"..." Sofia terdiam sejenak untuk berpikir.
"Aku ingin tahu, apa yang akan dilakukan cucuku nantinya, jika dia tahu istrinya mengunakan uangnya dengan sesuka hati dan melebih batas. Ya, walaupun sejujurnya hari ini aku belum menguras banyak pengeluaran di kartunya itu. Tapi aku yakin, itu cukup untuk menggelitiknya," ungkap Sofia santai dan tenang.
Tanpa merasa bersalah karena telah membuat cucunya rugi beberapa juta, dan Daniar hanya bisa menggelengkan kepala menanggapi kelakuan majikannya ini.
Sofia kembali melanjutkan ceritanya.
"Sebenarnya aku bisa saja lebih banyak menguras uangnya, tapi Aretha bersikeras tidak ingin menghambur-hamburkan uang untuk dirinya sendiri. Sehingga hari ini, kami hanya bersenang-senang untuk keperluan pribadiku saja. Dia bahkan tidak menggunakan se-sen pun uang untuk dirinya sendiri. Padahal aku sudah memaksanya. Ini membuatku takjub sekaligus merasa tidak enak. Jadi, aku hanya berbelanja untuk beberapa transaksi saja," tutur Sofia jujur tapi juga terlihat sedikit kecewa.
Apa itu penyesalan karena kurang banyaknya ia menghambur-hamburkan uang? Daniar menatap Sofia dengan bingung.
Berdasarkan apa yang di jelaskan Sofia, Daniar yakin itu bukan sekedar pengeluaran yang biasa.
Nyonya Sofia pasti sudah menggunakan uang yang cukup besar untuk semua pengeluarannya itu.
Daniar bahkan sempat mengintip sedikit tas jinjing yang di bawanya pulang.
Ada sebuah kantong bermerek yang Daniar yakin isinya berharga ratusan juta rupiah hanya untuk satu produk saja.
Tapi dibandingkan itu semua, ada hal yang lebih penting.
"Bukankah pada akhirnya Tuan Elvan akan tahu jika uang itu digunakan untuk Anda?" Tanya Daniar.
Jika Elvan melakukan pengecekan setelah mendapat informasi adanya penggunaan kartu kredit miliknya, dia akan segera tahu bahwa uang itu telah digunakan untuk apa dan kepada siapa.
Lantas apa bedanya jika uang itu tidak digunakan oleh istrinya?
Sofia mengulaskan sebuah senyum, "Kita lihat saja nanti," jawab Sofia.
***
Elvan baru saja kembali dari kantornya bersama dengan Dirga, setelah menemui kliennya di luar.
Setelah memberitahukan beberapa jadwal berikutnya yang harus ia kerjakan, Dirga memberikan beberapa laporan tambahan terkait kerjasama mereka dengan beberapa investor.
"Saya sudah mengkonfirmasikan semua proposal terkait 'Proyek Deluxe' pada pihak Yougio Entertaiment. Dan mereka setuju dengan proposal yang kita berikan. Sehingga apabila tidak ada halangan, maka proyek itu akan bisa langsung dipasarkan setidaknya satu bulan dari sekarang," imbuh Dirga menerangkan beberapa hal tentang proyek yang baru-baru ini mereka garap.
Elvan mengangguk mengerti.
Sambil membaca beberapa artikel di tablet yang ada di tangannya, Elvan menunggu dengan sabar.
Lift yang mereka naiki sampai ke lantai kantornya, Dirga yang ikutan sibuk mengecek beberapa pesan masuk di ponselnya, mendadak teringat akan sesuatu.
Dengan cepat, ia mengangkat kepalanya dan berkata pada bosnya.
"Tuan Elvan, saya telah mendapatkan informasi terkait adanya penggunaan kartu kredit yang Anda berikan pada Nona Aretha," ungkap Dirga menyebutkan sebuah informasi yang hampir saja ia lupakan, jika ia tidak mengecek kembali ponselnya.
Ketika hanya berdua, Elvan meminta Dirga untuk tetap memanggil Aretha dengan sebutan 'Nona' dan bukan 'Nyonya'. Entah apa alasannya, Dirga hanya memilih menurut saja.
