Katherine terjatuh ke tanah. Dia tak sengaja menabrak punggung belakang Frederick barusan. Sebab lelaki bermata biru menghentikan langkahnya tiba-tiba. Sepertinya Frederick mendengar obrolan mereka tadi. Katherine amat terkejut tatkala mendengar suara teriakan Frederick barusan. Dengan cepat dia mendongak, melihat raut wajah Frederick merah padam. "Berhenti membicarakan dia!" seru Frederick seketika."Puteri, Anda tidak apa-apa 'kan?" Logan nampak khawatir lantas bergegas membantu Katherine berdiri.Mata Katherine mulai berkaca-kaca. Menahan sesak yang seketika merasuk jiwanya. Hari ini sudah dua kali Frederick membentaknya. Katherine pun tidak tahu mengapa hari ini suasana hatinya begitu sensitif. "Apa kau marah jika aku membicarakan Victoria? Aku hanya ingin tahu, apa itu salah, siapa tahu saja aku bisa membantumu." Suara Katherine terdengar bergetar. Menahan air matanya agar tak meluruh.Riak muka Frederick mendadak berubah menjadi datar. Lelaki itu terdiam tapi matanya tak berk
Melihat kemolekan tubuh Katherine, Frederick terpaku di tempat. Bagi lelaki dewasa seperti Frederick pasti akan tergiur. Walaupun selama ini ia selalu mengatai tubuh Katherine kecil dan bukan tipenya. Sejak tadi jakun Frederick naik dan turun, menelan air ludahnya sendiri. Tetesan air hujan di atas genteng istana membuat keheningan di dalam kamar semakin terasa, sampai pada akhirnya Katherine segera tersadar. Dengan cepat ia menutup dada lalu memutar badan ke belakang sambil berkata," Frederick, keluarlah, aku mau pakai pakaian dulu." Katherine geleng-geleng kepala, rasanya begitu malu saat tubuhnya dilihat seseorang selain dirinya sekarang. Sebenarnya ini hal wajar bukan bagi pasangan suami istri. Tetapi, status pernikahan dia dan Frederick hanya pernikahan kontrak saja! Tak ada tanggapan, di belakang Frederick masih asik memandang ke arah Katherine, dengan mata tak berkedip-kedip. "Frederick, keluarlah, kau ingat kan status kita!" seru Katherine kembali, tatkala tak mendenga
Di luar, hujan masih turun dengan lebat, membasahi rumah kecil yang terletak di tengah-tengah hutan belantara. Suasana di sekitarnya tampak gelap gulita, hanya terlihat pepohonan meliuk-liuk halus akibat terkena angin ribut malam. Mata Karl mendadak gelap sekarang, pecahan kaca dari luar membuatnya menerka-nerka, apa Frederick telah mengutus seseorang membuntutinya. Akan tetapi, mengingat keamanan di sekitar sangatlah ketat. Ia ragu-ragu. Meski rumah ini hanyalah rumah kayu. Namun, di depan sana ada pagar menjulang tinggi dan tidak dapat ditembus siapa pun selain ia dan para komplotannya. Memikirkan hal itu Karl malah menyungging senyum sinis lalu melirik Montero. Kemudian tanpa mengeluarkan suara, dia memberi kode kepada Montero untuk memeriksa keadaan di luar.Montero mengangguk patuh lalu bergegas keluar bersama dua pria lainnya. Sesampainya di depan pintu berlapis kayu itu. Montero arahkan pistol dan senter bersamaan ke sumber suara sembari mengerakkan mata ke segala arah. Dia
Lea sangat terkejut. Namun tangannya tak berhenti mengelap paha Frederick."Jauhkan tanganmu!" Suara bariton Frederick membuat Lea reflek mendongak. Tatapan jijik yang dia dapatkan dari bola mata biru itu. Lea dapat merasakan atmosfer di sekitar menjadi dingin, seakan-akan dia seperti tinggal di kutub utara sekarang.Lea terpaku di tempat. "Kau dengar jauhkan tanganmu!" seru Katherine.Katherine langsung berdiri di samping Frederick lalu menggandeng tangan suaminya erat-erat.Secara perlahan Lea menurunkan tangan lalu bangkit berdiri dan membungukkan badan sedikit di hadapan pasangan suami istri itu."Maafkan aku Pangeran, maafkan aku juga Kak, tadi aku tidak sengaja menumpahkan teh," kilah Lea dengan menunjukkan mimik muka bersalah. Katherine tersenyum sinis. "Tidak sengaja, jelas-jelas kau sengaja menumpahkan teh itu, kau pikir aku tidak melihatmu tadi."Katherine baru saja selesai sarapan dan berencana menemui Frederick. Setelah bertanya pada pelayan di mana keberadaan Frederick
"Apa kau tidak kasihan dengan Karl, atau jangan-jangan dia tahu rencanamu," lanjut Katherine kembali dengan seringai tajam terukir di wajahnya. Lidah Lea mendadak kelu dan sulit untuk digerakkan sekarang. Mendadak air mata yang meluruh dari netranya berhenti mengalir seketika. Senyuman Katherine membuat dirinya mematung di tempat. Katherine tersenyum puas lalu secara perlahan menegakkan tubuh. "Pengawal, bawa Lea keluar, cambuk dia sebanyak 10 kali." Begitu perintah terdengar, dua orang pria melangkah terburu-buru masuk ke dalam. Lea diseret keduanya keluar dari ruangan. Tak ada perlawanan, wanita itu masih termenung, sibuk dengan pikirannya. "Puteri apa hukumannya tidak berat, kasihan Lea," kata Karl seketika setelah melihat Lea menghilang bersama dua pengawal di balik pintu. Katherine tersenyum sinis." Berat katamu, sesuai peraturan istana seharusnya aku memberikannya 100 kali cambukan, Lea patut bersyukur aku hanya memberikannya 10 kali cambukan, apa kau mau mengantikan Lea?"
