Pria itu tak sanggup meneruskan kalimatnya. Ia justru termangu. Menatap secara bergantian Lucas dan Chiara dengan tatapan tak percaya."Selamat pagi. Alan, aku mungkin sudah membawa putrimu yang lain," sela Lucas sengaja memotong erangan pria di hadapannya.Mendengar kalimat Lucas, Sontak pria bernama Alan di depannya melebarkan mata. Mulutnya ternganga tak bisa berkata-kata."A-apa?" Pria itu takjub. Mengumpulkan seluruh tenaganya yang menguap begitu saat mendengar kata 'putrimu yang lain'. "Apa ini benaran dia?"Lidah Chiara kelu. Jika sebelumnya Chiara gugup, sekarang ia justru bingung harus bersikap bagaimana. Bahkan menaikkan senyum pun sangat sulit. Ia masih terasa asing.Alan mendekat. Menghampiri Chiara dengan kedua mata biru redup mengamati wanita di hadapannya. Mulutnya sama sekali belum terkatup.Chiara segan, lantas mengulum senyuman yang sedikit dipaksakan. "Halo, Tuan. Saya Chiara. Apa kabar?"Lucas melihat Chiara sekilas. Tertegun karena cara bicara Chiara begitu formal
Mula-mula dari belakang Susan tergopoh-gopoh membawa nampan berisi beberapa teh hangat dan biskuit. Tangan wanita itu perlahan meletakkannya di meja depan Lucas dan Chiara."Hmm, kau sebenarnya tak perlu repot-repot membuatkannya untuk kami." Chiara menelan ludah. Merasa tak enak dan sungkan."Tidak apa-apa, Nak. Aku dan Alan sangat senang kalau kau kemari untuk menemui kami," ungkap Susan mulai mendudukkan tubuhnya di dekat Alan. Alan mengangguk setuju."Oh, iya." Chiara teringat sesuatu. Tangannya bergerak untuk meraih sebuah album biru muda dengan sampul bergambar beruang. "Aku menemukan ini. Dan karenanya aku jadi tahu bahwa sebenarnya aku masih mempunyai keluarga."Susan dan Alan terpaku selama sepersekian detik. Lalu Sarah menjulurkan tangannya untuk mengambil album tersebut. Otaknya mulai mencerna dan mengenali bahwa album itu sudah lama tak ia lihat. Susan ingat, demi Chiara yang selalu mengingatnya, maka ia merelakan album tersebut dibawa Olivia dan Ernest hari itu. Dan setel
Setelah keluar dari ruangan Robert, Poppy menyeringai puas. Ia semakin penuh percaya diri. Berjalan sambil sedikit mengangkat kepala, ia sempat melirik sekretaris yang tadi baru saja dipecat Robert.Wanita itu sekarang menangis. Sejumlah temannya tengah mengerumuninya dengan sedih. Beberapa dari mereka berusaha memberikan semangat untuk wanita yang tertimpa sial tersebut.Di tengah isakannya, kedua mata mereka saling bertemu. Poppy memandang remeh sambil menyunggingkan senyum tipis. Ia lalu menggiring kaki angkuh menjauh. Tak peduli dengan si wanita tadi yang tetap memperhatikan dan menggigit bibir bawah menahan kesal.Poppy menuju mobilnya. Sebelum berhasil masuk ke dalam mobil, ponsel Poppy berbunyi nyaring. Ia meraih benda persegi panjang itu untuk memeriksanya. Setelah menengok sebuah nama yang tercantum jelas di layar ponselnya, ia terlonjak senang, lantas segera menerimanya.Jari Poppy mengusap singkat layar benda persegi itu ke atas hingga memunculkan tiga sosok wanita di depan
Zyan menoleh, lalu seketika tampak memucat. Ia menahan napas saat melihat wanita itu berjalan ke arahnya dan kian mendekat. Sementara, Tarra yang berada di dekatnya memasang wajah bingung."Zyan, apa yang kau lakukan bersama wanita ini, huh?!"Zyan sontak berdiri. Menghela napas satu kali lalu berusaha menghentikan kemarahan Poppy. Ia tak menyangka jika wanita itu akan berada di kafe yang sama. Padahal Zyan sebelumnya tak pernah kemari. Tarra tadi yang mengajaknya."Poppy, ini semua salah paham. Dengarkan aku dulu." Zyan memegang kedua bahu Poppy. Sekarang di kedua mata hazel Zyan, Poppy tampak begitu sensitif.Poppy segera menepis tangan Zyan dari pundaknya dengan kesal. Sekarang emosinya tiba-tiba membuncah karena ia sudah memendamnya sejak bertemu ketiga temannya tadi."Apa lagi, Bajingan?! Kalau kau tak mengangkat teleponku gara-gara dia?!" tuding Poppy ke arah Tarra.Tarra mengerjapkan mata menyaksikan adegan di depannya seperti tontonan. Ia jadi tahu. Selain Chiara, sepertinya Z