Dan setelah mendengar ucapan Dirga, Elvan yang kala itu sedang fokus mengamati beberapa artikel di tabletnya, menoleh padanya.
"Dia sudah menggunakan kartuku?" Tanya Elvan tanpa ekspresi menganggap seolah pemberitaan Dirga barusan bukan hal yang penting.
"Benar Tuan, dan sesuai instruksi Anda untuk tetap mengawasi penggunaan kartu kredit itu dan memberitahukannya pada Anda. Terdapat 5 macam transaksi yang melibatkan kartu itu. Satu di sebuah restoran, dua di toko perhiasan, dan dua lainnya di pusat pembelanjaan lain. Total ada 500jutaan untuk semua transaksinya," terang Dirga menjelaskan.
Elvan langsung mengangkat sebelah alisnya.
"Dia sudah menggunakan uang sebanyak itu dalam kurun waktu tiga hari setelah pernikahan kami?" Tanya Elvan mengambang, tanpa bermaksud meragukan itu.
Pertanyaan yang sebenarnya ia lontarkan bukan untuk Dirga, tapi karena hanya pria itu yang ada di sana Dirga spontan menjawabnya.
"Lebih tepatnya dua hari, Tuan. Karena SMS ini saya terima kemarin saat transaksi itu di lakukan. Tapi berhubung karena kita sangat sibuk kemarin, saya lupa memberitahukannya pada Anda," ungkap Dirga jujur.
Elvan bergeming.
"Bukankah itu artinya dia melanggar surat perjanjian pasal ke 41?" Tanya Elvan yang langsung membuat Dirga bingung.
Kemudian setelah Dirga mengingat kembali semua isi pasal itu, Dirga akhirnya mengangguk.
"Apa saya perlu memeriksa lebih lanjut, sebenarnya digunakan untuk apa saja uang itu?" Tanya Dirga yang terbiasa menyelidiki banyak kasus atas perintah bosnya.
Elvan menolak.
"Tidak perlu," tolaknya, "Segera buat surat gugatan untuknya."
Tepat ketika mengatakan itu, pintu lift terbuka. Dirga yang awalnya ingin menyela dan membahas lebih lanjut masalah Aretha terpaksa membatalkan itu.
Dengan sekali anggukan, ia langsung mengiyakan.
"Baik, Tuan."
***
Satu hari sebelumnya,
Ketika Aretha sampai di rumah begitu ia pulang dari waktu jalan-jalannya bersama dengan nenek Elvan, ia segera mengabarkan kepulangannya itu pada Nyonya Sofia.
Dan ketika nampaknya keadaan rumah masih sama seperti saat ia meninggalkannya tadi siang, yaitu masih terlihat sepi tanpa adanya tanda-tanda kehadiran Elvan di rumah, Aretha langsung saja masuk ke dalam kamarnya dan berbenah diri.
Tak butuh lebih dari satu jam, Aretha sudah selesai dan ke luar untuk mencari makanan. Ia berjalan ke arah dapur, dan mencari Ani.
"Bibi Ani?" Panggil Aretha beberapa kali. Tapi, Ani masih belum terlihat.
Hingga di panggilannya yang ketiga, Bibi Ani muncul dan menghampirinya.
"Apa Tuan Elvan belum pulang?" Tanya Aretha.
Bibi Ani menggeleng.
"Kalau begitu, tolong buatkan untukku sesuatu, Aku lapar," pinta Aretha.
Ani mengangguk, dan kemudian menyediakan semangkuk nasi dan beberapa lauk lengkap dengan makanan pencuci mulut untuk Arethha. Melihat itu, Aretha menatapnya.
"Anda sudah makan?" Tanya Aretha, "Jika belum, ayo ikut makan sama-sama."Ajaknya.
Ani terlihat bingung, namun setelah beberapa saat ia menggeleng dan tersenyum.
Menandakan ia tidak ingin bergabung, atau mungkin lebih tepatnya tidak berani. Melihat itu, Aretha menatapnya sedih.
"Apa Anda tidak ingin makan bersama denganku?" Tanya Aretha dengan raut wajah kecewa.
Bibi Ane menjadi panik.
"Sangat tidak menyenangkan jika harus makan makanan seenak ini, seorang diri," lanjut Aretha sedih.
