Chiara tahu, ini salah. Sejujurnya ia tak akan membiarkan dirinya bodoh untuk kesekian kalinya. Tidak ada masa depan untuknya bersama pria yang sekarang mengulum bibirnya lembut.Mata Chiara terpejam. Merasakan bagaimana akhirnya ciuman orang yang ia sukai mendarat lagi di bibirnya. Ia sendiri juga tidak tahu kenapa Lucas menciumnya lagi. Apakah bibirnya mengandung magnet hingga bisa menarik Lucas kembali? Ataukah pria itu hanya mempergunakannya sebagai penyalur kerinduannya kepada Lala?Entahlah. Chiara memilih untuk tidak peduli. Sebesar apapun ia menutup hatinya untuk Lucas, maka sebesar itulah juga perasaannya kian memaksa untuk menerima pria tersebut. Meski Lucas hanya seorang tamu jauh yang berkunjung dan menginap. Tapi tidak untuk menetap.Chiara pun memang menginginkan Lucas. Sama seperti Lucas menginginkannya malam ini. Sekarang ciuman lembut Lucas perlahan menjelma menjadi ciuman penuh gairah. Lidah pria itu berkelana mencari celah untuk menerobos serta mengeksplor setiap ru
Sinar hangat mentari pagi menyelinap dan menembus jendela luas di sisi kamar Chiara. Membuat wanita itu menggeliat, lantas membuka netranya perlahan.Setelah mengerjapkan mata beberapa kali dan berhasil menyesuaikan dengan intensitas cahaya pagi itu, Chiara langsung bangkit. Mencari-cari keberadaan Lucas yang seharusnya juga ada di sini.Ia menoleh ke samping tubuhnya. Kini selimut itu kosong. Hanya udara hampa yang terisi di dalam selimut yang menggunduk tersebut. Chiara menghela napas panjang. Otaknya terlalu bahagia merekam momen semalam secara detail hingga ia tak bisa melupakannya.Chiara mengusap wajahnya frustasi. Merutuki diri kenapa ia masih saja terhanyut oleh pesona Lucas yang fana. Namun, tiba-tiba ia mengernyit saat menangkap suara gemericik air.Ia kemudian memutuskan untuk mendaratkan kedua kaki telanjangnya pelan-pelan ke lantai sambil memiringkan kepala untuk memastikan pendengarannya. Sementara kedua tangannya masih mendekap selimut untuk menutupi tubuh polosnya.Beg
Seketika Albert terperangah. Ia menyeret perhatiannya lagi menuju liontin yang berkilauan itu. Padahal hanya liontin yang dipakai ibunya, tapi sudah seberharga itu hingga dipajang di tempat display khusus.Tunggu, kenapa liontin ibunya bisa sampai ke sini?Albert mengatupkan bibir. Tanpa disadari oleh siapapun tangannya terkepal erat di balik etalase display perhiasan.Lucas cukup terperanjat selama beberapa detik. Ia sama sekali tak tahu bahwa Albert ternyata berasal dari keluarga yang sangat kaya raya. Lucas pun merasa iba. Bagaimanapun, gara-gara kejadian nahas 20 tahun lalu, Albert jadi tak punya keluarga dan harus tinggal di panti asuhan.Waktu itu, Lucas berusia 11 tahun saat suatu hari berkunjung ke salah satu panti asuhan di New York. Ia berkunjung bersama Robert dan Sarah, juga Zyan.Tujuan mereka mengunjungi panti adalah karena ingin merayakan ulang tahun Lucas. Maka, Lucas cukup terkejut sekaligus bahagia saat dirinya bertemu banyak teman di sana. Ia jadi bisa punya teman m
"Tuan, tidak perlu mem—"Lucas langsung memotong kalimat Albert dengan mengangkat salah satu tangannya."Harganya 17 juta dollar, Tuan," papar pelayan pria di depannya sambil merekahkan senyum."Ya, aku ambil ini juga. Bungkus semuanya."Si pelayan menuruti titah Lucas. Pria itu sekarang dengan lihai membungkus rapi cincin berikut liontin yang dibeli Lucas."Saya salut dengan Anda, Tuan. Mata Anda tak pernah salah menilai perhiasan cantik ini," ujar pelayan mulai berceloteh kembali. Lucas hanya mendengus kasar karena tak sabar.Saat si pelayan sudah selesai membungkus dan menyerahkannya kepada Lucas dengan sangat hati-hati, Lucas segera menyahutnya tanpa basa-basi. Setelahnya, Lucas dan Albert segera menggiring kaki mereka menuju mobil dan melajukannya hingga sampai tiba di kantor.Keduanya melangkah masuk area lobi, melewati lift dengan beberapa pasang mata mencuri pandang pada bungkusan yang dibawa Lucas. Tampak tertarik.Setelah mencapai ruangan, Lucas membanting tubuhnya dan menar
