"Tuan. Apa Anda tahu sejak kapan Chen Ze mulai bekerja untuk Franklin?" Albert menoleh ke arah Lucas. Mendahului kalimat Lucas yang sempat terpotong.Lalu kedua pasang mata mereka bertemu. Saling memutar otak dan menyambungkan satu per satu logika.Lucas lalu menautkan alisnya. "Mungkinkah pembunuh itu Franklin?" celetuknya. Sama persis dengan dugaan yang terlempar dari isi kepala Albert.Albert tak menjawab. Ia justru mengalihkan perhatian lagi kepada layar monitor di tabletnya. Tampak Franklin datang bersama Chen Ze ke rumah tersebut.Kedua orang itu perlahan berjalan menuju teras rumah Chen Ze. Albert bersiap-siap mendengarkan percakapan mereka dengan tampang serius.Rasa ingin tahu Lucas tinggi. Ia pun meraih pengeras suara lainnya dan menancapkan ke lubang telinganya sendiri. Ia pun menyimak apa yang sedang dibicarakan oleh kedua orang itu.[Akhirnya Anda mampir juga di rumah kecil saya, Tuan. Mau saya buatkan apa?]Itu suara Chen Ze.[Iya, terakhir kapan aku ke rumahmu ya? Hahah
Lucas langsung mendelik tajam ke arah Melly. "Apa?!""Iya, Tuan. Nona Chiara tidak ada. Barang-barangnya juga di bawa!" ungkap Melly gusar.Seketika Lucas bangkit dengan raut wajah pucat dan panik. Ia melangkahkan kaki cepat mengikuti Melly yang ada di depannya.Melly membuka pintu kamar Chiara. Menunjukkan keadaan isinya kepada Lucas. Lucas kian terperanjat. Kedua kakinya ia giring cepat untuk memeriksa pintu kaca yang telah terbuka.Kedua mata Lucas menyapu seluruh balkon dan di sekitarnya. Jangan-jangan wanita itu keluar dari mansion melalui balkon ini!Tapi, bagaimana caranya?! Otak Lucas mulai berpikir.Lucas segera meraih ponsel dari saku celana yang ia kenakan, lantas mencoba menelepon nomor Chiara.[Maaf, nomor yang Anda hubungi sudah tidak aktif. Mohon untuk memeriksa—]"Sialan!" Lucas mendengus keras. Chiara sudah mengganti nomornya. Apa yang terjadi kepada wanita itu?!Lalu Lucas memutuskan untuk kembali ke dalam kamar, menyambar kunci yang tergeletak di meja dan berderap k
Lucas menggeram. Ia mengatupkan rahang selama menyaksikan mobil Robert berhenti di depan mansionnya. Lucas melihat dengan kedua mata sendiri sewaktu Robert keluar dari sana dan membawa Chiara pergi.Albert di sisinya juga ikut tersentak dengan aksi nekat Robert. Ia lalu menoleh ke arah Lucas. "Sekarang apa yang akan Tuan lakukan?" tanyanya.Tanpa mengalihkan hunjaman matanya, Lucas mendesis tajam. "Tunggu apa lagi, aku harus menemui ayahku sekarang!"Lucas memukul tinjunya ke meja, lantas melangkahkan kakinya pergi."Ayo, Albert, kita berangkat sekarang!" titah Lucas yang langsung dipenuhi oleh Albert di belakangnya.Lucas dan Albert masuk ke mobil dan menuju kantor. Mereka datang lebih awal dari biasanya. Namun, sewaktu memarkir mobil tadi, kedua netra Lucas menangkap bahwa mobil Robert sudah ada di sana. Semakin menyulutnya untuk segera menemui ayahnya itu.Lucas berjalan cepat sembari mengendurkan kerah leher yang kini terasa mencekiknya. Melewati beberapa pegawai yang berlalu-lala
Zyan melipat dahi. "Maksudmu apa?"Tarra jadi tergelak. "Ya, bisakah kau membuka hatimu untukku?"Zyan mencebik dan mengedikkan bahu singkat. "Sekarang pun kau bisa mengambil keuntungan dariku.""Apa? Keuntungan?" Tarra mencondongkan tubuhnya. Memperhatikan setiap maksud pria di hadapannya."Kau bisa mengambil waktuku seperti sekarang. Hmm, my body too." Zyan mengangkat kedua bahunya lagi. Berharap Tarra paham apa yang ia maksud. Zyan tidak ingin terikat oleh siapapun, kecuali jika nanti dirinya dapat menaklukkan Chiara.Napas Tarra tercekat sewaktu tergelak. Ia tak habis pikir. Selama ini ia tak pernah mengalami penolakan."Apa kau sudah punya wanita yang kau sukai, Zyan?" tanyanya lagi, tak putus asa."Maybe." Kini secangkir kopi di hadapannya lebih menarik perhatiannya. Ia memandang lurus. Menerawang jika itu adalah Chiara. Satu-satunya wanita yang dapat menjatuhkan hatinya ketika ia justru akan mempergunakan wanita tersebut untuk menyiksa adiknya.Tatapan Tarra jadi menajam. "Siap