"Aku sudah mengalami itu selama bertahun-tahun, tapi aku masih belum terbiasa dan karena Anda ada disini, maukah Anda ikut makan bersama denganku?" Ajak Aretha sekali lagi.
Bibi Ani yang selama ini belum pernah makan satu meja dengan majikannya, merasa permintaan Nyonya barunya ini sedikit aneh dan membingungkan.
Jadi, dia hanya berdiri dalam diam dan gelisah.
Membuat Aretha kembali bertanya.
"Baiklah. Jika Anda tidak ingin makan, bagaimana jika Anda menemani saya makan dengan duduk di sini?" Tawar Aretha lagi.
Kali ini ia menawarkan satu tempat duduk khusus untuknya.
Ani menatapnya ragu. Setelah terdiam cukup lama, ia akhirnya mengambil tempat duduk tepat di seberang Aretha.
"Nah! Begitu dong!" Seru Aretha gembira, ia kembali melanjutkan makannya lagi sambil menanyakan beberapa pertanyaan lain.
"Apa majikanmu itu biasa pulang sangat larut?" Tanya Aretha pada Bibi Ani, sambil melirik jam di dinding yang sudah menunjuk pukul delapan malam.
Sendokan pertamanya malam ini membuat perasaannya senang, tak peduli berapa kali pun Aretha merasakannya ia selalu takjub.
Bibi Ani menjawab pertanyaan Aretha dengan anggukan, dan Aretha langsung mengerutkan keningnya sedikit.
Bukan heran karena mengetahui suaminya sering pulang larut, tapi Aretha justru merasa heran karena sejak tadi Bibi Ani hanya memberinya jawaban dengan anggukan.
Aretha mulai mengajukan pertanyaan lain.
"Apa Anda memang orang yang pendiam?" Tanya Aretha pada akhirnya, ia memutuskan untuk bertanya langsung tentang kepribadian Bibi Ani.
Entah apakah ia akan mengerti maksudnya atau tidak, tapi Aretha merasa ia perlu untuk menanyakan hal itu.
Sebelum Bibi Ani memberikannya jawaban, sebuah suara dari belakang sudah mewakilinya.
Dengan suaranya yang cukup berat dan begitu tiba-tiba, pria itu menjawab pernyataan Aretha mewakili Bibi Ani.
"Percuma kau bertanya padanya, dia tidak akan menjawabmu." Seru sebuah suara bariton yang membuat Aretha menoleh padanya.
"Kau sudah pulang?" Tanya Aretha kaget.
Elvan tak menjawabnya, ia malah membahas hal yang lain.
"Dia bisu." Seru Elvan singkat, padat, dan tidak jelas.
Aretha mengerutkan keningnya, mencoba mencerna ucapan Elvan. Bisu? Siapa?
Ketika detik berikutnya Aretha mengalihkan pandangannya kepada Bibi Ani dan kemudian pada Elvan secara bergantian, Aretha akhirnya mengerti.
"Dia bisu? Bibi Ani?" Tanya Aretha memastikan.
Elvan tak bergeming membuat Aretha menganggapnya sebagai jawaban 'iya' dari pertanyaannya.
"Kenapa kau tidak mengatakannya sejak awal?" Tanya Aretha pada Elvan.
Elvan seolah menimbang sesuatu, "Apa kau bertanya padaku?" Tanyanya.
Hah?
Dengan sikapnya yang santai, Elvan menarik sebuah kursi dan duduk di depan Aretha.
Sambil melirik Ani, ia mengisyaratkan sesuatu padanya.
Melihat itu Ani segera berdiri dan berjalan ke arah dapur, untuk menyiapkan sesuatu untuk majikannya.
Berbeda dengan Aretha yang justru menatapnya dengan tidak senang.
"Tapi paling tidak, jika aku tidak bertanya bukankah kau seharusnya bisa mengatakannya? Sekretarismu itu juga bahkan tidak mengatakan apa pun padaku!" Protes Aretha.
Aretha tahu hal ini bukan urusannya, tapi bagaimanapun juga bukankah ia juga adalah anggota keluarga di rumah ini?