Seketika Poppy tercengang. Ia berpaling menatap Lucas di sisinya dan menangkap keseriusan terdapat di pria berahang tegas tersebut. Kedua matanya membulat sempurna. Lalu, ia kembali menatap kedua temannya itu."Oh, begitu, hehehe… aku pikir tadi Poppy kau tinggal karena kau berjalan lebih dulu." Kitty tertawa. Wajahnya bersemu merah karena malu.Chloe di sampingnya juga buru-buru mengangguk. "Ya, kupikir tadi juga begitu! Maafkan kami, Lucas." Wanita tersebut tampak memelas.Kini kepercayaan diri Poppy meningkat lagi. Sekarang Poppy semakin menegakkan bahu dan bersedekap menatap sepele kedua temannya."Lain kali, jangan suka mengeluarkan opini dulu sebelum kau tahu kenyataannya." Poppy mengulas senyum tipis.Kekesalan tampak tercetak jelas di wajah Chloe maupun Kitty. Chloe segera memperlebar senyum demi menutupi rasa geramnya, kemudian lekas menarik Kitty yang juga merasa malu."Baik, kami pergi dulu, ya!" ujar Chloe kaku dan memaksakan senyumnya. Poppy tak menanggapi. Ia melihat ked
"Maaf ya, Bu. Aku belum bisa menjenguk Ibu dan Ayah. Kakiku masih sakit," ungkap Chiara sedih ketika Susan meneleponnya.[Tidak apa-apa, Sayang. Yang penting kau selalu sehat. Tapi, aku harus berterima kasih banyak kepada Lucas. Ia sudah melindungimu sejauh ini.]Chiara mengulum senyum. Lucas memang sudah berbuat banyak untuk dirinya.[Halo? Kau sekarang pasti sedang tersenyum ya, Sayang. Apa kau menyukai Lucas?]Chiara terhenyak. Kemudian buru-buru menegakkan badan sambil menggeleng. Meski ibunya tak melihat, tapi Chiara refleks menggerakkan tangannya juga."Tidak, Bu. Aku tidak menyukai Lucas sama sekali, kok," tandasnya berbohong. Bagaimanapun hati Lucas tetap untuk saudara kembarnya sendiri.Namun tanpa ia ketahui, Lucas tak sengaja mendengar kalimat itu terucap dari bibirnya. Lucas membeku di tempat. Sebelah tangannya yang memegang box cincin yang telah ia beli tadi pagi terlepas begitu saja.Chiara terkesiap. Ia langsung menoleh untuk memastikan sumber suara tersebut. Namun gera
"Aku berubah pikiran, Lucas. Mari hentikan sandiwara ini," ungkap Poppy suatu pagi. Sekarang wanita tersebut dengan santai menyesap teh di hadapannya. Berusaha mengabaikan raut wajah kaget yang terpasang pada Lucas.Lucas mengernyit. Memperhatikan Poppy bergerak seenaknya. "Apa maksudmu? Kau akan menyerah?"Poppy menggelengkan kepala. Tangannya meletakkan kembali cangkir teh ke meja. Sedang mulutnya buru-buru menelan cairan teh yang telah terkumpul di rongga mulutnya."Bukan. Tapi, aku rasa perasaanku sudah berubah. Aku jadi jatuh cinta sungguhan padamu, Lucas," aku Poppy gamang. Matanya menatap lurus hingga menembus manik hazel milik Lucas.Napas Lucas tercekat. Jika ia pikir rencananya lancar, maka Poppy sudah menjadi salah satu hambatannya sekarang. Lucas menegakkan tubuhnya."Perjanjian tetaplah perjanjian. Kau harus profesional. Kau melakukan itu agar fasilitasmu tak blokir oleh Franklin. Sedang aku membutuhkan sandiwara ini untuk membungkam Robert. Kau harusnya ingat itu."Poppy
Chiara mengeluarkan seluruh isi perutnya. Setelah mencuci bersih mulut, ia memandangi cermin kecil yang menempel dinding di hadapannya.Chiara menelan saliva saat kedua matanya beradu pada bayangan yang terpantul pada cermin. Cermin yang sebagian sudah retak tersebut secara kejam menjebol tanda tanya besar di benaknya sekarang.Lalu, suara langkah sepasang kaki terdengar tergopoh-gopoh mendatangi Chiara sekarang. Susan mendongak, memandangi Chiara dengan cemas."Sayang, apa kau tidak apa-apa? Apa kau salah makan pagi ini?"Chiara terdiam. Agak gugup jika harus memikirkannya. Kemudian ia buru-buru menggelengkan kepala agar Susan dan Alan tak khawatir."Tidak, Bu. Sepertinya hanya gangguan pencernaan biasa. Nanti juga pasti sembuh sendiri," tukas Chiara enteng.Susan masih memasang raut wajah cemasnya. "Sungguh, Chiara? Kau terlihat sangat pucat sekarang."Chiara mengulurkan kedua tangan demi menjamah bahu ibunya. Kedua matanya menatap lekat Susan. Berusaha mendapat kepercayaan dari wan