Sang mentari perlahan bangkit dari singgasana menuju bumi dengan sinarnya. Sejumlah burung di udara tampak menyambut keramahan cahaya yang telah membumi itu.Chiara mulai menggeliat, lantas mengerjap sewaktu sinar mentari menyentuh permukaan kelopak matanya. Ia bangun, perhatiannya langsung tersedot oleh album foto biru dengan gambar beruang.Chiara menghela napas lega. Wajahnya cerah. Masih seperti mimpi kejadian kemaren sewaktu bertemu dengan kedua orang tua kandungnya. Ia berjanji akan sering mengunjungi mereka. Chiara juga sudah mendapat izin dari Lucas.Rencananya, hari ini ia akan ke rumah Alan dan Susan lagi. Daripada berada di mansion yang membuatnya sedikit bosan, maka mengunjungi rumah itu sambil membawa makanan atau buah-buahan bukanlah ide yang buruk.Chiara jadi sedikit bersemangat sekarang. Ia lekas bangkit. Meraih album biru dan memasukkannya ke dalam tas yang biasa ia pakai. Setelahnya, Chiara mendorong tubuhnya mandi. Namun baru beberapa langkah menuju kamar mandi, ti
Zyan menggosok dagu sembari berpikir. Bagaimana bisa? Tenyata selama ini Lala mempunyai kembaran? Benaknya mulai menerka-nerka.Mata hazelnya memandangi foto di depannya lagi. Ada sepasang suami istri dengan dua putri kembar mereka."Ah… ternyata Chiara adalah kembaran Lala yang disembunyikan?" Tebak Zyan lagi. Pasalnya—meski tak terlalu kenal, Zyan tahu bahwa Lala adalah sosok yang kesepian. Maka dari itu, gadis kecil itu selalu ngotot mendatangi Lucas meskipun sudah dilarang secara keras oleh Sarah dan Robert.Kemudian, Zyan jadi tergelak. "Wah, wah… Chiara, sepertinya kau semakin spesial di mataku. Banyak surprise-surprise datang darimu. Apalagi ini…" Zyan menutup album foto di tangan dan membolak-balikkannya. "Akhirnya aku mengetahui rahasiamu lagi," lirihnya diiringi oleh sebuah seringaian.Sebelum melajukan mobil, Zyan menoleh ke belakang dan menyaksikan mobil yang mengangkut Chiara melesat mendahuluinya.Chiara bernapas lega. Sekarang ia merasa semakin mengasihani diri sendiri
Seketika Lucas mendongak dan menegakkan tubuhnya. Di lain pihak Franklin tengah mengamati Lucas yang berada di sekitar meja.Lucas lalu melempar pandang ke arah meja Franklin lagi, lantas mencoba memukul permukaan serta kaki meja beberapa kali. "Aku kagum dengan furnituremu. Sejak kapan meja ini sudah berada di sini?""Oh…" Franklin tertawa. "Meja itu sudah lama, Lucas. Sekitar enam tahun yang lalu."Lucas menangguk setuju sambil meneliti meja di depannya. "Ya, kurasa begitu. Ini sangat kuat."Tak berapa lama, akhirnya pintu kembali dibuka dan munculah Chen Ze dari sana. Chen Ze menahan pintu, seperti sedang menunggu. Ternyata ada beberapa pegawai yang masuk setelahnya. Pegawai itu membawa nampan di masing-masing tangan.Mereka lantas meletakkan minuman dan sejumlah hidangan ringan di atas meja dengan sopan. Sesudahnya, mereka membungkukkan badan singkat lalu undur diri dari sana."Ya, terima kasih," ucap Chen Ze kepada beberapa orang tadi saat melewati pintu.Chen Ze kembali menutup
Chiara mendesah panjang setelah memutus sambungan teleponnya. Ia bergerak gusar. Menebak-nebak apa yang akan Zyan lakukan setelah ini. Saking terhanyutnya Chiara, ia jadi kaget begitu Susan datang lagi.Susan jadi terperangah, lalu mendudukkan tubuhnya di kursi tepat depan Chiara. "Chiara, kau benar-benar tidak ada masalah apapun kan? Sekali lagi aku ingatkan, kau bisa curhat kepada Ibu."Chiara memaksakan senyum dibibirnya terkembang lebar. Lalu buru-buru menggeleng. "Tidak, Bu. Benaran. Tidak ada yang perlu aku ceritakan. Tapi, sepertinya aku harus buru-buru pulang."Susan menautkan alis. Memperhatikan secara keheranan Chiara yang sibuk memasukkan ponsel ke dalam tas, menutup resleting dengan gerakan cepat, lantas segera menaikkannya ke bahu.Chiara lekas bangkit. "Aku pulang dulu, Bu."Susan membuka mulutnya hendak mengungkapkan perasaannya lagi, tapi sekarang anaknya sudah menggiring kaki keluar dan melambaikan tangan. Susan mau tak mau ikut menaikkan tangannya untuk membalas lamb