Telepon Lucas berdengung panjang sewaktu pria itu tengah bekerja di kamar pribadinya. Lucas melirik sekilas sebuah nomor di sana. Melanjutkan sedikit pekerjaannya, ia kemudian menyambar ponsel yang tak berhenti dari tadi."Halo? Bagaimana? Apa kau dan timmu sudah berhasil?""Iya, Tuan. Kami sudah menemukan wanita itu. Tinggal di sisi utara kota New York. Tak sampai keluar kota."Lucas akhirnya dapat menghela napas lega. Kedua matanya bersinar meski dalam penerangan terbatas malam hari. Ia lalu menganggukkan kepala dengan tegas."Baik. Kirimkan informasinya padaku. Aku akan transfer berapapun yang kau mau."Tangan Lucas memeriksa jam yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia lalu mengganti pakaiannya dengan kemeja cokelat tua yang dilipat tiga per empat pada kedua lengannya.Sambil sedikit buru-buru, ia segera menyambar kunci mobil dan lekas berderap pergi. Mumpung Robert belum mengetahuinya. Sebelum Chiara dibawa pergi lagi oleh Robert ke tempat yang lebih jauh.Di luar ternyata
Sontak kedua mata Lucas melebar tak percaya. "Apa?! Bagaimana bisa?"Chiara hanya menatap Lucas kesal. Kedua matanya menilik bagaimana Lucas bakal beraksi. Setelah itu cengkeraman tangan Lucas pada bahu Chiara memudar. Lucas bergerak frustasi. Chiara dan Lala memang sangat mirip. Tapi yang ia tahu, Lala tak pernah punya saudara dulu. Wanita itu justru kesepian."Kenapa kau baru bilang padaku soal itu?" Lucas lalu kembali mengerang. Sementara Chiara berdecak lidah."Kenapa aku harus memberitahumu? Kupikir itu tak penting—""Penting. Dari awal aku ingin tahu kenapa kalian bisa mirip," potong Lucas dengan tatapan kedua mata tegas.Chiara tergelak. Apa yang sudah ia duga benar. Pria tersebut mendekatinya cuma gara-gara Lala. Chiara kemudian bersedekap."Aku juga baru tahu setelah menemukan album foto. Apa kau mau membantuku untuk menemukan sisa keluargaku? Ada orang tua di satu foto dimana ada aku dan Lala. Apakah mereka orang tua kandungku?" kejar Lala membuat Lucas semakin buncah."Aku
Chiara terlonjak dengan kedua mata berbinar. Sebuah senyuman merekah begitu saja dari bibirnya."Benarkah?" tanyanya memastikan bahwa pendengarannya tidak salah. Sementara Melly yang ada di dekatnya juga agak terkejut."Hmm. Tentu. Sekarang cepat masaklah. Perutku sudah lapar," celetuknya sembari memutar badan dan pergi.Chiara seketika menekuk muka. "Terus kenapa tadi melarangku masak, huh!" gerundelnya, lantas kembali membalurkan mentega ke seluruh badan kalkun yang lain.Butuh waktu tiga jam untuk memasak daging kalkun hingga mencapai suhu 75 derajat celcius. Satu per satu disajikan ke meja makan seperti biasa. Tampak Lucas dan Albert sudah menunggu di sana. Kini wajah Lucas telah terlipat sempurna."Aku bahkan sudah tak lapar lagi," ketus Lucas menatap malas daging kalkun yang telah masak dengan uap aroma yang menggoda.Chiara melempar tatapan sebal ke arah Lucas, lalu mendengus. "Kau kan yang menyuruh mereka memasak ini semua sebagai perayaan.""Kau percaya diri sekali," cibir Lu
Chiara memandangi bayangan yang jatuh dari pantulan cermin di depannya. Mendadak ia tampak gugup. Berjumpa keluarga yang sudah lama tak bertemu. Chiara sangat takut jika kedua orang itu tak mengenalinya. Bahkan bagaimana jika nanti ia diusir dari sana?Chiara menggigit bibir bawahnya dengan kalut. Padahal ia sudah siap. Sudah berpakaian rapi dan mempertegas wajahnya dengan make up tipis. Tapi, ia belum memutuskan keluar kamar karena masih ragu.Lalu, mula-mula pintu di belakangnya didorong. Chiara terkesiap. Menoleh ke belakang dan mendapat Lucas tanpa dosa sudah berdiri di sana.Lucas memandanginya dengan tatapan menginterogasi. "Kupikir kau masih tidur. Jadi aku kemari."Chiara mengembuskan napas panjang. Padahal ia sudah memerangi diri sendiri agar tidak takut. Tapi pria di depannya sekarang justru membuatnya terlonjak kaget."Aku bukan putri tidur, tahu," rutuknya sambil merengut.Lucas kemudian jadi mendesah tak sabar. "Kalau begitu, ayo cepat berangkat. Aku dan Albert sudah menu