Bagaimana bisa hal sepenting itu tidak di katakan padanya?! Pantas saja selama ini Bibi Ani tidak pernah menjawabnya jika ia bertanya. Karena memang dia tidak bisa berbicara!!
Oh, Tuhan... Ternyata selama ini ia telah sangat salah paham dengan banyak terhadap sikap Bibi Ani!
Demi apa pun! Apa ia masih sanggup berbicara padanya, jika saja ia tadi hampir saja keceplosan bicara yang tidak-tidak?!
Aretha menatap Elvan dengan kesal, pantas saja Elvan begitu yakin kalau Bibi Ani tidak akan membocorkan urusan pernikahan palsu yang mereka lakukan. Jadi inikah alasannya?
"Sejak kapan dia mengalami itu?" Tanya Aretha mencoba mencari tahu.
Ia menatap Bibi Ani dengan iba. Menyandang status sebagai tunarungu jelas bukan hal yang mudah, apalagi jika itu sudah ia alaminya sejak lahir.
Bibi Ani beruntung karena keluarga Addison Masih mau mempekerjakannya.
Jika itu di luar sana, Aretha tidak yakin Bibi Ani akan mudah untuk mendapatkan pekerjaan apa pun itu karena kekurangannya ini.
Walaupun tentu saja, masakan Bibi Ani adalah yang terenak!
"Entahlah, mungkin sudah 20 tahunan." Jawab Elvan sekenanya.
Aretha langsung mengangguk mengerti dan tidak bertanya lebih lanjut.
Dia tiba-tiba ingat kembali kalau Elvan tidak suka jika dia banyak bertanya.
Jadi ketika melihat Bibi Ani keluar dari dapur membawakan makanan untuk Elvan, Aretha langsung saja buru-buru menghabiskan makanannya.
Aretha sengaja mengambil beberapa suapan besar untuk mulutnya agar ia bisa cepat menyelesaikan acara makannya.
Tapi baru di suapan yang ketiga, suara Elvan yang tenang langsung mengejutkannya.
"Kau baru saja habis berbelanja?" Tanya Elvan pada Aretha. Aretha langsung menjawabnya dengan bingung. "Ya, aku baru saja berbelanja sedikit tadi pagi. Tapi.. darimana kau tahu?" Tanya Aretha. Elvan yang sudah melihat beberapa tumpukan kantung belanjaan di atas sofa yang ada di ruang tamu, tak serta merta langsung mengatakan itu dengan jelas. "Kau meninggalkan sampahmu di tempatku," ujar Elvan secara membingungkan. Aretha menatapnya bingung, sampah? Di tempatnya? Tepat ketika ia ingin bertanya lagi karena tidak mengerti ucapannya, Aretha mendadak teringat sesuatu. "Oh, ya ampun! Aku lupa meletakkan semua kantung belanjaanku itu ke kamar." Teriaknya heboh, ketika ia baru ingat kalau pemilik rumahnya tidak suka sesuatu yang berantakan. Setumpuk sampah yang dimaksudkan Elvan tentu bukan benar-benar menunjuk pada sampah yang sesungguhnya. Pria itu hanya menganggap semua barang yang tidak berguna baginya sebagai 'sampah'.Jadi ketika pria itu m
Elvan Syahreza seperti yang telah dikenal oleh banyak orang, dia adalah pria yang sangat dingin dan sangat memandang rendah seorang wanita. Itu sebabnya tidak heran jika banyak orang merasa sangat takjub dengan pernikahannya yang sangat tidak terduga ini. Apalagi dengan seorang gadis yang entah muncul dari mana dan ternyata dikabarkan telah bersama dengannya untuk waktu yang cukup lama. Itu lantas membuat banyak orang merasa penasaran sekaligus menyaksikannya secara luar biasa. Tapi pada kenyataannya, jauh sebelum itu, Elvan yang dulu dikenal Dirga tidak seperti ini. Dia mungkin memang bukan pria yang hangat seperti pria-pria periang pada umumnya, tapi Elvan yang dulu bukan pria yang sedingin dan serendah ini dalam memandang seorang wanita. Mengunderestimate semua wanita dan berpikiran buruk tentang mereka, sebelum ini ia tidak pernah bertingkah seperti itu. Jangankan bersikap perhitungan soal uang terhadap wanita, Elvan yang dulu justru sangat memanjakan wa