Lea bagai orang kesurupan, berteriak-teriak kencang. Penampilannya sangat berantakan, gaun yang dikenakannya pun terlihat kotor karena pingsan di pelataran istana tadi."Lea, tenanglah! Apa maksudmu, mama tidak mengerti!" Zara semakin heran. Dia guncang-guncang kuat pundak Lea berulang kali. Lea sesenggukan, cairan bening mengalir deras membasahi pipinya. Bola matanya pun terlihat memerah juga. "Pokoknya aku tidak mau tahu, Mama harus membunuh Katherine!!!" jerit Lea sekali lagi. Napas Zara terdengar memburu, tersulut emosi karena Lea membuatnya kebingungan. Tanpa banyak kata dia menampar kuat pipi Lea."Berhenti menangis, sialan!" teriak Zara.Kepala Lea bergerak ke samping. Wanita berusia 20 tahun itu terkejut dan segera menghentikan tangisnya. Dengan cepat ia memalingkan wajah ke depan. "Mama, kenapa menamparku?" tanya Lea, memegangi pipinya yang terasa sangat pedas sekarang. "Bagaimana mama tidak menamparmu! Dari tadi kau menangis seperti orang gila! Sebenarnya apa yang terja
Lea bergeming, tak langsung pergi, masih memandang ke depan sana, hendak memastikan apakah obat berkerja dengan sempurna atau tidak. Satu detik, dua detik, tiga detik, hingga beberapa menit pun berlalu. Di depan sana, dengan raut wajah meringis kesakitan dan dahi mulai dipenuhi keringat, Katherine memegangi kepalanya. 'Mampus kau, ini saatnya kau dicampakkan Frederick.' batin Lea, mengulas senyum licik. Saat ini suasana di istana begitu sepi, bagaikan tak ada penghuni di dalamnya. Lea ingat bila tadi sempat melihat Frederick pergi entah ke mana. Dalam sepersekian detik, Katherine tiba-tiba bangkit berdiri. Wanita bermata abu itu berjalan dengan sempoyongan ke lorong lain. "Panas," Katherine bergumam-gumam sembari memejamkan mata sesaat. Katherine merasakan ada sesuatu yang sangat aneh dan asing menjalar di sekujur tubuhnya sekarang. Dengan sekuat tenaga dia berjalan di lorong-lorong istana dan sesekali matanya berpendar ke segala arah. Tampak sepi, sunyi, senyap, tak
Katherine memilih diam, berusaha meredam sensasi panas yang semakin menerpa sekujur tubuhnya sejak tadi. Dia lantas mundur beberapa langkah ke belakang, sedang menjaga jarak dengan Karl. Jangan sampai lelaki ini tahu bahwa dia diberi obat perangsang tadi dan jangan sampai pula Karl menyentuh tubuhnya. "Pergilah Karl, jangan hiraukan aku." Katherine ingin memutar tumit hendak melarikan diri. Akan tetapi, gerakkannya kalah cepat. Karl telah berhasil mencekal pergelangan tangannya sekarang dengan sangat kuat dan erat.Dengan sekuat tenaga Katherine berusaha memberontak. Meski tubuhnya begitu panas, seolah-olah ingin meminta sesuatu. "Ada apa Katherine? Kenapa kau menghindariku?" tanya Karl dengan raut wajah datar. "Diam! Lepaskan tanganku!" pekik Katherine sambil menggerakkan tangan ke segala arah, "Logan, di mana kau!" Kini kening Karl berkerut, terlihat kebingungan dengan sikap Katherine. Namun, dia tak berniat melepaskan tangan Katherine malah menggenggamnya dengan erat-erat. Hin