Pria itu tak sanggup meneruskan kalimatnya. Ia justru termangu. Menatap secara bergantian Lucas dan Chiara dengan tatapan tak percaya."Selamat pagi. Alan, aku mungkin sudah membawa putrimu yang lain," sela Lucas sengaja memotong erangan pria di hadapannya.Mendengar kalimat Lucas, Sontak pria bernama Alan di depannya melebarkan mata. Mulutnya ternganga tak bisa berkata-kata."A-apa?" Pria itu takjub. Mengumpulkan seluruh tenaganya yang menguap begitu saat mendengar kata 'putrimu yang lain'. "Apa ini benaran dia?"Lidah Chiara kelu. Jika sebelumnya Chiara gugup, sekarang ia justru bingung harus bersikap bagaimana. Bahkan menaikkan senyum pun sangat sulit. Ia masih terasa asing.Alan mendekat. Menghampiri Chiara dengan kedua mata biru redup mengamati wanita di hadapannya. Mulutnya sama sekali belum terkatup.Chiara segan, lantas mengulum senyuman yang sedikit dipaksakan. "Halo, Tuan. Saya Chiara. Apa kabar?"Lucas melihat Chiara sekilas. Tertegun karena cara bicara Chiara begitu formal
Mula-mula dari belakang Susan tergopoh-gopoh membawa nampan berisi beberapa teh hangat dan biskuit. Tangan wanita itu perlahan meletakkannya di meja depan Lucas dan Chiara."Hmm, kau sebenarnya tak perlu repot-repot membuatkannya untuk kami." Chiara menelan ludah. Merasa tak enak dan sungkan."Tidak apa-apa, Nak. Aku dan Alan sangat senang kalau kau kemari untuk menemui kami," ungkap Susan mulai mendudukkan tubuhnya di dekat Alan. Alan mengangguk setuju."Oh, iya." Chiara teringat sesuatu. Tangannya bergerak untuk meraih sebuah album biru muda dengan sampul bergambar beruang. "Aku menemukan ini. Dan karenanya aku jadi tahu bahwa sebenarnya aku masih mempunyai keluarga."Susan dan Alan terpaku selama sepersekian detik. Lalu Sarah menjulurkan tangannya untuk mengambil album tersebut. Otaknya mulai mencerna dan mengenali bahwa album itu sudah lama tak ia lihat. Susan ingat, demi Chiara yang selalu mengingatnya, maka ia merelakan album tersebut dibawa Olivia dan Ernest hari itu. Dan setel
Setelah keluar dari ruangan Robert, Poppy menyeringai puas. Ia semakin penuh percaya diri. Berjalan sambil sedikit mengangkat kepala, ia sempat melirik sekretaris yang tadi baru saja dipecat Robert.Wanita itu sekarang menangis. Sejumlah temannya tengah mengerumuninya dengan sedih. Beberapa dari mereka berusaha memberikan semangat untuk wanita yang tertimpa sial tersebut.Di tengah isakannya, kedua mata mereka saling bertemu. Poppy memandang remeh sambil menyunggingkan senyum tipis. Ia lalu menggiring kaki angkuh menjauh. Tak peduli dengan si wanita tadi yang tetap memperhatikan dan menggigit bibir bawah menahan kesal.Poppy menuju mobilnya. Sebelum berhasil masuk ke dalam mobil, ponsel Poppy berbunyi nyaring. Ia meraih benda persegi panjang itu untuk memeriksanya. Setelah menengok sebuah nama yang tercantum jelas di layar ponselnya, ia terlonjak senang, lantas segera menerimanya.Jari Poppy mengusap singkat layar benda persegi itu ke atas hingga memunculkan tiga sosok wanita di depan
Zyan menoleh, lalu seketika tampak memucat. Ia menahan napas saat melihat wanita itu berjalan ke arahnya dan kian mendekat. Sementara, Tarra yang berada di dekatnya memasang wajah bingung."Zyan, apa yang kau lakukan bersama wanita ini, huh?!"Zyan sontak berdiri. Menghela napas satu kali lalu berusaha menghentikan kemarahan Poppy. Ia tak menyangka jika wanita itu akan berada di kafe yang sama. Padahal Zyan sebelumnya tak pernah kemari. Tarra tadi yang mengajaknya."Poppy, ini semua salah paham. Dengarkan aku dulu." Zyan memegang kedua bahu Poppy. Sekarang di kedua mata hazel Zyan, Poppy tampak begitu sensitif.Poppy segera menepis tangan Zyan dari pundaknya dengan kesal. Sekarang emosinya tiba-tiba membuncah karena ia sudah memendamnya sejak bertemu ketiga temannya tadi."Apa lagi, Bajingan?! Kalau kau tak mengangkat teleponku gara-gara dia?!" tuding Poppy ke arah Tarra.Tarra mengerjapkan mata menyaksikan adegan di depannya seperti tontonan. Ia jadi tahu. Selain Chiara, sepertinya Z