Elvan menatap Rangga. "Dia datang kemari hari ini?" Tanyanya yang langsung dibalas anggukkan oleh Rangga. "Ya, aku tidak tahu kapan tepatnya dia datang kemari karena ia datang memang bukan khusus untuk menemuiku. Tapi karena dia ingin menemui teman-teman sekerjanya di sini sambil memberikan beberapa cindera mata dan mengobrol sebentar. Aku secara tidak sengaja berpapasan dengannya saat dia akan pulang," terang Rangga. Mengingat kembali pertemuannya tadi siang dengan mantan karyawannya, Aretha, sekaligus wanita yang kini sudah menjadi istri sahabatnya. Elvan mengerutkan keningnya. "Dia memberikan cindera mata pada mantan rekan kerjanya?" Tanya Elvan terkejut, dan Rangga kembali mengiyakan. "Kau tidak tahu?" Tanya Rangga balik. Elvan tak menjawab, membuat Rangga kembali menjelaskan. "Dia datang dengan membawa beberapa bingkisan untuk dibagikannya kepada beberapa karyawanku, Aku rasa itu pasti di lakukannya sebagai bentuk rasa terima kasih dan bala
"Ayah dan ibu belum turun?" Tanya sebuah suara dari belakang yang langsung membuat semua orang menoleh. Seorang gadis remaja berperawakan cantik dan muda menyapa semua tamunya dengan sikap yang santai, tapi juga ramah. Setelah sebelumnya menatap semua orang secara bergantian, gadis itu menyapa anggota keluarganya yang lain yang baru saja tiba. "Hai Kak Elvan, Kak Aretha." Sapanya sopan. Aretha membalas dengan anggukan dan tersenyum, sementara Elvan melirik sekilas gadis yang sudah dikenalnya itu. Dia adalah Christina. Cucu perempuan satu-satunya keluarga Addison dari pihak paman Elvan yang merupakan anak kedua dari Nyonya Sofia. Dan bisa dikatakan juga, dia adalah sepupu Elvan. Seorang gadis muda dan cantik yang saat ini masih duduk di bangku kuliah semester awal. Melihat cucu perempuannya turun seorang diri, Sofia segera meminta Christina untuk memanggil kedua orang tuanya. "Panggil ayah dan ibumu turun. Panggil juga Si Bungsu," pinta nenek. C
"Apa Nenek yakin dengan apa yang nenek katakan itu?" Tanya Elvan tidak senang, ketika melihat neneknya terus saja berulah. "Kenapa? Apa itu salah lagi?" Tanya Sofia ikut tidak senang. Aretha menatap keduanya dengan malas. Sebenarnya ada apa dengan mereka berdua? Kenapa mereka lebih terlihat seperti kucing dan anjing, ketimbang seorang nenek dan cucu kandung? Mungkinkah Elvan sebenarnya adalah cucu angkat Nyonya Sofia? Atau karena terlalu lama tidak bertemu dan berkomunikasi, mereka menjadi kacau? Lantas, tidak adakah yang ingin melerai?? Aretha melirik paman dan bibi Elvan secara bersamaan. Mereka tampaknya sudah terbiasa dengan keributan kecil ini, sementara Christina dan Kiky hanya bersikap cuek dan tidak berniat untuk menyela. Bisa dibilang keributan ini bukan hanya terjadi satu atau dua kali, tapi sudah beberapa kali. Aretha menepuk pelan keningnya dengan tidak sadar. "Aku akan membawanya ke kantor atau tidak, itu terserah padaku. Apa nenek