Telepon Lucas berdengung panjang sewaktu pria itu tengah bekerja di kamar pribadinya. Lucas melirik sekilas sebuah nomor di sana. Melanjutkan sedikit pekerjaannya, ia kemudian menyambar ponsel yang tak berhenti dari tadi."Halo? Bagaimana? Apa kau dan timmu sudah berhasil?""Iya, Tuan. Kami sudah menemukan wanita itu. Tinggal di sisi utara kota New York. Tak sampai keluar kota."Lucas akhirnya dapat menghela napas lega. Kedua matanya bersinar meski dalam penerangan terbatas malam hari. Ia lalu menganggukkan kepala dengan tegas."Baik. Kirimkan informasinya padaku. Aku akan transfer berapapun yang kau mau."Tangan Lucas memeriksa jam yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia lalu mengganti pakaiannya dengan kemeja cokelat tua yang dilipat tiga per empat pada kedua lengannya.Sambil sedikit buru-buru, ia segera menyambar kunci mobil dan lekas berderap pergi. Mumpung Robert belum mengetahuinya. Sebelum Chiara dibawa pergi lagi oleh Robert ke tempat yang lebih jauh.Di luar ternyata
Sontak kedua mata Lucas melebar tak percaya. "Apa?! Bagaimana bisa?"Chiara hanya menatap Lucas kesal. Kedua matanya menilik bagaimana Lucas bakal beraksi. Setelah itu cengkeraman tangan Lucas pada bahu Chiara memudar. Lucas bergerak frustasi. Chiara dan Lala memang sangat mirip. Tapi yang ia tahu, Lala tak pernah punya saudara dulu. Wanita itu justru kesepian."Kenapa kau baru bilang padaku soal itu?" Lucas lalu kembali mengerang. Sementara Chiara berdecak lidah."Kenapa aku harus memberitahumu? Kupikir itu tak penting—""Penting. Dari awal aku ingin tahu kenapa kalian bisa mirip," potong Lucas dengan tatapan kedua mata tegas.Chiara tergelak. Apa yang sudah ia duga benar. Pria tersebut mendekatinya cuma gara-gara Lala. Chiara kemudian bersedekap."Aku juga baru tahu setelah menemukan album foto. Apa kau mau membantuku untuk menemukan sisa keluargaku? Ada orang tua di satu foto dimana ada aku dan Lala. Apakah mereka orang tua kandungku?" kejar Lala membuat Lucas semakin buncah."Aku
Chiara terlonjak dengan kedua mata berbinar. Sebuah senyuman merekah begitu saja dari bibirnya."Benarkah?" tanyanya memastikan bahwa pendengarannya tidak salah. Sementara Melly yang ada di dekatnya juga agak terkejut."Hmm. Tentu. Sekarang cepat masaklah. Perutku sudah lapar," celetuknya sembari memutar badan dan pergi.Chiara seketika menekuk muka. "Terus kenapa tadi melarangku masak, huh!" gerundelnya, lantas kembali membalurkan mentega ke seluruh badan kalkun yang lain.Butuh waktu tiga jam untuk memasak daging kalkun hingga mencapai suhu 75 derajat celcius. Satu per satu disajikan ke meja makan seperti biasa. Tampak Lucas dan Albert sudah menunggu di sana. Kini wajah Lucas telah terlipat sempurna."Aku bahkan sudah tak lapar lagi," ketus Lucas menatap malas daging kalkun yang telah masak dengan uap aroma yang menggoda.Chiara melempar tatapan sebal ke arah Lucas, lalu mendengus. "Kau kan yang menyuruh mereka memasak ini semua sebagai perayaan.""Kau percaya diri sekali," cibir Lu
Chiara memandangi bayangan yang jatuh dari pantulan cermin di depannya. Mendadak ia tampak gugup. Berjumpa keluarga yang sudah lama tak bertemu. Chiara sangat takut jika kedua orang itu tak mengenalinya. Bahkan bagaimana jika nanti ia diusir dari sana?Chiara menggigit bibir bawahnya dengan kalut. Padahal ia sudah siap. Sudah berpakaian rapi dan mempertegas wajahnya dengan make up tipis. Tapi, ia belum memutuskan keluar kamar karena masih ragu.Lalu, mula-mula pintu di belakangnya didorong. Chiara terkesiap. Menoleh ke belakang dan mendapat Lucas tanpa dosa sudah berdiri di sana.Lucas memandanginya dengan tatapan menginterogasi. "Kupikir kau masih tidur. Jadi aku kemari."Chiara mengembuskan napas panjang. Padahal ia sudah memerangi diri sendiri agar tidak takut. Tapi pria di depannya sekarang justru membuatnya terlonjak kaget."Aku bukan putri tidur, tahu," rutuknya sambil merengut.Lucas kemudian jadi mendesah tak sabar. "Kalau begitu, ayo cepat berangkat. Aku dan Albert sudah menu