkus rapi cincin berikut liontin yang dibeli Lucas."Saya salut dengan Anda, Tuan. Mata Anda tak pernah salah menilai perhiasan cantik ini," ujar pelayan mulai berceloteh kembali. Lucas hanya mendengus kasar karena tak sabar.Saat si pelayan sudah selesai membungkus dan menyerahkannya kepada Lucas dengan sangat hati-hati, Lucas segera menyahutnya tanpa basa-basi. Setelahnya, Lucas dan Albert segera menggiring kaki mereka menuju mobil dan melajukannya hingga sampai tiba di kantor.Keduanya melangkah masuk area lobi, melewati lift dengan beberapa pasang mata mencuri pandang pada bungkusan yang dibawa Lucas. Tampak tertarik.Setelah mencapai ruangan, Lucas membanting tubuhnya dan menar
Seketika Poppy tercengang. Ia berpaling menatap Lucas di sisinya dan menangkap keseriusan terdapat di pria berahang tegas tersebut. Kedua matanya membulat sempurna. Lalu, ia kembali menatap kedua temannya itu."Oh, begitu, hehehe… aku pikir tadi Poppy kau tinggal karena kau berjalan lebih dulu." Kitty tertawa. Wajahnya bersemu merah karena malu.Chloe di sampingnya juga buru-buru mengangguk. "Ya, kupikir tadi juga begitu! Maafkan kami, Lucas." Wanita tersebut tampak memelas.Kini kepercayaan diri Poppy meningkat lagi. Sekarang Poppy semakin menegakkan bahu dan bersedekap menatap sepele kedua temannya."Lain kali, jangan suka mengeluarkan opini dulu sebelum kau tahu kenyataannya." Poppy mengulas senyum tipis.Kekesalan tampak tercetak jelas di wajah Chloe maupun Kitty. Chloe segera memperlebar senyum demi menutupi rasa geramnya, kemudian lekas menarik Kitty yang juga merasa malu."Baik, kami pergi dulu, ya!" ujar Chloe kaku dan memaksakan senyumnya. Poppy tak menanggapi. Ia melihat ked
"Maaf ya, Bu. Aku belum bisa menjenguk Ibu dan Ayah. Kakiku masih sakit," ungkap Chiara sedih ketika Susan meneleponnya.[Tidak apa-apa, Sayang. Yang penting kau selalu sehat. Tapi, aku harus berterima kasih banyak kepada Lucas. Ia sudah melindungimu sejauh ini.]Chiara mengulum senyum. Lucas memang sudah berbuat banyak untuk dirinya.[Halo? Kau sekarang pasti sedang tersenyum ya, Sayang. Apa kau menyukai Lucas?]Chiara terhenyak. Kemudian buru-buru menegakkan badan sambil menggeleng. Meski ibunya tak melihat, tapi Chiara refleks menggerakkan tangannya juga."Tidak, Bu. Aku tidak menyukai Lucas sama sekali, kok," tandasnya berbohong. Bagaimanapun hati Lucas tetap untuk saudara kembarnya sendiri.Namun tanpa ia ketahui, Lucas tak sengaja mendengar kalimat itu terucap dari bibirnya. Lucas membeku di tempat. Sebelah tangannya yang memegang box cincin yang telah ia beli tadi pagi terlepas begitu saja.Chiara terkesiap. Ia langsung menoleh untuk memastikan sumber suara tersebut. Namun gera