Meski ini bukan pertama kalinya Aretha menginjakkan kaki di gedung kantor Elvan yang megah, Aretha tidak pernah sekalipun tidak terkesima melihat tingginya gedung tersebut menjulang. Tak hanya gedungnya yang selalu membuat Aretha takjub, tapi orang-orang yang ada di dalamnya pun tidak kalah membuatnya tercengang. Seluruh staf menyambut kedatangan Elvan dan Aretha dengan sangat meriah dan penuh antusiasme. Beberapa dari mereka bahkan sudah berbaris di depan pintu dan menyapa dengan ramah, sampai-sampai ada yang membuat beberapa kata sambutan dan juga bunga spesial untuk Aretha. Sungguh sesuatu hal yang belum pernah diterima Aretha selama ini, entah kata apa yang bisa melukiskan situasinya. Aretha kini bagai seorang duta besar yang ingin menghadiri sebuah acara. Aretha dapat merasa banyak sekali pasang mata menatap ke arahnya dan Elvan secara bersamaan dengan penuh rasa minat dan hormat. Entah hormat karena memang sudah aturannya seperti itu, atau hormat karen
"Apa kau ingin aku memutasikanmu ke kantor cabang kita yang ada di Ternate?" Tanya Elvan dengan nada yang penuh dengan ancaman. Alfin spontan mengendurkan ekspresinya, apa? Sekarang ini sepupunya ini ingin menggunakan kekuasaan untuk menindasnya? Alfin menghentikan kelakarnya sejenak, ia tahu ucapan Elvan memang tidak sepenuhnya serius. Tapi jika ia sudah berkehendak, maka apa pun itu Elvan pasti bisa mewujudkan itu dengan mudah. Oleh karenanya, bersikap rileks adalah jalan satu-satunya untuk Alfin bisa selamat dari kata maut yang sudah terlalu sering di ucapkan Elvan padanya. Memutasikannya ke tempat yang jauh dari kota! Oh, tentu saja ia tidak mau! "Oke! Aku hanya bercanda!" Alfin mulai kembali bersikap patuh dan juga manis. Tapi untuk beberapa saat kemudian, ia menatap Elvan dengan seulas senyum yang kini telah berubah menjadi sedikit monoton. "Aku memang tidak serius saat mengatakan itu semua, tapi soal aku yang masih ingin melanjutkan pekerjaan
"Jadi ini kantinnya?" Tanya Aretha hampir tidak percaya.Dirga mengangguk dan mengiyakan."Benar Nyonya, ini adalah kantin kami yang diperuntukkan khusus untuk seluruh pegawai dan pemimpin yang ada." Terang Dirga berucap dengan sopan.Aretha menatap ruangan besar itu dengan kikuk dan tidak terlalu mempedulikan panggilan Dirga yang suka berubah-ubah.Sebentar-bentar 'Nyonya', sebentar-bentar 'Nona'. Apapun itu selama sebutan itu adalah sebutan untuk seorang wanita, Aretha tidak akan mempermasalahkannya.Ia tahu Dirga akan berbicara dan memanggil Aretha s
Jadi, kapan kalian akan berencana untuk berbulan madu?" Tanya Sofia menjurus tajam pada dua pasangan yang ada di depannya. Hingga membuat Aretha yang ketika itu masih mengisi mulutnya dengan makanan, hampir saja tersedak. Ia terbatuk pelan sekali dan mengambil minum. Elvan mulai memikirkan kemungkinan selanjutnya yang akan terjadi, dan Alfin yang lebih dulu memberikan respon suaranya lebih cepat daripada siapa pun. "Mereka harus pergi berbulan madu?" Tanya Alfin dengan penuh keterkejutan. Sofia menatapnya dengan yakin. "Tentu saja! Kenapa tidak?" Tanya Sofia balik dan itu cukup membuat Alfin tidak berani membalas. Ia hanya melirik Elvan dan Aretha dengan ngeri, lalu berpikir dengan pasti bahwa jika nenek sudah berkehendak dan membidik sesuatu, siapa pun itu pasti harus menunduk padanya! "Kami akan memikirkannya," jawaban Elvan yang hanya mengambil jalan aman dan tidak menunjukkan kepastian apa pun dalam ucapannya membuat Sofia tidak merasa pu
"Aku yang seharusnya bertanya padamu! Siapa kau? Dan apa tujuanmu kemari? Aku sedang bicara dengannya dan kau sangat mengganggu!" Seru Willy sambil kemudian berbalik menatap Aretha. "Kau kenal dengannya?" Tanya Willy sambil menunjuk sengit pada Elvan, dan menuntut jawabannya dari Aretha. Aretha yang tiba-tiba menerima pertanyaan, bingung sendiri harus menjawab apa. Jika ia menjawab tidak mengenalnya tentu akan sangat kentara sekali bahwa ia berbohong karena Aretha sudah sempat menyebut nama Elvan barusan ketika ia muncul. Tapi jika ia mengatakan bahwa ia mengenalnya, Aretha harus memperkenalkannya sebagai siapa? Suaminyakah? Itu jelas tidak mungkin! Itu sama saja menghancurkan seluruh cerita penuh fiktifnya pada Willy dan pria itu akan semakin marah padanya, lantas apa yang harus di katakannya? Di saat Aretha masih berkutat dengan kebingungannya untuk menjawab, Elvan sudah mewakilinya lebih dulu dengan bertindak lebih cepat dalam memahami situasi dan mera
Sang pemilik kedai mengenalinya duluan dan menyapa. "Aretha! Kau datang hari ini?" Tanya sang pemilik kedai yang bernama Alex, nama yang sesuai dengan nama kedainya. Kedai Om Alex. "Sudah lama sekali aku jarang melihatmu. Walaupun kau sudah sejak dulu jarang datang. Tapi kapan ya terakhir kalinya kamu datang kemari?" Tanya Alex lagi dengan suaranya yang berat dan bass. Membuat Aretha tersenyum terlebih dulu untuk membalasnya, sambil melihat sekeliling mencari Willy, Aretha menatap Om Alex di ujungnya. "Mungkin sekitar 4 bulan yang lalu, dan kalau aku boleh tahu apa paman melihat Willy?" Tanya Aretha menanyakan keberadaan Willy. Namun tanpa perlu dijawab, pria yang sedang ia tunggunya muncul. "Kau tidak perlu mencariku lagi karena aku sudah berada di sini. Sekarang ayo kita bicara di luar," seru Willy to the point tanpa memberi jeda untuk Aretha menjawabnya, dan pria itu sudah menghilang di balik pintu keluar tanpa bisa dicegah. Aretha mengejarnya den
Aretha melirik kegiatan Elvan sekilas dan kemudian merasa cukup terkagum-kagum, karena jarang sekali ia bisa melihat seseorang begitu telaten dalam melakukan sebuah pekerjaan tanpa jeda. Setelah bekerja dari pagi hingga malam dan ia harusnya pulang untuk beristirahat sambil menikmati makan malamnya, Elvan justru masih tetap harus sibuk dengan segala rutinitas pekerjaannya yang dia kontrol dari ponselnya yang canggih dan multi tasking. Orang kaya dan sibuk memang berbeda level. Walaupun orang miskin seperti Aretha juga pernah sesibuk dirinya sampai-sampai hanya punya waktu untuk menyantap makanannya, satu kali dalam satu hari untuk terus bekerja dalam mencari uang sebanyak-banyaknya agar bisa melunasi hutangnya dengan cepat. Aretha tak bisa memungkiri bahwa ia sesungguhnya benar-benar kagum dengan etos kerja Elvan yang tak mengenal lelah, walaupun ini sudah merupakan waktu untuknya menikmati hidup. Bukankah Elvan memiliki sangat banyak uang untuk ia menikm
Martha mengepalkan tangannya kuat-kuat. Lalu, ketika Elvan berhasil menarik Aretha menjauh dari wanita berparasit itu, Aretha dengan santainya langsung melayangkan sebuah pertanyaan untuk Elvan. "Apa dia itu pernah menjadi model majalah dewasa?" Tanya Aretha dengan tiba-tiba membuat Elvan menatapnya. "Bagaimana kau bisa tahu? Bukankah tadi katamu kau tidak mengenalnya?" Tanya Elvan balik dengan acuh. "Aku memang tidak mengenalnya, tapi tampaknya aku pernah melihatnya. Jadi, apa dia benar pernah menjadi model majalah dewasa?" Tanya Aretha sekali lagi dengan penasaran. Elvan memindahkan tatapannya dari Aretha, membuat Aretha kembali memaksa. "Hei! Kau belum menjawab pertanyaanku! Jadi yang aku katakan itu benar atau tidak? Soalnya aku seperti pernah melihat wajahnya entah di majalah dewasa mana yang aku lihat di rumah temanku! Em, apa itu dia?" Tanya Aretha sekali lagi. Elvan mengangkat sebelah alisnya. "Kau bermain ke tempat temanmu yang memi
Setelah seminggu kemudian berlalu dengan cepat, Elvan dan Aretha kini sedang berada di sebuah pesta ulang tahun Steven yang ke-30 dengan mengenakan pakaian yang sudah mereka persiapkan sebelumnya dengan sempurna. Karena sebelumnya Steven mengundang Elvan dan Aretha ke acara ulang tahunnya.Penampilan Elvan dan Aretha menyita hampir sebagian tamu yang hadir di pesta itu, dan membuat mereka tak henti-hentinya menatap ke arah mereka dengan penuh antusiasme yang tinggi dan juga terkesima. Tak hanya dikarenakan mereka tahu dengan baik siapa pria yang tengah melewati mereka dengan begitu luwesnya, tapi mereka juga cukup terpukau dengan penampilan mereka yang begitu mencolok dan keserasian yang pasangan itu tunjukkan. Hingga Aretha akhirnya mengerti satu hal. Pantas saja Elvan menyiapkan gaun yang begitu mewah untuknya sebelum acara ini. Ternyata pesta perayaan ulang tahun sekaligus keberhasilan dan kepulangannya Steven ke tanah kelahiran, juga dilakukan dengan sanga
Untuk beberapa waktu ke depan setelah Aretha mulai diberikan beberapa pekerjaan tambahan oleh Dirga atas instruksi Elvan, Aretha tak henti-hentinya menatap setumpuk dokumen yang ada di depan matanya itu dengan skala yang menghitung. Aretha memang pernah mengeluh soal kurangnya ata bahkan tidak adanya pekerjaan apa pun yang harus ia kerjakan, tapi semejak ia mengeluh soal pekerjaannya yang terlalu remeh, Dirga terus saja menambahkan pekerjaan tambahan untuknya sejak hari itu sampai saat ini. Sehingga dengan ekspresi yang tidak kuasa, Aretha menatap Dirga dengan penuh rasa ingin di berikan simpati. "Apa ini tidak terlalu berlebihan?" Tanya Aretha dengan sepenuh hati dan sangat tidak paham dengan maksud dari pekerjaan yang terus di tambahkan, padahal ia bukan bekerja pada mereka untuk menjadi seorang pekerja kantoran. Tapi m
Elvan sudah biasa bersikap dingin pada wanita, tapi ia tidak terbiasa diperlakukan dingin oleh wanita. Itu sebabnya, melihat perlakuan Aretha yang begitu acuh padanya membuat Harry merasa cukup kesal. Elvan masih ingat bagaimana sikap Aretha, ketika dia meminta waktu dua hari kebebasan padanya untuk urusan pribadi. "Aku sudah menuruti keinginanmu untuk ikut ke kantor. Kalau begitu, apa aku boleh meminta sesuatu?" Tanya Aretha mencoba menyampaikan sesuatu, tepat ketika ia dan Elvan berada dalam perjalanan pulang ke rumah di hari pertamanya masuk ke kantor. Elvan yang saat itu sedang sangat lelah, memejamkan mata dan tidak memberikan respon, tapi Aretha tetap melanjutkan permintaannya. "Apa aku boleh meminta hari libur di sela-sela waktuku dalam satu minggu?" Tanya Aretha mencoba bernegosiasi. Entah apa tujuannya. Elvan yang saat itu sedang tidak ingin berpikir terlalu banyak karena lelah, hanya membuka sedikit matanya untuk melirik Aretha. Aretha pun
"Jadi ini kantinnya?" Tanya Aretha hampir tidak percaya.Dirga mengangguk dan mengiyakan."Benar Nyonya, ini adalah kantin kami yang diperuntukkan khusus untuk seluruh pegawai dan pemimpin yang ada." Terang Dirga berucap dengan sopan.Aretha menatap ruangan besar itu dengan kikuk dan tidak terlalu mempedulikan panggilan Dirga yang suka berubah-ubah.Sebentar-bentar 'Nyonya', sebentar-bentar 'Nona'. Apapun itu selama sebutan itu adalah sebutan untuk seorang wanita, Aretha tidak akan mempermasalahkannya.Ia tahu Dirga akan berbicara dan memanggil Aretha s